BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Virus tersebut bernama HIV (Human Immunodeficiency Virus).

BAB 2 PENGENALAN HIV/AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Timbulnya suatu penyakit dalam masyarakat bukan karena penyakit

Berusaha Tenang Mampu mengendalikan emosi, jangan memojokan si-anak atau merasa tak berguna.

INFORMASI TENTANG HIV/ AIDS. Divisi Tropik Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terdapat hampir di semua negara di dunia tanpa kecuali Indonesia. Sejak

A. Landasan Teori. 1. Pengetahuan. a. Definisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Makalah Biologi. Oleh : Ifa Amalina Esa Rosidah Muhammad Rizal

PENGETAHUAN DASAR TENTANG HIV/ AIDS. HIV yang merupakan singkatan dari HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS adalah Virus

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB 1 PENDAULUAN. menyerang system kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2015 KAJIAN TENTANG SIKAP EMPATI WARGA PEDULI AIDS DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS SEBAGAI WARGA NEGARA YANG BAIK

INFORMASI TENTANG HIV/AIDS

b/c f/c Info Seputar AIDS HIV IMS Informasi di dalam buku saku ini dipersembahkan oleh: T A T

H.I.V DAN KANKER; PSIKOLOGI SEPANJANG PERJALANAN PENYAKIT. Oleh: dr. Moh. Danurwendo Sudomo, Sp.Ok

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu. imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala

LEMBAR PERSETUJUAN PENGISIAN KUESIONER. kesukarelaan dan bersedia mengisi kuesioner ini dengan sebaik-baiknya.

TINJAUAN TENTANG HIV/AIDS

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Orang dengan HIV membutuhkan pengobatan dengan Antiretroviral atau

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) dan penyakitacquired Immuno

STRATEGI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV/AIDS KATA PENGANTAR

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan Acquired Immuno

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB I PENDAHULUAN. masih akan berkepanjangan karena masih terdapatnya faktor-faktor yang memudahkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN orang orang orang

TINGKAT PENGETAHUAN SISWA SMA TENTANG HIV/AIDS DAN PENCEGAHANNYA

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

TREND DAN ISU PENULARAN HIV DI INDONESIA DAN DI LUAR NEGRI

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari. penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) berarti kumpulan gejala dan

Menggunakan alat-alat tradisional yang tidak steril seperti alat tumpul. Makan nanas dan minum sprite secara berlebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2016 GAMBARAN MOTIVASI HIDUP PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS DI RUMAH CEMARA GEGER KALONG BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

PENANGGULANGAN HIV / AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS DI KELAS XI SMA YADIKA CICALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Immuno Deficiency Syndrom) merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN IMS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMUNODEFICIENCY SYNDROME

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS yang merupakan singkatan dari Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

2015 INTERAKSI SOSIAL ORANG D ENGAN HIV/AID S (OD HA) D ALAM PEMUD ARAN STIGMA

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune. rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV 1.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immune

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan milenium atau sering disebut dengan millennium development goals (MDGs) adalah

PENJABAT BUPATI SEMARANG AMANAT PENJABAT BUPATI SEMARANG SELAKU KETUA KPA KABUPATEN SEMARANG DALAM RANGKA PERINGATAN HARI AIDS SEDUNIA TAHUN 2015

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi HIV (Human Imunnodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes) 2.1.1 Definisi HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse trancriptase untuk dapat menginfeksi mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat (Zein, dkk, 2006). AIDS mula-mula didefinisikan untuk kepentingan survei oleh CDC (the U.S. Centers for Disease Control and Prevention) sebagai adanya penyakit oportunistik yang setidaknya mengisyaratkan adanya cacat imunitas seluler tanpa didasari oleh gangguan kekebalan yang diketahui, misalnya imunosupresi iatrogenik atau keganasan. Dengan tersedianya uji diagnostik yang sensitif dan spesifik untuk HIV, definisi kasus AIDS telah mengalami beberapa perbaikan (Fauci dan Lane, 2000). AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Mansjoer, 2000). Umar Zein (2006) mendefinisikan AIDS berdasarkan definisi etimologinya. AIDS singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, dimana acquired artinya didapat, bukan penyakit turunan, immuno artinya sistem kekebalan tubuh, deficiency artinya kekurangan, dan syndrome artinya kumpulan gejala. Jadi AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga mudah diserang penyakit-penyakit lain yang dapat berakibat fatal padahal penyakit tersebut tidak akan menyebabkan gangguan yang sangat berarti pada orang-orang dengan sistem kekebalan normal.

2.1.2 Epidemiologi AIDS pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1981 ketika CDC (the U.S. Centers for Disease Control and Prevention) mengumumkan penemuan aneh dari Pneumocystis carini pneumonia pada 5 lakilaki homoseksual yang di Los Angeles dan Kaposi s Sarkoma pada 26 laki-laki homoseksual yang sehat di New York dan Los Angeles. Pada tahun 1983, HIV (Human Immunodeficiency Virus) diisolasi dari seorang penderita limfadenopati dan pada tahun 1984, HIV didemonstrasikan sebagai penyebab dari penyakit AIDS (Fauci dan Lane, 2005). Menurut Djoerban Z (1999) dalam Zein (2006), dalam catatan literatur di Indonesia, kasus infeksi HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1985 di Jakarta pada seorang wanita yang menderita anemia hemolitik autoimun yang kerap mendapat transfusi darah. Diduga kuat transmisi virus HIV melalui transfusi. Kasus AIDS yang pertama di Indonesia ditemukan pada bulan April 1987, ketika seorang turis Belanda pengidap AIDS meninggal di Bali (Muninjaya, 1999). Sedangkan kasus HIV positif pertama kali ditemukan di Medan pada tahun 1992, ketika dilakukan serosurvei (Zein, 2006). Sejak saat ditemukan, jumlah penderita AIDS secara kumulatif sampai September 2008 mencapai 15.136 kasus dan penderita yang terinfeksi HIV sebanyak 6.015 kasus (Departemen Kesehatan RI, 2008). 2.1.3 Faktor risiko Orang yang mempunyai risiko besar untuk mendapat infeksi HIV adalah pasangan seksual pengidap HIV, pecandu narkoba suntik dan pasangan seksualnya, wanita pekerja seksual (WPS) dan pelanggannya serta pasangan pelanggannya, waria sebagai pekerja seks dan pelanggannya serta pasangan pelanggannya, petugas kesehatan yang berhubungan dengan darah dan sekret penderita infeksi HIV, penerima transfusi darah dan produk darah, serta janin yang dikandung pengidap HIV (Zein, 2006).

2.1.4 Penularan Infeksi HIV/AIDS HIV dapat masuk ke tubuh manusia terutama melalui darah, semen (cairan sperma) dan sekret vagina, serta transmisi dari ibu ke anak (Mansjoer, 2000). Transmisi dari retrovirus RNA yang disebarkan melalui darah terjadi terutama oleh mekanisme, yaitu homoseksual atau heteroseksual, terinfeksi darah penderita HIV/AIDS, penyalahgunaan obat intravena, transfusi produk-produk darah dan transmisi dari ibu ke anak (Davey, 2000). Penularan infeksi HIV dari ibu kepada anaknya terjadi selama kehamilan, proses persalinan dan dengan pemberian ASI oleh ibu penderita HIV/AIDS (Antony dan Lane, 2005). Peluang untuk tertular HIV melalui hubungan seks adalah 1%, melalui transfusi darah 90%, melalui jarum suntik 90% dan ibu hamil kepada bayinya 30%. Meskipun penularan HIV melalui hubungan seks mempunyai peluang paling kecil, ternyata lebih dari 90% kasus HIV dan AIDS yang ada sekarang ini terjadi karena hubungan seks (Yatim, 2006). HIV tidak dapat menular melalui air liur, keringat ataupun air mata pengidap HIV/AIDS. Walaupun HIV dapat diisolasi jumlah dari ludah penderita HIV/AIDS dalam jumlah sedikit, tetapi tidak terdapat bukti yang pasti bahwa ludah dapat menularkan infeksi HIV baik melalui ciuman atau paparan lainnya (Antony dan Lane, 2005). Menurut Azhari (2000), AIDS tidak menular melalui: a. Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubungan seksual) b. Bersenggolan dengan penderita c. Berjabatan tangan d. Penderita AIDS bersin atau batuk di dekat kita e. Berciuman f. Berpelukan g. Menggunakan alat makan bersama h. Gigitan nyamuk dan serangga lain i. Memakai pakaian secara bergantian j. Berenang di kolam renang yang sama

2.1.5 Etiologi dan Patogenesis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, dan env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi kemokin oleh makrofag, yang dapat mengaktivasikan sel T, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi HIV yang produktif. (Brooks, 2005) Limfosit CD4 merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting (Djoerban dan Djauzi, 2006). Virus memasuki sel dengan berikatan pada molekul CD4 dan reseptor kemokin, kemudian bereplikasi dan mengintegrasikan dirinya dengan DNA penjamu. Kemudian terjadi infeksi laten atau produksi virus. Sebanyak 10 10-10 11 virion terbentuk setiap hari dengan turnover sel-sel yang terinfeksi oleh HIV. Pada akhirnya, hilangnya sel-sel CD4 secara progresif dan beberapa mekanisme lain akan menyebabkan gangguan fungsi sistem imun (Davey, 2002). 2.1.6 Gejala Klinis HIV/AIDS Menurut MFMER (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yaitu: 1. Fase awal Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit

kepala, sakit tenggorokan, ruam, dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain. 2. Fase lanjut Penderita akan tetap bebas gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk, dan pernafasan dangkal. 3. Fase akhir Pada fase akhir dari infeksi HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS. Pada saat AIDS timbul, sistem imun akan sangat menurun, yang memungkinkan penderita untuk mendapat infeksi oportunistik. Pada fase ini juga akan timbul gejala-gejala berupa keringat malam, menggigil, demam diatas 38 o C selama beberapa minggu, diare kronis, batuk kering, dan nafas dangkal serta bintik-bintik putih di sekitar lidah dan mulut. 2.1.7 Penatalaksanaan HIV/AIDS Secara umum, penatalaksanaan penderita HIV/AIDS terdiri dari beberapa jenis, yaitu: a. pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV). Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah berkembang. Tidak semua ARV tersedia di Indonesia. b. pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS.

c. pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan (Djoerban dan Djauzi, 2006). HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang sangat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat obat ARV) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortilitas dini akibat infeksi HIV (Djoerban dan Djauzi, 2006). Terapi anti retroviral gabungan untuk infeksi HIV telah menandai revolusi pengobatan HIV dan AIDS. Pengobatan tersebut, yang biasanya melibatkan dua nucleoside reverse transcriptase inhibitor dan setidaknya satu inhibitor protease atau satu nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor disebut terapi anti retroviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy/ HAART) (Rubenstein,dkk, 2003). 2.1.8 Pencegahan Infeksi HIV/AIDS Pencegahan AIDS difokuskan pada tiga cara penularan yang utama, yaitu: (1) kontak seksual, (2) penggunaan jarum suntik dan (3) transfusi darah (Hutapea, 1995). Pengendalian diri untuk tidak berperilaku resiko tertular virus AIDS adalah kunci pencegahan yang jika dikembangkan secara konsisten akan cukup efektif untuk menyelamatkan masyarakat dari wabah penularan virus AIDS ini. Pengendalian diri dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak melakukan hubungan seks, setia (S) pada pasangan seks yang sah, artinya tidak berganti-ganti pasangan seks dan penggunaan kondom pada setiap melakukan hubungan seksual yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) (Muninjaya, 1999). Saat ini perkembangan vaksin HIV sangat ditekankan. Vaksin digunakan untuk menginduksi imunitas tambahan pada tiap imunitas yang menurun akibat infeksi alamiah pada pasien. Sebagian besar vaksin yang kini tersedia didasarkan

pada protein selubung ekstraselular gp 120 atau protein prekusor selubung gp 160. Salah satu faktor yang mungkin membatasi keberhasilan vaksin ini adalah banyaknya jenis protein selubung antara galur HIV berbeda. 2.1.9 Penanggulangan HIV/AIDS Sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus HIV, maka jumlah kasus AIDS juga meningkat cepat yang menyebabkan upaya penanggulangan memerlukan bukan saja pada upaya pencegahan, tetapi juga upaya pengobatan, perawatan dan dukungan. Berdasarkan kajian dalam strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007, terdapat tujuh area program prioritas sebagai berikut: 1. Pencegahan HIV/AIDS Upaya pencegahan pada masyarakat luas dilakukan dengan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang cara penularan, pencegahan, dan akibat yang ditimbulkannya sesuai dengan norma-norma agama dan budaya masyarakat. Upaya pencegahan pada populasi beresiko tinggi seperti Penjaja Seks (PS) dan pelanggannya, ODHA dan pasangannya, penyalahguna Napza, dan petugas yang karena pekerjaannya beresiko terhadap penularan HIV/AIDS melalui pencegahan yang efektif seperti penggunaan kondom, penerapan pengurangan dampak buruk (harm reduction), penerapan kewaspadaan umum (universal precautions), dan sebagainya. 2. Perawatan, Pengobatan dan Dukungan terhadap ODHA Salah satu keputusan penting dalam sidang PBB yang khusus membahas HIV/AIDS (UNGASS) pada tahun 2001 adalah perlunya memperluas pelayanan, perawatan, dan dukungan terhadap ODHA serta melindungi hakhak azasi mereka (mencegah, mengurangi, dan menghilangkan stigma dan diskriminasi). Upaya pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan terhadap ODHA dilakukan baik melalui pendekatan klinis maupun pendekatan berbasis

masyarakat dan keluarga (community and home-based care) serta dukungan pembentukan persahabatan ODHA. 3. Surveilans HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) Salah satu kegiatan yang penting dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah mengumpulkan data melalui kegiatan surveilans yang sistematis dan terus menerus agar dapat diketahui distribusi dan kecenderungan infeksi HIV, distribusi kasus AIDS serta faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran HIV di masyarakat. Selain untuk mengetahui besarnya kecenderungan dan distribusi dari persebaran HIV/AIDS, surveilans epidemologi dan perilaku akan memberikan informasi yang sangat penting untuk perencanaan penanggulangan meliputi kegiatan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA, peningkatan kapasitas (capacity building), penelitian, pengembangan peraturan dan perundang-undangan serta kegiatan lain. 4. Penelitian Penelitian dan riset operasional diperlukan untuk menentukan dasar kebijakan penanggulangan HIV/AIDS sehubungan dengan perubahan epidemi dan dampaknya. 5. Lingkungan Kondusif UNGASS (United Nations General Assembly Special Session) 2001 mendeklarasikan bahwa pada tahun 2003 mengesahkan, mendukung atau menegakkan peraturan dan ketentuan lainnya sebagai perundang-undangan yang tepat untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan memastikan pemilikan hak-hak azasi dan kemerdekaan secara sepenuhnya oleh ODHA dan anggota kelompok rentan. Upaya KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) dalam penanggulangan HIV/AIDS telah dilakukan namun stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak azasi, masih terjadi. Masih banyak aspek penanggulangan HIV/AIDS yang belum didukung oleh peraturan yang memadai sehingga beberapa upaya penanggulangan menghadapi hambatan.

Lingkungan kondusif untuk mengurangi stigma, diskriminasi dan pelanggaran hak azasi serta menghilangkan hambatan pada pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS sangat diperlukan. 6. Koordinasi Multipihak Masalah HIV/AIDS harus ditangani secara terkoordinasi oleh sektor pemerintah, sektor swasta/dunia usaha dan LSM. Koordinasi tersebut mencakup aspek perencanaan, pembiayaan, penyelenggaraan, monitoring dan evaluasi. 7. Kesinambungan Penanggulangan Pada masa mendatang Indonesia akan menghadapi masalah HIV/AIDS yang semakin besar dan kompleks. Oleh karena itu upaya penanggulangan harus ditingkatkan dan dijamin kesinambungannya (sustainable response) agar tujuan penanggulangan HIV/AIDS dapat dicapai. Kelemahan dalam bidang organisasi dan kemampuan individu dari mereka yang terlibat dalam penanggulangan HIV/AIDS harus ditingkatkan melalui upaya peningkatan kemampuan (capacity building). 2.1.10 Sikap Masyarakat Terhadap Penderita HIV/AIDS Seperti yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa salah satu strategi penanggulangan HIV/AIDS adalah menciptakan lingkungan yang konduksif, yaitu dengan menghilangkan segala bentuk diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS. Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pada gilirannya akan mendorong munculnya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) bagi ODHA (orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS) dan keluarganya. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS. Mereka menghambat usaha pencegahan dan perawatan dengan memelihara kebisuan dan penyangkalan tentang HIV/AIDS seperti juga mendorong keterpinggiran ODHA dan mereka yang rentan terhadap infeksi HIV. Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli,

tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat (Harahap, 2003). Pelaku diskriminasi bisa terjadi di keluarga, masyarakat, pers, rumah sakit, dokter, dan paramedis, serta lembaga swadaya masyarakat. Bentuk diskriminasi di keluarga dan masyarakat misalnya dikucilkan, ditempatkan dalam ruang atau rumah khusus, diberi makanan secara terpisah, bahkan ada yang diborgol. Pengaduan juga terjadi di masyarakat. Sementara pers memuat foto, nama, dan alamat tanpa izin. Diskriminasi yang dilakukan perusahaan misalnya pemutusan hubungan kerja, mutasi atau pelarangan kerja ke luar negeri. Bentuk diskriminasi oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan adalah penolakan untuk merawat, mengoperasi atau menolong persalinan, diskriminasi dalam pemberian perawatan, dan penolakan untuk memandikan jenazah (Djoerban, 2005). Selain itu, banyak orang percaya bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk, minum dari gelas yang sama dengan orang dengan AIDS, bergaul sehari-hari dengan orang dengan AIDS yang batuk, dan berpeluk atau mencium orang dengan AIDS. Hal ini juga menyebabkan terjadinya stigma dan diskriminasi pada penderita HIV/AIDS. Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Setiap etnis, budaya, agama dan lain-lain tentu saja memiliki pandangan, sikap, tindakan yang berbeda-beda terhadap suatu persoalan. Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada yang orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata uh. huh. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu yang statusnya rendah hanya menerima saja sementara dalam budaya lain justru sebaliknya.

Dilihat dari contoh lain, ada kolompok yang bisa merasa simpati atau peduli terhadap orang lain sedangkan kelompok lain lebih bersifat individualistik dan acuh tak acuh terhadap perkara orang lain. Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuannya untuk menguasai hal itu merupakan ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam masyarakat Barat. Oleh karenanya keahlian yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya ( Muhaimin, 2009). Sebenarnya sangat sulit untuk membicarakan tentang stigma dan diskriminasi HIV/AIDS yang terjadi di dunia. Bahkan reaksi dalam suatu negara terhadap HIV/AIDS akan beraneka ragam antara kelompok yang satu dengan yang lain dan individu yang satu dengan yang lain. Agama, umur, dan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit tersebut dapat mempengaruhi bagaimana seseorang menyikapi penyakit tersebut. Stigma terhadap penderita HIV/AIDS tidak bersifat statis. Ini akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dimana pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan pengobatannya telah berkembang (AVERT, 2009). Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa jika HIV/AIDS sudah menjadi penyakit yang bisa dicegah dan diobati, sikap masyarakat akan berubah dimana penolakan, stigma, dan diskriminasi akan dengan cepat berkurang. Salah satu hal yang menyebabkan orang menstigma dan mendiskriminasi ODHA karena mereka tidak paham akan HIV/AIDS dan cara penularannya (YAKITA, 2003). Berbagai upaya telah dijalankan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan keluarganya, namun hal ini masih terus berlangsung. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan peningkatan pemahaman mengenai HIV/AIDS dikalangan masyarakat termasuk mereka yang bekerja di unit-unit pelayanan kesehatan.

2.2 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat 2.2.1 Pengetahuan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan (knowledge) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang diketahui; kepandaian. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Menurut Meliono (2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Pendidikan Adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, maka jelas dapat kita kerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu mencerdaskan manusia. 2. Media Media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Contoh dari media massa adalah televisi, radio, koran, dan majalah. 3. Keterpaparan informasi 2.2.2 Sikap Masyarakat Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, sikap (attitude) adalah perbuatan, pendapat atau keyakinan yang berdasarkan pada pendirian. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Soekidjo, 2003). Menurut Alport (1954) dalam Soekidjo (2003), sikap mempunyai 3 komponen pokok, yaitu:

1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. 2. kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek, sedangkan pengukuran sikap secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2003).