POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU IPB PADA SISTEM BUDI DAYA LEGOWO OLEH YUSUP KUSUMAWARDANA A

dokumen-dokumen yang mirip
POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU IPB DENGAN SISTEM BUDI DAYA LEGOWO

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI DAYA HASIL LANJUT 30 GALUR HARAPAN PADI (Oryza sativa L.) TIPE BARU (PTB) DEDE TIARA A

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

PEMBAHASAN UMUM Hubungan Karakter Morfologi dan Fisiologi dengan Hasil Padi Varietas Unggul

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

Lampiran 1: Deskripsi padi varietas Inpari 3. Nomor persilangan : BP3448E-4-2. Anakan produktif : 17 anakan

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Lapang Terpadu

III. METODE PENELITIAN

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Padi Hibrida

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang

KAJIAN PADI VARIETAS UNGGUL BARU DENGAN CARA TANAM SISTEM JAJAR LEGOWO

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

: Kasar pada sebelah bawah daun

PENGEMBANGAN BENIH DAN VARIETAS UNGGUL PADI SAWAH

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

Potensi Hasil : 5-8,5 ton/ha Ketahanan : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 Terhadap Hama. Ketahanan. Terhadap Penyakit

UJI DAYA HASIL 10 GALUR PADI (Oryza sativa L.) TIPE BARU DENGAN 2 VARIETAS PEMBANDING DI CIANJUR RENDRA PRATAMA YUSUF

KARAKTER MORFOLOGI DAN AGRONOMI PADI VARIETAS UNGGUL

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

PENGARUH JARAK TANAM TERHADAP HASIL PADI VARIETAS UNGGUL

II. Materi dan Metode. Pekanbaru. waktu penelitian ini dilaksanakan empat bulan yaitu dari bulan

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

Varietas Unggul Mendukung Usahatani Padi di Lahan Lebak. Morphological Characterization and Content of Sugar Some Sweet Potato Germplasm Local Lampung

BAHAN DAN METODE. Faktor kedua adalah jumlah bibit per lubang yang terdiri atas 3 taraf yaitu : 1. 1 bibit (B 1 ) 2. 2 bibit (B 2 ) 3.

UJI ADAPTASI BEBERAPA PADI HIBRIDA DI LAHAN SAWAH IRIGASI BARITO TIMUR, KALIMANTAN TENGAH

BAHAN DAN METODE. Bahan yang digunakan adalah benih padi Varietas Ciherang, Urea, SP-36,

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Percobaan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di lokasi : 1) Desa Banjarrejo, Kecamatan

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari 3 golongan ecogeographic yaitu Indica, Japonica, dan Javanica.

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KK : 2.4% Ket: ** ( sangat nyata) tn (tidak nyata) Universitas Sumatera Utara

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN

SELEKSI POTENSI HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI GOGO DI DESA SIDOMULYO KABUPATEN KULON PROGO

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Lampiran 1. BaganPenelitian U I U II U III S1 S2 S3 V1 V2 V3 V2 V1 V cm V3 V3 V1 S2 S3 S1 V cm. 50 cm V1. 18,5 m S3 S1 S2.

KERAGAAN BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH UMUR SANGAT GENJAH DI NUSA TENGGARA TIMUR

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI GOGO DAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING MELALUI PERUBAHAN PENERAPAN SISTEM TANAM TANAM DI KABUPATEN BANJARNEGARA

SISTEM TANAM PADI JAJAR LEGOWO

1) Dosen Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon 2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Kuningan

KERAGAAN GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU DI SUKABUMI DALAM RANGKA UJI MULTI LOKASI DENI HAMDAN PERMANA A

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Percobaan

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

KAJIAN KERAGAAN VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) PADI DI KECAMATAN BANTIMURUNG KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN ABSTRAK PENDAHULUAN

BAB IV METODE PENELITIAN. (RAK) faktor tunggal dengan perlakuan galur mutan padi gogo. Galur mutan yang

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK

2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEUNTUNGAN DAN KELEBIHAN SISTEM JARAK TANAM JAJAR LEGOWO PADI SAWAH

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007)

Penampilan dan Produktivitas Padi Hibrida Sl-8-SHS di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR HARAPAN PADI SAWAH DI SUBAK DANGIN UMAH GIANYAR BALI

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

TATA CARA PENELTIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan lahan percobaan Fakultas Pertanian Universitas

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Deskripsi Padi Varietas Cigeulis Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

V4A2(3) V3A1(1) V2A1(2) V3A1(2) V1A1(1) V5A2(1) V3A2(3) V4A1(3) V1A2(2)

POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU DENGAN TEKNIK BUDIDAYA SRI

III. BAHAN DAN METODE

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU IPB PADA SISTEM BUDI DAYA LEGOWO OLEH YUSUP KUSUMAWARDANA A24052072 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU IPB PADA SISTEM BUDI DAYA LEGOWO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor OLEH YUSUP KUSUMAWARDANA A24052072 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

RINGKASAN Yusup Kusumawardana. Potensi Produksi Galur Harapan Padi Sawah Tipe Baru IPB pada Sistem Budi Daya Legowo. (Dibimbing oleh Hajrial Aswidinnoor). Jumlah rumpun tanaman padi yang ditanam dengan sistem budi daya legowo 2:1 mencapai 178 000 rumpun/ha (dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm x 15 cm), sedangkan pada sistem tegel 160 000 rumpun/ha (dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm). Populasi yang lebih tinggi pada sistem budi daya legowo 2:1 membawa keuntungan tersendiri bagi padi tipe baru (PTB), mengingat jumlah anakan PTB sedikit namun produktif seluruhnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai potensi hasil dan keragaan galur harapan padi sawah tipe baru IPB pada sistem budi daya legowo 2:1. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Juli 2009 di Sindang Barang, Bogor yang berjenis tanah latosol. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktorial. Genotipe sebagai faktor pertama yang terdiri dari lima galur harapan padi sawah tipe baru IPB yaitu galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-1, IPB 97- F-44-2-1, IPB 102-F-46-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 serta satu varietas pembanding yaitu Ciherang. Sistem budi daya sebagai faktor kedua yang terdiri dari sistem budi daya konvensional dan legowo 2:1. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Jarak tanam pada sistem budi daya konvensional adalah 20 cm x 20 cm, sedangkan pada sistem budi daya legowo 2:1 adalah 40 cm x 20 cm x 10 cm. Umur bibit yang digunakan adalah 22 hari setelah sebar (HSS). Hasil percobaan menunjukkan bahwa jumlah anakan produktif per satuan luas cenderung lebih tinggi pada sistem budi daya legowo 2:1 dibandingkan pada sistem budi daya konvensional, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Kenaikan jumlah anakan produktif per satuan luas diikuti oleh menurunnya kelebatan malai dari galur galur yang diuji. Oleh karena itu, jumlah gabah total/malai nyata lebih rendah pada sistem budi daya legowo 2:1. Hal itu teratasi dengan tingginya populasi pada sistem tersebut sehingga jumlah gabah per satuan luas cenderung lebih banyak pada sistem budi daya legowo 2:1. Secara aktual

produksi gabah kering giling (GKG) pada kedua sistem yang diuji tidak berbeda nyata. Diduga penyebabnya adalah indeks luas daun galur galur yang diuji pada sistem budi daya legowo 2:1 telah melewati batas optimumnya. Produksi GKG seluruh genotipe masih dibawah potensi hasil yang diharapkan. Potensi produksi seluruh genotipe berkisar antara 6 10 ton GKG/ha, sedangkan pada penelitian ini hanya berkisar antara 4 5 ton GKG/ha. Tidak tercapainya potensi produksi tersebut disebabkan oleh adanya serangan hama penggerek batang padi putih. Seluruh galur yang diuji sesuai dengan karakter tinggi padi tipe baru yakni memiliki tinggi antara 98 110 cm. Galur yang diuji memiliki umur berbunga antara 79 90 HSS dan umur panen 111 117 HSS. Malai seluruh galur nyata lebih panjang dibandingkan malai Ciherang. Panjang malai seluruh galur berkisar antara 26 28 cm. Karakter tersebut menyebabkan jumlah gabah total/malai seluruh galur lebih banyak dibandingkan Ciherang. Jumlah gabah isi galur IPB 97-F-44-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 lebih banyak dibandingkan Ciherang. Galur IPB 102-F-92-1-1 mengalami peningkatan persentase gabah hampa pada sistem budi daya legowo 2:1, sedangkan genotipe yang lain persentase gabah hampanya mengalami penurunan pada sistem budi daya legowo 2:1. Bobot 1000 butir gabah isi pada galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-1 dan IPB 97-F-44-2-1 lebih berat dibandingkan bobot 1000 butir gabah Ciherang. Kesimpulan dari penelitian ini adalah produksi GKG galur galur yang diuji masih dibawah potensi hasil yang diharapkan. Sistem budi daya legowo 2:1 dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm tidak meningkatkan produktivitas galur galur yang diuji.

Judul : POTENSI PRODUKSI GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU IPB PADA SISTEM BUDI DAYA LEGOWO NAMA NRP Departemen : Yusup Kusumawardana : A24052072 : Agronomi dan Hortikultura Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. NIP. 19590929. 198303. 1. 008 Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc. Agr NIP. 19611101. 198703. 1. 003 Tanggal Lulus:...

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 29 April 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari pasangan Bapak Enang Sumarna Sumadipura dan Ibu Ratu Solihat. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1992 di SDN Kawung Luwuk, Bogor. Tahun 1992 hingga tahun 1998, penulis menempuh pendidikan dasarnya di SDN Bantarjati V, Bogor. Selanjutnya penulis menyelesaikan studinya di SMPN 3 Bogor pada tahun 2002. Selang tiga tahun kemudian, penulis menyelesaikan studinya di SMAN 4 Bogor tepatnya pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa baru IPB melalui jalur USMI pada tahun 2005. Setahun kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Penulis sempat menjadi asisten pada mata kuliah Perancangan Percobaan I dan juga menjadi guru kontrak pada salah satu lembaga bimbingan belajar pada tahun 2009. Penulis lebih banyak aktif di luar kegiatan kampus. Salah satu organisasi yang diikuti penulis adalah Forum Studi Islam Mahasiswa Al Furqon dari tahun 2005 2009. Disamping itu, penulis pun pernah menempuh pendidikan informal seperti kursus bahasa Arab.

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta ala yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wa Sallam serta keluarga, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Penelitian yang telah dilaksanakan merupakan kegiatan lanjutan dari penelitian penelitian sebelumnya yang dibimbing oleh Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, pada penelitian ini galur harapan PTB IPB tidak hanya diuji pada sistem budi daya konvensional tetapi juga diuji pada sistem budi daya terbaru yaitu sistem budi daya legowo. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini dan juga selalu memberikan dukungan kepada penulis baik berupa moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua Orang Tua penulis yang selalu memberikan semangat, kepada Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si dan Dr. Desta Wirnas, S.P.M.Si yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini dan kepada para petani Sawah Baru dan Sindang Barang serta rekan rekan penulis yang telah memberikan bantuan selama penelitian berlangsung, khususnya rekan rekan di Wisma attauhid. Penulis berharap semoga penelitian yang telah dilaksanakan bermanfaat bagi yang memerlukan. Bogor, September 2009 Penulis

DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Metode Pemuliaan Padi... 3 Padi Tipe Baru... 4 Legowo... 7 BAHAN DAN METODE... 9 Waktu dan Tempat... 9 Bahan dan Alat... 9 Metode... 9 Pelaksanaan... 10 Pengamatan... 11 Analisis Data... 12 HASIL DAN PEMBAHASAN... 13 Kondisi Umum... 13 Produksi Gabah Kering giling... 14 Karakter Vegetatif... 16 Karakter Generatif... 18 KESIMPULAN DAN SARAN... 26 Kesimpulan... 26 Saran... 26 DAFTAR PUSTAKA... 27 LAMPIRAN... 30

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Fungsi Masing - Masing Karateristik dalam Fotosintesis, Metabolisme Karbon dan Pertumbuhan PTB.... 6 2. Genotipe yang Digunakan dalam Penelitian... 9 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Karakter Vegetatif dan Generatif Tanaman Padi... 14 4. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Gabah Kering Giling... 15 5. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Tinggi (T) dan Jumlah Anakan Total (JAT)... 17 6. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Jumlah Anakan Produktif (JAP), Umur Berbunga (UB) dan Umur Panen (UP)... 19 7. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Panjang Malai (PM) dan Jumlah Gabah Total (JGT)... 20 8. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Jumlah Gabah Isi (JGI) dan Bobot 1000 Butir Gabah Isi (BSB)... 22 9. Jumlah Anakan Produktif/ha dan Jumlah Gabah Isi/ha pada Sistem Budi Daya Konvensional dan Legowo 2:1... 23

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Persentase Gabah Hampa... 21

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Tata Letak Percobaan di Lapangan... 31 2. Hasil Analisis Tanah... 31 3. Kriteria Penilaian Data Analisis Tanah... 31 4. Sidik Ragam Analisis Interaksi: Persentase Gabah Hampa... 32

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia telah kembali berswasembada beras pada tahun 2008 (Antara online, 2009). Suatu prestasi yang cukup membanggakan, namun hal itu perlu dipertahankan. Tantangan di masa depan akan lebih berat karena laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, terjadinya alih fungsi lahan dan ancaman perubahan iklim global. Oleh karena itu, produksi beras nasional perlu terus ditingkatkan. Salah satu solusi yang diharapkan mampu meningkatkan produksi beras adalah dengan menanam varietas padi yang berpotensi hasil tinggi, seperti padi tipe baru (PTB). Peneliti di Institut Pertanian Bogor telah merakit beberapa galur harapan PTB. Berdasarkan beberapa pengujian daya hasil, galur - galur harapan PTB tersebut memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dibandingkan varietas pembanding seperti IR64 dan Ciherang. Berdasarkan penelitian Sumiyati (2007) galur IPB 97-13-1 memiliki potensi hasil sebesar 8.4 ton GKG/ha. Padi tipe baru merupakan padi yang mempunyai arsitektur/tipe baru dengan sifat batang kuat, anakan sedang (9-12) tetapi produktif semua, malai panjang dengan 200-300 butir gabah/malai, persentase gabah isi tinggi (90%), umur genjah (110-120 hari), sistem perakaran dalam dan banyak, tinggi tanaman sedang - pendek (100-110 cm) serta daun tegak, tebal, dan berwarna hijau tua (Abdullah et al., 2004). Potensi hasil PTB 10 25% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini (Las et al., 2003). Salah satu komponen penentu potensi hasil suatu varietas padi adalah jumlah malai persatuan luas (Prajitno et al., 2006). Padi yang memiliki kapasitas anakan yang tinggi bukanlah sesuatu yang penting bagi petani di Cina. Kapasitas anakan yang rendah dikompensasi dengan memperbanyak jumlah bibit/lubang tanam (De Datta, 1981) sehingga didapatkan jumlah malai persatuan luas yang tinggi. Jumlah malai persatuan luas dapat pula ditingkatkan dengan cara meningkatkan populasi tanaman persatuan luas. Meningkatkan jumlah lubang tanam/m 2 (populasi) lebih menguntungkan dibandingkan dengan memperbanyak jumlah bibit/lubang tanam (Matsushima, 1976). Jumlah rumpun tanaman padi

2 yang ditanam dengan sistem budi daya legowo 2:1 mencapai 178 000 rumpun/ha (dengan jarak tanam 50 cm x 25 cm x 15 cm), sedangkan pada sistem tegel 160 000 rumpun/ha (dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm). Dengan demikian jumlah rumpun tiap hektar pada cara tanam padi sistem budi daya legowo 11.25% lebih banyak dibanding sistem tegel. Populasi yang lebih tinggi pada sistem budi daya legowo membawa keuntungan tersendiri bagi PTB, mengingat jumlah anakan PTB sedikit namun produktif seluruhnya. Selain itu, pada sistem budi daya legowo semua barisan tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (Deptan, 2007). Menurut Abdullah et al. (2008) setiap varietas padi mempunyai sifat yang berbeda. Padi tipe baru mempunyai sifat-sifat yang agak berbeda dengan varietas unggul baru (VUB) sehingga cara budi dayanya pun berbeda untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengujian daya hasil galur harapan PTB IPB pada sistem budi daya legowo. Tujuan Tujuan dari pengujian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai potensi hasil dan keragaan galur harapan padi tipe baru IPB pada sistem budi daya legowo 2:1. Hipotesis 1. Terdapat minimal satu galur harapan PTB IPB yang memiliki potensi hasil lebih baik dibandingkan varietas pembanding pada sistem budi daya konvensional maupun legowo 2:1. 2. Sistem budi daya legowo 2:1 dapat meningkatkan potensi hasil galur harapan PTB IPB. 3. Terdapat interaksi antara genotipe dan sistem budi daya.

TINJAUAN PUSTAKA Metode Pemuliaan Padi Pemuliaan padi bertujuan untuk menghasilkan varietas varietas baru yang lebih baik dari varietas varietas standar yang banyak ditanam petani. Varietas tersebut lazimnya disebut varietas unggul yang memiliki kelebihan sifat dibanding varietas standar, misalnya tentang potensi hasil, umur, ketahanan terhadap hama dan penyakit utama, toleransi terhadap tekanan lingkungan, mutu beras dan rasa nasi (Harahap, 1982). Varietas unggul adalah varietas yang tanaman tanaman mempunyai sifat sifat yang lebih daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya (Siregar, 1981). Menurut Susanto et al. (2003) upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai untuk kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat Pemuliaan suatu tanaman biasanya dimulai dengan pembentukan populasi lalu dilakukan seleksi terhadap populasi tersebut dan diakhiri dengan pengujian terhadap tanaman hasil seleksi tersebut. Menurut Harahap (1982) pembentukan populasi dilakukan dengan mengadakan persilangan antara beberapa varietas tetua untuk menggabungkan sebanyak mungkin sifat sifat yang baik ke dalam suatu populasi hibrida. Beberapa tipe persilangan yang biasa dilakukan antara lain: 1. Silang tunggal yaitu persilangan antara dua tetua. 2. Silang balik yaitu persilangan antara F1 dengan salah satu tetuanya. 3. Silang puncak yaitu persilangan antara F1 dengan suatu varietas atau galur lain. 4. Silang ganda yaitu persilangan antara dua hibrida F1. Populasi yang telah dibentuk melalui proses persilangan diatas lalu diseleksi. Menurut Harahap et al. (1982) metode seleksi yang umum dipakai pada pemuliaan padi adalah bulk dan pedigree. Harahap (1982) menyatakan bahwa selain kedua metode tersebut terdapat metode lain yaitu metode bulk tanam rapat dan metode back cross. Uji daya hasil merupakan salah satu tahapan dalam program pemuliaan tanaman yang bertujuan mengevaluasi keberadaan gen gen yang diinginkan

4 pada suatu genotipe yang selanjutnya dipersiapkan sebagai galur atau kultivar unggul baru. Secara umum ada tiga tahap uji daya hasil yaitu: 1. Uji daya hasil pendahuluan. 2. Uji daya hasil lanjut. 3. Uji multilokasi. Biasanya pada tahap pengujian masih dilakukan seleksi terhadap galur galur homozigot unggul yang lebih baik yang telah berhasil dibentuk. Tujuannya adalah memilih satu atau beberapa galur terbentuk yang akan dilepas sebagai kultivar unggul baru. Kriteria penilaiannya biasanya berdasarkan sifat yang memiliki arti ekonomi, seperti hasil, mutu dan lain lain (Nasir, 2001). Padi Tipe Baru Laju peningkatan produktivitas padi sawah melonjak tajam setelah tahun 1977. Peningkatan produktivitas mulai melandai pada tahun 1985-2000, yang menandakan semakin sempitnya keragaman genetik potensi hasil varietas yang telah dilepas (Susanto et al., 2003). Setelah IR64 dirilis, maka tidak ada lagi varietas unggul yang memiliki produktivitas yang nyata lebih tinggi dari IR64. Hal itu dikarenakan semua varietas yang dirakit tersebut merupakan inbrida - inbrida turunan dari hasil persilangan indica x indica (Balitpa, 2006). Perbaikan potensi hasil padi mutlak diperlukan untuk mengantisipasi melonjaknya kebutuhan beras di masa sekarang dan yang akan datang (Susanto et al., 2003). Salah satu upaya terobosan yang dilakukan adalah dengan membentuk arsitektur tanaman yang memungkinkan peningkatan produktivitas tanaman (Peng et al., 1994; Khush, 1996; Susanto et al., 2003). Hasil merupakan fungsi dari total biomassa dan indeks panen (IP). Hasil dapat ditingkatkan dengan memperbaiki indeks panen atau total biomassa atau kedua - duanya. Indeks panen varietas padi sebelumnya berkisar antara 0.45 0.50 dan masih dapat ditingkatkan lagi menjadi 0.60. Caranya adalah dengan meningkatkan sink size, yang meliputi peningkatan jumlah gabah per malai dan translokasi asimilat ke gabah, serta meningkatkan masa pengisian gabah antara lain dengan penundaan senescence kanopi, memperpanjang masa pengisian biji, dan meningkatkan ketahanan terhadap rebah. Biomassa tanaman ditingkatkan

5 dengan memodifikasi kanopi sehingga pembentukan kanopi dan penyerapan hara berlangsung cepat serta konsumsi karbon berkurang (Khush, 1996). Anakan yang tidak produktif merupakan pesaing dari anakan produktif untuk energi sinar matahari dan hara. Tidak adanya anakan non produktif berarti hasil fotosintesis lebih banyak ke gabah atau meningkatkan indeks panen (Prajitno et al., 2006). Jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak akan mengakibatkan masa masak malai tidak serempak sehingga menurunkan produktivitas dan atau mutu beras. Jumlah anakan yang sedikit diharapkan malai akan masak serempak (Abdullah et al., 2008). Jumlah malai persatuan luas merupakan salah satu komponen penentu hasil suatu varietas padi (Prajitno et al., 2006). Jumlah malai persatuan luas dapat dicapai bila varietas padi tersebut memiliki anakan yang banyak. Lain halnya dengan PTB yang memiliki sedikit anakan. Oleh karena itu, Peng et al. (1994) menyatakan bahwa untuk meningkatkan sink size (jumlah gabah/malai per satuan luas) pada PTB adalah dengan meningkatkan ukuran malai. Umur varietas padi di daerah tropis yang optimum agar dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari. Umur panen padi yang dalam tidak diikuti dengan hasil yang lebih tinggi. Begitu pula dengan umur panen padi yang terlalu genjah akan memberikan hasil yang rendah pula (Prajitno et al., 2006). Program perakitan padi tipe baru (PTB) diinisiasi oleh IRRI sejak tahun 1989. Materi genetik yang digunakan sebagai tetua persilangan adalah varietas introduksi, varietas lokal Indonesia dan padi liar. Balai Penelitian Tanaman Padi telah merintis pembentukkan PTB sejak 1995, namun baru diintensifkan pada tahun 2000. Kini telah dihasilkan sejumlah galur PTB dalam beberapa generasi (Las et al., 2003). Padi tipe baru dirancang agar fotosintat didistribusikan secara lebih efektif ke malai/gabah (Mashur, 2006). Padi tipe baru (PTB) memiliki beberapa sifat penting, antara lain (a) jumlah anakan sedikit (7 12 batang) dan semuanya produktif, (b) malai lebih panjang dan lebat (> 300 butir/malai), (c) batang besar dan kokoh, (d) daun tegak, tebal dan hijau tua, (e) perakaran panjang dan lebat. Potensi hasil PTB 10 25% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini. Bila IR64 dan varietas unggul lainnya dihasilkan melalui

6 persilangan antar padi jenis indica (padi cere), maka PTB dihasilkan melalui persilangan antar padi jenis indica dan japonica (Las et al., 2003). Sementara itu menurut Abdullah et al. (2008) pembentukan PTB di Indonesia diarahkan pada PTB yang mempunyai jumlah anakan sedang tetapi produktif semua (12 18 batang), jumlah gabah per malai 150 250 butir, persentase gabah bernas 85 95%, bobot 1.000 gabah bernas 25-26 g, batang kokoh dan pendek (80-90 cm), umur genjah (110 120 hari), daun tegak, sempit, berbentuk huruf V, berwarna hijau sampai hijau tua, 2-3 daun terakhir tidak cepat luruh, akar banyak dan menyebar dalam, tahan terhadap hama dan penyakit utama, gabah langsing, serta mutu beras baik. Sifat-sifat tersebut membuat potensi hasil PTB dapat mencapai 9-13 ton GKG/ha. Tabel 1. Fungsi Masing - Masing Karateristik dalam Fotosintesis, Metabolisme Karbon dan Pertumbuhan PTB. Karakteristik Daun tegak Daun tebal dan berwarna hijau tua Batang pendek dan kuat Akar dalam Jumlah gabah > 250 butir /malai Sumber: Makarim et al. (2004). Fungsi Intersepsi cahaya matahari tinggi Kemampuan fotosintesis tinggi Tahan rebah walaupun tanaman dipupuk berat dan malai berisi padat Dapat mengisap unsur hara dan air di lapisan tanah dalam (sub-soil) Ukuran sink untuk menampung fotosintat besar Balai Penelitian Tanaman Padi telah menghasilkan sejumlah galur PTB, satu diantaranya dilepas dipenghujung tahun 2003 sebagai varietas unggul tipe baru (VUTB) yang diberi nama Fatmawati (Hermanto, 2004). Varietas unggul tipe baru tersebut merupakan turunan dari persilangan antara galur BP68C-MR-4-3-2 dengan varietas unggul Maros. Varietas Fatmawati mempunyai ciri ciri sebagai berikut: berumur genjah, batang kokoh, anakan sedikit tapi produktif seluruhnya, malai panjang dan lebat, gabah agak tahan rontok, tekstur nasi pulen, serta agak tahan terhadap wereng coklat dan penyakit hawar daun bakteri (Abdullah et al., 2005). Penelitian dan pengkajian di beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa produksi VUTB Fatmawati pada lahan sawah yang

7 berdrainase baik, dengan pemberian pupuk kandang dan pupuk anorganik dalam jumlah yang cukup serta pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu mampu menghasilkan gabah 8 10.5 ton GKG/ha, sedangkan VUB sebagai pembanding hanya memberi hasil 6-7 ton GKG/ha. Pengujian VUTB di lokasi lainnya menunjukkan bahwa VUTB menghasilkan gabah yang sebanding dengan VUB, bahkan lebih rendah. Hal ini membuktikan bahwa VUTB memerlukan persyaratan tumbuh tertentu, tidak dapat ditanam di semua lokasi lahan irigasi (Hermanto, 2004). Legowo Cara tanam padi sistem legowo merupakan rekayasa teknologi yang ditujukan untuk memperbaiki produktivitas usaha tani padi. Teknologi ini merupakan perubahan dari teknologi jarak tanam tegel menjadi tanam jajar legowo (Pahruddin et al., 2004). Legowo diambil dari bahasa Jawa Banyumas yang berasal dari kata lego dan dowo, lego artinya luas dan dowo artinya memanjang. Jadi, diantara kelompok barisan tanaman padi terdapat lorong yang luas dan memanjang sepanjang barisan. Jarak antar kelompok barisan (lorong) bisa mencapai 50 cm, 60 cm atau 70 cm bergantung pada kesuburan tanah (Suriapermana et al. dalam Pahruddin et al., 2004). Legowo merupakan salah satu komponen teknologi dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Adapun keuntungan sistem jajar legowo (Deptan, 2007), yaitu: 1. Semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir). 2. Pengendalian hama, penyakit dan gulma lebih mudah. 3. Menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air. 4. Penggunaan pupuk lebih efisien. Dengan sistem legowo, tanaman padi tumbuh lebih baik dan hasilnya lebih tinggi karena luasnya border effect dan lorong di petakan sawah sehingga menghasilkan bulir gabah yang lebih tinggi. Walaupun biaya produksi pada sistem legowo lebih tinggi dari sistem tegel. Kenaikan biaya produksi disebabkan jumlah gabah yang dipanen pada cara tanam legowo lebih banyak sehingga bawon

8 (upah dalam bentuk gabah) yang dikeluarkan lebih besar yaitu 1/5 hasil panen. Namun demikian, keuntungan yang diperoleh lebih besar dibanding cara tanam tegel. Keuntungan lain yang diperoleh dari sistem legowo selain dapat meningkatkan hasil adalah lebih efisien dalam penggunaan tenaga kerja. Benih padi dan tenaga tanam yang digunakan pada cara tanam sistem legowo lebih banyak dibanding cara tegel, tetapi tenaga penyiangan lebih rendah (Pahruddin et al., 2004).

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2009 bertempat di Sindang Barang, Bogor dengan ketinggian ± 250 mdpl pada berjenis tanah latosol. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah 5 galur padi sawah tipe baru dan 1 varietas sebagai pembanding yaitu Ciherang. Padi tipe baru yang digunakan merupakan galur galur harapan yang dirakit oleh peneliti di IPB. Ciherang sendiri merupakan varietas padi yang banyak ditanam oleh petani dan berpotensi untuk menggeser dominansi IR64. Tabel 2. Genotipe yang Digunakan dalam Penelitian No Genotipe 1 IPB 97-F-13-1-1 2 IPB 97-F-20-2-1 3 IPB 97-F-44-2-1 4 IPB 102-F-46-2-1 5 IPB 102-F-92-1-1 6 Ciherang Metode Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial. Perlakuan yang digunakan terdiri dari genotipe sebagai faktor pertama dan sistem budi daya sebagai faktor kedua. Genotipe yang digunakan sebanyak 5 galur ditambah satu varietas pembanding, sedangkan sistem budi daya yang digunakan adalah sistem budi daya konvensional dan legowo 2:1. Seluruh kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Seluruh satuan percobaan ditanam pada petakan berukuran 4 m x 5 m dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm (sistem budi daya konvensional) dan 40 cm x 20 cm x 10 cm (sistem budi daya legowo 2:1).

10 Y ijk Model linier yang digunakan yaitu: Y ijk = µ + τ i + β j + γ k +(τβ) ij + ε ijk = respon pengamatan genotipe ke - i, sistem budi daya ke - j dan kelompok ke - k µ = rataan umum τ i β j γ k = pengaruh genotipe ke - i = pengaruh sistem budi daya ke j = pengaruh kelompok ke k (τβ) ij = pengaruh interaksi genotipe dengan sistem budi daya ε ijk = galat percobaan Pelaksanaan Pengolahan lahan dilakukan dengan cara dibajak sedalam 25 30 cm kemudian digaru dan diratakan. Selama pengolahan lahan dilakukan pula penyemaian. Sebelumnya benih yang akan disemai dipilah terlebih dahulu dengan cara memasukkan benih padi ke ember berisi larutan garam yang dapat mengapungkan telur ayam. Benih yang baik adalah yang tenggelam. Selanjutnya benih tersebut direndam dalam air selama satu hari. Setelah direndam, dianginkan selama semalam. Kemudian benih disemai di persemaian. Pemupukan pada persemaian dilakukan pada 11 hari setelah sebar (HSS) dengan dosis 200 g Urea/6 m 2. Setelah benih disemai selama 22 hari maka dilakukan transplanting. Tiap lubang tanam ditanam 2-3 bibit padi. Jarak tanam pada sistem budi daya konvensional adalah 20 cm x 20 cm. Bibit ditanam dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm pada sistem budi daya legowo 2:1. Dosis pupuk yang digunakan setara dengan 250 kg Urea/ha, 100 kg SP36/ha dan 100 kg KCl/ha. Pemupukan pertama pada 3 hari setelah tanam (HST) yang diberikan pada pertanaman yaitu 45.6 kg N/ha, 37.5 kg P 2 O 5 /ha dan 60 kg K 2 O/ha yang berupa 18 kg Urea/ha, 250 kg Phonska/ha dan 37.5 kg KCl/ha. Pemupukan kedua (pada 31 HST) yaitu 45 kg N/ha berupa 100 kg Urea/ha. Pemupukan ketiga (pada 53 HST) yaitu 22.5 kg N/ha berupa 50 kg Urea/ha.

11 Pengairan disesuaikan dengan fase pertumbuhan padi. Pengendalian hama dan penyakit dikendalikan secara manual, teknis budi daya dan kimia. Pengendalian manual dilakukan untuk mengendalikan keong mas, sedangkan hama dan penyakit yang lain dikendalikan secara kimiawi. Adapun bahan aktif pestisida yang digunakan yaitu Deltametrin, BPMC, Fipronil, Mankozeb, Difenokonazol dan Dimehipo. Gulma dikendalikan secara manual. Pertanaman dipanen saat 90-95% malai telah menguning. Pengamatan 1. Pengamatan produksi berdasarkan hasil panen ubinan: A. Produksi gabah kering giling, ditimbang dari gabah yang telah dijemur sampai kering giling, kemudian diukur kadar airnya untuk dikonversi ke ton/ha pada KA 14%. 2. Pengamatan karakter pada tanaman contoh: A. Karakter vegetatif: a) Tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai paling panjang. b) Jumlah anakan, dihitung dari jumlah seluruh anakan yang muncul pada rumpun. B. Karakter generatif: a) Umur berbunga yaitu pada saat 80% pertanaman berbunga. b) Umur panen (90-95% malai telah menguning atau umur panen dari tiap genotipe). c) Jumlah anakan produktif, dihitung dari anakan yang menghasilkan malai. d) Panjang malai, diukur dari buku terakhir pada malai sampai bulir paling ujung di malai. e) Jumlah gabah total/malai, gabah isi dan persentase gabah hampa. f) Bobot 1000 butir gabah isi.

12 Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis ragam dengan f tab 5%, bila berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji t Dunnett pada taraf α 5%. Analisis interaksi menggunakan uji kontras ortogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lahan yang digunakan sebagai tempat penelitian memiliki kesuburan yang rendah. Hasil analisis tanah menunjukkan kandungan N, P dan K lahan penelitian secara berturut turut termasuk rendah (0.16%), sangat rendah (2.97 ppm) dan rendah (0.27 me/100g). Hasil analisis tanah secara lengkap disajikan pada lampiran 2. Serangan keong mas pada awal pertumbuhan cukup tinggi sehingga dilakukan penyulaman. Setelah itu, pertanaman terserang penggerek batang padi putih dan penyakit tungro. Saat fase anakan maksimal, galur IPB 102-F-46-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 terserang penyakit bercak cercospora. Pertanaman memperlihatkan gejala beluk pada fase generatif. Selain itu, pertanaman pun mulai diserang walang sangit. Sekitar 3 minggu sebelum panen, galur IPB 102-F- 46-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 serta Ciherang terserang penyakit hawar daun bakteri. Analisis Ragam Berdasarkan uji F, karakter gabah kering giling tidak dipengaruhi baik oleh genotipe maupun sistem budi daya. Karakter tinggi tanaman, umur panen, panjang malai, jumlah gabah isi/malai dan bobot 1000 butir gabah isi berbeda nyata pada genotipe, sedangkan jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif berbeda nyata pada sistem budi daya. Jumlah gabah total/malai dipengaruhi oleh genotipe dan sistem budi daya. Karakter umur berbunga dan persentase gabah hampa dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dan sistem budi daya (Tabel 3).

Tabel 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Karakter Vegetatif dan Generatif Tanaman Padi. Karakter Hasil uji F Genotipe Budi Daya Interaksi GKG tn tn tn Tinggi tanaman ** tn tn Jumlah anakan total tn ** tn Jumlah anakan produktif tn ** tn Umur berbunga 1 ** tn * Umur panen ** tn tn Panjang malai ** tn tn Jumlah gabah total/malai ** * tn Jumlah gabah isi/malai * tn tn Persentase gabah hampa/malai ** tn ** Bobot 1000 butir gabah ** tn tn Ket: 1 = data tidak menyebar normal; * = berbeda nyata; ** = sangat berbeda nyata; tn = tidak berbeda nyata Produksi Gabah Kering Giling Produksi gabah kering giling (GKG) tidak dipengaruhi oleh genotipe dan sistem budi daya. Artinya seluruh galur harapan PTB IPB memiliki tingkat produksi yang sama dengan Ciherang. Berturut turut rataan tingkat produksi galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-1, IPB 97-F-44-2-1, IPB 102-F-46-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 adalah 4.54 ton GKG/ha, 4.06 ton GKG/ha, 4.57 ton GKG/ha, 4.34 ton GKG/ha dan 3.96 ton GKG/ha, sedangkan Ciherang 5.12 ton GKG/ha. Produksi GKG tersebut masih dibawah potensi hasil yang diharapkan. Pengujian daya hasil galur galur tersebut di beberapa tempat memperlihatkan bahwa potensi hasilnya berkisar antara 6 10 ton GKG/ha. Galur IPB 97-F-13-1- 1 memiliki produksi GKG sebesar 7.39 ton/ha di Imogiri. Produksi GKG galur IPB 97-F-20-2-1 di Purworejo mencapai 10.28 ton /ha. Galur IPB 97-F-44-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 memiliki produksi secara berturut - turut adalah 6.70 ton GKG/ha dan 6.38 ton GKG/ha di Nanggroe Aceh Darussalam (Aswidinnoor et al., tidak dipublikasikan). Galur IPB 102-F-46-2-1 memiliki produksi 8.77 ton GKG/ha di Pinrang dan 8.11 ton GKG/ha di Luwu Timur (Putra, 2008). Ciherang memiliki potensi hasil sebesar 8.50 ton GKG/ha (BB Padi, 2009). 14

Tabel 4. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Gabah Kering Giling. Genotipe K L rataan -------------ton/ha------------- IPB 97-F-13-1-1 4.65 4.42 4.54 IPB 97-F-20-2-1 3.82 4.30 4.06 IPB 97-F-44-2-1 4.87 4.27 4.57 IPB 102-F-46-2-1 4.17 4.51 4.34 IPB 102-F-92-1-1 4.37 3.56 3.96 Ciherang 5.79 4.45 5.12 rataan 4.61 4.25 KK (%) 16.57 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1; KK = koefisien keragaman Rendahnya tingkat produksi seluruh galur pada penelitian ini disebabkan oleh adanya serangan hama seperti hama penggerek batang padi putih yang cukup tinggi. Serangan hama seperti penggerek batang dan ganjur menyebabkan anakan mati atau tidak berbuah sehingga menyebabkan kehilangan hasil yang sangat signifikan (Abdullah et al., 2008). Hama yang menyerang selain penggerek batang padi putih adalah walang sangit. Serangan hama tersebut menyebabkan tingginya persentase gabah hampa galur galur yang diuji sehingga jumlah gabah total/malai yang banyak pada galur galur yang diuji tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil. Produksi GKG pada sistem budi daya legowo 2:1 sama dengan produksi GKG pada sistem budi daya konvensional. Sistem budi daya legowo 2:1 memiliki berbagai keunggulan seperti semua barisan tanaman berada pada bagian pinggir sehingga hasilnya akan lebih tinggi (Deptan, 2007). Pahruddin et al. (2004) mengungkapkan bahwa cara tanam dengan sistem budi daya legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil gabah kering panen. Penelitian Aribawa dan Kariada (2006) pun menunjukkan bahwa sistem budi daya legowo 2:1 dapat meningkatkan hasil padi. Populasi tanaman padi per hektar pada sistem budi daya legowo 2:1 dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm adalah 330 000. Populasi tersebut diduga terlalu tinggi, terutama bagi galur harapan PTB IPB. Karakter yang 15

16 dimiliki galur harapan PTB IPB seperti batang yang besar dan daun yang panjang menyebabkan indeks luas daun PTB telah melewati batas optimumnya. Hal itu membuat kelembaban menjadi tinggi dan terdapat daun yang negatif. Fotosintat tidak sepenuhnya digunakan untuk mengisi gabah, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan daun yang tidak berfotosintesis sehingga produksi padi pada sistem budi daya tersebut tidak maksimal. Karakter Vegetatif Galur IPB 97-F-13-1-1 berbeda nyata dengan Ciherang pada karakter tinggi tanaman. Secara keseluruhan tinggi tanaman galur galur yang diuji termasuk pendek (Tabel 5). Padi sawah yang memiliki tinggi kurang dari 110 cm termasuk pendek (Deptan, 2003). Sesuai dengan deskripsi padi tipe baru yang disebutkan Abdullah et al. (2004) seluruh galur yang diuji sesuai dengan karakter tinggi padi tipe baru yakni memiliki tinggi antara 98 110 cm. Menurut Siregar (1981) tanaman yang pendek akan lebih banyak menyerap sinar matahari jika dibandingkan dengan penyerapan sinar matahari oleh tanaman yang tinggi. Sistem budi daya tidak berpengaruh dalam penelitian ini. Aribawa dan Kariada (2006) menyatakan bahwa tanaman padi pada sistem budi daya legowo 2:1 akan lebih tinggi dibandingkan pada sistem tegel karena populasi yang tinggi pada sistem budi daya legowo 2:1 membuat tanaman padi berkompetisi untuk mendapatkan cahaya matahari. Jumlah anakan total lebih tinggi pada sistem budi daya konvensional dibandingkan pada sistem budi daya legowo 2:1 (Tabel 5). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Aribawa dan Kariada (2006) tentang pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan beberapa varietas padi seperti Ciherang, menunjukkan bahwa jumlah anakan pada sistem budi daya legowo 2:1 tidak berbeda nyata dengan sistem budi daya konvensional.

Tabel 5. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Tinggi (T) dan Jumlah Anakan Total (JAT). Genotipe T JAT K L rataan K L rataan ------cm------- ------batang------ IPB 97-F-13-1-1 107 110 108 c 9 8 9 IPB 97-F-20-2-1 102 102 102 9 8 9 IPB 97-F-44-2-1 101 98 100 9 8 8 IPB 102-F-46-2-1 103 101 102 11 7 9 IPB 102-F-92-1-1 110 105 107 11 9 10 Ciherang 103 104 104 12 9 11 rataan 104 103 10 8 k KK (%) 2.72 15.60 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1; KK = koefisien keragaman C = berbeda nyata dengan Ciherang pada uji t Dunnett α 5%. K = berbeda nyata dengan sistem budi daya konvensional pada uji t Dunnett α 5%. Terdapat jarak tanam yang lebar dan sempit pada sistem budi daya legowo 2:1 sehingga diharapkan jumlah mata tunas padi yang tumbuh menjadi anakan tetap optimal. Ternyata jumlah mata tunas yang tumbuh menjadi anakan tidak optimal, meskipun terdapat jarak tanam yang lebar pada sistem budi daya tersebut. Pertumbuhan mata tunas lebih dipengaruhi oleh jarak tanam yang sempit sehingga jumlah anakan pada sistem budi daya legowo 2:1 lebih rendah dibandingkan pada sistem budi daya konvensional. Penelitian Masdar (2007) dan Mobasser et al. (2007) menunjukkan bahwa jarak tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan total. Jarak tanam yang lebar yakni 30 cm x 30 cm memberikan jumlah anakan total yang lebih banyak dibandingkan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Paul et al. dalam Mobasser et al. (2007) menyatakan bahwa populasi tanaman yang tinggi akan menurunkan jumlah anakan total per lubang tanam. Karakter vegetatif yang lain, seperti panjang dan lebar daun bendera terdapat perbedaan diantara genotipe. Galur galur yang diuji memiliki daun bendera yang panjang dan lebar, sedangkan Ciherang memiliki daun bendera yang lebih pendek dan sempit. Daun bendera yang panjang dan lebar diharapkan dapat menghasilkan fotosintat yang banyak sehingga produksi akan meningkat. 17

18 Disamping itu, daun bendera yang panjang pun tidak disukai oleh burung sehingga diharapkan kehilangan hasil akibat serangan burung dapat berkurang. Galur IPB 102-F-92-1-1 memiliki perbedaan dengan galur yang lain pada karakter tersebut. Galur tersebut memiliki daun yang menyerupai huruf v. Daun pada galur ini pun lebih hijau dibandingkan genotipe yang lain. Daun yang berwarna hijau tua menandakan daun tersebut banyak mengandung klorofil sehingga akan memiliki kemampuan berfotosintesis yang tinggi. Karakter Generatif Jumlah anakan produktif/rumpun pada sistem budi daya legowo 2:1 lebih rendah dibandingkan pada sistem budi daya konvensional. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Defeng et al. (2002) dan Mobasser et al. (2007) yang menemukan bahwa jumlah anakan produktif/rumpun lebih rendah pada jarak tanam yang sempit dibandingkan pada jarak tanam yang lebar. Sebelumnya Peng et al. (1994) menyatakan bahwa peningkatan populasi tanaman akan meningkatkan pula persentase anakan yang tidak produktif. Berdasarkan uji F, jumlah anakan produktif seluruh genotipe dianggap sama. Ciherang yang memiliki kemampuan beranak cukup tinggi, pada penelitian ini tidak menunjukkan kemampuannya tersebut. Ciherang mampu menghasilkan 14 17 batang anakan produktif (BB Padi, 2009). Hal ini diduga karena pada fase vegetatif dan generatif, baik Ciherang maupun seluruh galur terserang penggerek batang padi putih yang menyebabkan jumlah anakan berkurang. Umur berbunga dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dan sistem budi daya. Pengaruh interaksi ini cukup kecil sehingga diabaikan. Genotipe lebih berpengaruh pada karakter umur berbunga. Dua galur harapan PTB IPB yaitu galur IPB 97-F-20-2-1 dan IPB 97-F-44-2-1 berbunga lebih cepat dibandingkan Ciherang. Galur IPB 102-F-92-1-1 berbunga lebih lambat dibandingkan Ciherang, sedangkan galur yang lain memiliki umur berbunga yang sama dengan Ciherang (Tabel 6). Galur galur yang diuji memiliki umur panen yang sama dengan Ciherang yaitu 112 hari setelah sebar (HSS) kecuali galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-

19 1 dan IPB 102-F-92-1-1. Galur IPB 97-F-13-1-1 dan IPB 97-F-20-2-1 memiliki umur panen yang lebih cepat dibandingkan Ciherang. Galur IPB 102-F-92-1-1 dipanen pada umur 117 HSS. Peng et al. (1994) menyatakan umur padi tipe baru berkisar antara 110 120 hari. Seluruh galur yang diuji memiliki malai yang nyata lebih panjang dibandingkan Ciherang. Panjang malai seluruh galur berkisar antara 26 28 cm sedangkan panjang malai Ciherang hanya 24 cm. Secara visual malai pada seluruh galur pun tidak hanya lebih panjang, tetapi juga lebih lebat dibandingkan malai Ciherang. Tabel 6. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Jumlah Anakan Produktif (JAP), Umur Berbunga (UB) dan Umur Panen (UP). Genotipe JAP UB UP K L rataan K L rataan K L rataan -------batang------ -----------------HSS---------------- IPB 97-F-13-1-1 9 7 8 80 79 80 111 111 111 IPB 97-F-20-2-1 9 8 8 79 79 79 c 111 111 111 IPB 97-F-44-2-1 9 7 8 80 79 79 c 112 112 112 IPB 102-F-46-2-1 11 7 9 81 81 81 112 112 112 IPB 102-F-92-1-1 10 8 9 89 90 90 c 117 117 117 Ciherang 11 9 10 81 80 81 112 112 112 Rataan 10 8 k 82 81 112 112 KK (%) 15.95 0.90 0.34 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1; HSS = Hari setelah sebar; KK = koefisien keragaman C = berbeda nyata dengan Ciherang pada uji t Dunnett α 5%. K = berbeda nyata dengan sistem budi daya konvensional pada uji t Dunnett α 5%. Jumlah gabah total/malai seluruh galur lebih banyak dibandingkan dengan Ciherang. Jumlah gabah total/malai yang tinggi pada seluruh galur disebabkan karena galur galur yang diuji memiliki malai yang lebih panjang dibandingkan Ciherang. Galur IPB 102-F-92-1-1 memiliki jumlah gabah total/malai sebesar 190 gabah. Jumlah gabah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan galur galur yang lain. Jumlah gabah total/malai pun lebih banyak pada sistem budi daya konvensional dibandingkan pada sistem budi daya legowo 2:1. Hal ini sesuai

20 dengan penelitian Makarim dan Ikhwani (2008) bahwa semakin rapat populasi maka jumlah gabah total per rumpun menurun. Penurunan jumlah gabah pada sistem budi daya legowo 2:1 lebih disebabkan karena kelebatan malai berkurang, sedangkan panjang malai tidak berkurang. Hal ini dibuktikan dengan tidak berpengaruhnya sistem budi daya pada karakter panjang malai. Tabel 7. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Panjang Malai (PM) dan Jumlah Gabah Total (JGT). Genotipe PM JGT K L rataan K L rataan -----------cm---------- IPB 97-F-13-1-1 28.0 28.0 28.0 c 180 158 169 c IPB 97-F-20-2-1 27.5 26.7 27.1 c 160 150 155 c IPB 97-F-44-2-1 26.0 26.0 26.0 c 169 154 161 c IPB 102-F-46-2-1 26.0 27.0 26.5 c 186 154 170 c IPB 102-F-92-1-1 27.0 27.0 27.0 c 186 195 190 c Ciherang 23.0 25.0 24.0 127 129 128 rataan 26.3 26.6 168 156 k KK (%) 3.75 9.20 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1; KK = koefisien keragaman C = berbeda nyata dengan Ciherang pada uji t Dunnett α 5%. K = berbeda nyata dengan sistem budi daya konvensional pada uji t Dunnett α 5%. Seluruh galur memiliki jumlah gabah total/malai yang lebih tinggi dibandingkan Ciherang namun untuk karakter jumlah gabah isi/malai, hanya galur IPB 97-F-44-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1 yang lebih banyak dibandingkan Ciherang. Malai yang panjang umumnya mempunyai jumlah bulir lebih banyak, tetapi belum tentu memberikan hasil lebih tinggi, karena hal ini dipengaruhi oleh persentase kehampaan (Silitonga et al., 1993). Interaksi antara genotipe dan sistem budi daya nyata mempengaruhi karakter persentase gabah hampa/malai. Hal itu mengisyaratkan bahwa terdapat perbedaan respon dari setiap genotipe terhadap perbedaan sistem budi daya. Hasil analisis interaksi (Lampiran 3) menunjukkan bahwa galur IPB 102-F-92-1-1 persentase gabah hampanya mengalami peningkatan pada sistem budi daya legowo 2:1. Persentase gabah hampa genotipe yang lain mengalami penurunan

21 pada sistem budi daya legowo 2:1. Galur IPB 97-F-20-2-1 gabah hampanya mencapai 45.7% pada sistem budi daya konvensional, persentase tersebut menurun menjadi 34.7% pada sistem budi daya legowo 2:1. Konvensional Legowo 2:1 Gambar 1. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Persentase Gabah Hampa. Makarim dan Ikhwani (2008) menyatakan bahwa persentase gabah hampa per rumpun varietas Fatmawati dan IR 64 pada jarak tanam yang sempit lebih rendah dibandingkan pada jarak tanam yang lebar. Sebelumnya Verma et al. (2001) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh jarak tanam terhadap komponen hasil padi hibrida. Hasil penelitiannya menunjukkan persentase gabah hampa lebih tinggi pada jarak tanam yang sempit (20 cm x 10 cm) dibandingkan pada jarak tanam yang lebar (20 cm x 20 cm). Perbedaan hasil dari kedua penelitian tersebut memperlihatkan adanya perbedaan respon setiap varietas padi bila ditanam pada jarak tanam yang berbeda beda. Kehampaan gabah dapat disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik. Tingginya tingkat kehampaan gabah pada penelitian ini lebih disebabkan oleh faktor non genetik, yaitu terjadinya serangan hama walang sangit pada seluruh pertanaman. Walang sangit mengisap cairan gabah pada keadaan matang susu akibatnya gabah menjadi hampa atau perkembangannya kurang baik (Pracaya, 2006). Begitu pula dengan serangan penyakit hawar daun bakteri pada Ciherang, galur IPB 102-F-46-2-1 dan IPB 102-F-92-1-1.

Tabel 8. Pengaruh Genotipe dan Sistem Budi Daya terhadap Jumlah Gabah Isi (JGI) dan Bobot 1000 Butir Gabah Isi (BSB). Genotipe JGI BSB K L rataan K L rataan ---------g---------- IPB 97-F-13-1-1 110 104 107 28.8 28.4 28.6 c IPB 97-F-20-2-1 87 98 92 28.1 28.3 28.3 c IPB 97-F-44-2-1 116 106 111 c 27.4 27.4 27.4 c IPB 102-F-46-2-1 112 94 103 25.4 25.9 25.7 c IPB 102-F-92-1-1 114 105 110 c 26.8 26.1 26.5 Ciherang 88 92 90 26.7 26.5 26.6 rataan 104 100 27.2 27.1 KK (%) 11.63 1.92 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1; KK = koefisien keragaman C = berbeda nyata dengan Ciherang pada uji t Dunnett α 5%. K = berbeda nyata dengan sistem budi daya konvensional pada uji t Dunnett α 5%. Menurut Prajitno et al. (2006) butir gabah yang besar mempunyai berat gabah yang lebih tinggi dibanding butir gabah kecil, namun gabah besar cenderung mempunyai butir kapur. Oleh karena itu, butir gabah yang sedang (23 26 g/1000 butir) lebih disukai. Abdullah et al. (2008) menyarankan sebaiknya padi tipe baru memiliki bobot 1000 butir gabah bernas sekitar 25 26 g. Bobot 1000 butir gabah isi genotipe yang diuji berkisar antara 25.7 28.6 g. Bobot 1000 butir gabah isi Ciherang sebesar 26.6 g yang sama dengan bobot 1000 butir gabah isi galur IPB 102-F-92-1-1. Galur yang lain seperti galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-1 dan IPB 97-F-44-2-1 memiliki bobot 1000 butir gabah isi yang lebih berat dibandingkan Ciherang. Bobot 1000 butir gabah isi galur IPB 102-F-46-2-1 nyata lebih rendah dibandingkan Ciherang. Asumsi pada Tabel 9 adalah populasi tanaman/ha pada sistem budi daya konvensional (dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm) sebanyak 250 000 dan pada legowo 2:1 (dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm x 10 cm) adalah 330 000. Data jumlah anakan produktif/rumpun dan gabah isi/malai diambil dari Tabel 6 dan 8. Jumlah anakan produktif/ha tidak dipengaruhi oleh genotipe dan sistem budi daya. Jumlah anakan produktif/ha galur IPB 97-F-13-1-1, IPB 97-F-20-2-1, IPB 97-F-44-2-1, IPB 102-F-92-1-1 dan varietas Ciherang cenderung lebih tinggi 22

23 pada sistem budi daya legowo 2:1 dibandingkan pada sistem budi daya konvensional. Hasil penelitian Mobasser et al. (2007) menemukan bahwa jumlah anakan produktif/m 2 lebih tinggi pada jarak tanam yang sempit (15 cm x 15 cm) dibandingkan pada jarak tanam yang lebar (30 cm x 30 cm). Begitu pula dengan hasil penelitian Makarim dan Ikhwani (2008) yang menunjukkan bahwa semakin rapat populasi maka jumlah anakan produktif/m 2 pun meningkat. Tabel 9. Jumlah Anakan Produktif/ha dan Jumlah Gabah Isi/ha pada Sistem Budi Daya Konvensional dan Legowo 2:1. Genotipe Jumlah Anakan Jumlah Gabah Isi/ha Produktif/ha K L rataan K L rataan (x 1000 000) IPB 97-F-13-1-1 2.17 2.33 2.25 237.56 240.83 239.20 IPB 97-F-20-2-1 2.15 2.51 2.33 185.25 246.69 215.97 IPB 97-F-44-2-1 2.23 2.29 2.26 261.9 246.08 253.99 IPB 102-F-46-2-1 2.75 2.22 2.49 307.75 207.86 257.81 IPB 102-F-92-1-1 2.47 2.79 2.63 289.22 292.30 290.76 Ciherang 2.63 2.88 2.76 230.97 265.47 248.22 rataan KK (%) 2.40 2.50 252.11 249.87 15.90 22.89 Ket: K = sistem budi daya konvensional; L = sistem budi daya legowo 2:1 Secara statistik jumlah gabah isi/ha tidak dipengaruhi oleh genotipe dan sistem budi daya. Jumlah gabah isi/ha tiap genotipe berbeda beda bergantung pada sistem budi dayanya (Tabel 9). Galur IPB 97-F-20-2-1 memiliki jumlah gabah isi/ha yang cenderung lebih banyak pada sistem budi daya legowo 2:1 dibandingkan pada sistem budi daya konvensional. Begitu pula dengan galur IPB 97-F-13-1-1 dan IPB 102-F-92-1-1 serta Ciherang yang mengalami peningkatan jumlah gabah isi/ha pada sistem budi daya legowo 2:1. Peningkatan jumlah gabah isi/ha pada galur IPB 97-F-20-2-1 dikarenakan jumlah anakan produktif/ha dan jumlah gabah isi/malai lebih tinggi pada sistem budi daya legowo 2:1. Jumlah gabah isi/ha galur IPB 102-F-46-2-1 mengalami penurunan yang signifikan pada

24 sistem budi daya legowo 2:1. Hal itu dikarenakan jumlah anakan produktif/rumpun dan jumlah gabah isi/malai galur IPB 102-F-46-2-1 jauh lebih rendah pada sistem budi daya legowo 2:1 dibandingkan pada sistem budi daya konvensional (Tabel 6 dan 8). Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah gabah isi/ha beberapa galur harapan PTB IPB pada kedua sistem budi daya yang diuji lebih banyak dibandingkan jumlah gabah isi/ha Ciherang, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Terdapat indikasi bahwa potensi hasil dari galur galur harapan PTB IPB lebih tinggi dibandingkan potensi hasil Ciherang, meskipun secara aktual produksi GKG galur harapan PTB IPB lebih rendah dibandingkan Ciherang. Tidak tercapainya potensi tersebut dikarenakan galur harapan PTB IPB memiliki tingkat ketahanan yang rendah terhadap hama dan penyakit yang menyerang saat penelitian berlangsung. Galur IPB 102-F-46-2-1 memiliki jumlah gabah isi/ha pada sistem budi daya konvensional yang lebih banyak dibandingkan Ciherang, namun galur ini yang paling awal terserang penyakit hawar daun bakteri dan juga penyakit bercak cercospora. Hasil padi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu jumlah anakan produktif/m 2, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir gabah (Prajitno et al., 2006). Jumlah anakan produktif/m 2 pada sistem budi daya legowo 2:1 mengalami peningkatan untuk beberapa genotipe. Jumlah gabah total lebih rendah pada sistem ini, namun persentase gabah isi lebih tinggi pada sistem tersebut sehingga jumlah gabah isi/ha cenderung lebih banyak pada sistem tersebut. Berbeda dengan penelitian Peng et al. (1994) bahwa jumlah malai/m 2 meningkat secara signifikan pada populasi tanaman mulai dari 25 100 lubang tanam/m 2 baik pada musim hujan maupun musim kemarau, tapi jumlah gabah/malainya menurun secara proporsional sehingga jumlah total gabah/m 2 tetap. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem budi daya legowo 2:1 memiliki perbedaan dengan sistem budi daya konvensional yang biasanya menggunakan jarak tanam persegi. Sistem budi daya legowo 2:1 memang meningkatkan populasi tanaman per satuan luas, tapi pada sistem ini terdapat efek lain yaitu adanya efek tanaman pinggir. Akibatnya meskipun populasi tanaman meningkat,