BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG International Financial Reporting Standards selanjutnya disingkat dengan IFRS dirancang untuk menjadi standar akuntansi tunggal yang berlaku secara global. Penerapan awal dimulai di Eropa, Australia, dan beberapa negara di Asia. Di kawasan ASEAN penerapan IFRS tidak dilakukan secara serentak. Negara yang pertama kali menerapkan IFRS di kawasan ASEAN adalah Singapura dan Filipina pada tahun 2005. Perbedaan periode penerapan IFRS salah satunya dikarenakan perbedaan kemampuan perusahaan publik di masing-masing negara untuk menerapkannya secara wajib di masing-masing negara. Isu yang diangkat pada penelitian ini adalah dampak penerapan IFRS yang menggunakan nilai wajar dalam penilaian aset dan liabilitas sebagai variabel pemoderasi hubungan antara corporate governance dan kualitas auditor dengan manajemen laba. Tujuan penelitian ini adalah memberikan bukti empiris dampak penerapan IFRS sebagai pemoderasi hubungan antara corporate governance dan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Adanya krisis keuangan tahun 2007 dan 2008 memberikan gambaran yang jelas tentang banyaknya perusahaan yang melaporkan adanya penurunan nilai pasar aset perusahaan. Penilaian aset perusahaan berdasarkan nilai pasar dapat terkena dampak langsung dari likuiditas harga pasar yang lambat. Hal ini menyebabkan adanya rasa skeptis investor untuk melakukan investasi yang disebut dengan risiko likuiditas. Scott (2012), Kothari dan Lester (2012) dan Khan (2010) menyatakan bahwa risiko likuiditas mengakibatkan nilai pasar lebih rendah daripada nilai buku. Menurut Scott (2012) 1
dampak dari penggunaan nilai wajar pada saat rendahnya likuiditas harga pasar merupakan isu utama gagalnya penggunaan nilai wajar. Menurut Barth et al. (2008) terdapat penurunan manajemen laba pada perusahaan yang secara sukarela mengadopsi IFRS antara tahun 1994 sampai dengan 2003. Penelitian Daske dan Gebhardt (2006) menyatakan adanya peningkatan pengungkapan setelah penerapan IFRS di negara-negara pengadopsi IFRS. Hasil penelitian Barth et al. (2008) menemukan perusahaan yang mengadopsi IFRS mengalami perbaikan kualitas pelaporan berupa penurunan manajemen laba, adanya pengakuan kerugian tepat waktu dan meningkatnya relevansi nilai. Daske et al. (2008) menunjukkan bahwa adopsi IFRS terbukti meningkatkan likuiditas pasar, mengurangi kos modal perusahaan dan meningkatkan nilai ekuitas. Bertolak belakang dengan hasil penelitian Barth et al. (2008), penelitian lain yang dilakukan oleh Christensen et al. (2008) hasilnya menunjukkan bahwa perusahaan di Jerman setelah mengadopsi IFRS mengalami penurunan tingkat manajemen laba. Penurunan tingkat manajemen laba tersebut terbatas hanya pada perusahaan pengadopsi awal yang memiliki insentif untuk meningkatkan transparansi angka laba yang dilaporkan. Terkait pada perusahaan pengadopsi awal, Christensen et al. (2008) menemukan bukti adanya peningkatan dalam manajemen laba untuk perusahaan yang tidak menerapkan IFRS sampai IFRS menjadi wajib di Jerman. Penelitian Goncharov dan Zimmermann (2006) menyatakan bahwa level manajemen laba berbeda antar beberapa standar pada saat penerapan US GAAP dibandingkan pada saat penerapan IFRS. Doukakis (2014) meneliti dampak penerapan IFRS pada 22 perusahaan di Eropa dalam rentang waktu 2000-2010. Hasil penelitiannya menunjukkan tidak terdapat perbedaan manajemen laba akrual dan riil antara perusahaan yang secara sukarela dengan perusahaan yang wajib menerapkan IFRS. 2
Hasil penelitian Van Tendeloo dan Vanstraelen (2005) menyimpulkan bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS tidak menunjukkan perbedaan dalam perilaku manajemen laba dengan perusahaan yang masih menerapkan standar akuntansi Jerman. Temuan Van Tendeloo dan Vanstraelen (2005) menyatakan bahwa perusahaan yang mengadopsi secara sukarela IFRS di Jerman tidak dapat diasosiasikan dengan rendahnya manajemen laba. Jeanjean dan Stolowy (200 8) menemukan adanya peningkatan manajemen laba setelah adanya penerapan IFRS di Perancis tetapi untuk Australia dan Inggris tidak terjadi peningkatan manajemen laba. Ahmed et al. (2012) menemukan bukti yang signifikan adanya peningkatan manajemen laba mengikuti adopsi IFRS relatif terhadap sampel kontrol dari perusahaan yang tidak mengadopsi IFRS (sebagian besar berasal dari perusahaan USA). Penelitian Ahmed et al. (2012) dan Christensen et al. (2008) memiliki perbedaan atribut untuk perusahaan yang mengadopsi IFRS lebih awal dibandingkan dengan perusahaan sampel pada penelitian Barth et al. (2008). Manajemen laba merupakan tindakan yang disengaja, mencakup segala macam manipulasi yang dapat mempengaruhi laporan keuangan baik melalui jumlah laba atau item akuntansi lainnya (Scott, 2012). Selain kualitas diskresioner akrual, manajemen laba juga diukur dengan menggunakan aktivitas riil perusahaan. Penelitian Roychowdhury (2006) menguji manajemen laba melalui rekayasa aktivitas riil berawal dari praktik operasional yang normal, yang kemudian dimotivasi manajer untuk memenuhi target tertentu. Terdapat berbagai motif perusahaan melakukan manajemen laba riil. Penelitian oleh Graham et al. (2005) menunjukkan adanya kesediaan manajer untuk mengubah pengeluaran diskresioner serta keputusan-keputusan riil lainnya untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan. Gunny (2010) menyatakan adanya hubungan antara manajemen laba riil dengan kinerja perusahaan periode setelahnya. Hasil penelitian Zang (2012) dan Cohen et al. 3
(2008) menunjukkan adanya tarik ulur antara manipulasi aktivitas riil dengan manajemen laba akrual. Badertscher (2011) menyatakan adanya penggunaan alternatif manajemen laba menggunakan metode akrual aktivitas riil dan pelanggaran non GAAP yang dimotivasi oleh adanya penilaian lebih ekuitas perusahaan. Cohen et al. (2008) menunjukkan bahwa setelah periode Sarbanes Oxley Act (SOX) manajer yang melakukan manajemen laba telah beralih dari manajemen laba akrual menjadi manajemen laba berbasis aktivitas riil untuk menghindari deteksi yang dilakukan auditor dan regulator. Hasil penelitian Badertscher (2011) menyatakan bahwa perusahaan akan melakukan manajemen laba pada awal terjadinya penilaian lebih ekuitas perusahaan, yang kemudian diikuti oleh adanya kebijakan manajemen laba dari aktivitas riil. Apabila perusahaan tersebut masih mengalami penilaian lebih ekuitas, maka perusahaan akan melakukan kebijakan manajemen laba yang non-gaap. 1.2. PERMASALAHAN PENELITIAN Beberapa penelitian yang menguji hubungan antara corporate governance dan manajemen laba menunjukkan adanya hubungan negatif antara ukuran dewan komisaris dengan manajemen laba. Hasil penelitian Klein (2002) dan Zéghal et al. (2011) menunjukkan adanya hubungan negatif antara ukuran komisaris independen dengan tingkat manajemen laba. Larcker et al. (2007) meneliti hubungan antara discretionary accruals dengan ukuran dewan komisaris. Hasilnya terdapat hubungan negatif antara nilai absolut akrual dengan ukuran dewan komisaris. Sivaramakrishnan dan Shaokun (2008) meneliti pengaruh struktur corporate governance terhadap kualitas akrual. Hasilnya menunjukkan apabila mekanisme corporate governance berjalan baik, maka kualitas laba tinggi dan perusahaan dengan mekanisme corporate governance memadai cenderung memiliki kualitas akrual yang tinggi. 4
Siregar dan Utama (2008) meneliti tentang dampak struktur kepemilikan, ukuran perusahaan dan praktik corporate governance terhadap tipe manajemen laba efisien yaitu tipe manajemen laba yang menguntungkan perusahaan atau tipe manajemen laba oportunistik yang menguntungkan pihak manajemen. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat bukti jika perusahaan dengan komisaris independen, komite audit serta diaudit KAP Big 4 terlibat dalam manajemen laba. Komite audit dalam menjalankan tanggung jawabnya berperan untuk menyajikan laporan pengawasan yang berkaitan dengan kredibilitas pelaporan keuangan, audit dan corporate governance secara keseluruhan bagi dewan komisaris. Keberadaan komite audit dalam perusahaan dapat memberikan pengawasan yang lebih terhadap kinerja manajemen dan memberikan informasi yang akurat dan tepat terhadap laporan keuangan perusahaan. Bradbury et al. (2004) menjelaskan tugas komite audit adalah untuk membantu dewan komisaris memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan. Scott (2012) menyatakan bahwa perspektif pengukuran atas pelaporan keuangan merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada tanggungjawab perusahaan untuk menyertakan nilai wajar ke dalam laporan keuangan. Ada tiga level dalam penentuan harga wajar menurut IFRS 13, yang pertama adalah input berupa harga yang dikutip dari pasar aktif untuk aset dan liabilitas yang identik. Harga-harga ini harus digunakan sebagai input penentuan nilai wajar tanpa dilakukan penyesuaian, sepanjang data tersedia. Apabila tidak termasuk dalam level pertama, maka pada level kedua input dapat diobservasi, secara langsung atau tidak langsung atas aset dan liabilitas. Level ketiga apabila input tidak dapat diobservasi, termasuk data internal perusahaan yang disesuaikan seperlunya untuk merefleksikan asumsi-asumsi atas partisipan di pasar. 5
Penentuan nilai wajar pada level ketiga ini masih bersifat estimasi yang subyektif menurut auditi ataupun menurut auditor itu sendiri. Persepsi yang subyektif dalam pengukuran nilai wajar di level tiga memungkinkan adanya kesalahan estimasi penilaian aset dan liabilitas oleh pihak manajemen perusahaan. Informasi yang dihasilkan perusahaan dapat meningkatkan pengetahuan investor untuk memprediksi kinerja perusahaan di masa depan. Dampak dari perspektif pengukuran yang menggunakan nilai wajar adalah menurunnya reliabilitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan karena adanya asumsi subjektif pada pengukuran nilai wajar, walaupun informasi tersebut relevan. Kualitas informasi yang relevan sangat penting karena dapat membantu investor memprediksi kinerja perusahaan di masa depan. Fungsi mekanisme corporate governance khususnya dewan komisaris dan komite audit dalam perusahaan adalah memberikan pengawasan yang lebih terhadap kinerja manajemen dan memberikan informasi yang akurat dan tepat terhadap laporan keuangan perusahaan. Setelah berlakunya penggunaan nilai wajar dalam penilaian aset dalam penerapan IFRS sejak tahun 2005, diharapkan bahwa penerapan IFRS memperkuat peran corporate governance dalam mempengaruhi integritas laporan keuangan. Berdasarkan hal ini, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: Apakah penerapan IFRS memperkuat hubungan negatif corporate governance dengan manajemen laba? 6
Hu et al. (2012) melakukan penelitian tentang tingginya audit fee di perusahaan yang menerapkan nilai wajar di Australia. Audit fee yang tinggi ini dikarenakan adanya pilihan akuntansi untuk merevaluasi aset jangka panjang. Peningkatan kos yang dikeluarkan perusahaan ini berdampak positif terhadap kualitas pengungkapan informasi setelah mengadopsi IFRS. Peningkatan kualitas pengungkapan informasi menyebabkan informasi akan lebih tersedia bagi komisaris independen dan komite audit. Hal ini membuat kualitas auditor menjadi dilema. Di satu pihak auditor bekerja keras untuk bisa mengaudit aset yang menggunakan metode nilai wajar sesuai dengan tuntutan IFRS. Peningkatan fee audit itu bagi auditor berarti meningkatnya juga kos litigasi. Di pihak lain adanya peningkatan audit fee yang mengakibatkan meningkatnya kos agensi bagi perusahaan auditi. Setelah berlakunya penggunaan nilai wajar untuk penilaian aset sejak penerapan IFRS tahun 2005, diharapkan bahwa penerapan IFRS memperkuat hubungan kualitas auditor dalam mempengaruhi integritas laporan keuangan. Berdasarkan pemaparan ini, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Apakah penerapan IFRS memperkuat hubungan negatif kualitas auditor dengan manajemen laba? 1.3. MOTIVASI PENELITIAN Penelitian ini dimotivasi oleh beberapa penelitian terdahulu yaitu penelitian Barth et al. (2008), Capkun et al. (2008) dan penelitian Doukakis (2014). Hasil penelitian Barth et al. (2008) menyatakan terdapat penurunan manajemen laba pada perusahaan yang secara sukarela mengadopsi IFRS antara tahun 1994 sampai dengan 2003. Capkun et al. (2008) menyatakan adanya manajemen laba yang tinggi pada tahun 2005 karena adanya penyesuaian standar akuntansi dari standar akuntansi lokal ke IFRS. Doukakis (2014) 7
dengan rentang data 2000-2010 menyatakan tidak terdapat perbedaan manajemen laba akrual maupun riil setelah penerapan IFRS. Penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan antara karakteristik corporate governance dan kualitas auditor dalam mengurangi manajemen laba yang terjadi pada perusahaan publik (Klein 2002; Beasley 1996; Peasnell et al. 2005; Larcker et al. 2007; Dechow et al. 1996 dan Chtourou et al. 2001). Penelitian Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011) meneliti pengaruh corporate governance dan kualitas auditor terhadap manajemen laba periode sebelum dan setelah penerapan IFRS 2002-2010. Perbedaan penelitian Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011) dengan penelitian terdahulunya adalah menggunakan penerapan IFRS sebagai pemoderasi peran dewan komisaris dan komite audit dalam mengurangi manajemen laba. Marra et al. (2011) secara spesifik mengangkat isu pengaruh corporate governance dalam pelaksanaan standar akuntansi baru, karena setelah penerapan IFRS peran corporate governance dan kualitas auditor diharapkan menjadi lebih efektif dalam menurunkan tingkat manajemen laba. Penerapan IFRS yang menjadi isu utama dalam penelitian ini, merujuk pada penelitian terdahulu yang lebih berfokus pada setting yang ada di Eropa, seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan Van Tendeloo dan Vanstraelen (2005), Capkun et al. (2011), Daske dan Gebhardt (2006), Daske et al. (2008), Christensen et al. (2008), Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011). Hal ini karena penerapan IFRS berlaku awal di sebagian besar negara Eropa. Pada periode awal penerapan IFRS isu penelitian yang berkembang cenderung terkonsentrasi pada fenomena euforia penerapan keberhasilan penerapan IFRS. Euforia keberhasilan penerapan IFRS dipertanyakan lagi setelah periode krisis keuangan 2007 dan 2008 dengan bangkrutnya beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Scott (2012), Kothari dan Lester (201 2), Khan (2010) menyatakan bahwa 8
salah satu faktor pemicu terjadinya krisis keuangan tahun 2007 dan 2008 adalah kegagalan penggunaan nilai wajar dalam penilaian aset perusahaan. 1.4. ROADMAP PENELITIAN IFRS, CORPORATE GOVERNANCE DAN MANAJEMEN LABA Berikut ini disajikan roadmap penelitian IFRS, corporate governance dan manajemen laba. Gambar ini menjelaskan tiga fokus penelitian terdahulu sejak tahun 2002-2014. Gambar 1.1. Roadmap Penelitian IFRS, Corporate Governance dan Manajemen Laba Fokus menguji pengaruh Fokus menguji pengaruh penerapan IFRS dengan penerapan IFRS dengan indikator keberhasilan keberhasilan IFRS IFRS dalam mengurangi dalam mengurangi managemen manajemen laba periode 2002-2010 laba periode 2002-2010 Fokus menguji pengaruh penerapan IFRS dengan indikator kegagalan IFRS dalam mengurangi manajemen managemen laba periode 2002-2009 Fokus menguji pengaruh penerapan Fokus menguji IFRS pengaruh dengan indikator penerapan kegagalan IFRS dengan penggunaan indikator kegagalan nilai wajar IFRS penggunaan dalam mengurangi nilai wajar manajemen dalam mengurangi laba periode 2003-2012 managemen laba periode 2003-2012. Barth dan Lang (2008) Daske et al. (2008 Capkun et al. (2011) Marra et al. (2011) Zeghal et al. (2011) Van Tendeloo dan Vanstraelen (2005) Christensen et al. (2008) Jeanjean dan Stolowy (2008) Ahmed et al. (2012) Doukakis (2014) Khan (2010) Agoglia et al. (2011) Scott (2012) Hu et al. (2012) Kothari dan Lester (2012) Penelitian yang diusulkan dalam domain ini 2002-2013 9
Gambar 1.1 menyajikan roadmap riset penelitian tentang IFRS, Corporate Governance dan Manajemen Laba. Pada roadmap ini ada tiga fokus penelitian yaitu pertama keberhasilan IFRS dalam mengurangi manajemen laba, kedua kegagalan IFRS dalam mengurangi laba dan ketiga kegagalan penggunaan nilai wajar IFRS dalam mengurangi manajemen laba. Penelitian ini mengembangkan penelitian Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011) yang meneliti tentang pengaruh IFRS sebagai variabel pemoderasi hubungan antara corporate governance dengan manajemen laba. Marra et al. (2011) melakukan penelitian di Italia pada periode penelitian 2003-2006, sedangkan Zéghal et al. (2011) melakukan penelitian di Perancis dengan periode penelitian yang sama dengan Marra et al. (2011). Hasil penelitian Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011) menunjukkan bahwa corporate governance lebih efektif menurunkan manajemen laba setelah penerapan IFRS. Penelitian ini mengangkat isu peran corporate governance dalam mengurangi manajemen laba yang dimoderasi oleh penerapan IFRS yang secara khusus ditujukan pada negara yang menggunakan model two tier 1 dalam model struktur corporate governancenya. Penelitian dilakukan dengan perluasan studi pada negara pengadopsi awal IFRS dan merupakan negara penerap model corporate governance two tier yaitu Belanda, Jerman, Denmark, Perancis. Sebagai pembanding penelitian ini menggunakan negara Jepang yang pada periode penelitian 2002-2013 masih menggunakan standar akuntansi lokal. Penelitian ini berbeda dari penelitian Marra et al. (2011) yang hanya 1 Penelitian ini hanya meneliti negara yang menggunakan model struktur corporate governance two tier karena menurut Othman dan Zeghal (2006) model struktur corporate governance yang berbeda akan memiliki konsekuensi perilaku melakukan manajemen laba yang berbeda. 10
melakukan penelitian di Italia saja. Marra et al. (2011) hanya meneliti pada perusahaanperusahaan di satu negara yang mempunyai model corporate governance one tier saja. 1.5. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang analisis penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi hubungan corporate governance dan kualitas auditor dengan manajemen laba. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai: 1. Analisis penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi dewan komisaris dengan manajemen laba. 2. Analisis penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi hubungan antara komite audit dengan manajemen laba. 3. Analisis penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi hubungan antara kualitas auditor dengan manajemen laba. 1.6. KONTRIBUSI PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris, praktis dan metodologis bagi akademisi, penyusun regulasi dan masyarakat. Kontribusi empiris yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah menyediakan tambahan bukti empiris mengenai analisis penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi hubungan corporate governance dan kualitas auditor dengan manajemen laba. Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa penerapan IFRS dapat memperkuat hubungan negatif antara corporate governance dan kualitas auditor dengan manajemen laba pada periode sebelum dan setelah penerapan IFRS khusus pada negara dengan model corporate governance two tier. Penggunaan sampel khusus untuk negara 11
dengan model corporate governance two tier dikarenakan model struktur corporate governance yang berbeda menurut Othman dan Zéghal (2006) akan memiliki konsekuensi perilaku melakukan manajemen laba yang berbeda. Penelitian ini melakukan perluasan studi pada empat negara penerap IFRS yaitu Belanda, Jerman, Denmark, Perancis dan negara Jepang yang belum menerapkan IFRS sebagai pembanding. Penelitian ini khusus pada negara pengadopsi IFRS dan penganut struktur dewan two tier. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi empiris bagi regulator di Indonesia karena perusahaan di Indonesia menggunakan struktur dewan two tier dan Indonesia pada tahun 2012 mulai menerapkan IFRS. Kontribusi empiris lainnya adalah penelitian ini menggunakan dua model manajemen laba akrual dan riil. Penggunaan dua model manajemen laba ini diharapkan dapat memberikan kontribusi empiris tentang pengaruh penerapan IFRS sebagai pemoderasi hubungan corporate governance dan kualitas auditor terhadap manajemen laba akrual dan riil pada negara penganut struktur dewan two tier karena setelah penerapan IFRS terdapat kecenderungan untuk melakukan kedua model manajemen laba ini sekaligus (Doukakis, 2014). Kontribusi metodologis yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini adalah penggunaan proksi rangkap jabatan yang dilakukan oleh anggota komite audit yang terlibat dalam struktur corporate governance dengan jabatan lain yang ada dalam struktur corporate governance. Penelitian tentang penerapan IFRS terdahulu seperti penelitian Barth et al. (2008), Lang et al. (2003), Capkun et al. (2011), Zéghal et al. (2011), Marra et al. (2011), Daske et al. (2008) dan Doukakis (2014) hanya menggunakan kategori sebelum dan sesudah penerapan IFRS untuk mengukur penerapan IFRS. Penelitian ini menggunakan tiga level penerapan IFRS yaitu belum menerapkan, penerapan sebagian dan penerapan penuh IFRS. Penggunaan tiga level penerapan IFRS 12
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi metodologis karena pada periode 2002-2013 level penerapan IFRS berbeda-beda antar negara. Kontribusi praktis diharapkan dapat berupa kebijakan yang dapat meningkatkan peran corporate governance pada periode penerapan IFRS berupa memberikan bukti empiris tentang dampak penerapan IFRS, sehingga kebijakan yang akan diambil dalam bentuk pedoman atau standar dapat meminimalisasi terjadinya manajemen laba akrual dan riil. Memberikan bukti empiris tentang peranan kualitas auditor dalam meminimalisasi terjadinya manajemen laba akrual dan riil. 1.7. KEASLIAN PENELITIAN Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang ada di negara yang menggunakan model corporate governance two tier. Penelitian Marra et al. (2011) dan Zéghal et al. (2011) mengambil sampel perusahaan-perusahaan di satu negara yang menggunakan model corporate governance one tier. Penelitian tentang penerapan IFRS yang telah dilakukan dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan di banyak negara menggunakan variabel kontrol berupa indeks manajemen laba per negara, kapitalisasi saham, konsentrasi kepemilikan, indeks pengungkapan, legal origin, indeks korupsi dan aturan hukum seperti yang dilakukan oleh Ahmed et al. (2012) dan Christensen et al. (2008). Penelitian ini menggunakan perusahaan-perusahaan di lima negara yang dikategori berdasarkan kluster yang dipergunakan dalam penelitian Leuz (2003). Leuz (2003) mengklasifikasi negara berdasarkan indeks manajemen laba keseluruhan, kapitalisasi saham, konsentrasi kepemilikan, indeks pengungkapan, legal origin, indeks korupsi dan aturan hukum. 13
Penerapan IFRS sebagai variabel pemoderasi dari penelitian terdahulu diproksikan dengan variabel dummy menerapkan atau tidak menerapkan. Pada penelitian ini menggunakan tiga level yaitu tidak menerapkan, menerapkan sebagian dan menerapkan penuh. Penelitian ini menggunakan dua jenis manajemen laba yaitu manajemen laba akrual dan manajemen laba riil. Penelitian ini melakukan pengujian tambahan mengenai perbedaan antara manajemen laba akrual dan manajemen laba riil pada perusahaanperusahaan di negara yang menerapkan IFRS dan perusahaan-perusahaan di negara yang tidak menerapkan IFRS. Analisis tambahan pertama adalah uji beda antara manajemen laba akrual dan riil yang dilakukan sebelum penerapan IFRS periode 2002-2004 dibandingkan dengan manajemen laba akrual dan riil setelah penerapan IFRS periode 2006-2013 untuk perusahaan-perusahaan di negara-negara sampel Jerman, Perancis, Denmark dan Belanda. Negara Jepang tidak dilakukan pengujian untuk kedua periode ini karena tidak menerapkan IFRS. Analisis tambahan kedua adalah uji beda antara manajemen laba akrual dan riil yang dilakukan setelah penerapan IFRS periode 2006-2013 untuk perusahaanperusahaan di negara-negara sampel Jerman, Perancis, Denmark dan Belanda dengan perusahaan-perusahaan yang ada di negara Jepang. Tujuan dilakukannya uji beda manajemen laba akrual dan riil antara perusahaan-perusahaan di negara penerap IFRS dengan perusahaan-perusahaan di negara yang tidak menerapkan IFRS adalah untuk mengetahui tingkat manajemen laba akrual dan riil pada perusahaan di negara yang menerapkan IFRS dengan perusahaan-perusahaan di negara yang tidak menerapkan IFRS. 14