BAB V KESIMPULAN Membicarakan kerusuhan antar etnis memiliki daya tarik unik yang mempengaruhi kita untuk terus mencari akar persoalanya. Di Manokwari kehidupan antara etnis sangat diwarnai dengan berbagai macam propaganda dan isu maupun stereotip yang datang dari berbagai arah untuk mencoba membuat keretakan dalam hubungan etnis. Namun dalam sepuluh tahun terakhir belum pernah terjadi kerusuhan antar etnis seperti yang terjadi pada 28 Desember 2013 dan dalam tahun 2015 di Sanggeng. Kerusuhan ini diteliti dan ditulis menggunakan hasil interview dan pengamatan lokasi, disamping memasukan data yang telah dianalisis lebih mendetil dengan data akurat demi menemukan titik persoalan di balik peristiwa kerusuhan antar suku Biak dan BBM (Bugis-Buton- Makassar) di Manokwari. Ini sekaligus telah menggambarkan konfigurasi pemilahan sosial yang terjadi seiring dengan kondisi obyektif di Manokwari meliputi kondisi politik, ekonomi, social, kebudayaan yang alami secara langsung oleh kedua suku dalam satu situasi dan kondisi yang sama. Tidak hanya sampai di situ, masih panjang konflik ini hingga menimbulkan kekerasan adalah wujud dari pada kecenderungan pemilahan social yang dilakukan secara consolidated cleavages. Di mana bisa dilihat dari segregasi social, misalnya pola pemukiman, mobiliasi ekonomi,dan patrimonialisme dalam birokrasi yang berbasis etnis dan agama pula. 188
Peristiwa semacam ini tentu menambah perbendaharaan konflik dan menambah luka pahit, bahkan cenderung mempengaruhi situasi dan hubungan baik antar etnis di Manokwari. Orang Biak dan Orang Makassar sama-sama migrant. Biak migrant lokal dan BBM adalah migrant dari luar Papua. Sejarah kedatanganya berbeda, masing-masing memperjuangkan cita-cita yang berbeda, namun adat dan kebudayaan sebagai perantau dan pengayau dimiliki oleh kedua suku, kedua suku juga memiliki persamaan dalam ekspansi dagang, namun suku Biak masih minim dibanding dominasi pendatang BBM yang terbukti menguasai hampir seluruh bisnis perekonomian di Papua. ini membuktikan bahwa mereka tidak hanya menguasai perekonomian dan birokrasi pemerintahan maupun jabatan politik, namun mereka juga terlihat mendominasi secara kuantitas. Artinya jumlah penduduk migrant dari Sulawesi sudah sangat banyak dibandingkan dengan penduduk dari Biak di Manokwari dan tentu mempengaruhi kemampuan mereka dalam membangun jaringan politik maupun bisnis. Mulai dari pasar hingga gunung telah dikuasai oleh pendatang BBM di Manokwari. dari penguasaan tersebut tidak hanya memberikan keuntungan kepada para migrant BBM ini namun juga meninggalkan bekas dan dmapak buruk terhadap lingkungan dan alam Papua yang tidak hanya memiliki nilai ekonomis tetapi juga memiliki nilai historis dan religius, sehingga bagi orang Papua pada umumnya kerusakan alam secara langsung merusakn kehidupan manusia, karena alam dan manusia saling membutuhkan. Illegal logging dan eksploitasi sumber daya, pembangunan jalan raya dan jembatan banyak menggunakan tenaga kasar dari masyarakat Biak dan penduduk Papua lainya. Namun hal ini dilakukan hanya 189
untuk membantu menghidupi keluarga bukan merubah perekonomian keluarga sehigga kehidupan para pekerja-pekerja ini masih saja seperti ini (alias tidak berubah). Hal yang masih menjadi dominan di kalangan kedua suku adalah, bahwa Manokwari adalah daerah pusat peradaban orang Papua karena injil, dan orang Biak-lah yang menjadi pelaku utama perubahan besar di Papua terutama Manokwari. Bersebelahan dengan hal ini masyarakat BBM menganggap Manokwari adalah bagian dari Indonesia dan pantas menjadi tempat pelarian mereka untuk mencari keuntungan dalam hal perdagangan. Maka dua hal ini menjadi dua ujung yang tajam dan menimbulkan kondtradiksi pandangan dalam melihat segala hal. Bahkan mempengaruhi setiap persoalan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan termasuk agama. Kondisi obyektif inilah yang saat ini menjadi perhatian khusus dan telah dibahas dalam bab tiga analisis data. Maka itu, segala hal yang mempengaruhi kerusuhan di Manokwari tidak terlepas dari kondisi obyektif yang telah disebutkan meliputi dua gagasan besar dominasi dan kekecewaan. Dominasi pendatang dalam segala bidang terutama ekonomi merupakan nuansa social baru yang juga banyak mendatangkan ketidakadilan di kalangan masyarakat bawah khususnya suku Biak yang merasa telah menjadi etnis yang dianaktirikan. Satu hal lagi yang masih mengganjal adalah tugas aparat keamanan yang cenderung bukan mengamankan tetapi lebih aktif mengelola kekerasan di 190
Sanggeng itu. 1 Dapat saja kekerasan ini menyebar hingga ke ranah lain yang seharusnya tidak disentuh, misalnya mengalami eskalasi hingga mencakup pribumi dan pendatang yang akhirnya menjamur hingga ke islam-kristen seperti di Ambon, Poso dan Pulau Jawa. Karena konfigurasi pemilahan sosialnya jelas consolidated cleavages, yakni mayoritas orang pendatang dari luar Papua adalah muslim, sedangkan penduduk Papua mayoritas Kristen dan tidak sedikit pula yang ortodoks. Maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan di manapun tentu sangat dekat dengan kondisi obyektif masyarakat, terutama mencakup aspek ekonomi-politik. Kedua nilai ini dalam berbagai kasus konflik maupun kekerasan selalu saja mempengaruhi. Artinya bisa memperparah, bisa juga menyelesaikan baik secara structural maupun cultural dalam pola kehidupan masyarakat secara kolektif. Sebuah fenomena yang lain di luar analisis kerusuhan antar Suku Biak dan BBM di Manokwari ini adalah mengenai kepentingan masing-masing kelempok yang berkecenderungan dalam realitas kehidupan antar etnis di Manokwari. Ada upaya kedua etnis dalam persaingan menggapai impian kesejahteraan anggota masing-masing kelompok. Suku Biak sebagai suku yang tergolong tua dan boleh dikata merupakan etnis pribumi di Manowari atas dasar sejarah dan keterlibatan mereka dalam dinamika pembangunan Kota Manokwari berusaha 1 Sebagai perbandinganya bisa juga dilihat dalam Karoba, Sem dan Gebse, H,L. (2002). Papua menggugat. Yogyakarta: Galang press. Selain itu juga van den Broek, T, (Eds). (2003). Memoria passionis di papua: kondisi social-politik dan hak asasi manusia 2001. Jayapura: SKP & LSPP; van den Broek, T, (Eds). (2003). Memoria passionis di papua: kondisi hak asasi manusia dan aspirasi merdeka, gambaran 1999. Jayapura: SKP & LSPP; Al Araf, Anton Aliabbas, (Eds). (2011:12). Securitization in papua; the implication of security approach towards human rights condition in papua. Jakarta: Imparsial; Global Weatness. (2005). Paying for Protection: The Freeport mine and the Indonesian security forces. Washington Dc: Global Witness Publishing Inc. Washington Dc. 191
berjuangan melawan situasi di mana mereka sekarang menjadi kelompok marginal dan sangat terpojok. Kesadaran dan pengetahuan kebanyakan orang dari Suku Biak juga tergolong tinggi dibandingkan dengan beberapa suku lain di Manokwari. Sebaliknya Suku BBM di Manokwari meski dalam hal ini Suku Buton merupakan suku yang perlu dibuat pengecualian, sebenarnya sudah banyak mendominasi dan memonopoli sector ekonomi. Sector yang menjadi bagian dari kepentingan hidup manusia (termasuk Suku Biak) ini sudah dikuasai. Dalam tahun-tahun terakhir para elit Bugis-Makassar mulai bermain untuk menguasai sektor politik dan birokrasi. Meski masih tergolong seimbang dengan suku-suku lain tetapi peran dan aktifitas mereka dalam mendistribusikan ataupun mengakumulasi kepentingan kelompok mereka lebih menonjol dari suku-suku Papua lainya termasuk Suku Biak. Hal yang terlintas jelas adalah upaya mereka setelah insiden tersebut memastikan bahwa mereka cenderung telah menguasai sektor-sektor inti seperti yang disebutkan sebelumnya. Pengambilalihan sumber daya dan akumulasi modal yang dilakukan ini menjadikan mereka dapat dilihat sebagai pemegang kendali ekonomi di Manokwari, bahkan di beberapa daerah pusat perekonomian di Papua seperti Sorong, Timika, Jayapura 192