Melbourne Hari jumat. Aku pulang lebih awal dari tempat kerjaku sebagai pelayan di restoran Italia. Aku melihat jam tangan. Crystal paling tidak akan pulang sekitar jam tujuh. Biasanya hari jumat dia harus ikut kelas tambahan bahasa Inggris. Entah sudah berapa lama dia mengikuti kelas bahasa Inggris. Rasanya sudah cukup lama. Mungkin lama sebelum aku bertemu dia. Maka wajar saja jika kemampuan bahasa Inggris-nya jauh lebih baik ketimbang orang-orang Jepang lainnya yang kukenal. Jika aku mengenang kembali hari itu, hari pertama aku mengenalnya. Saat itu aku sedang asyik membaca buku di perpustakaan. Di tengah keasyikan itu aku mendadak ingin pergi ke toilet. Mungkin karena aku menyantap makanan meksiko malam sebelumnya. Pengalaman mengerikan dalam petualangan kulinerku, saat aku sok berani mencoba menghabiskan sepiring tachos yang disiram saus 'death sauce' asli buatan meksiko. Aku berani jamin tidak akan ada lagi episode kedua dari kisahku tersebut. Setelah menuntaskan lima belas menit panggilan alamku di toilet, aku kembali. Aku melihat seorang gadis berambut panjang sedang duduk di kursiku dan membaca buku yang belum selesai kubaca tadi. Gadis itu adalah Crystal, dan apa yang dilakukannya adalah kesalahpahaman. Dia mengira tidak ada orang yang duduk di kursiku, dan pikirnya buku-buku itu sengaja ditinggalkan berserakan di meja oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Dari sebuah kesalahpahaman itulah bab pertama ceritaku dan Crystal dimulai. Ketimbang menyebutnya kesalahpahaman, aku punya rumus sendiri untuk menggambarkan kejadian itu. Yang tentu saja tidak akan kutulis disini karena cukup panjang penjelasannya. Karena Crystal akan pulang larut, aku memutuskan untuk masak malam ini. Setelah mengaduk-aduk isi kulkas dan lemari dapur, aku baru sadar bahwa semua bahannya tidak kukenal. Semuanya bahan masakan Jepang. Karena tidak
tahu bagaimana mengolah segala bahan yang tidak kumengerti ini, maka, aku lebih memilih membeli bahan makanan di swalayan terdekat. Pukul setengah delapan aku mendengar bunyi pintu terbuka. Aku tahu itu pastu Crystal. Segera aku berlari ke depan dan menyambutnya. H...hey, i m home, katanya setengah kaget melihat aku tiba-tiba mucul di depannya seperti seekor anjing yang ingin menyambar tuannya. Kamu pasti lapar. Aku sudah menyiapkan makan malam, kataku sambil mengambil tas dari tangannya lalu menaruhnya di kursi dekat pintu masuk. Kamu yang masak? Dia setengah tidak percaya. Wajar saja. Aku memang jarang sekali menyentuh area dapur. Aku sudah menghabiskan banyak waktu bekerja paruh waktu masuk keluar dapur. Saat pulang ke rumah aku berusaha sebisa mungkin tidak mau berurusan dengan yang namanya dapur. Ya, jawabku dengan tersenyum padanya. Kalau kau bisa lihat senyumku itu adalah senyum percaya diri. Hasil tempaan dari pengalaman. Berkali-kali aku mencoba memasak sampai akhirnya aku bisa cukup percaya diri dengan hasil masakanku sendiri. Kepercayaan diri yang cukup untuk bisa sombong di depan Crystal kali ini. Kubawa dia ke ruang makan kami yang kecil. Dia tampak terkejut melihat rancangan makan malamku. Dua piring berwarna hitam dengan model segi empat yang makin cantik dengan hiasan makanan sudah pas kutaruh saling berseberangan. Satu lilin yang rendah menghiasi titik tengah meja. Nyalanya kian mempertegas bahwa malam yang romantis ini hanya milik kita. Aku menarik kursi, lalu membiarkannya duduk. Aku menyusul duduk di hadapannya. Ini sungguh hebat. Makanan dan hiasan. Semuanya menakjubkan. Sangat terlihat tidak biasa, serunya seraya tangannya meraih tanganku. Kita sedang merayakan apa? dia lanjut bertanya.
Kita merayakan hari ini, jawabku Siapa yang ulang tahun? Crystal kembali bertanya. Sepertinya bagi dia semua makanan enak yang ditampilkan tidak biasa perlu mengandung arti. Tidak bisa ditampilkan hanya dengan alasan kurang kerjaan atau alasan membosankan yang lain. Ini untuk hari ini. Aku mengambil botol sampanye lalu menuangkannya di gelas Crystal dan gelasku. Kita merayakan hari ini. Karena masa lalu adalah sejarah yang muram. Sementara, hari esok masih semu. Tapi, kebahagiaan dan cinta hari ini adalah nyata. Lalu kami berdua mengangkat gelas dan meneguk minuman mahal itu dengan sekali teguk. Crystal tersenyum lebar. Susunan gigi putihnya yang rapi terlihat serasi diapit bibir kecilnya yang merah dengan lipstick. Aku bisa tahan semalaman melihatnya. Tanpa kusadari otakku telah bekerja sendiri tanpa seijinku. Satu lagi kenangan tersimpan. Momen dia tersenyum. Senyumnya yang paling indah yang dia tujukan padaku tadi. Selamanya gambaran itu akan terus menjadi monalisa di hatiku. Malam itu, usai makan aku dan Crystal duduk berdampingan di beranda. Kami tak bicara sepatah kata untuk sejenak. Bukan karena terlalu kenyang. Malam itu langit sedang cerah. Beberapa bintang terlihat jelas. Semuanya sempurna seperti yang biasa terjadi di film-film percintaan yang murahan. Langit musim semi serta aroma tumbuh-tumbuhan yang khas. Aroma yang dibawa angin jauh dari asalnya lalu sampailah pada kehidupan aku dan Crystal. Kesunyian belum mau beranjak. Semilir angin kadang iseng membuat dedaunan pohon saling bergesekan. Suaranya entah lirih entah riang. Aku tidak menilai apa pun dari suara itu. Aku hanya mendengarkan dengan setia. Saat itu aku hanya berharap agar semua ini bisa berlangsung selama mungkin. Mungkin selamanya. Aku berharap itu bukanlah ilusi temporal yang akan sirna ditelan kebosanan dan kekhawatirankekhawatiran yang tidak perlu.
Aku memandang Crystal. Aku mendapati sosok gadis yang sedang menengadah tak jelas kemana. Aku tahu matanya melihat langit. Tapi, aku tak tahu hatinya. Sebagian dari dirinya sedang duduk bersamaku. Namun, sebagian lagi tampak melesat jauh ke masa depan. Memikirkan tentang hidup yang akan dibawa kemana. Membayangkan suasana di tempat tujuan. Dan, aku mungkin pada akhirnya hanya akan menjadi sobekan halaman dari sebuah buku cerita tebal kisah romantis masa mudanya. Tiba-tiba muncul dalam benakku, apakah eksistensiku sekarang hanyalah sintesa antara ketidaksengajaan dan kesialan. Ataukah hasil dari lompatan iman Crystal yang memilihku dari begitu banyak pilihan. Kuputuskan untuk tidak ambil pusing. Kuputuskan untuk tidur. Sebulan setelah makan malam yang tak terlupakan itu, Crystal menyelesaikan studinya. Aku bersama teman-teman sekolahnya merayakan hari kelulusan itu. Tawa bahagia hadir dalam empat jam acara makan-makan dan minum-minum. Aku termasuk orang yang ikut bahagia melihat semua usaha Crystal akhirnya tercapai. Minumanmu masih ada? Kamu tidak ingin pesan makanan lagi? Crystal bertanya. Sesekali dia memeriksa keadaanku yang duduk bengong. Aku tidak begitu mengenal mereka yang hadir. Lagipula, Crystal terlalu hanyut dalam kesenangan. Jadi, wajar rasanya jika aku berakhir duduk bengong sendirian. Crystal tidak pernah memberitahuku tentang rencananya setelah lulus. Dan aku memang tidak pernah berusaha untuk mencari tahu. Itu bukan sifatku. Satu hal yang mengusikku adalah perubahan pada diri Crystal. Aku sering mendapati dia murung. Belakangan dia sering memegang telpon. Kadang dia seperti akan menghubungi seseorang tapi, tidak jadi. Dia jadi sering menghindar dariku. Keadaan ini berlangsung terus-menerus dalam waktu yang cukup lama. Kadang ketika aku dengan bersemangat sekali bercerita tentang hariku, dia terlihat serius mendengarkan. Namun, ketika aku bertanya dia akan menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak ada
hubungannya. Sama seperti saat aku memutar film kesukaannya. Selama ini dia tidak pernah tidak kegirangan untuk menontonnya. Tapi, sebaliknya. Kali ini dia malah memilih untuk tidur lebih awal. Sejak itu aku hanya diam melihat tingkahnya. Aku tidak memulai suatu percakapan. Di luar dugaan, Crystal tidak menghiraukan sikapku yang mulai berubah. Kalaupun dia bersuara paling hanya mengatakan hal yang seperlunya saja. Kami layaknya dua orang asing yang terperangkap dalam satu rumah. Seperti dua pesaing yang sedang berlomba. Tapi, untuk memperebutkan apa?