BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan lingkungan dapat memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, dan banyak penyakit dapat dimulai, didukung, ditopang, atau dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan. Salah satu komponen lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit atau berperan sebagai media transmisi penyakit adalah udara ambien. (Mulia, 2005). Pencemaran udara di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kegiatan industri dan transportasi. Salah satu gas polutan yang dihasilkan adalah gas NO 2. Menurut Kristanto (2002), nitrogen oksida (NO x ) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer, terdiri dari gas nitrit oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO 2 ). Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini yang paling banyak dijumpai sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sedangkan NO 2 mempunyai warna cokelat kemerahan dan berbau tajam. Pada konsentrasi normal yang dijumpai di atmosfer, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada konsentrasi udara ambien yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO 2 yang lebih beracun. NO 2 bersifat racun, terutama terhadap paru-paru. Menurut WHO (1976), kadar NO 2 untuk kriteria udara tercemar adalah sebesar 0,02-0,1 ppm. Hasil penelitian terhadap manusia menyatakan bahwa pada kadar NO 2 sebesar 500 µg/m 3 dapat mengganggu fungsi saluran pernapasan pada orang sehat (Pohan, 2002). Berdasarkan studi menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang 16
membahayakan seperti meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran pernapasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 µg/m 3 (Tugaswati, 2004). Pemberian sebanyak 5 ppm NO 2 selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernapas (Wardhana, 2004). Konsentrasi NO 2 yang berkisar antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru bila terpapar beberapa menit saja. Pada fase ini orang masih dapat sembuh kembali dalam waktu 6-8 minggu. Konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan pemampatan bronchioli dan disebut bronchiolitis fibrosis obliterans, orang dapat meninggal dalam waktu 3-5 minggu setelah pemaparan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2-10 hari (Soemirat, 2000). Menurut Mukono (2008), apabila udara tercemar oleh gas NO 2 dan bereaksi dengan uap air maka akan menjadi korosif dan memberikan efek terhadap mata, paruparu dan kulit. Iritasi terhadap paru-paru akan menyebabkan edema paru-paru setelah terpapar oleh gas NO 2 selama 48 72 jam, apabila terpapar dengan dosis yang meningkat akan menjadi fatal. Iritasi mata dapat terjadi apabila NO 2 berupa uap yang pekat. Iritasi terhadap kulit dapat terjadi apabila kulit kontak dengan uap air nitrogen dan dapat menyebabkan luka bakar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pradipta (2014), bahwa di jalan raya Kelurahan Lalang Kecamatan Medan Sunggal pada ke empat titik pengukuran diperoleh kadar NO 2 sebagai berikut: pada Titik I diperoleh hasil sebesar 40,97 µg/nm 3, Titik II sebesar 26,93 µg/nm 3, Titik III sebesar 40,77 µg/nm 3, dan Titik IV sebesar 28,20 µg/nm 3. Meskipun kadar tersebut masih di bawah baku mutu, namun pada hasil wawancara terhadap responden diperoleh bahwa keluhan kesehatan 17
yang terbanyak adalah keluhan gangguan saluran pernapasan yaitu sebanyak 33 orang (73,3%). Sedangkan keluhan iritasi mata yaitu sebanyak 23 orang (51,1%). Pada pengukuran tahun 2007, konsentrasi debu di beberapa lokasi di kota Surabaya masih melebihi batas baku mutu udara ambien. Untuk konsentrasi gas yang melebihi batas yaitu gas NO 2 pada yang mencapai angka 0,0667 ppm. Angka tersebut sudah melebihi nilai baku mutu udara ambien menurut Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Timur yaitu 0,05 ppm (BTKL, 2007). Hasil pengukuran kualitas udara yang dilakukan oleh Sandra (2013) mengacu pada Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Timur, diperoleh hasil sebagai berikut: kadar NO 2 di pos polisi Dolog, pos polisi Wonokromo, dan pos polisi Siola rata-rata berkisar antara 0,0802 ppm sampai dengan 0,0903 ppm. Hal tersebut menunjukkan rata-rata kadar NO 2 di lapangan sudah melebihi standar. Keluhan pernapasan berupa batuk kering dirasakan oleh 13 orang Polantas (61,9%), batuk berdahak dirasakan oleh 10 orang Polantas (47,6%) dan sesak napas disertai batuk dirasakan oleh 8 orang Polantas (38,1%). Industri batu bata merupakan salah satu industri yang menghasilkan kadar NO 2 yang dapat berdampak pada gangguan pernapasan karena seperti yang kita ketahui bahwa salah satu sumber NO 2 adalah proses pembakaran dengan suhu tinggi dan NO 2 bersifat racun, terutama terhadap patu-paru. Menurut Sianturi (2013) yang mengutip dari Suwardono, industri batu bata termasuk golongan industri kecil. Industri batu bata adalah industri yang mengolah bahan baku tanah liat dan bahan pembantu berupa air dan pasir serta serbuk gergaji melalui proses pencampuran, pembentukan 18
bahan, pengeringan dan pembakaran. Industri batu bata mengolah sumber daya alam, dimana lokasinya berada dekat sumber bahan baku. Batu bata atau bata merah dibuat dengan bahan dasar tanah lempung atau secara umum dikatakan sebagai tanah liat yang merupakan hasil pelapukan dari batuan keras (beku) dan batuan sedimen. Dalam industri batu bata, jumlah kayu yang dibakar cukup besar, yaitu sekitar 6-8 ton untuk setiap proses pembakaran. Proses pembakaran menggunakan suhu yang cukup tinggi. Hal ini dapat menimbulkan asap yang cukup padat dan pastinya akan menimbulkan pengaruh buruk bagi kesehatan. Selain itu, jarak pembakaran batu bata yang satu dengan yang lainnya berdekatan, dan ironisnya pembakaran batu bata sangat berdekatan dengan jalan raya dan pemukiman warga. Kecamatan Pagar Merbau merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang yang terkenal dengan produksi batu bata merahnya yang melimpah. Mayoritas penduduk di Kecamatan Pagar Merbau bekerja sebagai pengrajin batu bata. Usaha batu bata ini sendiri sudah ada sejak puluhan tahun silam. Pekerjanya kebanyakan adalah kaum laki-laki tetapi tak jarang kaum perempuan juga terlibat dalam proses pembuatannya, misalnya dalam proses mencetak batu bata. Proses pembuatan batu bata hingga menjadi batu bata siap pakai memakan waktu cukup lama hingga 2 minggu untuk siap dipasarkan. Proses tersebut dimulai dari pelunakan tanah liat, pencetakan, pengeringan, pembakaran, dan pendinginan batu bata. Proses pembakaran menggunakan kayu bakar dan berlangsung selama 3 hari 2 malam. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh BTKLPP Medan pada tahun 2003 diperoleh hasil bahwa pada area halaman depan kilang batu bata di daerah Tanjung 19
Morawa mengandung kadar NO 2 sebesar 355,8 µg/m 3. Kadar tersebut sudah mendekati baku mutu udara ambien untuk NO 2 yaitu 400 µg/nm 3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haryanto dan Triyono (2012), tentang Studi Emisi Tungku Masak Rumah Tangga, dihasilkan bahwa kadar emisi NO 2 yang tertinggi adalah pada tungku batu bata yaitu sebesar 99 μg/m 3, diikuti kompor minyak tanah sebesar 25 μg/m 3, dan tungku pot sebesar 9 μg/m 3. Emisi NO 2 tidak terdeteksi pada kompor batu bara dan kompor gas. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kadar NO 2 pada proses pembakaran batu bata secara tradisional, lama paparan, dan karakteristik pengrajin batu bata dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, diketahui bahwa Kecamatan Pagar Merbau terkenal dengan produksi batu bata merahnya. Perekonomian masyarakat sangat terbantu dengan adanya industri batu bata tersebut. Penggunaan cara-cara yang masih tradisional dalam proses produksi batu bata, mengakibatkan timbulnya pencemaran udara, salah satunya pencemaran oleh gas NO 2. Keterpaparan terhadap gas NO 2 dalam waktu yang lama dapat memicu munculnya keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata. Oleh karena itu perlu diketahui kadar gas NO 2 pada proses pembakaran batu bata secara tradisional, lama paparan, dan karakteristik pengrajin serta keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau. 20
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana hubungan kadar NO 2 pada proses pembakaran batu bata secara tradisional, lama paparan, dan karakteristik pengrajin dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan kadar NO 2 pada proses pembakaran batu bata secara tradisional dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 2. Untuk mengetahui hubungan lama paparan NO 2 dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 3. Untuk mengetahui hubungan umur dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 4. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 5. Untuk mengetahui hubungan masa kerja dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 21
6. Untuk mengetahui hubungan penggunaan APD masker dengan keluhan gangguan saluran pernapasan pada pengrajin batu bata di Kecamatan Pagar Merbau tahun 2016. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pengrajin batu bata untuk mengetahui bahaya paparan gas NO 2 terhadap saluran pernapasan. 2. Sebagai dasar upaya bagi pengrajin batu bata untuk mencegah terjadinya gangguan saluran pernapasan yang diakibatkan oleh pencemaran udara di lingkungan kerja. 3. Menambah wawasan dan informasi yang dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 4. Menambah pengetahuan penulis tentang pencemaran udara di area pembuatan batu bata di Kecamatan Pagar Merbau. 22