BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fuel cell merupakan sistem elektrokimia yang mengkonversi energi dari pengubahan energi kimia secara langsung menjadi energi listrik. Fuel cell mengembangkan mekanisme efisien yang bersih dan cocok untuk energi terbarukan serta pembawa energi modern (hidrogen) untuk pengembangan sustainbilitas kimia dalam bidang energi dengan hasil samping air dan panas (Huang et al., 2006). Sistem fuel cell menggunakan hidrogen (H 2 ) atau bahan bakar yang kaya hidrogen (H 2 ), bersama oksigen yang berasal dari air untuk menghasilkan energi listrik dan panas. Fuel cell terdiri dari komponen elektroda, polimer elektrolit membran, katalis, stacking, separator dan penyimpanan hidrogen. Sistem fuel cell terdiri lapisan elektrolit yang kontak dengan dua elektroda yang berada dalam dua sisi dimana sesuai dengan prinsip elektrokimia, pada anoda terjadi reaksi reduksi dan pada katoda terjadi reaksi oksidasi. Bahan bakar hidrogen dialirkan secara langsung ke elektroda katoda melewati anoda dan oksigen dari air diberikan juga ke katoda. Pada anoda, bahan bakar hidrogen didekomposisi menjadi ion positif H + dan ion negatif. Pada membran elektrolit hanya ion positif/proton (H + ) yang bisa dialirkan dari anoda ke katoda dan sebagai insulator untuk elektron. Elektron dapat berkombinasi pada sisi lain membran untuk menstabilkan sistem, sedangkan elektron bebas dipindahkan ke katoda melalui aliran listrik eksternal. Reaksi ion positif dan ion negatif dengan oksigen yang diberikan pada katoda membentuk air murni (H 2 O). Pada umumnya, sistem fuel cell beroperasi suhu rendah (< 80 C) dan memiliki kelemahan sering menimbulkan masalah utama pada keracunan katalis Pt yang disebabkan penyerapan jumlah CO (karbonmonoksida) sedikit ( 10 ppm) dalam hidrogen. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan pendekatan untuk memperoleh daya tahan CO dengan adanya peningkatan energi bebas adsorpsi CO pada katalis yang bergantung pada kenaikan temperatur (Adjemian et al., 2006). 1
2 Kenaikan temperatur berpengaruh pada sistem operasi fuel cell dimana harus beroperasi pada suhu tinggi. Fuel cell suhu tinggi dapat diaplikasikan sebagai mesin transportasi. Akan tetapi, fuel cell suhu tinggi memiliki kelemahan terhadap pengaturan kelembaban dan kandungan air (Larminie et al., 2004). Kelemahan sistem fuel cell berkaitan dengan membran elektrolit dimana kualitas sistem kerja fuel cell ditentukan membran elektrolitnya (Sahu et al., 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya salah satu membran yang sering digunakan adalah Nafion dengan jenis berbeda yang berdasarkan kandungan polimer seperti Nafion 115 (Adjemian et al., 2002 ; Hyejung et al., 2010), Nafion 112 (Silva et al., 2004), Nafion 1100 ( Ruichun et al., 2005), Nafion 117 (Eniya et al., 2007), Nafion 1135 (Sahu et al., 2009). Nafion merupakan jenis polimer Perfluorosulfonated acid yang dibuat dari kopolimer Polytetrafluoroethylene (PTFE) tersulfonasi yang diproduksi oleh Dupont TM. Secara umum, Nafion memiliki kelebihan dalam selektifitas ion transfer (IEC 0,91 mmol/g), konduktivitas ion yang tinggi (0,05-0,14 S/cm) dan mempunyai daya tahan terhadap kimia (Eniya et al., 2007). Nafion juga memiliki kelemahan pada sistem operasi fuel cell pada suhu tinggi ( > 80 C). Pada sistem fuel cell dengan suhu tinggi memberikan kesulitan pada saat membran mengalami dehidrasi. Dehidrasi membran menyebabkan membran menyusut, mengurangi kontak antara elektroda dan membran serta menyebabkan terbentuknya lubang pada membran, mudah terjadi crossover gas (Adjemian et al., 2002). Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya sulitnya penghantarkan ion, depolarisasi dan daya konversi sehingga menurunkan performa fuel cell. Dalam mengatasi hal tersebut, diperlukan modifikasi struktur pada Nafion sehingga dapat meningkatkan kelembaban pada suhu tinggi (Sahu et al., 2009). Wanatabe et al., (1998) menyatakan bahwa modifikasi struktur Nafion dilakukan dengan penambahan zat aditif anorganik seperti logam oksida sebagai penyerap air antara lain ZrO 2 (Thampan et al., 2005), TiO 2 (Chalkova et al., 2005), dan SiO 2 (Adjemian et al., 2002). Namun penambahan zat aditif, logam oksida yang sering digunakan adalah SiO 2 (silika) sebagai penyerap air yang didasarkan
3 kecepatan reaksi pada pembentukan ikatan dengan Nafion, ikatan OH pada silika lebih asam daripada zat aditif lainnya sehingga sifat adsorpsi air lebih besar (Arico et al., 2003). Penambahan silika dibutuhkan dalam dimensi ukuran nanometer untuk dapat masuk kedalam pori struktur Nafion (Antonucii et al., 1999). Penambahan silika dapat dilakukan dari beberapa moetode seperti metode sol gel dan dispersi yang dipengaruhi adanya pelarut. Pelarut yang sering digunakan seperti dimethylformamide (DMF), dimethylsulfoxide (DMSO) (Silva et al., 2004), dimethylacetamide (DMAC) (Ruichun et al., 2006). Pada metode sol gel, penambahan silika menggunakan sumber silika sintesis seperti senyawa 3- mercaptopropyl trimethoxysilane (MPTS) (Hyejung et al., 2010), Tetraethoxyorthosilicate (TEOS) (Adjemian et al., 2006 ; Ruichun et al., 2006; Mahreni, 2007; Garnica et al., 2014). Metode dispersi, penambahan silika menggunakan partikel silika sintesis dengan ukuran nanometer (Mahreni, 2007; Eniya et al., 2007). Silika yang digunakan kebanyakan berasal dari bahan sintesis, namun silika dari sumber bahan alam belum pernah dilaporkan dalam modifikasi struktur membran. Silika merupakan salah satu bahan mineral alam sering dimanfaaatkan dan jumlahnya melimpah di Indonesia yang berasal dari limbah penghancuran gelas dan bahan alam seperti abu sekam padi dan lumpur panas bumi. Sumber silika bahan alam dari lumpur panas bumi seperti lumpur Lapindo akibat semburan PT.Lapindo Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur (Munasir et al., 2010). Kamariah et al. (2009) menyatakan kandungan silika pada lumpur Lapindo mencapai 53,03% yang merupakan elemen yang paling banyak dibandingkan senyawa-senyawa lainnya dan mempunyai peluang besar untuk dipisahkan serta digunakan sebagai bahan dasar industri material silika. Pemisahan silika lumpur Lapindo dapat dilakukan metode kopresipitasi menggunakan larutan basa (NaOH) dan larutan asam (HCl) untuk membentuk silika amorf dengan kemurnian tinggi (Munasir, 2010). Pemilihan metode kopresipitasi didasarkan beberapa penelitian sebelumnya pemisahan silika dari sumber lumpur panas bumi lainnya seperti lumpur gunung dieng (Nurdin et al., 2013), pasir kuarsa bangka (Annisa et
4 al.,2013 ; Dian et al., 2013), pasir bancar (Hanna et al., 2013; Chaironi et al,2014 ; Suratman et al., 2014;),serta lumpur Lapindo (Munasir et al., 2010 ; Agus et al., 2013). Pada penelitian Munasir et al (2010) sintesis silika dari lumpur Lapindo melalui metode kopresipitasi menggunakan NaOH 6M menghasilkan natrium silikat kemudian dilarutkan dengan HCl 3M menghasilkan silika amorf dengan kemurnian 95.7%. Hasil penelitian tersebut belum diketahui ukuran partikel silika dengan ukuran 100 nm. Di lain pihak, sintesis nanosilika dari bahan alam lain seperti limbah abu sekam padi juga dapat dilakukan dengan metode kopresipitasi menggunakan larutan NaOH 2,0-3,0 N dan H 2 SO 4 95% juga menghasilkan nanopartikel silika berukuran 5-50 nm (Nittaya et al., 2008). Metode sintesis nanosilika abu sekam padi diharapkan dapat dilakukan pada sintesis nanosilika lumpur lapindo sehingga menghasilkan partikel silika berukuran yang sesuai penggunan pada aplikasinya. Sintesis nanosilika dari lumpur Lapindo diharapkan dapat dihasilkan dan diaplikasikan menjadi zat aditif anorganik dalam struktur Nafion sebagai membran untuk fuel cell suhu tinggi. Jenis Nafion yang digunakan adalah Nafion d2020 dengan komponen 20% polimer dan sisanya pelarut. Hal ini bertujuan meningkatkan karakter membran fuel cell. Modifikasi Nafion d2020 dengan nanosilika melalui metode dispersi dan sonokimia (Mahreni, 2010) serta casting (Silva, 2004) menghasilkan produk komposit yang maksimal. Berdasarkan sifat silika sebagai zat aditif yang dapat meningkatkan penyerapan air, maka penelitian ini dilakukan sintesis nanosilika dari lumpur Lapindo yang diaplikasikan pada Nafion d2020 untuk menghasilkan membran fuel cell suhu tinggi yang belum pernah dilakukan dan dilaporkan sebelumnya. 1.2 Tujuan 1. Mengetahui pengaruh konsentrasi NaOH dan perbedaan penggunaan asam kuat terhadap ukuran partikel silika dari lumpur Lapindo. 2. Mengetahui jenis ikatan yang terjadi antara nanosilika Lapindo dengan Nafion d2020 yang dapat membentuk komposit.
5 3. Mengetahui perbandingan konduktivitas ion dan swelling air pada membran Nafion d2020 dan membran komposit nanosilika Lapindo-Nafion d2020. 1.3 Manfaat Penelitian Dari rangkaian percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan diperoleh berbagai informasi ilmiah. Informasi yang bermanfaat sebagai landasan bagi pengembangan fuel cell khususnya pada komponen membran fuel cell yang menggunakan media air dapat diaplikasikan dalam alat transportasi. Penelitian ini juga diharapkan untuk mengembangkan manfaat semburan lumpur panas bumi PT. Lapindo Brantas sebagai langkah penanggulangan bencana dan sebagai sumber penghasil silika yang melimpah di alam yang digunakan sebagai zat aditif maupun aplikasi pengembangan teknologi lainnya.