BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia berusaha memenuhi kebutuhan primernya, salah satu kebutuhan primer tersebut adalah makanan. Dalam sejarah, kehidupan manusia dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang diikuti pula oleh perubahan kebutuhan bahan makanan pokok. Hal ini dapat terlihat pada beberapa daerah di Indonesia yang semula mengonsumsi ketela, sagu, ataupun jagung, akhirnya beralih mengonsumsi beras. Cara pandang masyarakat terhadap sumber pangan pokok dalam kurun waktu dua puluh lima tahun kebelakang seolah-olah digiring ke dalam pandangan yang lebih sempit bahwa sumber pangan pokok masyarakat hanya beras. Dari total kalori yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, hampir 60% dicukupi oleh beras. Hal ini membentuk keyakinan bahwa ketahanan pangan nasional ditentukan oleh ketersediaan beras. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi pola ketahanan pangan nasional. Akibat lainnya pengolahan bahan makanan pokok selain beras menjadi terbatas (Purwono dan Purnawati, 2009). Dalam mengatasi permasalahan ini pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan melakukan impor beras. Ketergantungan ini hanya akan membuat ketahanan pangan nasional menjadi rapuh dan berimbas pada kondisi perekonomian negara. Sebenarnya masih banyak solusi lain dari masalah ini. Misalnya dengan pengoptimalan bahan pangan lokal, perubahan citra bahan makanan pokok selain beras, penganekaragaman pangan, dll. Penganekaragaman pangan selain beras
harus dilakukan jika ketahanan pangan tetap ingin dijaga. Penganekaragaman ini juga diharapkan dapat memperbaiki kualitas pangan masyarakat, dan menjadikan perbaikan gizi masyarakat. Hal ini dikarenakan semakin beragam konsumsi masyarakat, suplai zat gizi masyarakat juga akan lebih lengkap dibandingkan dengan satu jenis bahan pangan saja (Ambarwati, 2009). Sebenarnya begitu banyak jenis umbi-umbian lainnya selain gandum yang bisa tumbuh dengan baik di Indonesia dan bisa menjadi alternatif menuju ketahanan pangan. Ubi jalar merupakan salah satu dari 20 jenis pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar bisa menjadi salah satu alternatif untuk mendampingi beras menuju ketahanan pangan (Hasyim dkk, 2008). Selama ini masyarakat menganggap ubi jalar merupakan bahan pangan dalam situasi darurat (kurang makanan), bahkan dianggap sebagai bahan makanan masyarakat kelas bawah. Di Indonesia 89% produksi ubi jalar digunakan sebagai pangan dengan tingkat konsumsi 7,9 kg/kapita/tahun, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk bahan baku industri, terutama saus, dan pakan ternak. Selama ini penggunaan ubi jalar sebagai bahan pangan masih terbatas dalam bentuk makanan tradisional, seperti ubi rebus, ubi goreng, kolak, getuk, dan keripik, sehingga citranya rendah (Jusuf dkk, 2008). Ubi jalar amat penting dalam tatanan penganekaragaman (diversifikasi) makanan penduduk. Kebutuhan kalori yang ideal bagi penduduk Indonesia adalah sebesar 1.612 kal/kapita/hari, berasal dari beras 680 kal, gula 219 kal, lemak dan miyak 354 kal, sayuran dan buah-buahan serta biji-bijian 313 kal, ditambah umbiumbian 210 kal. Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2000 untuk penduduk Indonesia
telah ditetapkan kontribusi bahan pangan umbi-umbian sebesar 91,12 gram/kapita/hari. Konsumsi pangan sumber kalori yang berasal dari beras sebenarnya sudah melebihi norma yang dianjurkan. Untuk mencapai pola konsumsi kalori yang ideal dapat ditempuh usaha penganekaragaman menu pangan dengan pengurangan kalori yang berasal dari beras, diikuti oleh peningkatan kalori yang berasal dari bahan pangan lain seperti ubi jalar. Ubi jalar selain kaya kalori, juga mengandung zat gizi cukup tinggi dan komposisinya lengkap (Rukmana, 2008). Memang bukan perkara mudah mengalihkan konsumsi beras pada umbiumbian dan pangan nonberas lainnya. Selain persoalan teknis, pengalihan ini juga memerlukan perubahan budaya. Namun, sebagai langkah awal, diversifikasi konsumsi pangan harus dilakukan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan sumber pangan lokal dan menekan ketergantungan pada negara lain. Warisan Pemerintah Orde Lama, yakni beras yang dicampur ubi jalar (Bebilar) patut diperkenalkan kembali sebagai salah satu metode pencapaian percepatan diversifikasi konsumsi. Lewat perbaikan teknologi pengolahan pangan, bebilar bisa dihadirkan sebagai nasi sehat kaya betakaroten (Sibuea, 2009). Bebilar atau beras dan ubi jalar merupakan makanan pokok alternatif dengan mencampurkan beras dan pasta ubi jalar dalam hal ini ubi jalar merah yang dikenal juga dengan ubi ungu. Hasilnya adalah nasi berwana ungu yang menarik dan kaya zat gizi. Ubi jalar kaya kandungan betakaroten untuk antioksidan yang mampu menyubstitusi beras hingga 30-40%. Konsumsi beras pun terkurangi secara signifikan (Sibuea, 2008).
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas var Ayamurasaki) biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat). Ubi jalar merah juga sangat kaya akan pro vitamin A atau retinol. Dalam 100 gr ubi jalar merah terkandung 2310 mcg atau setara dengan satu tablet vitamin A. (Aripnur, 2010). Karbohidrat yang dikandung ubi jalar termasuk dalam klasifikasi low glycemic index artinya komoditi ini sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengonsumsi ubi jalar tidak secara drastis menaikkan gula darah, berbeda halnya dengan sifat karbohidrat dengan glycemic index tinggi, seperti beras dan jagung. Sebagian besar serat ubi jalar merah merupakan serat larut, yang menyerap kelebihan lemak/kolesterol darah, sehingga kadar lemak/kolesterol dalam darah tetap aman terkendali (Hasyim dkk, 2008). Produktivitas ubi jalar cukup tinggi dengan masa panen empat bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/ha, tergantung dari bibit, sifat tanah, dan pemeliharaannya. Berdasarkan data Departemen Pertanian (2006), produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 1.856.969 ton. Untuk wilayah Sumatera Utara pada tahun 2005 hasilnya mencapai 115.728 ton. Pembuatan beras ubi jalar dengan menggunakan tepung ubi jalar ungu dengan komposisi perbandingan beras dan tepung ubi jalar ungu 9:1 sudah pernah dilakukan sebelumnya, akan tetapi belum pernah dilakukan uji daya terimanya. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk membuat beras ubi jalar (bebilar) dengan menggunakan tepung ubi jalar ungu, dengan komposisi perbandingan beras dan tepung ubi jalar ungu yang beragam untuk memperoleh respon terbaik dari panelis.
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan tepung ubi jalar ungu. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan tepung ubi jalar ungu. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan dan beras 1:9, 3:7, dan 5:5 dilihat dari indikator warna. 2. Mengetahui daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan dan beras 1:9, 3:7, dan 5:5 dilihat dari indikator rasa. 3. Mengetahui daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan dan beras 1:9, 3:7, dan 5:5 dilihat dari indikator aroma. 4. Mengetahui daya terima masyarakat terhadap nasi dengan penambahan dan beras 1:9, 3:7, dan 5:5 dilihat dari indikator tekstur. 5. Mengetahui perlakuan penambahan tepung ubi jalar ungu mana yang paling disukai masyarakat.
4.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai salah satu cara mengoptimalkan pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai sumber pangan pokok. 2. Memberikan alternatif pengolahan ubi jalar sebagai bahan makanan pokok. 3. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk lebih mensosialisasikan sumber pangan pokok selain beras untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.