2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan pertumbuhan perekonomian. Setiap pembangunan mall dapat meningkatkan

MUSCULOSKELETAL DISORDERS. dr.fauziah Elytha,MSc

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sales promotion Girl (SPG) merupakan suatu profesi yang bergerak dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan seseorang mulai dari keluhan sangat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. harus sesuai dengan kondisi tubuh serta tenaga yang dimiliki oleh masing-masing individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan. hidupnya, dan hampir sebagian besar dari waktunya dihabiskan di tempat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Depkes RI (2007), perawat adalah seorang yang telah

Oleh: DWI APRILIYANI ( )

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI MUSCULOSKLETAL DISORDERS (MSDs) PADA AKTIVITAS PENGEMASAN IKAN LOMEK (HARPODON NEHEROUS) DI KAWASAN MINAPOLITAN KUALA ENOK

SURAT PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : diusahakan atas dasar hitungan harian

BAB I PENDAHULUAN. tidak alamiah, alat dan sarana kerja yang tidak sesuai dengan pemakainya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal

Bambang, 2008 mengemukakan 3 (tiga) sikap kerja yaitu: duduk, duduk berdiri, dan berdiri.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia industri di Indonesia masih didominan dengan penggunaan tenaga

RUPTUR TENDO ACHILLES

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya, yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Lama Duduk Sebelum Istirahat Dalam Berkendara

BAB VI PEMBAHASAN. Subjek pada penelitian ini semua berjenis kelamin wanita dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kecelakaan, penyakit dan keluhan-keluhan kesehatan yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Repository.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. akibat nyeri punggung. Nyeri punggung bagian bawah merupakan penyebab

SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN SEPATU HAK TINGGI TERHADAP POTENSI TERJADINYA VARISES PADA TUNGKAI BAWAH

BAB I PENDAHULUAN. Menurut ILO (2013) Diperkirakan 2.34 juta orang meninggal setiap tahunnya

BAB 6 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PENGARUH PENGGUNAAN STAGEN PADA AKTIVITAS ANGKAT-ANGKUT DI PASAR LEGI SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin yaitu ergon (kerja) dan nomos

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V PEMBAHASAN. yang cukup kuat untuk menyebabkan peningkatan resiko keluhan low back

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dengan program pengembangan dan pendayagunaan SDM tersebut, pemerintah juga memberikan jaminan kesejahteraan, kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB V PEMBAHASAN. Sehingga jenis kelamin, merokok dan trauma tidak memiliki kontribusi terhadap

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Occupational Health and Safety Council of Ontario (OHSCO)

Universitas Indonesia

POSTURE & MOVEMENT PERTEMUAN 2 DECY SITUNGKIR, SKM, MKKK KESEHATAN MASYARAKAT

BAB 1 : PENDAHULUAN. pembangunan bangsa Indonesia dewasa ini lebih dikonsentrasikan pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan muskuloskeletal adalah kerusakan pada bagian-bagian otot

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih dominan dialami oleh para pekerja. secara fisik yang berat. Salah satu akibat dari kerja secara manual, seperti

Analisis Postur Kerja dengan Rapid Entire Body Assesment (REBA) di Industri Pengolahan Tempe

BAB VI PEMBAHASAN. Perbaikan Sikap Kerja Dan Penambahan Penerangan Lokal Menurunkan Keluhan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arbeitswissenschaft di Jerman, Human Factors Engineering atau Personal

ANALISIS POSTUR KERJA DAN KELUHAN PEKERJA PADA AKTIVITAS PEMOTONGAN BAHAN BAKU PEMBUATAN KERIPIK

SARANA KERJA YANG TIDAK ERGONOMIS MENINGKATKAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PEKERJA GARMENT DI BALI

sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. Pentingnya transportasi terlihat pada

Identifikasi keluhan biomekanik dan kebutuhan operator proses packing di PT X

BAB I PENDAHULUAN. dan memiliki besar derajat kebebasan. Posisi ini bekerja mempromosikan

BAB II LANDASAN TEORI

Latihan Kekuatan Otot Tubuh Bagian Atas

BAB I PENDAHULUAN. Unit kerja menengah CV. Raya Sport merupakan usaha yang. memproduksi pakaian (konveksi). Pada kegiatan proses produksi ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. A. Kuesioner Nordic Body Map Nama : Umur : Pendidikan terakhir : Masa kerja :...tahun

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

BAB 2 LANDASAN TEORI. tersebut digunakan sebagai dasar dan penunjang pemecahan masalah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun untuk putri. Unsur fisik yang diperlukan dalam nomor tolak ini adalah

Angkat kedua dumbbell ke depan dengan memutar pergelangan tangan (twist) hingga bertemu satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian keselamatan dan kesehatan kerja tidak lepas dari peran

PENGARUH PENGGUNAAN SEPATU BERHAK TINGGI TERHADAP NYERI MYOGENIK PADA OTOT GASTROKNEMIUS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mengenai sistem muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal (musculoskeletal

BAB V ANALISA HASIL. 5.1 Hasil Perhitungan Seluruh Tahapan Menggunakan Metode REBA, REBA, OWAS & QEC

ERGONOMI DESAIN MEJA DAN KURSI SISWA SEKOLAH DASAR

KELUHAN SUBJEKTIF CARPAL TUNNEL SYNDROME PADA PEMERAH SUSU SAPI DI BOYOLALI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang secara sistematis memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan kerja merupakan salah satu bidang kesehatan masyarakat


BAB I PENDAHULUAN. 1-1 Universitas Kristen Maranatha

BAB V PEMBAHASAN. lebih tinggi dari perempuan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA RESIKO MANUAL MATERIAL HANDLING PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI UD. CITRA TANI

ANTROPOMETRI TEKNIK TATA CARA KERJA PROGRAM KEAHLIAN PERENCANAAN PRODUKSI MANUFAKTUR DAN JASA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berkelok-kelok akibat gangguan (hambatan) aliran darah. Bila hanya melebar saja

untuk Mencegah Sakit Punggung

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perubahan-perubahan yang terjadi di segala aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. belum bisa dihindari secara keseluruhan. Dunia industri di Indonesia masih

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stasiun Kerja Bawahan. Stasiun Kerja Finishing. Gambar 1.1 Stasiun Kerja Pembuatan Sepatu

Transkripsi:

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sales Promotion Girl (SPG) Mall Sumber daya manusia khususnya kaum wanita di Indonesia cukup mendominasi dan merupakan modal pembangunan yang dapat didayagunakan secara maksimal. Partisipasi dan peran wanita dalam dunia kerja tidak jauh berbeda dengan laki-laki. Hampir semua pekerjaan laki-laki dapat dikerjakan oleh kaum wanita dan sebagian besar perusahaan cenderung lebih membuka peluang kerja bagi wanita khususnya perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah banyak dan tidak mengutamakan keterampilan khusus. Mengacu pada Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 di Indonesia maka hak dan kewajiban tenaga kerja baik wanita maupun laki-laki secara umum sama, meliputi pengaturan jam kerja dan lembur, jam kerja dan istirahat, pengaturan pengajuan istirahat atau cuti, pengaturan jaminan sosial dan pengupahan. Namun terdapat perlindungan khusus bagi tenaga kerja wanita yang meliputi pengaturan jam kerja malam, cuti hamil, melahirkan, keguguran dan haid, serta kesempatan untuk menyusui anak. Mall merupakan pusat pertokoan atau kumpulan beberapa toko baik eceran atau retail dalam satu bangunan atau komplek yang dihubungkan oleh suatu koridor, tidak hanya sebagai tempat berbelanja namun juga sebagai tempat rekreasi. Konsepnya identik dengan bangunan tertutup multilantai yang diisi oleh berbagai jenis unit retail dalam satu struktur yang kompak, sehingga para pengunjung mudah mengakses dari satu unit ke unit retail yang lain (Widyastuti, 2006). Setiap 7

8 pembangunan mall akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja baru baik laki-laki maupun perempuan. Tenaga kerja yang cukup banyak diserap dengan adanya mall adalah tenaga kerja wanita sebagai sales promotion girl (SPG) disamping sales promotion boy yang juga semakin banyak dipekerjakan sebagai tenaga sales product. Sales promotion girl (SPG) merupakan suatu profesi yang bergerak dalam pemasaran atau promosi suatu produk. Retnasih (2001) menyatakan sales promotion girl adalah seorang perempuan yang direkrut oleh perusahaan untuk mempromosikan produk. Pemasaran produk pada suatu mall cenderung lebih memberdayakan SPG yang memiliki karakteristik fisik menarik untuk mempromosikan produk baru maupun lama. Dalam promosi dan pemasaran produk, SPG dituntut memiliki beberapa kriteria. Menurut Raharti (2001) seorang SPG harus memenuhi beberapa syarat yaitu performance, communicating style dan body language. Performance merupakan tampilan fisik yang dapat diinderakan dengan menggunakan pengelihatan. Dalam perspektif ini, performance juga mengilustrasikan tentang pembawaan seseorang. Pembawaan ini dinilai dari penampilan outlook (penampilan fisik) dan desain dress code (desain pakaian). Penilaian dari pembawaan ini bersifat subjektif. Communicating style atau kemampuan komunikasi mutlak harus dipenuhi oleh SPG karena melalui komunikasi akan mampu tercipta interaksi antara konsumen dan SPG. Body language lebih mengarah pada gerakan fisik (lemah lembut, lemah gemulai, dan lainnya) dan sentuhan fisik (body touch) saat menawarkan produk. Berdasarkan kualitasnya SPG dibedakan menjadi dua jenis yaitu pertama adalah SPG yang terdaftar langsung sebagai tenaga kerja tetap suatu perusahaan yang bertugas untuk mempromosikan suatu barang yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Kedua yaitu SPG yang merupakan tenaga kerja yang disewa atau dibayar

9 dengan kontrak kerja dalam batas waktu tertentu. Keberadaan SPG ini dapat dari.perorangan atau disediakan langsung dari perusahaan pengerah tenaga kerja atau perusahaan outsourcing. Sebuah mall di dalamnya terdiri dari berbagai jenis toko terdapat beragam jenis sales promotion girl. Beberapa SPG yang bekerja di dalam sebuah mall merupakan tenaga sales promotion tetap mall untuk mempromosikan produk meskipun produk tersebut bukan hasil produksi langsung perusahaan mall tersebut. Beberapa SPG lainnya merupakan tenaga promosi dari pihak perusahaan produk yang ditempatkan di mall tertentu untuk mempromosikan produk mereka dalam kurun waktu tertentu. Terdapat perbedaan kewajiban dan hak antara SPG dari pihak mall dengan SPG dari perusahaan produk. Seluruh SPG dalam sebuah mall wajib mengikuti aturan berpakaian yang dikeluarkan oleh pihak manajemen mall namun tidak demikian dengan kebijakan mengenai hak berupa upah dan jaminan kesejahteraan lain yang ditentukan masing-masing oleh perusahaan SPG tersebut. 2.2 Pemakaian Sepatu Tumit Tinggi Pemakaian sepatu tumit tinggi merupakan salah satu kebijakan tata busana kerja yang harus dipatuhi oleh SPG mall. Kebijakan tersebut bertujuan menunjang penampilan SPG dalam mempromosikan produknya. Seiring dengan perkembangan industri sepatu saat ini muncul sepatu tumit tinggi dengan berbagai desain yang dapat memberikan kesan seksi bagi pemakainya. Selama bekerja, SPG berada dalam posisi berdiri selama 5-8 jam setiap hari. Menurut Sutalaksana (2000) sikap berdiri merupakan sikap siaga fisik maupun mental sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti. Secara fisiologi berdiri merupakan suatu kerja karena adanya kontraksi otot dalam waktu

10 relatif singkat dapat menimbulkan kelelahan sehingga menimbulkan rasa sakit pada otot yang bersangkutan (Karhiwikarta, 1987). Berdiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan duduk (Tarwaka, dkk., 2004). Kestabilan tubuh ketika posisi berdiri dipengaruhi oleh posisi kedua kaki. Kaki yang sejajar lurus dengan jarak sesuai dengan tulang pinggul akan menjaga tubuh dari tergelincir (Astuti, 2007). Kaki merupakan salah satu bagian tubuh yang memiliki rangkaian tulang dan sendi yang cukup rumit. Kaki dibentuk oleh beberapa tulang dan membentuk beberapa lengkung yaitu arcus longitudinalis anterior, arcus longitudinalis lateralis, arcus longitudinalis medialis. Tulang-tulang tersebut membentuk suatu rangkaian yang saling terkait menyerupai layar perahu. Sepatu atau alas kaki yang baik diperlukan agar kaki dapat menjaga tubuh tetap seimbang. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki bukan direpotkan untuk menahan sepatu (Santoso, 2004). Peningkatan ketegangan pada otot kaki akibat menggunakan kaki untuk menopang tubuh akan menimbulkan musculosceletal pain pada otot-otot kaki (Azmi & Martita dalam Sutajaya, 2001). Desain alas kaki untuk kerja berdiri adalah ukuran alas kaki harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki dan tidak terdapat penahanan yang kuat pada ligamen pergelangan kaki. Dengan demikian otot rangka tidak mudah mengalami kelelahan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kenyamanan dan keluhan pada kaki akibat pemakaian sepatu antara lain: a. Ukuran Kenyamanan menggunakan alat tergantung pada kesesuaian ukuran alat dengan ukuran alat dengan ukuran manusia. Rancangan yang memiliki kompatibilitas tinggi terhadap pemakainya sangat penting untuk mengurangi

11 timbulnya bahaya akibat terjadinya kesalahan kerja akibat adanya kesalahan desain (design-induced error) (Liliana, dkk., 2007). Dengan demikian ada tidaknya keluhan pada kaki tergantung pada kesesuaian antara ukuran sepatu dengan antropometri kaki. b. Bentuk Seiring perkembangan mode, sepatu mengalami perkembangan dari segi bentuk. Toe box sepatu yang tinggi memberikan keleluasaan bagi jari-jari kaki untuk bergerak dan membuat sirkulasi udara dalam sepatu menjadi lebih lancar. Ujung toe box bulat atau persegi lebih baik dibandingkan ujung runcing untuk menghindari penekukan tulang dan otot kaki. c. Kelenturan Telapak kaki akan melentur saat berjalan sehingga kelenturan alas sepatu yang digunakan sangat penting untuk menjaga kelenturan kaki. Unsur yang berpengaruh terhadap kelenturan sepatu antara lain sol luar, sol dalam, bahan sol dan struktur sol. d. Bahan Bahan sepatu berpengaruh terhadap kenyamanan pemakainya. Sepatu sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak mudah menyebabkan kaki berkeringat dan licin yang dapat berakibat pada ketidaknyamanan dan mudah cidera atau keseleo. e. Berat Aktivitas melangkah merupakan aktivitas mengangkat kaki melawan gravitasi. Memakai sepatu yang berat membuat beban angkat kaki semakin besar.

12 f. Sol sepatu Sol sepatu merupakan salah satu bagian dari sepatu yang berpengaruh terhadap keluhan pada kaki. Menurut Turner (1987) dalam Ramdhayani (2010) sol sepatu terdiri dari sol bagian dalam, sol bagian tengah, dan sol bagian luar. Sol bagian dalam adalah sol yang bersentuhan langsung dengan telapak kaki. Fungsinya adalah melindungi telapak kaki dari benturan dan memberikan kepegasan pada sepatu tersebut. Sol bagian tengah adalah lapisan antara sol dalam dan sol luar, memberikan kelenturan dan perlindungan. Sol bagian luar adalah sol yang kontak langsung dengan permukaan lantai atau tanah. 2.3 Keluhan Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam waktu yang lama dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon yang sering diistilahkan dengan musculosceletal disorders (MSDs) (Grandjean, 1993 dalam Tarwaka, dkk., 2004). Akobundu, dkk. (2008) menyatakan bahwa rasa sakit pertama adalah sinyal bahwa otot tendon mulai merasakan sakit dan harus beristirahat serta memulihkan. Secara garis besar keluhan muskuloskeletal dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1. keluhan sementara yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima pembebanan statis. Namun keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan tersebut dihentikan

13 2. keluhan menetap yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah dihentikan rasa sakit pada otot masih terus berlajut. Keluhan muskuloskeletal berdasarkan nordic body map dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu: bagian otot trunkus, bagian otot ektremitas atas (upper extremitas), bagian otot ekstremitas bawah (lower extremitas). 1. Bagian otot trunkus terdiri dari: leher bagian atas, leher bagian bawah, pinggang, punggung, bokong, dan pantat. 2. Bagian otot ekstremitas atas terdiri dari: bahu kanan, bahu kiri, lengan atas kanan, lengan atas kiri, siku kanan, siku kiri, lengan bawah kanan, lengan bawah kiri, pergelangan tangan kanan, pergelangan tangan kiri, tangan kanan, dan tangan kiri. 3. Bagian otot ekstremitas bawah terdiri dari: paha kanan, paha kiri, lutut kanan, lutut kiri, betis kanan, betis kiri, pergelangan kaki kanan, pergelangan kaki kiri, kaki kanan, dan kaki kiri. 2.3.1 Penyebab terjadinya keluhan muskuloskeletal Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal, antara lain: 1. Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja yang aktivitas kerjanya menuntut tenaga besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan terjadi karena tenaga yang dikerahkan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan,

14 maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal (Tarwaka, dkk., 2004). 2. Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi. Semakin lama durasi dalam melakukan pekerjaan yang sama maka risiko yang diterima semakin tinggi dan waktu yang diperlukan untuk pemulihan tenaga semakin lama (NIOSH, 1997). 3. Sikap kerja tidak ilmiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan otot skeletal. Menurut Manuaba (2000) dalam Tarwaka, dkk. (2004), sikap kerja yang tidak alamiah tersebut umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja, dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja. Penelitian Surata (2001) menunjukkan penggunaan roda tangan berhendel vertikal pada alat pres parutan kelapa dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 23,22% dibandingkan menggunakan pengepresan parutan kelapa dengan alat pres tangkai horizontal. Hal tersebut diakibatkan oleh hendel vertikal mengubah sikap tangan pronasi menjadi netral. Penelitian Adiputra (2003) menunjukkan keluhan subjektif pada subjek pemakai helm AT lebih tinggi daripada pemakai helm BH. Keluhan terjadi pada kepala belakang kiri dan kanan, leher belakang kanan, mata kiri dan

15 kanan. Hal tersebut terjadi karena belum dipertimbangkan sepenuhnya unsur antropometri kepala dalam pendesainan helm. 4. Faktor penyebab sekunder Terdapat beberapa faktor sekunder yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal yaitu tekanan, getaran, dan mikroklimat. Semakin sering terjadi tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap. Getaran dengan frekuensi yang tinggi dapat menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis tersebut menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Sedangkan perbedaan suhu lingkungan yang terlalu besar terhadap suhu tubuh dapat menyebabkan sebagian besar energi dimanfaatkan untuk beradaptasi terhadap suhu lingkungan. Apabila intake energi kurang maka suplai energi ke otot akan berkurang. Hal tersebut mengakibatkan peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot berkurang, metabolisme karbohidrat terhambat sehingga terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot. 5. Penyebab kombinasi Risiko mengalami cidera otot skeletal semakin besar apabila saat melakukan pekerjaan, pekerja menerima terpapar beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan. Menurut Tarwaka, dkk. (2004) terdapat faktor individu yang berpengaruh terhadap risiko mengalami keluhan meliputi:

16 1. Umur Riihimaki, dkk., 1989 dalam Tarwaka, dkk. (2004) menyatakan umur memiliki hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot, terutama untuk otot leher dan bahu. Bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot. Masih dari sumber yang sama, Chaffin (1979) dan Guo, dkk. (1995) menyatakan keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja 25-65 tahun dan keluhan akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Hasil penelitian Betti e, dkk. (1989) menunjukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutkan akan terjadi penurunan kekuatan otot seiring bertambahnya umur. Menurunnya kekuatan otot cenderung diikuti dengan meningkatnya keluhan otot. Namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan umur tidak memiliki hubungan dengan keluhan muskuloskeletal salah satunya penelitian Torell, dkk. (1988) dalam Maijunidah (2010) yang tidak menemukan korelasi antara usia dan keluhan muskuloskeletal pada prevalensi dalam populasi pekerja galangan kapal. Mereka menemukan hubungan yang kuat antara beban kerja (dalam kategori rendah, sedang, atau berat) dan gejala atau diagnosis muskuloskeletal. 2. Jenis kelamin Beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hasil penelitian Betti e, dkk. (1989) dalam Tarwaka, dkk. (2004) menunjukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria khususnya otot lengan, punggung, dan kaki.

17 3. Antropometri Antropometri yang meliputi berat badan, tinggi badan, dan masa tubuh memiliki pengaruh untuk menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal. Keluhan otot tersebut disebabkan karena kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Tubuh yang tinggi pada umumnya memiliki bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap tekukan sehingga risiko terjadinya keluhan otot skeletal lebih tinggi. Tubuh tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan. Werner, dkk. (1994) dalam Tarwaka, dkk. (2004) menyatakan bahwa pasien gemuk (obesitas dengan masa tubuh > 29) mempunyai risiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (masa tubuh < 20), khususnya otot kaki. Menurut Felson, dkk. (1992) dalam Syamsir (2004) meningkatnya tekanan atau bertambahnya beban karena berat badan yang terus menerus mengakibatkan erosi rawan sendi. Sebaliknya pengurangan berat badan sebesar 5 kg, terjadi pengurangan gejala osteoarthritis sendi lutut lebih besar dari 50% pada populasi di Framingham. 4. Kebiasaan merokok Pengaruh faktor kebiasaan merokok terhadap risiko keluhan otot skeletal masih menjadi perdebatan namun beberapa penelitian telah membuktikan adanya kaitan antara kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok maka semakin tinggi pula tingkat keluhan otot muskuloskeletal.

18 5. Kesegaran jasmani. Kesegaran jasmani berpengaruh terhadap keluhan otot skeletal dimana risiko keluhan otot skeletal tinggi apabila kesegaran tubuh rendah. Keluhan otot akan meningkat seiring dengan bertambahnya aktivitas fisik. 6. Kekuatan fisik. Dalam mengerjakan pekerjaan fisik yang memerlukan pengerahan otot maka faktor kekuatan fisik berpengaruh terhadap risiko keluhan dan cidera otot skeletal. 2.3.2 Pengukuran keluhan muskuloskeletal Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengenali sumber penyebab keluhan muskuloskeletal. Alat ukur ergonomik yang digunakan mulai dari alat yang sangat sederhana hingga alat dengan sistem komputer (Tarwaka, dkk., 2004). Alat-alat tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Checklist Checklist merupakan alat ukur ergonomik yang paling sederhana dan mudah, terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi sumber keluhan atau penyakit. Checklist pada umumnya dipilih untuk pengukuran yang bersifat umum dan lebih cocok digunakan untuk studi pendahuluan dan identifikasi masalah karena hasilnya yang kurang teliti. 2. Model biomekanik Model biomekanik merupakan model yang menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja. Model ini lebih banyak digunakan untuk mendesain tingkat beban dan sikap kerja yang aman bagi pekerja.

19 3. Tabel psikofisik Psikofisik merupakan cabang ilmu psikologi yang digunakan untuk menguji hubungan antara persepsi dari sensasi tubuh terhadap rangsangan fisik. Dengan mengetahui persepsi seseorang terhadap suatu pekerjaan maka dapat diukur tingkat kekuatan atau kapasitas kerja seseorang. Hasil pengukuran sangat bergantung pada persepsi seseorang sehingga dapat terjadi perbedaan persepsi yang satu dengan yang lainnya. 4. Model fisik Model fisik merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber keluhan pada otot dengan mengukur tingkat beban kerja. Tingkat beban kerja dapat diketahui dengan menggunakan indikator denyut nadi, konsumsi oksigen dan kapasitas paru-paru. 5. Pengukuran dengan videotape Analisis videotape dilakukan dengan menggunakan video camera yang dapat merekam setiap tahapan aktivitas kerja. Hasil rekaman akan digunakan sebagai dasar melakukan analisis terhadap sumber terjadinya keluhan otot. Pengukuran dengan metode ini sangat mudah dan hasilnya mudah dipahami. Namun diperlukan biaya yang mahal karena diperlukan beberapa kamera untuk dapat merekam seluruh tahapan aktivitas secara detail. 6. Pengamatan melalui monitor Pengukuran dengan monitor menggunakan alat monitor yang terdiri dari sensor mekanik yang dipasang di bagian-bagian tubuh pekerja yang akan diukur. Aspek fisik yang dapat diukur meliputi posisi, kecepatan dan percepatan pergerakan sehingga nantinya dapat digunakan untuk

20 mengestimasi risiko keluhan otot yang akan terjadi serta dapat sekaligus dapat dianalisis solusi ergonomis yang tepat untuk mencegah terjadinya keluhan tersebut. 7. Metode analitik Metode analitik direkomendasikan oleh NIOSH untuk pekerjaan mengangkat dengan menghitung Lifting Index (LI) dan Recommended Weight Limit(RWL) yaitu berat beban yang masih aman untuk dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan risiko gangguan sakit pinggang. Cara ini merupakan cara sederhana untuk mengestimasi kemungkinan terjadinya peregangan otot yang berlebihan. 8. Nordic Body Map Nordic body map baik rating maupun rangking merupakan metode subjektif menilai keluhan muskuloskeletal dan mengetahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan mulai dari rasa agak sakit (tidak nyaman) hingga rasa sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh dapat diestimasi jenis dan tingkat keluhan otot skeletal yang dirasakan pekerja. Cara ini sederhana namun mengandung subjektivitas yang cukup tinggi. Menghindari bias yang cukup tinggi dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran sebelum dan sesudah aktivitas kerja. Prosedur menggunakan pemetaan tubuh untuk mengetahui letak keluhan dan menilai keluhan baik nyeri, rasa sakit maupun rasa tidak nyaman dapat dilakukan dari rentang keseluruhan jam kerja menggunakan skala 4 Linkert. 2.3.3 Efek pemakaian sepatu tumit tinggi Memakai sepatu tumit tinggi membuat kaki berada dalam posisi menjijit dalam waktu yang cukup lama. Pemakaian tersebut menyebabkan timbulnya

21 efek berupa keluhan subjektif dan keluhan objektif pada kaki. Keluhan subjektif dapat muncul berupa keluhan muskuloskeletal yang umumnya ditandai dengan mengalami pegal-pegal, nyeri dan kesemutan, sedangkan keluhan objektif umumnya telah berupa penyakit ataupun cidera. Penyakit dan cidera yang timbul akibat pemakaian sepatu tumit tinggi merupakan pengaruh dari adanya tekanan pada telapak kaki dan betis yang kemudian mempengaruhi tulang dan otot. Tulang dapat mengalami fraktur karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan memutar, membengkok, dan menarik. Hasil penelitian Kerrigan (2005) dalam Hegrenes (2010) menunjukkan bahwa memakai sepatu tumit tinggi mengakibatkan peningkatan torsi pada lutut yang mengakibatkan peningkatan osteotritis pada lutut secara langsung. Suatu penelitian dilakukan pada perempuan dengan menggunakan sepatu berukuran tumit mulai 1,25 cm, 3,81 cm, 5,08 cm dan 7,62 cm. Hasil analisis biomekanik seperti fleksi plantar art. Talocrurales, fleksi sendi lutut menunjukkan gaya reaksi vertikal pada lantai dan penyebaran gaya anteroposterior meningkat secara bermakna antar pemakai sepatu tumit tinggi 7,62 cm dengan tumit ukuran 5,08 cm. Pada penelitian ini peneliti berkesimpulan untuk tidak menggunakan sepatu yang tumitnya melebihi 5,08 cm untuk memperkecil terjadinya cidera dan mempertahankan kenyamanan (Ebeling, dkk., 1994). Penggunaan sepatu tumit tinggi setinggi 5 cm atau lebih selama 5 hari atau lebih selama satu minggu dapat menyusutkan otot pada betis pemakainya sebesar 13% disamping dapat memendekkan tendon achilles pada betis (Brandt, 2010).

22 Proses berjalan terdiri dari 60% fase menopang dan 40% merupakan fase mengayun. Penelitian yang dilakukan Mc Bride, dkk. (1992) dalam Syamsir (2004) pada 11 perempuan pemakai sepatu tumit tinggi saat fase lepas landas (toe off) terjadi peningkatan reaksi gaya pada articulatio metatarsophalangealis I menjadi 1,58 kali berat badan, sedangkan bila tidak memakai sepatu hanya 0,8 kali berat badan. Bila diukur metatarso sesamoidea adalah 1,03 dan tanpa sepatu hanya 0,44 kali berat badan. Bila dihitung gaya resultannya pada pemakai sepatu tumit tinggi menjadi 1,88 kali sedangkan yang tidak memakai sepatu hanya 0,93 kali berat badan. Reaksi sistem otot rangka terhadap adanya gangguan dapat memberikan manifestasi berupa kontraktur dan nekrosis otot. Kontraktur otot terjadi apabila terdapat pemendekan otot dalam jangka waktu tertentu. Pada pemakaian sepatu tumit tinggi otot betis mengalami ketegangan karena kontraksi otot dalam waktu yang lama dan mengakibatkan peningkatan ketegangan serabut otot. Pemendekan otot tersebut menyebabkan tendon achilles menjadi lebih kaku dan tebal. Tendon achilles merupakan gabungan tiga otot yaitu gastroknemius, soleus, dan otot plantaris. Letaknya tepat di belakang pergelangan kaki melekat pada tulang tumit dan menyebabkan kaki untuk berjinjit ketika otot-otot berkontraksi. Pemakaian sepatu tumit tinggi dalam waktu lama dan berubah posisi secara mendadak ke posisi datar dapat menimbulkan ruptur traumatik tendon achilles (Helmi, 2012). Penggunaan sepatu tumit tinggi dalam posisi berdiri terlalu lama juga mengakibatkan terjadinya varises. Varises merupakan pembuluh darah balik yang melebar dan berliku-liku sehingga menonjol dipermukaan kulit. Varises berhubungan erat dengan kelemahan struktur tonus otot pembuluh balik atau

23 vena. Pembebanan menyebabkan vena kehilangan kelenturan sehingga meregang dan menjadi lebih panjang dan lebih lebar (Achmad, 2009).