1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah keadaaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan miokardium terhadap oksigen yang disediakan oleh pembuluh darah koroner. Proses aterosklerosis, yakni penimbunan lemak dan perkapuran dinding pembuluh darah yang berlangsung bertahun-tahun, mengakibatkan penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. penyumbatan total yang terjadi di pembuluh darah koroner akan mengakibatkan serangan jantung yang mungkin diikuti kematian mendadak atau gagal jantung (Gaziano et al., 2011). Penyebab tunggal kematian paling sering di seluruh dunia adalah PJK, 7,2 juta orang setiap tahun meninggal akibat PJK atau 12,8% dari seluruh kematian di dunia (WHO., 2011) Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2007, kematian akibat penyakit kardiovaskular mencapai 31,9%. Lembaga kesehatan dunia, WHO menyatakan bahwa 76% kematian akibat penyakit kardiovaskular akan terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia, penyakit jantung menduduki peringkat lima dari proporsi penyakit tidak menular sebagai penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2005. Penyakit ini juga merupakan penyebab kematian utama untuk umur di atas 40 tahun, insidensi PJK cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Profil Kesehatan Indonesia., 2005).
2 Sindroma Koroner Akut (SKA) menjadi penyebab utama kematian jantung mendadak. Penyakit ini merupakan spektrum manifestasi akut dari PJK yang merupakan keadaan gawat darurat akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah. Subtipe SKA terdiri atas infark miokard akut disertai elevasi segmen ST (IMA EST), IMA tanpa elevasi segmen ST (IMA Non EST) dan angina pektoris tak stabil (APTS. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia menunjukkan bahwa insiden penyakit ini semakin meningkat setiap tahunnya dengan angka mortalitas yang sangat tinggi. Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama aterosklerosis dan PJK. Dislipidemia berkaitan dengan abnormalitas profil lipid dalam plasma. Beberapa kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (LDL C), trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol HDL (HDL C). Berbagai perubahan profil lipid tersebut saling terkait satu dengan lain sehingga tidak dapat dibicarakan sendiri-sendiri (Huang., 2009). Pedoman NCEP ATP III menetapkan LDL C sebagai target utama terapi penurunan risiko PJK. Pedoman ini juga menetapkan kadar TG yang tinggi sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular, bersama dengan kadar rendah dari HDL C (Grundy et al., 2004). Baru baru ini diketahui bahwa ukuran partikel LDL sangat bervariasi dan telah terbukti bahwa perbedaan ukuran partikel LDL berpengaruh terhadap risiko penyakit kardivaskular (Sharma dan Garg., 2012). Pengukuran partikel LDL (LDL P) menggunakan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) telah terbukti lebih baik dalam memprediksi risiko kardiovaskular dibandingkan dengan penilaian enzimatik LDL C.
3 Ukuran partikel LDL yang kecil serta padat memiliki risiko lebih tinggi untuk menimbulkan kompikasi kardiovaskular dibandingkan dengan ukuran partikel LDL yang besar (Mora et al., 2007). Semakin kecil ukuran LDL atau tinggi kepadatannya maka semakin mudah LDL-P tersebut menyusup ke dalam intima, mengalami oksidasi, dan memicu proses aterosklerosis (Boullieer et al., 2005). Partikel LDL yang padat dan kecil cenderung bersifat aterogenik, hal ini disebabkan karena partikel LDL yang kecil lebih lama tinggal di dalam plasma karena partikel LDL yang kecil tidak mudah berikatan dengan reseptor LDL. Waktu yang lama di plasma ini membuat partikel LDL yang kecil dan padat mudah berikatan dengan reseptor scavenger. Reseptor scavenger yang telah berikatan dengan LDL akan dibawa menuju makrofag yang berada di lapisan dinding arteri. Di dalam dinding arteri, LDL akan mudah mengalami oksidasi lalu membentuk sel busa dan pada akhirnya membentuk plak aterosklerotik (Sharma dan Garg., 2012; Holvoet et al., 2003). Pasien dengan penyakit Diabetes Melitus (DM) telah diketahui memiliki kemungkinan untuk memiliki partikel LDL yang kecil dan padat, partikel ini tebentuk umumnya dari kadar trigliserida tinggi, LDL C tidak terlalu tinggi dan HDL C rendah (Ginsberg et al., 2010) yang sering disebut sebagai triad diabetic dyslipidemia. Pasien dengan DM juga memiliki kemungkinan untuk mengalami glikalisasi LDL yang menyebabkan molekul LDL mudah mengalami oksidasi dan membentuk plak aterosklerosis (Cohen et al., 1993; Rabbani et al., 2011). Plak ateroseklerotik dapat mangalami perubahan dari keadaan stabil menjadi labil dan mudah ruptur, mekanisme perubahan mendadak ini dikaitkan
4 dengan terjadinya trombosis akut pada plak aterosklerotik yang mengalami erosi, retak atau ruptur (Agewall.,2008; Libby., 2002). Manifestasi klinis dari plak ateroseklerotik yang stabil disebut sebagai angina pektoris stabil (APS) sedangkan plak aterosklerosis yang yang tidak stabil dapat berkembang menjadi SKA. Plak aterosklerosis yang terbentuk pada pasien DM diketahui memiliki kecenderungan yang tidak stabil, karena memiliki inti yang kaya lemak dan nekrotik, serta fibrous cap yang tipis (Marso et al., 2010), infiltrasi makrofag yang tinggi serta beban plak yang besar (Ota et al., 2009; Meng et al., 2010). Hal ini dapat menyebabkan destabilitas dari plak aterosklerotik yang memicu pembentukan thrombus. Trombus kemudian mengalami lisis dan pada akhirnya membentuk tromboemboli. Tromboemboli yang terbentuk ikut ke dalam aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan otot jantung tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen,kondisi ini dinamakan sindroma koroner akut dengan manifestasi klinis berupa Infark Miokard Akut. Penelitian oleh Younis et al (2010), menunjukkan bahwa pasien dengan DM yang terkontrol tetap memiliki risiko tinggi menderita penyakit jantung koroner dibandingkan dengan pasien dislipidemia yang terkontrol menggunakan terapi statin, hal ini disebabkan salah satunya oleh karena pasien DM memiliki partikel LDL yang lebih padat dan lebih kecil. Konsensus Diabetes Melitus yang disusun oleh PERKENI 2011 menyebutkan bahwa DM tipe 2 meliputi lebih 90% dari semua populasi diabetes. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan dan gaya hidup sangat lah berperan
5 yang mana faktor ini kebanyakan adalah faktor yang dapat dimodifikasi. Mengingat banyak nya kasus DM tipe 2 di masyarakat dan besar nya kemungkinan penyakit kardiovaskular maka diperlukan cara untuk mendeteksi risiko penyakit kardiovaskular pada pasien dengan DM tipe 2 agar dapat segera dilakukan usaha pencegahan dini. Meskipun penilaian partikel LDL penting dalam menilai risiko penyakit kardiovaskular namun penilaian partikel LDL menggunakan NMR membutuhkan waktu minimal dua hari dan cukup mahal, berkisar antar Rp.200.000,00 sampai dengan Rp. 300.000,00 maka dari itu diperlukan metode untuk menilai partikel LDL yang mudah, praktis dan murah. Beberapa penelitian menunjukkan penilaian indeks berupa rasio trigliseriga/hdl C (TG/HDL C) menjadi faktor prediktor penyakit kardiovaskular yang baik. Hal ini dikarenakan rasio TG/HDL C dapat menggambarkan ukuran partikel LDL (Santos et al., 2011, da Luz et al., 2008). Rasio TG/HDL C yang tinggi menggambarkan ukuran partikel LDL yang kecil dan padat, partikel LDL kecil dan padat lebih mudah mengalami oksidasi menjadi Ox LDL (Kwon et al., 2006). Dalam studi yang dilakukan oleh Nishi et al., 2002 menunjukkan bahwa plak aterosklerostik yang tidak stabil (vulnerable) mengandung lebih banyak makrofag dan Ox-LDL dibandingkan plak aterosklerotik yang stabil. Indeks aterogenik plasma (IAP) adalah rasio yang dihitung sebagai fungsi Log basis 10 (TG/HDL C). Transformasi rasio ini memudahkan dalam analisis
6 statistik, dikarenakan asumsi nilai normal lebih mudah tercapai (Soška et al., 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IAP terhadap SKA pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 dan mengetahui perbedaan IAP pada subtipe SKA. B. Perumusan Masalah 1. Prevalensi PJK terus meningkat dari waktu ke waktu di masyarakat 2. Perhitungan partikel LDL dapat digunakan untuk menilai risiko penyakit kardivaskular pada pasien DM dengan baik 3. Penilaian ukuran partikel LDL mahal dan tidak praktis 4. lipid index berupa IAP menggambarkan ukuran dan kepadatan partikel LDL dengan mudah, murah dan praktis 5. Belum ada program monitoring IAP untuk mengontrol faktor risiko SKA pada pasien DM 6. Besarnya partikel LDL pada pasien DM akan mempengaruhi manifestasi klinis PJK C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah rerata IAP pada pasien SKA dengan DM tipe 2 lebih tinggi dibandingkan bukan DM? 2. Apakah rerata IAP pada pasien IMA EST lebih tinggi dibandingkan APTS dan IMA non EST?
7 D. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui perbedaan antara Indeks Aterogenik Plasma pada pasien Sindroma Koroner Akut dengan Diabetes Melitus tipe 2 dibandingkan bukan Diabetes Melitus Tujuan Khusus 1. Mengetahui perbedaan antara Indeks Aterogenik Plasma pada pasien Sindroma Koroner Akut dengan Diabetes Melitus tipe 2 dibandingkan bukan Diabetes Melitus 2. Mengetahui perbedaan manifestasi klinis SKA pada pasien SKA dengan Diabetes Melitus tipe 2 dibandingkan dengan pasien bukan Diabetes melitus E. Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian dapat memberikan gambaran hubungan Indeks Aterogenik Plasma terhadap SKA pada pasien DM tipe 2 2. Hasil penelitian dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang pentingnya memonitor Indeks Aterogenik Plasma 3. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memprediksi manifestasi klinis SKA 4. Hasil penelitian ini dapat menambah evidence-based medicine yang sudah ada mengenai hubungan IAP dengan SKA pada pasien DM tipe 2
8 5. Dapat menjadi masukan bagi penentu kebijakan di Kementerian Kesehatan RI, dalam menyusun program monitoring rasio IAP untuk menurunkan risiko PJK pada pasien DM F. Keaslian Penelitian Penelitian - penelitian tentang hubungan antara indeks aterogenik dengan penyakit Jantung Koroner telah banyak dilakukan. Namun penelitian untuk melihat hubungan antara IAP dengan manifestasi klinis PJK berupa SKA pada pasien DM tipe 2 dibandingkan bukan DM sepengetahuan penulis masih belum ada. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penggunaan rasio lipid khususnya rasio TG/HDL C sebagai prediktor terjadinya penyakit jantung koroner sedangkan perbedaan nya adalah pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rasio lipid pada pasien SKA dengan DM tipe 2 Berikut adalah penelitian-penelitian yang berhubungan dengan rasio Lipid dengan PJK
9 Tabel 1. Hasil penelitian yang berhubungan dengan rasio TG/ HDL-C dan PJK NO PENELITI PUBLIKASI JUDUL DESAIN HASIL PENELITIAN 1 Da Luz et al CLINICS 2008;64:427-32 high ratio of triglycerides to hdl- cholesterol predicts extensive coronary disease Cross sectional Hubungan antara derajat penyakit jantung koroner dan tingkat lipid secara statistik siginikan untuk hal berikut : trigliserida, OR 2.02 (1.31-3.1; p = 0.0018); HDL-c, OR 2.21 (1.42-3.43; p = 0.0005); dan TG/HDLc, OR 2.01(1.30-3.09; p = 0.0018).. analisis Multivariat menggunakan regresi logistik menunjukkan OR TG/HDL-c 1.3 ± 0.79 (p =.0001), HDL-c 0.779 ± 0.074 (p =.0001), dan LDL 1.234 ± 0.097 (p = 0.03). analisis kurva ROC menunjutkkan hanya TG/HDL-c dan HDL-c yang bermanfaat dalam mendeteksi penyakit jantung koroner yang ekstensif. 2. Soška et al., 2012 Clinical Biochemistr y, 45(1-2), pp.96 100 The logarithm of the triglyceride / HDL-cholesterol ratio is related to the history of cardiovascular disease in patients with familial hypercholesterolemia Historical Cohort Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kardiovaskular LDL-c, Trigliserida AIP yang lebih tinggi serta angka HDL-C yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit kardiovaskular, bahkan setelah adjustment dengan, jenis kelamin.
10 3. Casella et al., 2012 Journal of the American College of Cardiology, 59(13), p.e1663. 2012 The Triglyceride/HDL Ratio Remains As an Independent Plasma Lipid Marker of Major Cardiovascular Events in Diabetic Patients 10-Year Follow-Up From the Medicine Angioplasty or Surgery Study II (Mass II) Trial Cohort Pasien ditindaklanjuti selama rata-rata 11,4 tahun. Dalam subkelompok pasien diabetes, setelah penyesuaian untuk confounders, umur > 65 tahun, pengobatan acak untuk CAD penyakit jantung koroner (CABG vs Medical Therapy), rasiotg/hdl-c yang dinilai pada 6 bulan secara independen berhubungan dengan MACE. Tidak ada hubungan antara MACE dan lipid plasma lainnya.