PENERAPAN MODEL IMPEACHMENT DALAM PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

Ilham Imaman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Andri Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM KAITANNYA DENGAN UPAYA MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM DEMOKRATIS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEWENANGAN MEMUTUSKAN PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN. PELANGGARAN PRESIDEN dan /atau WAKIL PRESIDEN ABSTRAC

Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Herlambang P. Wiratraman 2017

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SEBAGAI ALASAN PEMBERHENTIAN PRESIDEN DARI JABATANNYA (PEMAKZULAN)

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

MENGANALISIS SISTEM PEMERINTAHAN DI BERBAGAI NEGARA

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

POLITIK DAN STRATEGI (SISTEM KONSTITUSI)

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

Problematic MPR Decree Post Reform and After The Issuance of Law No. 12 of 2011

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

I. PENDAHULUAN. meruntuhkan tirani yang terjadi bertahun-tahun di negeri ini. Salah satu hal

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

PROBLEMATIKA KETETAPAN MPR PASCA REFORMASI DAN SETELAH TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU (STATE AUXILIARY INSTITUTIONS) Oleh : Tjokorda Gde Indraputra I Nyoman Bagiastra

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

SUSUNAN PEMERINTAHAN VERTIKAL DAN HORIZONTAL MATERI PERKULIAHAN HUKUM TATA NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

DAFTAR PUSTAKA. Pemilihan Presiden Secara Langsung. Jakarta: Sekertariat Jenderal MK RI. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid

Soal LCC 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara :)

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

Oleh: Anak Agung Ngr. Wisnu Wisesa Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DI DALAM PROSES LEGISLASI PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Montisa Mariana, SH.,MH

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM ERA REFORMASI

Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Presidensial

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN. Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.

Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

PRESS RELEASE. Consulate General of the Republic of Indonesia Zeppelinallee 23, Frankfurt am Main, tel fax

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

BAB IV ANALISIS TENTANG KONSEP SYURA DALAM ISLAM ATAS PELAKSANAAN DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DI INDONESIA MENURUT MAHFUD MD


BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

NASKAH PUBLIKASI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

KEDUDUKAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. Abdulkadir Muhammad Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibentuk maka ditarik tiga. kesimpulan, yakni:

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

Sistem Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

Kelebihan dan Kelemahan Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

MEKANISME, WEWENANG, DAN AKIBAT HUKUM PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA TESIS

IMPLIKASI AMANDEMEN UUD 1945 TERHADAP SISTEM HUKUM NASIONAL

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

SISTEM PRESIDENSIIL. Oleh: Muchamad Ali Safa at 1

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

MPR sebelum amandemen :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tuntutan dari gerakan reformasi tahun 1998 adalah melakukan

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Kelompok 10. Nama :- Maria Yuni Artha (197) - Neni Lastanti (209) - Sutarni (185) Kelas : A5-14

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Transkripsi:

PENERAPAN MODEL IMPEACHMENT DALAM PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA Oleh: Putu Eva Ditayani Antari Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS), Denpasar, Bali evaditayaniantari@undiknas.ac.id / 082237598387 ABSTRACT The dismissal of the President and / or Vice President in a presidential government system is an exception to the fixed term executive character. This is a form of checks and balances mechanism aimed at preventing the monopoly of power in the state due to the separation of the three branches of power within the state (Trias Politica). Similarly in Indonesia who recognize the mechanism of dismissal of the President and/or Vice President in his tenure as stipulated in the 1945 Constitution. Not only limited to the regulation, in history there are 2 (two) Indonesian President who dismissed in his tenure of Soekarno and Abdurrahman Wahid. However, after the amendment of the 1945 Constitution, the mechanism of dismissal has changed where the participation of the Constitutional Court to hear the reasons for the dismissal of the President and/or Vice President. This indicates that another model is applied in addition to impeachment in dismissal of the President and / or Vice President in his / her term of office. This is further examined normatively based on literature and legislation in order to obtain clarity on the term impeachment used by the community to replace the dismissal of the President and/or Vice President in his tenure. In addition it also aims to describe the impeachment model adopted by Indonesia after the amendment of the 1945 Constitution, with the participation of the Constitutional Court. The results will explain impeachment as one of the dismissal models through political mechanisms, but still based on constitutional requirements. While in Indonesia the authority of the Constitutional Court which participates in the dismissal mechanism of the President and/or Vice President in his 17

tenure is not a form of impeachment model shift, but only in the form of variations of the application of the model. Keywords : Impeachment, Constitution, Presidential System. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerapan asas equality before the law yang diadopsi dalam suatu negara, mengakibatkan bahwa setiap orang dalam suatu negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum. Oleh karena itu maka pertanggungjawaban menurut hukum merupakan keniscayaan, termasuk bagi pemerintah (pejabat). Dalam pemerintahan Indonesia sendiri pertanggungjawaban pemerintah dapat dicontohkan dengan adanya mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945). Sistem pemerintahan presidensial mensyaratkan masa jabatan tetap bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden atau disebut dengan fixed term executive, sehingga pemberhentian dalam masa jabatan bagi Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan bentuk pengecualian dari ciri fixed term executive dalam sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Dalam ketatanegaraan Indonesia terdapat 2 (dua) Presiden yang diberhentikan pada masa jabatannya yaitu Ir. Soekarno dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemberhentian Presiden Soekarno dalam masa jabatannya oleh MPRS pada tahun 1967 disebabkan oleh adanya dugaan bahwa Soekarno menyebarkan paham komunis untuk menggantikan Pancasila, seiring dengan adanya peristiwa G30S/PKI. Sementara dalam kasus pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid, MPR mendalilkan bahwa Abdurrahman Wahid telah menerima dana bantuan dari Sultan Brunei dan terlibat pencairan dana Yanatera Bulog, sebagai alasan pemberhentiannya. 1 Kedua presiden tersebut diberhentikan sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945 sebelum amandemen (selanjutnya disingkat UUD 1 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung., h. 9. 18

1945) yang cenderung mengarah pada unsur-unsur politis yaitu adanya pertentangan antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Presiden (sengketa kewenangan antar lembaga negara). Pasca era reformasi terdapat 5 kesepakatan pokok mengenai perubahan UUD 1945 yaitu mempertahankan pembukaan UUDNRI 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem presidensial, mengahpuskan bagian penjelasan yang dituangkan ke dalam Batang Tubuh, serta melakukan perubahan secara addendum. 2 Guna mempertegas sistem presidensial tersebut maka salah satu upaya yang dilakukan adalah menyusun kembali ketentuan mengenai mekanisme Presiden dalam masa jabatannya secara lebih tegas dan meminimalisir terjadinya upaya politisasi dalam mekanisme tersebut. Abdul Rasyid Thalib menyatakan bahwa pembehentian dalam masa jabatan merupakan bentuk tanggung jawab yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan terkait jabatannya. Ketentuan Presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sebelum amandemen menurut Abdul Rasyid Thalib masih menimbulkan multitafsir. Beliau mencontohkan satu sisi Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya, pada sisi lainnya Presiden dapat saja menyatakan dirinya berhenti (pernyataan sepihak) atas permintaan sendiri. Pemberhentian Ir. Soekarno dan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dalam masa jabatannya dilakukan dengan sistem pertanggungjawaban, yang prosedurnya belum terperinci, tata cara pembuktian yang tidak jelas dan tidak konsisten, sekaligus dengan dasar-dasar pengambilan keputusan yang tidak tertib. 3 Ketentuan tersebut selanjutnya dirubah pada amandemen UUD 1945 yang mengatur secara rinci mengenai alasanalasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, beserta dengan mekanisme yang harus 2 Syamsudin Haris, 2014, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, h. 5. 3 Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit., h. 15 18

ditempuh. Ketentuan mengenai Presiden dalam masa jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945. Kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya masih diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang juga merupakan lembaga yang berwenang untuk pelantikan atas jabatan tersebut. Selanjutnya alasan-alasan Presiden dalam masa jabatannya dan uraian mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B UUDNRI 1945. Selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (2) UUDNRI 1945 menjadi dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk berperan serta dalam mekanisme Presiden dalam masa jabatannya, yaitu untuk wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya peran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya tersebut, maka dalam penelitian ini akan mengkaji mengenai model pemberhentian yang dianut, antara impeachment dan forum previligiatum. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah yang dimaksud dengan impeachment? 2. Apakah model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah pengaturan hukum Indonesia mengenai pembehentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, atau pemberhentian terhadap jabatan politik lainnya. Pengaturan hukum tersebut dapat dijumpai dalam konstitusi yang 19

berlaku di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, berikut dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi turunannya. 1.3.2 Tujuan Khusus Sementara yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengetahui konsepsi tentang impeachment sebagai istilah yang dipersamakan dengan pemberhentian dalam masa jabatan. 2. Menganalisis model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUDNRI 1945. II. METODE PENELITIAN Abdulkadir Muhammad menyatakan penelitian hokum normative sebagai penelitian yang mengkaji norma hokum dalam berbagai aspek kecuali penerapan atau implementasi dari norma hukum yang dikaji. 4 Penelitian ini sendiri merupakan penelitian hukum normatif (normative legal study) karena penelitian ini mengkaji mengenai model pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang dianut di Indonesia berdasarkan pada peraturan perundangundangan serta konsep mengenai Presiden. Kajian tentang model pemberhentian yang dikaji tersebut berkaitan dengan keterlibatan Mahkamah Konstitusi selaku lembaga peradilan dalam mekanisme yang ditetapkan berdasarkan UUDNRI 1945. Adapun bahan hukum yang dipergunakan untuk menunjang pembahasan permasalahan dalam penelitian ini merupakan bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yang akan digunakan adalah UUD NRI 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah 4 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, h. 51. 20

Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sementara itu bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, jurnal, makalah, atau karya ilmiah hukum lainnya yang terkait dengan permasalahan yang dibahas, baik berupa media cetak maupun media elektronik. Bahan hukum tertier sendiri dipergunakan untuk memperoleh penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperti penjelasan yang terdapat dalam rancangan undang-undang, kamus, dan ensiklopedia. Bahan-bahan hukum terkait permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini selanjutnya akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan dengan mengidentifikasi kepustakaan sumber bahan hukum, lalu dilanjutkan dengan mengidentifikasi bahan hukum yang sekiranya diperlukan, dan terakhir mengiventarisasi bahan hukum yang diperlukan tersebut. Lebih lanjut lagi bahan hukum tersebut akan dicatat dalam suatu lembaran kecil dan dimasukkan dalam daftar kartu yang disusun sistematis sesuai fokus masalah yang dikaji. Bahan hukum yang telah dikumpulkan melalui sistem daftar kartu tersebut merupakan data kualitatif, yang selanjutnya dianalisis secara deskriptif berdasarkan permasalahan yang diteliti. Dengan demikan maka tulisan ini bersifat deskriptif analisis. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Impeachment dan Pertanggungjawaban Pemerintah Adanya pemberhentian sesseorang dalam jabatan politik di tengah masa jabatannya merupakan hal yang biasa terjadi dalam sistem pemerintahan. Namun dalam Negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial hal tersebut merupakan pengingkaran akan adanya masa jabatan tetap yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (fixed term executive). Dengan demikian maka pemberhentian seseorang dari jabatan politik dalam masa jabatannya disebut sebagai pengecualian akan mekanisme tersebut, sehingga perlu ditetapkan mekanisme yang ditempuh dalam pemberhentian melalui perundangundangan. 21

Sistem pemerintahan presidensial sebagai salah satu sistem pemerintah yang diterapkan oleh mayoritas negara-negara di dunia, selain sistem pemerintahan parlementer. Di luar kedua sistem tersebut terdapat juga sistem pemerintahan quasi atau ada juga yang menyebut dengan sistem pemerintahan referendum. Keberadaan sistem pemerintahan dalam suatu negara bertujuan untuk mengatur mekanisme penyelenggaraan negara oleh organ-organ negara berdasarkan fungsi dan wewenangnya masing-masing. Dalam pandangan Ismail Suny sistem pemerintahan merupakan sistem yang menguraikan bekerjanya alat-alat perlengkapan negara yang tertinggi di suatu Negara serta hubungannya satu sama lain. 5 Sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia merupakan sistem pemerintahan yang berkiblat pada Amerika Serikat sebagai tolak ukurnya dan memiliki ciri menyatunya jabatan antara kepala negara dan kepala pemerintahan pada jabatan Presiden. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang memisahkan jabatan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sehingga diberikan kepada 2 (dua) lembaga yang berbeda. C.F Strong menyebut sistempemerintahan presidensial sebagai fixed executive yang memiliki ciri-ciri yaitu: 6 1. Presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan; 2. Presiden mempunyai wewenang menyangkat para menteri dan pejabat lainnya; 3. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap; 4. Presiden dan parlemen memiliki kedudukan sejajar; 5. Presiden bertanggung jawab kepada konstitusi. Selain beberapa ciri yang telah dikemukakan oleh C.F. Strong, dalam sistem presidensial yang secara ideal diterapkan di Amerika Serikat juga menunjukakan bahwa terdapat pemisahan kekuasaan secara tegas antara eksekutif, legislative, dan yudisial sebagaimana dikemukakan Montesquie. 7 Terutama pada ranah eksekutif dan legislative terdapat 5 Ismail Sunny dalam Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Setara Press, Malang, h. 46. 6 Dody Nur Andriyan, 2016, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan Multipartai di Indonesia, Deepublish, Yogyakarta, h. 78. 7 M. Khoiril Anam, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Nusamedia, Bandung, h. 62. 22

pemisahan secara tegas antara keduanya (clear-cut separation of power), sehingga pembentukan pemerintah (eksekutif) tidak tergantung pada kekuasaan politik yang ada di parlemen selayaknya yang terjadi pada sistem pemerintahan parlementer. Selain itu, pemisahan lembaga legislatif dan eksekutif secara tegas dalam sistem pemerintahan presidensial juga disertai dengan kedudukan yang sejajar (neben) antara kedua lembaga tersebut, sehingga masing-masing lembaga tidak dapat membubarkan lembaga yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan mekanisme checks and balances yang diterapkan juga dalam sistem pemerintahan presidensial, sehingga kedua lembaga dapat saling mengawasi kinerja lembaga lain. Dalam sisem pemerintahan parlementer terdapat pertanggungjawaban yang wajib dilakukan eksekutif kepada legislatif (parlemen) karena eksekutif dibentuk oleh parlemen. Sementara dalam sistem pemerintahan presidensial dimana kedudukan eksekutif dan legislatif sejajar, memiliki legitimasi kekuasaan yang bersumber pada rakyat, maka pertanggungjawaban eksekutif dilakukan kepada rakyat sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam konstitusi. Demikian halnya dalam sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia, bahwa pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan kepada rakyat sesuai dengan mekanisme yang ditentukan dalam UUDNRI 1945, khususnya dalam Pasal 7B yang mengatur tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Pertanggungjawaban pemerintah terhadap kebijakannya sering kali dikaitkan dengan sanksi berupa pemberhentian dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan dalam pemerintahannya. Indonesia mengenal pemberhentian dalam masa jabatan sebagai impeachment atau pemakzulan, yang berdasarkan Pasal 7B UUDNRI 1945 dilakukan karena: 1. Melakukan pengkianatan terhadap negara; 2. Melakukan tindak pidana penyuapan; 3. Melakukan tindak pidana korupsi; 4. Melakukan tindak pidana berat; 5. Melakukan perbuatan tercela; dan 6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Alasan pemberhentian tersebut dicantumkan secara tegas dalam UUDNRI 1945 dengan keinginan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia. Selain itu keputusan 23

tersebut juga diambil dengan pertimbangan bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia yang menunjukkan pemberhentian 2 (dua) orang Presiden di tengah masa jabatannya dengan alasan yang sumir dan cenderung disebabkan alasan politis yaitu adanya pertentangan antara eksekutif dan legislative. Salah satu contohnya adalah pemberhentian terhadap Presiden K.H. Abdurrahman Wahid melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001, dimana beliau diberhentikan sebagai presiden dengan alasan telah melanggar haluan negara menerbitkan Maklumat tanggal 23 Juli 2001 yang didalamnya menyatakan: 8 1. membubarkan MPR dan DPR Republik Indonesia; 2. mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dan membentuk Komisi Pemilihan Umum untuk mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun; dan 3. menyelamatkan gerakan reformasi total dari fraksi Orde Baru dengan cara membubarkan Partai Golkar sementara menunggu keputusan Mahkamah Agung. Sebelum amandemen tidak dapat ditemukan secara tegas mengenai mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, namun dalam bagian penjelasan UUD 1945 dinyatakan bahwa kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR, artinya Presiden bertindak menyelenggarakan kegiatan pemerintahan negara berdasarkan atas perintah MPR sehingga harus tunduk terhadap setiap putusan-putusan MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Perintah MPR yang dijadikan patokan bagi Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan tertuang dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN). Apabila Presiden diduga melanggar ketentuan MPR tersebut, maka MPR selaku atasan Presiden berhak untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Pertanggungjawaban tersebutlah yang nantinya akan dijadikan pertimbangan penjatuhan sanksi pemberhentian presiden dalam masa jabatannya. Lebih lanjut dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/antar Lembaga Tinggi Negara dan Ketetapan MPR mengenai Peraturan Tata Tertib MPR, diatur 8 Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Penerbit Mizan, Bandung, h. 244-250. 24

mengenai slasan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya yang tertuang yaitu karena Presiden dan/atau Wakil Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Ketentuan tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria/batasan untuk menilai bahwa telah sungguh-sungguh terjadi pelanggaran haluan negara. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa ketentuan tersebut merupakan norma kabur yang dapat menimbulkan interpretasi beragam dan tidak ada kepastian hukum dalam mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Selain itu norma kabur juga dapat menimbulkan penafsirannya yang cenderung bersifat subyektif bergantung pada pandangan/kepentingan masing-masing anggota DPR dan MPR. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya sebagaimana diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dan ketetapan MPR tersebut cenderung mengarah pada model impeachment yang diterapkan pada sistem pemerintahan parlementer, dimana alasan pemberhentian dari jabatannya didasarkan pada hal-hal politis. Hal ini oleh tim penyusun perubahan UUD 1945 dianggap tidak sesuai dengan ciri fixed term executive dalam sistem presidensial. Oleh karena itu untuk menegaskan sistem presidensial yang dianut, maka mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya diatur secara tegas dalam UUDNRI 1945 dengan melibatkan peran 3 (tiga) lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Selain itu diatur pula secara tegas mengenai alasan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden berkaitan dengan etika jabatan selaku pejabat publik. DPR diberikan kewenangan sebagai lembaga yang mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, sementara MK merupakan lembaga yang berwenang mengadili keabsahan alasan yang digunakan DPR untuk mengajukan Presiden. MPR sendiri tetap merupakan lembaga akhir yang memutuskan mengenai Presiden berdasarkan usulan DPR, melalui mekanisme voting. 25

3.2 Model Impeachment dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 Sistem pemerintahan Presidensial merupakan sistem pemerintahan yang mengadopsi teori Trias Politica, dimana masing-masing bidang kekuasaan melaksanakan kewenangan yang terpisah satu dengan lainnya. Masing-masing kekuasaan tersebut juga memiliki kedudukan sejajar dengan legitimasi kekuasaan yang bersumber dari rakyat. Oleh karena itu dalam sistem pemerintahan presidensial dipandang perlu mengimplementasikan sistem check and balances untuk meminimalisir terjadinya pemusatan/monopoli kekuasaan pada satu bidang saja. Hal ini juga bertujuan menjamin kinerja masing-masing bidang kekuasaan guna mencapai tujuan negara, sehingga antar satu lembaga dengan lembaga lain memiliki wewenang untuk saling mengawasi serta mengimbangi kekuasaan lembaga lainnya. Abdul Mukthie Fadjar menyatakan Presiden di tengah masa jabatan merupakan sebuah konsekuensi dari negara yang melaksanakan sistem pemerintahan presidensial. Dimana mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya tersebut wajib diatur dalam konstitusi negara yang bersangkutan, guna menjamin stabilitas pemerintahan. Hal berbeda diterapkan dalam sistem pemerintahan yang memungkinkan parlemen untuk menjatuhkan pemerintahan (kabinet) setiap saat melalui mosi tidak percaya. 9 Impeachment merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menyebut Presiden atau disebut oleh Hamdan Zoelva sebagai pemakzulan. 10 Istilah impeachment ditinjau dari konsepnya bukan hanya merupakan proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, tetapi istilah impeachment mencakup pula proses pemberhentian kepada para pejabat negara yang dianggap telah melanggar peraturan sebagaimana 9 Abdul Mukthie Fadjar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta, h. 240. 10 Hamdan Zoelva, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2. 26

yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dalam menjalankan tugasnya. 11 Impeachment merupakan suatu model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang banyak diterapkan, selain model forum previlegiatum. Impeachment adalah mekanisme Presiden di tengah masa jabatannya yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Sebaliknya pengertian forum previlegiatum (peradilan khusus) yaitu mekanisme Presiden di tengah masa jabatannya dilakukan oleh suatu lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk mengadili perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya itu. 12 Berdasarkan UUD 1945 Indonesia menerapkan mekanisme impeachment terkait pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan kewenangan yang dimiliki MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Selain itu kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR juga menunjukkan supremasi dari lembaga parlemen. Presiden selaku mandataris MPR wajib untuk menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR dan segala keputusan-keputusan yang dibuat MPR. Selain itu presiden juga harus bertanggung jawab kepada MPR sebagai bentuk pembatasan dari kekuasaan presiden. Pertanggungjawaban yang disampaikan oleh presiden kepada MPR dalam suatu sidang istimewa itulah yang akan menentukan apakah presiden diberhentikan dari jabatannya atau tidak. Dengan demikian maka UUD 1945 dapat dikatakan menganut model impeachment dalam hal pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, karena kewenangan untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dilakukan oleh lembaga politik serta melalui keputusan politik yang biasanya diperoleh melalui metode pemungutan suara (voting). Model 11 Refly Harun, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, h. 75. 12 M. Saleh dan Mukhlish, 2010, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Sebuah Tinjauan Konstitusional), Bina Ilmu Offset, Surabaya, h. 38. 27

impeachment ini diterapkan di Indonesia pada kasus pemberhentian Soekarno dan KH Abdurrahman Wahid dalam masa jabatannya. Penerapan model impeachment ini selanjutnya mengalami perubahan seiring dengan adanya upaya memperkuat sistem presidensial yang dianut di Indonesia melalui amandemen UUD 1945. Pasca amandemen mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat saja (DPR dan MPR), namun juga menyertakan adanya lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewennagan khusus berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan yang memiliki fungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan konstitusi serta melakukan penafsiran terhadap konstitusi, termasuk dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUDNRI 1945 berwenang untuk melakukan mekanisme peradilan guna menguji sahnya alasan yang digunakan DPR untuk mengajukan usul Presiden kepada MPR. Oleh karena itu terdapat pemikiran bahwa model impeachment telah beralih ke model forum previlegiatum, namun hal tersebut menurut Abdul Latif tidaklah tepat. Dalam pandangannya disampaikan bahwa keterlibatan Mahkamah Konstitusi tidaklah mempengaruhi proses politik dalam Presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tidaklah final dan dapat dianulir oleh keputusan MPR. 13 Pandangan serupa disampaikan pula oleh Ni matul Huda yang menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bukan merupakan putusan final karena pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden tetap tunduk pada putusan MPR sebagai lembaga politik yang berwenang. 14 Mahkamah Konstitusi dalam pandangan Soimin dan Mahuriyanto bertujuan untuk melakukan perimbangan 13 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta, h. 164. 14 Ni matul Huda, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta, h. 254. 28

dan pengawasan terhadap mekanisme politik pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada lembaga perwakilan rakyat. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan dasar hukum yang kuat guna memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, sesuai alasan-alasan yang diatur dalam UUDNRI 1945. 15 Dengan demikian Mahkamah Konstitusi melakukan filter/penyaringan terhadap adanya usulan pemberhentian oleh DPR terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi akan memutuskan mengenai keabsahan usul pemberhentian sehingga meminimalisir upaya politisasi di DPR dan MPR terhadap jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diajukan oleh DPR hanya dapat dilanjutkan apabila usulan tersebut telah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun tidak ada kewajiban bagi MPR menikuti putusan Mahkamah Konstitusi. Sebaliknya apabila menurut pandangan Mahkamah Konstitusi usulan yang diajukan tidak berdasarkan alasan-alasan sah menurut hukum, maka mekanisme pemberhentian tidak dilanjutkan ke MPR. Oleh karena itu maka keterlibatan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya tidak merubah mekanisme Presiden berdasarkan proses politik (impeachment). Keterlibatan Mahkamah Konstitusi tidak serta merta meniadakan kewenangan MPR untuk menentukan pemberhtian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui voting. Sehingga mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 merupakan model impeachment, namun didahului oleh adanya penerapan model forum previlegiatum yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi. IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan, maka terhadap rumusan masalah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Impeachment merupakan mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang dilakukan melalui 15 Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 160. 29

proses-proses politik pada lembaga perwakilan rakyat. Proses pengambilan keputusan mengenai impeachment ini banyak dipengaruhi perimbangan dari komposisi kepentingan dan dukungan politik terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. 2. Model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia berdasarkan UUDNRI 1945 menerapkan model impeachment yang ditunjukkan dengan adanya mekanisme pengambilan keputusan akhir yang dilakukan oleh MPR sebagai lembaga politis. Sebelum usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan ke MPR maka telebih dahulu Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji keabsahan alasan yang digunakan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun mengingat sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak mengikat bagi MPR dalam mengambil keputusan, maka Indonesia menerapkan model impeachment murni. 4.2 Saran Adapun saran yang dapat disampaikan terkait penelitian ini adalah hendaknya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dalam hal menyelenggarakan peradilan terhadap usulan impeachment ditambahkan dnegan adanya kekuatan hukum mengikat bagi MPR. Dengan demikian maka kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak hanya terkesan sebagai filter, dan hanya memenuhi tuntutan akan adanya mekanisme hukum dalam proses impeachment. DAFTAR PUSTAKA Buku: Anam, M. Khoiril, 2007, Dasar-Dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik, Nusamedia, Bandung. 30

Andriyan, Dody Nur, 2016, Hukum Tata Negara dan Sistem Politik: Kombinasi Presidensial dengan Multipartai di Indonesia, Deepublish, Yogyakarta. Fadjar, Abdul Mukthie, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press dan Citra Media Yogyakarta, Jakarta. Haris, Syamsudin, 2014, Partai, Pemilu, dan Parlemen Era Reformasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Harun, Refly, Zainal A.M. Husein, dan Bisariyah, 2004, Menjaga Denyut Konstitusi : Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Huda, Ni matul, 2008, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta. Indrayana, Denny, 2007, Amandemen UUD 1945 Antara Mitos dan Pembongkaran, Penerbit Mizan, Bandung. Latif, Abdul 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Kreasi Total Media, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta. Soimin dan Mashuriyanto, 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensial Murni, Setara Press, Malang. Thalib, Abdul Rasyid,.2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Zoelva, Hamdan, 2011, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 45