Mentari Senja Niko Cahya Pratama This book is for sale at http://leanpub.com/mentarisenja This version was published on 2014-08-14 This is a Leanpub book. Leanpub empowers authors and publishers with the Lean Publishing process. Lean Publishing is the act of publishing an in-progress ebook using lightweight tools and many iterations to get reader feedback, pivot until you have the right book and build traction once you do. 2014 Niko Cahya Pratama
Untuk kamu.
Contents Prolog.............................. 1
Prolog Siang yang cerah. Matahari baru bergeser beberapa derajat dari titik zenit. Suhu masih panas. Assalamualaikum, ucap Adam berbarengan dengan membuka pintu asrama. Asrama sedang sepi, tak seorangpun yang menjawab salam Adam. Adam menutup pintu, lalu melanjutkan langkah melewati beberapa kamar hendak menuju kamarnya, kamar nomer tiga belas. Adam berhenti di depan kamar nomer dua belas yang pintunya terbuka. Di dalamnya terdapat dua orang santri mahasiswa yang sedang terkapar. Mungkin mereka kecapean setelah kuliah, pikir Adam. Adam melanjutkan langkah menuju kamarnya. Ia duduk di teras, kemudian membuka sepatunya, lalu beranjak menjinjing sepatu dan meletakannya pada rak sepatu di depan kamarnya. Adam membuka pintu. Ia masuk kamar. Di dalam, Mamat, teman satu kamarnya sedang tepar terlentang. Kedua kakinya terbuka lebar. Tangannya ia gunakan sebagai bantal penyangga kepalanya. Mulutnya mangap-mangap menyerap oksigen di dalam kamar. Mamat tiba beberapa menit lalu. Karena merasa lelah, ia langsung tidur. Adam menyimpan tas di atas lemari pakaian miliknya yang ukurannya tidak lebih tinggi dari tubuhnya. Ia melepas kemeja lengan panjangnya, lalu digantungkan pada paku di balik pintu. Adam merogoh dompet di saku belakang dan hape di saku samping kanan. Keduanya ia letakan di lantai depan lemarinya, hanya beberapa inci saja dari kepala Mamat.
Prolog 2 Adam duduk bersandar pada dinding. Ia menarik nafas panjang. Oksigen yang ia hirup serasa memberikan kesegaran baru bagi tubuh dan jiwanya. Hape Adam berdering. Sebuah pesan masuk. Adam mengambil hapenya. Pada layar hape terpampang nama Rika. Melihat nama itu, wajah Adam menekuk. Meski terpaksa, ia tetap membaca pesan itu. Tolong angkat atuh telfon Neng, A Neng mohon, mohon dengan sangat Adam langsung menghapus pesan itu. Ia simpan lagi hape ke posisi semula. Adam menghirup nafas dalam lagi, dalam sekali. Seketika itu, rasa kantuk meringkus jiwanya. Perlahan matanya meredup, hingga akhirnya terpejam. Adam tidur dengan posisi punggung bersandar pada dinding. Baru beberapa detik tidur, hape Adam berdering. Sebuah panggilan masuk. Adam terperanjat. Matanya sudah tampak kemerahan. Dengan tidak melihat hape, tangannya meraba-raba ke lantai. Kena, hapenya kini ada pada genggamannya. Adam ambil. Dengan kekuatan matanya yang hanya berdaya lima watt, ia melihat layar hape. Terpampang nama Rika. Ck, Adam berdecak. Hapenya ia letakan lagi pada posisi semula. Adam memejamkan mata lagi. Rington yang keras itu tidak ia pedulikan. Masa bodoh! Hape Adam berhenti bernyanyi. Tak berselang lama, bersuara lagi. Adam hiraukan saja hingga mati. Lalu bersuara lagi. Entah untuk yang keberapa puluh kalinya Rika menelfon Adam hari ini. Namun, tak sekalipun Adam terima. Halo, suara berat berkicau bersamaan dengan berhentinya rington hape Adam. Siapa ini? kicauan berikutnya terdengar serupa suara radio butut yang baru diperbaiki. Mendengar itu, Adam membuka mata,
Prolog 3 ia menoleh ke sumber suara. Adam mendapati Mamat meletakan hape miliknya pada telinga teman sekamarnya itu. Oh, Rika, mau bicara dengan siapa? tanya Mamat datar. Adam melotot mengangkat alisnya. Ia, ada di samping saya nih, sambil memasang wajah tak berdosa, Mamat memberikan hape pada Adam. Nih Dam, telfon dari Rika. Ganggu orang aja, lagi enak-enak tidur juga, gerutu Mamat. Adam terima hapenya. Ia hanya memandanginya saja. Sayupsayup ada suara kecil dari speaker hape. Dengan berat hati Adam menempelkan hape ke telinganya. Halo, ucap Adam pelan. Halo, A. Adam diam. Ia tak menjawab. Halo, A! Iya, akhirnya Adam menjawab, meskipun dengan nada malas. A? Iya, ada apa? Kenapa telfon Neng gak diangkat-angkat. Aa masih marah? Neng kan udah minta maaf. Neng ngaku salah. Neng khilaf A. Maafin Neng atuh ya A, rengek Rika berselimut manja. Iya, insyaallah sudah saya maafkan, jawab Adam datar. Tapi kenapa kalo Neng telfon gak diangkat-angkat? Rika merengek lagi. Adam diam tak menjawab apa-apa. Kenapa diam aja A? Aa masih marah ya? Adam masih diam tak menjawab.
Prolog 4 Jawab atuh A! Iya, Neng ngaku salah ke Aa. Neng minta maaf. Neng baru sadar kalau laki-laki itu gak pantas untuk Neng. Dan Neng sadar, kalau yang pantas untuk Neng itu hanya Aa. Hanyalah Aa, bukan yang lain. Entah kenapa, saat mendengar Rika berucap seperti itu, Adam bergemuruh jiwanya. Ia seakan tak kuasa untuk mengeluarkan gemuruh itu. Biasanya, Adam tak kuasa untuk mengeluarkan gemuruh jiwanya. Adam takut Rika akan terluka karena ucapannya. Tapi kali ini tidak. Seperti ada kekuatan aneh yang membelai jiwa Adam. Kekuatan itu menyuruh Adam untuk segera mengutarakannya. A kenapa diam aja. Maafkan Neng A. Neng sadar, kalau laki-laki itu gak pantas untuk Neng, rengek Rika lagi. Adam memejamkan mata. Ia meyakinkan dirinya. Rika, ucap Adam. Kali ini Adam tidak menyebut Neng. Adam langsung menyebut namanya saja. Iya, A, jawab Rika. Maaf Rika. Saya juga baru sadar, kalau Rika itu gak pantas untuk saya. Jangan khawatir, saya sudah memaafkan kesalahan Rika. Saya juga berharap, Rika bisa memaafkan kesalahan-kesalahan saya. Saya mohon, setelah ini Rika tidak menghubungi saya lagi. Saya pun demikian. Sesuai permintaan Rika dulu, insyaallah saya tidak akan menghubungi Rika lagi. Sekali lagi maafkan saya. Assalamu alaikum. TUT TUUT TUUTT Adam meletakan hapenya pada posisi semula. Ia menarik nafas. Pandangannya diarahkan ke langit-langit kamar. Maafkan saya Rika, saya tak sampai hati mengeluarkan katakata tadi. Tapi hanya itulah satu-satunya jalan yang saya miliki. Maafkan saya, lirih Adam, entah kepada siapa. Adam menarik nafas panjang lagi. Matanya terpejam.
Prolog 5