BAB 2 LANDASAN TEORI. Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.03/2013 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

PENGERTIAN DAN DEFINISI CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK ISTILAH-ISTILAH PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 49/PJ./2009 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. mempunyai pendapat yang berbeda, antara lain:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

PERSANDINGAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BESERTA PERATURAN-PERATURAN PELAKSANAANNYA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8/PMK.03/2013 TENTANG

Undang-Undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya

PENGANTAR PERPAJAKAN. Pengantar Pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pajak merupakan komponen yang sangat penting dalam keberlangsungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1:

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PMK.03/2013 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBETULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

DIREKTORAT PENYULUHAN, PELAYANAN, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 115 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN KEBERATAN PAJAK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

BAB II TINJUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH definisi pajak yaitu iuran rakyat

BAB II BAHAN RUJUKAN

PENETAPAN DAN KETETAPAN

BAB II LANDASAN TEORI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II BAHAN RUJUKAN

PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK INTERNAL DJP; PENGADILAN PAJAK; DAN MAHKAMAH AGUNG.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

- 1 - QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

BAB II LANDASAN TEORI. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 08 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BURU,

PENGANTAR PERPAJAKAN. Amanita Novi Yushita, M.Si

- 1 - BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMUNGUTAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2011 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2011

BAB II BAHAN RUJUKAN

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2011 NOMOR : 1 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN

BAB II LANDASAN TEORI

BUPATI MUSI RAWAS, TENTANG

Perpajakan I. Modul ke: 01FEB. Pengantar Perpajakan. Fakultas. Dra. Muti ah, M.Si. Program Studi AKUNTANSI

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Pajak mempunyai definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO,

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 10 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 9 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB 2 LANDASAN TEORI. Cuma-Cuma) yang diberikan rakyat kepada Negara, namun seiring dengan

PERATURAN DAERAH KOTA SUKABUMI

MANAJEMEN PERPAJAKAN

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA BANDA ACEH,

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 08 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

BAB II LANDASAN TEORI / PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Pengertian bank menurut Pasal 1 Undang-undang No.10 Tahun 1998

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANOKWARI NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MANOKWARI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

BAGIAN 1 NOMOR POKOK WAJIB PAJAK. e-registration melalui laman Direktorat Jenderal Pajak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 41/PJ/2014 TENTANG

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

P E R A T U R A N D A E R A H

24 Maret STIE Widya Praja Tanah Grogot

PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 2 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON,

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2010 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MEDAN

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pemahaman Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Beberapa ahli dalam perpajakan telah memberikan pengertian pajak, antara lain sebagai berikut: 1. Soemahamidjaja yang dikutip oleh Ilyas dan Burton (2010: 6) memberikan definisi sebagai berikut: Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. 2. Soemitro yang dikutip oleh Ilyas dan Burton (2010: 6) memberikan definisi sebagai berikut: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sementara itu, dalam Pasal 1 ayat (1) UU KUP memberikan definisi sebagai berikut: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung yang digunakan untuk keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari pengertian pajak tersebut, menurut Ilyas dan Burton (2010: 6-7) dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu: 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan UU; 2. Sifatnya dapat dipaksakan; 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; 11

12 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta); dan 5. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai penngeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. 2.1.2 Fungsi Pajak Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, menurut Waluyo (2011:6) terlihat ada dua fungsi pajak, yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, agar dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. 2.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut Waluyo (2011: 12) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Menurut golongan atau pembebanan, dibagi menjadi berikut ini: a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan oleh pihak lain tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.

13 b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifat: Pembagian pajak menurut sifat dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip, yaitu sebagai berikut: a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan. b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, yaitu sebagai berikut: a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Bumi dan Bangunan.

14 Dengan disahkannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah yang berlaku tanggal 1 Januari 2010, maka Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dialihkan menjadi Pajak Daerah pada tahun 2011 dan diikuti dengan Pajak Bumi dan Bangunan dialihkan menjadi Pajak Daerah paling lambat tahun 2014. 2.1.4 Stelsel Pajak Menurut Mardiasmo (2009: 6-7) pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu sebagai berikut: 1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). 2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang, misalnya: penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu pada akhir tahun, sedangkan kelemahaannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. 3. Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada

pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah, sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. 15 2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009: 7) terdapat 3 (tiga) sistem pemungutan pajak, yaitu sebagai berikut: 1. Official Assesment System Sistem ini adalah suatu sistem pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus; b. Wajib Pajak bersifat pasif; c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assesment System Sistem ini adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri; b. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

16 3. With Holding System Sistem ini adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, selain fiskus dan Wajib Pajak. 2.1.6 Hambatan Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009: 8-9) hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi: 1. Perlawanan Pasif Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual masyarakat; b. Sistem perpajakan yang (mungkin) sulit dipahami masyarakat; c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan Aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak. Bentuknya antara lain: a. Tax avoidance, adalah usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax evasion, adalah usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

17 2.1.7 Tarif Pajak Tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Menurut Waluyo (2011: 18) struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak dikenal empat macam tarif, yaitu sebagai berikut: 1. Tarif Pajak Proporsional atau Sebanding Tarif pajak proporsional adalah tarif pajak berupa persentase tetap terhadap jumlah berapa pun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh: dikenakan Pajak Pertambahan Nilai 10% atas penyerahan Barang Kena Pajak. 2. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Sebagai contoh tarif Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang berlaku di Indonesia, yaitu: a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: 1) Sampai dengan Rp 50.000.000,00 tarifnya 5%; 2) Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 tarifnya 15%; 3) Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 tarifnya 25%%; 4) Di atas Rp 500.000.000,00 tarifnya 30%. b. Untuk Wajib Pajak Badan dan BUT: Perubahan tarif untuk Wajib Pajak Badan menjadi tarif tunggal yaitu 28% (2009) dan 25% (2010 dan seterusnya). Memperhatikan kenaikan tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi beberapa tarif, sebagai berikut: 1) Tarif Progresif Progresif, dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin besar.

18 2) Tarif Progresif Tetap, dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya tetap. 3) Tarif Progresif Degresif, dalam hal ini kenaikan persentase pajaknya semakin kecil. 3. Tarif Pajak Degresif Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar. 4. Tarif Pajak Tetap Tarif pajak tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) terhadap berapa pun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. Oleh karena itu besarnya pajak yang terutang adalah tetap. Sebagai contoh: tarif Bea Meterai. Namun menurut Ilyas dan Burton (2010: 60) terdapat dua tarif lainnya, yaitu: 5. Tarif Advalorem Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. Misalnya: tarif bea masuk 10% dari nilai impor. 6. Tarif Spesifik Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu. Misalnya: tarif bea masuk yang besar rupiahnya ditetapkan atas suatu barang yang di impor. 2.1.8 Hapusnya Utang Pajak Menurut Waluyo (2011: 19) apabila melihat timbulnya utang pajak bahwa utang pajak timbul karena surat ketetapan pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan oleh official assesment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada sistem self assesment.

19 Adapun hapusnya utang pajak disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Pembayaran Utang pajak melekat pada Wajib Pajak akan dihapus karena pembayaran pajak yang dilakukan ke kas Negara. 2. Kompensasi Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu, kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. 3. Daluwarsa Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Menurut Pasal 22 UU KUP No. 16 Tahun 2000 bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun. Kemudian sejak berlakunya UU No. 27 Tahun 2008 pada 1 Januari 2008 tentang perubahan atas UU KUP No.16 Tahun 2000, daluwarsa penagihan pajak menjadi 5 (lima) tahun. 4. Pembebasan Utang pajak tidak berakhir dalam arti semestinya, tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi admisistrasi. 5. Penghapusan Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan Wajib Pajak, misalnya: keadaan keuangan Wajib Pajak.

20 2.2 Pajak Penghasilan 2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan telah diatur dalam UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah mengalami perubahan ketiga menjadi UU No. 36 Tahun 2008 yang berlaku tanggal 1 Januari 2009. UU PPh mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. 2.2.2 Subjek Pajak Penghasilan Menurut Waluyo (2011: 99) subjek pajak diartikan sebagai orang atau badan atau pihak yang dituju oleh undang-undang untuk dikenai pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan dan bentuk usaha tetap. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 2.2.3 Objek Pajak Penghasilan Menurut Waluyo (2011: 109) objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan. Pengertian penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

21 Objek Pajak Penghasilan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. 2.2.4 Tarif Pajak Penghasilan Badan Tarif PPh yang berlaku bagi Wajib Pajak Badan menurut UU PPh adalah: 1. Tarif sesuai Pasal 17 ayat (1b) UU PPh mengatur bahwa untuk Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap dikenakan tarif sebesar 28%. Kemudian sesuai Pasal 17 ayat (2a) UU PPh tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. 2. Tarif sesuai Pasal 17 ayat (2b) UU PPh mengatur bahwa Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (1b) dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 3. Tarif sesuai Pasal 31E UU PPh mengatur bahwa Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1b) dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). 2.2.5 Ketentuan Pembayaran dan Pelaporan SPT Tahunan PPh Sesuai Pasal 9 ayat (2) UU KUP bahwa ketentuan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan. Sesuai Pasal 3 ayat (3) UU KUP bahwa batas waktu penyampaian SPT

22 Tahunan PPh Wajib Pajak Badan adalah paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak dan Pasal 3 ayat (4) UU KUP bahwa Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan tertulis atau dengan cara lain. 2.3 Pemeriksaan Pajak 2.3.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Menurut Priantara (2011: 66-67) landasan hukum pemeriksaan pajak adalah Pasal 29, Pasal 29A juncto Pasal 31 UU KUP. Pasal 29 ayat (1) UU KUP menyatakan bahwa: Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun data dan mengolah, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.3.2 Tujuan Pemeriksaan Menurut Priantara (2011: 67-68) sesuai dengan pasal 29 ayat (1) UU KUP, tujuan pemeriksaan pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan 2. Untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.

23 2.3.3 Jangka Waktu Pemeriksaan Menurut Waluyo (2011: 68) jangka waktu pemeriksaan ditetapkan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. 2. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. 2.3.4 Objek Pemeriksaan Menurut Priantara (2011: 70) objek pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak pada umumnya adalah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dan/atau SPT Masa. SPT Tahunan yaitu surat yang digunakan Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terhutang dalam suatu Tahun Pajak dan SPT Masa yaitu surat yang digunakan Wajib Pajak/PKP untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran terhutang dalam suatu Masa Pajak. Sedangkan objek untuk tujuan lain disesuaikan dengan tujuan pemeriksaan yang dicantumkan dalam surat perintah pemeriksaan. 2.4 Surat Ketetapan Pajak Menurut Waluyo (2011: 51-56) pengertian Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan UU KUP adalah surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

24 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. Surat ini diterbitkan berdasarkan: a. hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar. b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 3 ayat 3 UU PPh dan setelah ditegur tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana disampaikan dalam surat teguran. c. hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya tarif 0%. d. kewajiban pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak diketahui besarnya pajak terutang. e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Surat ini diterbitkan berdasarkan: a. hasil pemeriksaan atau pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang termasuk data yang semula belum terungkap atau penerbitan SKPKBT ini dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak.

25 b. hasil penelitian atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. 3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya sengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Surat ini diterbitkan berdasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan, bila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. Surat ini diterbitkan berdasarkan: a. hasil penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; atau c. hasil pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak terutang.

26 2.5 Sengketa Pajak Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bahwa: Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Menurut Ilyas dan Burton (2010: 108) sengketa pajak terjadi karena ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan petugas pajak mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian Sengketa Pajak umumnya diawali diterbitkannya surat ketetapan pajak atau surat tindakan penagihan pajak. Surat ketetapan pajak dimaksud adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). Selain itu sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga pelaku pemotongan atau pemungutan pajak. Untuk menyelesaikan Sengketa Pajak yang dapat dilakukan Wajib Pajak adalah meliputi proses keberatan, banding, peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak, sedang upaya hukum Banding dan Gugatan diajukan ke Pengadilan Pajak (PP). Khusus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama peninjauan kembali (huruf kecil) yang diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak. Menurut Rachmawati dan Sariono (2011) apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perbedaan atau selisih, fiskus berwenang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang berfungsi sebagai surat tagihan. Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan perhitungan antara fiskus dengan wajib pajak, inilah salah satu sebab timbulnya sengketa pajak. Dalam hal wajib pajak mengajukan

27 keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dan keberatan ditolak, maka wajib pajak dapat mengajukan banding. Menurut Pamungkas (2011) karena Surat Ketetapan Pajak adalah hasil hitungan oleh fiskus maka tidak mustahil bisa berbeda dengan apa yang telah dihitung oleh Wajib Pajak, karena adanya perbedaan pemahaman ketentuan atau Undang-undang Pajak atau perbedaan data yang dipakai dalam perhitungan oleh fiskus. Perbedaan hitungan antara fiskus dan Wajib Pajak tersebut merupakan keadaan yang menimbulkan adanya salah satu sengketa pajak. 2.6 Keberatan Pajak 2.6.1 Pengertian Keberatan Dalam Pasal 25, 26 dan 26A UU KUP mengatur ketentuan dalam Keberatan. Keberatan merupakan suatu cara yang dilakukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak apabila merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. Dasar hukum keberatan diatur pada PMK No. 194/PMK.03/2007 yang selanjutnya tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatannya diatur pada PER No.52/PJ./2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan/Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang berlaku mulai 26 November 2010 namun peraturan tersebut telah diganti dengan PMK No. 09/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan yang berlaku pada 1 Maret 2013. Menurut Rial (2009) upaya keberatan adalah upaya yang dilakukan wajib pajak terhadap perbedaan penafsiran dan pendirian tentang ketentuan hukum di bidang pajak terhadap kasus tertentu. Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.

28 2.6.2 Hal-hal Yang Dapat Diajukan Keberatan Seperti yang dikutip Buana (2012: 76) menurut Pasal 25 ayat (1) UU KUP, apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya ke Direktur Jenderal Pajak atas suatu: 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); 4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); atau 5. Pemotongan atau Pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak semua Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat diajukan keberatan. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A UU KUP tidak dapat diajukan keberatan oleh Wajib Pajak. Pasal 13A UU KUP berbunyi: Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. 2.6.3 Syarat-syarat Formal Pengajuan Keberatan Menurut Buana (2012: 77-78) berdasarkan PER-52/PJ./2010, pengajuan keberatan dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

29 a. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia; b. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar perhitungannya, yaitu alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi Surat Ketetapan Pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemungutan; c. 1 (satu) surat keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) Surat Ketetapan Pajak, untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak; d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan disertai fotokopi bukti pelunasannya; e. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur); dan f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP Kemudian di dalam PMK No. 09/PMK.03/2013 terdapat 1 (satu) syarat yang ditambahkan yaitu: g. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UU KUP. Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan Wajib Pajak belum memenuhi persyaratan tersebut diatas, Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan Surat Keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut terlampaui. Tanggal perbaikan Surat Keberatan ini merupakan tanggal Surat Keberatan diterima.

30 Dengan demikian penyampaian keberatan dihitung sejak tanggal dikirim Surat Ketetapan Pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sampai dengan tanggal perbaikan Surat Keberatan. 2.6.4 Penyampaian Surat Keberatan dan Tanda Terima Menurut Buana (2012: 78-80) Surat Keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan melalui: 1. Penyampaian secara langsung (Termasuk disampaikan ke Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah kerja KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan); 2. Pos dengan bukti pengiriman surat; atau 3. Dengan cara lain. Penyampaian Surat Keberatan melalui cara lain meliputi: a. melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir; atau b. e-filling melalui ASP (Application Service Provider) Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman Surat Keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak. Penyampaian Surat Keberatan secara elektronik yang selanjutnya disebut E- filling adalah suatu cara penyampaian surat keberatan yang dilakukan secara online yang real time melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP). Setiap penyampaian Surat Keberatan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir harus dilengkapi dengan bukti tanda penerimaan surat dan penyampaian Surat Keberatan E-filling melalui ASP dan harus dilengkapi bukti berupa bukti

31 penerimaan elektronik (meliputi: nama, NPWP, tanggal, jam, Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE), Nomor Transaksi Pengiriman ASP (NTPA) serta nama perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), yang tertera pada hasil cetakan Surat Keberatan). Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai Surat Keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak penerimaan surat dimaksud. Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai Surat Keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian Surat Keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai Surat Keberatan. Saat diterimanya Surat Keberatan, dalam hal Surat Keberatan disampaikan: a. secara langsung adalah sesuai tanggal terima yang tercantum pada bukti penerimaan surat yang diberikan oleh KPP; b. melalui pos adalah sesuai tanggal stempel pos yang tercantum pada bukti pengiriman surat; c. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir adalah sesuai tanggal pengiriman yang tercantum pada bukti pengiriman surat; atau d. dengan e-filling melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP) adalah sesuai tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan elektronik. 2.6.5 Keberatan Yang Tidak Memenuhi Syarat Menurut Buana (2012: 83-84) berdasarkan PER-52/PJ./2010, Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa suratnya memenuhi persyaratan. Dan Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan formal bukan merupakan Surat

32 Keberatan dan tidak dipertimbangkan, sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. Kemudian dengan terbitnya PMK No. 09/PMK.03/2013 yang didukung dengan SE-11/PJ/2014 menjelaskan bahwa penelitian persyaratan hanya dilakukan di Unit yang berwenang untuk menerbitkan keputusan atas keberatan. Tim Peneliti Keberatan melakukan penelitian pemenuhan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan maka Tim Peneliti akan membuat surat pemberitahuan bahwa Surat Keberatan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan. 2.6.6 Keterangan Dari Direktur Jenderal Pajak Menurut Buana (2012: 81) agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta keterangan tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak atau perhitungan rugi kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP paling lama 2 (dua) bulan setelah tanggal pengiriman Surat Ketetapan Pajak. Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, perhitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan. Menurut PMK No. 194/PMK.03/2007 keterangan yang diminta Wajib Pajak tersebut wajib diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima, oleh Direktur Jenderal Pajak dalam PER-52/PJ./2010 jangka waktu tersebut dipersingkat menjadi 15 (lima belas) hari hari kerja sejak surat permintaan Wajib Pajak diterima. Jangka waktu pemberian keterangan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak tidak menunda jangka waktu pengajuan keberatan. 2.6.7 Utang Pajak Menurut Buana (2012: 81-83) dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) UU KUP

33 berbunyi: STP, SKPKB, SKPKBT dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan. Atau Pasal 9 ayat (3a) UU KUP yang berbunyi: Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak didaerah tertentu, jangka waktu pelunasan dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi sebesar 50% dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Contoh : Untuk tahun pajak 2008 SKPKB = Rp 1.000.000.000,00 Disetujui WP dalam pembahasan pemeriksaan = Rp 200.000.000,00 Surat Keputusan Keberatan (dikabulkan sebagian) = Rp 750.000.000,00 Dalam hal ini Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi sebesar 2%, tetapi dikenai sanksi sesuai ayat ini, yaitu sebesar: 50% x (Rp 750.000.000,00 Rp 200.000.000,00) = Rp 275.000.000,00 Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda 50% sebagaimana dimaksud diatas tidak dikenakan.

34 2.6.8 Pencabutan Keberatan Menurut Buana (2012: 89-90) Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sepanjang Surat Pemberitahuan Untuk Hadir belum disampaikan kepada Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan disampaikan kepada Wajib Pajak adalah tanggal dikirimnya Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan PER- 52/PJ./2010 bahwa pencabutan pengajuan keberatan diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Unit Pelaksana Penelitian Keberatan secara tertulis, sedangkan berdasarkan dengan terbitnya PMK No. 09/PMK.03/2013 bahwa surat pencabutan pengajuan keberatan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Dalam hal pencabutan pengajuan keberatan dilakukan setelah Surat Pemberitahuan Untuk Hadir disampaikan kepada Wajib Pajak karenanya tidak memenuhi syarat pengajuan pencabutan keberatan maka proses keberatan tetap diselesaikan dengan penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP. 2.6.9 Penyelesaian Keberatan Menurut Buana (2012: 84-88) Pasal 26 UU KUP menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

35 Menurut Pudyatmoko (2009: 34) dengan penentuan batas waktu yang disediakan Direktur Jenderal Pajak untuk memeriksa dan memberi keputusan tersebut, maka ada kepastian yang dapat dijadikan pegangan, sekaligus mendorong adanya tertib administrasi dalam penanganan keberatan dari Wajib Pajak. Keputusan Keberatan tersebut harus disampaikan kepada Wajib Pajak melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, dengan tanda bukti pengiriman surat. Dan sebelum Surat Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa: a. mengabulkan seluruhnya; b. mengabulkan sebagian; c. menolak; atau d. menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. Menurut Pasal 13 ayat (1) PMK No. 09/PMK.03/2013, dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk: a. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian Surat Permintaan Peminjaman buku, catatan, data, dan informasi; b. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian Surat Permintaan Keterangan; c. meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan melalui penyampaian Surat Permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga; d. meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;

36 e. melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Panggilan; dan f. melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan. Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan tersebut paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal dikirimnya Surat Peminjaman dan/atau Permintaan. Apabila dengan jangka waktu ini, Wajib Pajak belum meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan peminjaman dan/atau permintaan yang kedua. Wajib Pajak memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua ini paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal dikirimnya surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua. Dalam hal masih diperlukan, Wajib Pajak wajib meminjamkan bukti tambahan dan/atau memberikan penjelasan, dalam jangka waktu sebagaimana disebut dalam surat peminjaman dan/atau permintaan tambahan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu pemotongan atau pemungutan pajak, Wajib Pajak wajib menyerahkan asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak dan Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa pemotongan atau pemungutan pajak belum atau tidak akan dikreditkan. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya peminjaman dan/atau permintaan serta tidak menyerahkan asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak dan Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa pemotongan atau pemungutan pajak belum atau tidak akan dikreditkan, keberatan tetap diproses sesuai dengan data yang ada atau diterima dan kemudian dibuatkan Berita Acara. Selanjutnya menurut Pasal 14 PMK No. 09/PMK.03/2013 memberi penjelasan bahwa: 1. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diminta pada saat pemeriksaan tetapi tidak diberikan oleh Wajib Pajak, tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan, kecuali pembukuan, catatan,

37 data, informasi, atau keterangan lain tersebut berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak pada saat pemeriksaan. 2. Dalam hal terdapat pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diminta pada saat pemeriksaan tetapi diperlukan dan diminta oleh Direktur Jenderal Pajak serta diberikan oleh Wajib Pajak dalam penyelesaian keberatan, maka pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak tersebut dapat dipertimbangkan. 3. Dalam hal terdapat pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diminta pada saat pemeriksaan dan keberatan tetapi diberikan oleh Wajib Pajak dalam penyelesaian keberatan, maka pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang diberikan oleh Wajib Pajak tersebut dapat dipertimbangkan. 4. Pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan atas surat ketetapan pajak yang penghasilan kena pajaknya dihitung secara jabatan terbatas pada: a. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan b. dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembahasan sengketa perpajakan yang diajukan keberatan dengan Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang terkait. Dalam pembahasan sengketa perpajakan, Direktur Jenderal Pajak dapat memanggil Wajib Pajak dan/atau pihak terkait untuk melakukan pembahasan sengketa perpajakan. Surat Pemanggilan tersebut dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum tanggal pembahasan sengketa perpajakan. Sebelum menerbitkan Surat Keputusan Keberatan, Direktur Jenderal Pajak meminta Wajib Pajak untuk hadir guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatan Wajib Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Untuk Hadir yang dilampiri dengan:

38 a. pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan; dan b. formulir surat tanggapan hasil penelitian keberatan. Surat Pemberitahuan Untuk Hadir adalah surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan. Apabila Wajib Pajak tidak hadir pada waktu yang ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Untuk Hadir maka dibuat Berita Acara dan proses keberatan tetap diselesaikan tanpa menunggu kehadiran Wajib Pajak.