BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Seorang remaja ditemukan gantung diri di kamar mandi akibat diejek temantemannya sebagai anak tukang bubu (Pelita, 2012). Ejek-mengejek dianggap sebagai hal yang biasa di sekolah. Padahal, menghina adalah salah satu bentuk perilaku bully secara verbal (Olweus, 2003). Laporan Kompas Interaktif (dalam Caringteens, 2010) pada tahun 2010 menyebutkan bahwa, terdapat 98 kasus perilaku bully secara fisik, 108 kasus perilaku bully terkait seksualitas dan 176 kasus perilaku bully secara psikologis dari semua kasus bully tersebut hanya ditemukan dari 10 sekolah. Perilaku bully mempunyai efek yang negatif, baik pada pelaku, korban, maupun orang-orang di sekitar mereka. Pada kenyataannya, setiap anak yang mengambil bagian dalam peristiwa bully, baik sebagai pelaku, korban, maupun sebagai orang yang hadir dan melihat. The National of Child Health and Human Development melaporkan pada tahun 2001, 17 persen anak kelas 6 sampai kelas 10 mengalami tindakan bully, 19 persen melakukan tindakan bully, dan 6 persen mengalami tindakan bully sekaligus melakukannya (Erickson, dalam Harris & Petrie, 2003). Pada masa SMA, perilaku bully juga kerap terjadi. Sekitar 14 persen dari 34 persen anak pada masa SMA mengalami perilaku bully kadang-kadang dan sekitar 7 persen dari 17 persen siswa SMA mengakui melakukan tindakan bully. Setidaknya, 78 persen perilaku bully terjadi di kelas, 75 persen terjadi saat makan siang, dan saat istirahat 66 persen. Bentuk perilaku bully juga bisa bermacam-macam, baik verbal maupun non-verbal. 78 persen bully berupa pemanggilan nama, 44 persen candaan yang tidak menyenangkan, 31
persen pengabaian saat aktivitas, 24 persen secara fisik seperti ditendang atau dipukul, dan 20 persen diancam (Harris & Petrie, 2003). Sebenarnya, tidak ada definisi khusus yang menjabarkan arti perilaku bully sebenarnya. Olweus (1991, dalam Harris & Petrie, 2003) menyebutkan ada empat kriteria yang mendefiniskan perilaku bully, yaitu 1) Perilaku yang bersifat agresif, 2) Perilaku tersebut dilakukan secara terus menerus 3) Adanya kesenjangan kekuatan 4) dan tidak adanya perlawanan dari pihak korban. Dibalik defiinisi-definisi tentang perilaku bully ada beberapa kriteria yang menjelaskan perbedaan antara perilaku bully dan perilaku non-bully. Perilaku yang termasuk dalam perilaku bully menurut Ken Rigby (1996) adalah jika perilaku tersebut bertujuan untuk menyakiti seseorang dan kemudian tujuan tersebut dilaksanakan, adanya pihak yang tersakiti atas perilaku tersebut, dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau kelompok yang lebih lemah, tidak adanya hasutan, sifatnya berulang dan adanya kenikmatan yang dirasakan pelaku terhadap korbannya. Sedangkan perilaku yang tidak termasuk dalam perilaku bully adalah jika perilaku yang ditimbulkan tidak berupa kekerasan, seperti misalnya candaan, di mana adanya peningkatan rasa senang antara kedua belah pihak (Harris & Petrie, 2003). Target para pelaku bully biasanya adalah anak yang sering sendiri dan memiliki kesulitan dalam berteman (Santrock, 2009). Dalam menghadapi para pelaku bully ada 2 cara yang biasanya dilakukan oleh korban, yaitu bersikap pasif dan bersikap provokatif. Korban bully yang pasif biasanya bersikap lebih diam dan takut untuk membalas para pelaku. Sedangkan korban bully yang provokatif biasanya bersikap lebih agresif dan berperilaku menjengkelkan orang lain (Olweus, 2003)
Dampak yang ditimbulkan dari perilaku bully bermacam-macam. Sebuah penelitian yang dilakukan di Belanda menyebutkan, korban dari perilaku bully sering mengalami pusing, sulit tidur, kelelahan, dan rasa sakit tanpa sebab (Fekkes, Pijpers, & Verloove- Vanhorick, dalam Santrock, 2009). Selain itu, Sullivan (2000) merangkum pendapat para ahli mengemukakan bahwa korban perilaku bully juga kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan cenderung menuju kehidupan yang kurang sukses. Walaupun korban tersebut adalah individu yang mampu, namun mereka akan terlihat tidak kompeten dan sebagai hasilnya akan mendapat nilai akademis yang rendah. Sedangkan secara emosional, korban bully akan merasa takut, marah, malu, depresi, lemah, sedih, bodoh, buruk, dan tidak berguna. Berikut ini adalah salah satu contoh efek dari perilaku bully : Bembi (48) seperti terkesima ketika melihat putri bungsunya yang berusia 14 tahun berusaha keluar rumah lewat jendela apartemen. Lebih kaget lagi ketika melihat si anak menyapa hampir semua anak sebaya seakan-akan mereka adalah teman sekolahnya. Dari pertemuan dengan psikiater, Bembi baru tahu anaknya mengalami depresi berat. Anak itu menjadi korban bullying (teror berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan, intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, kekerasan fisik atau mental secara luas) teman sekelas. Kasus tersebut bisa dikategorikan berat karena anak sampai tak mampu berbicara dengan baik, tak bisa menjawab pertanyaan sederhana sekalipun. "Ngomongnya kacau, kami tidak tahu maksudnya. Jadi kami biasakan dia menuliskan apa yang dikatakan. Kami latih dia membaca koran, buku cerita,
majalah, lalu menuliskan kembali isinya. Ini latihan agar dia kembali bisa fokus, konsentrasi," tuturnya.(kompas, 26 Maret 2006) Saat ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan penanganan perilaku bully telah meningkat. Adanya lembaga yang berfokus pada masalah anak dan remaja, seperti Caring Teens Community (CTC) dan Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) menjadi salah satu bukti kesadaran masyarakat akan masalah remaja. Sejiwa, sebuah yayasan yang didirikan pada tahun 2004 juga giat dalam mengkampanyekan gerakan antibullying. Didasarkan pada kekhawatirannya akan perilaku bully di sekolah-sekolah membuat Diena Haryana mendirikan yayasan Sejiwa yang bergerak di bidang masalah perilaku bully. Perilaku bully menurut Haryana (2012) biasanya terjadi ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) berlangsung. Dukungan pemerintah dan guru sering disalahgunakan kakak kelas untuk mem-bully adik kelasnya. Banyak guru dan pejabat pendidikan berpendapat, pendidikan dengan cara keras adalah suatu hal yang biasa. Mereka berkeyakinan, pendidik harus keras. Alasan guru, mereka juga dulu dikerasin dan bisa sukses. Kami harus sabar dan memahami mengapa antibullying belum dipahami. Perlahan, kampanye antibullying menyebar ke sekolah, pemerintah, hingga DPR (Haryana, dalam Kompas, 27 September 2012). Dalam gerakannya, Sejiwa membuat kantong-kantong yang akan disebar untuk mengkampanyekan gerakan antibullying. Dalam hal ini, Sejiwa juga bekerja sama dengan sekolah dan perguruan tinggi. Bullying Statistics dalam web-nya mengenai perilaku bully menjelaskan ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perilaku bully. Salah satunya adalah adanya
budaya kekerasan. Penelitian World Wrestling Federation (WWF) menemukan adanya anggapan pelaku bully yang menjadikan perilaku bully sebagai suatu hiburan. Seperti salah satu pengakuan pelaku bully ini yang menunjukkan adanya unsur budaya dalam perilaku bully : "Pokoknya, intinya kami kasih tau ke mereka jangan sampe ngocol di sekolah. Masih ada senior di sekolah. Bukannya kami gila hormat, tapi mereka memang harus dikasih tau soal ini. Entar mereka ngelunjak lagi. Dan, yang penting mereka harus tau kalau di sekolah ini ada tradisi semacam ini!"(kompas, 28 Mei 2004) Olweus (2003) membagi perilaku bully ke dalam 2 bentuk, yaitu secara verbal, dan fisik. Perilaku negatif yang bersifat verbal contohnya ancaman, ejekan, atau pemanggilan nama dengan tidak sopan Aku enggak tahu salah apa, tapi kakak kelas selalu meneriaki aku. Menyebutnyebut mukaku jelek, jutek, dan tubuhku pendek - siswi kelas X sebuah SMA swasta di Jakarta. Suatu kali ia melipat rok seragamnya yang terlalu besar agar tidak kendur. Aku lihat temanku ada yang begitu, lalu aku ikutan eh, aku kena marah, tapi temanku tidak. Yang aneh, guru bukannya membantu menjelaskan kondisiku, tapi ikut memarahi aku. Akhirnya siswi tersebut memutuskan pindah sekolah (Kompas, 5 Oktober 2012). Perilaku negatif dalam bentuk fisik bisa berupa pukulan, tendangan, mendorong, atau merusak barang oranglain. Korban dibawa ke sebuah lokasi, dari sekitar jam 14.00-22.00. dihadapkan pada 18 orang, 8 diantaranya merupakan siswa kelas III SMA, sisanya diduga alumnus sekolah. Korban disuruh membelakangi para pelaku kemudian dipukul. Korban
dipulangkan dengan taksi, dan tidak diijinkan menyalakan ponselnya. Korban diancam akan dihabisi jika berani melapor ke pihak luar (Kompas.com, 27 Juli 2012). Dengan dikelilingi senior-seniornya yang lain, anak saya mengalami beberapa pemukulan dengan helm dan tangan kosong, tendangan di punggung, dan 5 sundutan rokok di lengan kanannya - CB, ayah seorang korban bully di sebuah SMA Negeri di Jakarta. Menurut penuturan ayahnya, kejadian bermula ketika korban pulang tanpa seijin salah seorang kakak kelasnya yang sering meminjam motor korban. Kakak kelasnya tersebut adalah pentolan siswa kelas III. Korban kemudian dipanggil oleh pelaku dengan ancaman akan dihabisi jika mengabaikan panggilan tersebut. Korban sempat mengalami trauma dengan kejadian yang menimpanya. Ayah korban memutuskan mengeluarkan anaknya dari sekolahnya setelah melapor kejadiannya pada pihak sekolah dan menempuh jalur hukum (Detik Forum, 31 Juli 2012). Pelaku bully biasanya anak-anak yang mempunyai nilai akademis rendah, suka merokok dan minum minuman keras (Santrock 2009). Perilaku bully di sekolah dianggap sebagai sesuatu yang diharuskan terkait dengan sikap hormat kepada kakak kelas. Tidak jarang pelajaran yang dimaksud berbentuk tindakan fisik. Tidak jarang adik kelas I mendapat tendangan, tamparan dan pukulan pada pelajaran tersebut. "Gue sih kadang nendang-nendang dikit, lah! Biasanya sih anak kelas I kami bawa ke lokasi tongkrongan musuh. Kalau ada anak sekolah, kami ajarin mereka supaya mereka mukul dulu sambil nanya. Kalau udah bisa, mereka kami lepas sendirian.
Biasanya sih, beberapa kali jalan-jalan mereka udah bisa sendiri. Kami cuma jadi supervisor aja" ujar Jack (bukan nama sebenarnya) (Kompas, 24 Mei 2004). Gue enggak suka tawuran, tapi dipaksa harus mau ikut sama kakak kelas. Dalam tawuran kayak tradisi aja, anak kelas X berada paling depan, ntar anak kelas XI di baris kedua. Paling belakang baru anak kelas XII siswa kelas X SMA Swasta di Jakarta. Korban pun tidak berani menolak. Enggak bisa. Kalau menolak malah digebukin habis sama kakak kelas akunya (Kompas, 5 Oktober 2012). Salah satu contoh di atas dapat dikaitkan sebagai salah satu bentuk konformitas. Konformitas menurut Myers (2008) adalah suatu perubahan perilaku individu akibat tekanan dari individu atau kelompok lain. Ada 2 alsan utama individu akan konform, yaitu adanya kebutuhan akan informasi yang akurat dan adanya keinginan untuk diterima dalam sutau kelompok. Ada tiga bentuk konformitas, yaitu compliance, obedience, dan acceptance menurut Myers (2008), Compliance terjadi saat seseorang konform terhadap suatu hal walaupun tidak setuju dengan hal tersebut. Obedience terjadi saat seseorang konform terhadap suatu hal karena takut akan hukuman. Sedangkan jika seseorang konform dengan suatu hal karena orang tersebut setuju dengan hal tersebut, maka hal itu disebut dengan acceptance. Santrock (2007) mengatakan bahwa konformitas pada remaja dapat berdampak positif maupun negatif. Konformitas yang bersifat negatif, seperti mencuri, merusak fasilitas umum, dan lainnya. Sedangkan konformitas yang bersifat positif seperti belajar bersama, jalan-jalan, atau kegiatan lainnya yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Konformitas pada remaja cenderung ke arah yang negatif. Walaupun tidak menutup kemngkinan, konfomitas bisa ke arah yang positif juga. Dalam penelitian ini, peneliti fokus untuk melihat hubungan antara kecenderungan konformitas dengan potensi atau kecenderungan individu untuk menjadi seorang pelaku bullying. Penelitian ini akan dilakukan dengan melibatkan anak berumur 16-18 tahun yang duduk di bangku SMA untuk menjadi partisipan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk penelitian selanjutnya yang terkait potensi menjadi pelaku bully maupun penelitian mengenai konformitas 1.2 Rumusan permasalahan Adanya kekompakan antar teman, keinginan seseorang untuk menjadi bagian dalam suatu kelompok, kerelaannya untuk melakukan apa saja agar diterima dalam kelompok, menjadi dasar bagi penulis untuk meneliti hubungan kecenderungan konformitas terkait dengan potensi seseorang untuk menjadi pelaku bully. Berdasarkan hal tersebut, rumusan pertanyaan untuk masalah yang dikaji adalah Adakah hubungan antara kecenderungan konformitas dengan potensi seseorang untuk menjadi pelaku bully? 1.3 Tujuan. Melihat hubungan antara kecenderungan konformitas dengan potensi perilaku bully 1.4 Manfaat A. Teoritis 1. Sebagai tambahan pengetahuan dalam bidang sosial serta pendidikan. 2. Sebagai kajian untuk penelitian selanjutnya
B. Praktis 1. Sebagai jembatan kerjasama antar pihak sekolah, siswa, dan orangtua siswa untuk mencegah dan mengatasi terjadinya tindakan bully. 2. Melihat kecenderungan atau potensi seseorang untuk menjadi pelaku bully.