BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan dan kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat dan keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian serta kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006). Upaya pengendalian penyakit kusta di dunia menetapkan tahun 2000 sebagai tonggak pencapaian eliminasi. Indonesia berhasil mencapai target ini pada tahun yang sama. Sebagai upayaglobal WHO yang didukung The Internastional Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP) mengeluarkan Enchanced Global Strategy for Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015). Berpedoman pada panduan WHO ini dan dengan mensinkronkan dengan Rencana Strategi Kementerian Kesehatan untuk Tahun 2010-2014, disusun kebijakan nasional pengendalian kusta di Indonesia (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2012).
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013, selama tahun 2012 terdapat 18.994 kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012 tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus diderita oleh anak-anak. Data Kementrian Kesahatan menyebutkanpada tahun 2012 dilaporkan terdapat 16.123 kasus baru kusta, terdiri dari kasus tipe Multi Basiler sebanyak 13.268 kasus dan tipe Pausi Basiler sebanyak 2.855 kasus dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 6,6 per 100.000 penduduk. NCDR tahun 2012 relatif lebih kecil dibandingkan 5 tahun sebelumnya. Data Dinas Kesehatan Sumatera Utara menyebutkan pada akhir tahun 2012 prevalensi rate kusta di Provinsi Sumatera Utara sudah relatif sangat rendah yakni 0,17 per 10,000 penduduk. Jumlah kasus kusta terbanyak tercatat di Kota Medan yaitu 61 kasus, diikuti dengan Asahan sebanyak 23 kasus dan Tapanuli Selatan sebanyak 20 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 25 kasus baru kusta pada anak berumur < 15 tahun dan22 kasus baru denga kecacatan tingkat 2. WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, dan tingkat 2 (Kosasih, 2008). Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia akan berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006). Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham dan informasi yang
keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan masyarakat (Kuniarto, 2006). Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri dan mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun ketidakmampuan dalam bekerja maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006). Di Sumatera Utara, dari hasil penelitian Syahril Rahmat Lubis (2013) dengan tujuan untuk mengetahui gambaran penderita kusta di tiga rumah sakit pendidikan di provinsi Sumatera Utara periode 1 Januari 2008 31 Desember 2012. Dari hasil yang didapatkan total penderita sebanyak 211 orang di RSUP H. Adam Malik Medan, 145 orang di RSU dr. Pirngadi Medan dan 88 orang di RS Kusta Pulau Sicanang, dengan total 444 orang penderita, dimana ditemukan prevalensi laki-laki lebih banyak daripada perempuan, usia dominan adalah 25-44 tahun, diagnosis terbanyak adalah kusta tipe multibasiler, dengan reaksi kusta menjadi penyakit yang menyertai, dan pengobatan terbanyak adalah MDT-MB untuk kusta. Pada umumnya penderita pulang dalam kondisi sembuh dan RFT (Release from Treatment). 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran penderita kusta di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan tahun 2011-2013?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran penderita kusta di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi Medan mulai dari Januari 2011-Desember 2013. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan tipe kusta di 2. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan reaksi kusta di 3. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan cacat kusta di 4. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan umur di RSUD dr. Pirngadi Medan pada tahun 2011-2013 5. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan jenis kelamin di 6. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan jenis pekerjaan di 7. Untuk mengetahui gambaran penderita kusta berdasarkan lokasi tempat tinggal di 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Sebagai bahan untuk menambah pengalaman dan bahan untuk mengaplikasikan ilmu dalam hal melakukan penelitian dan juga sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti mengenai penyakit kusta. 2. Bagi Ilmu Pengetahuan dan Dunia Penelitian Sebagai informasi, data, bahan kepustakaan dan bahan rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan kusta.
3. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah Sebagai sumber data, mengenai bagaimana gambaran penyakit kusta khususnya di Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan. 4. Bagi Masyarakat Sebagai informasi mengenai kusta dan gambaran penyakit pada penderita kusta bagi masyarakat terutama untuk masyarakat pemerhati masalah kusta.