BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Jumlah penduduk dan angkatan kerja yang besar merupakan potensi yang diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan. Hal ini dapat tercapai bila jumlah supply tenaga kerja yang besar tersebut juga disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang kemudian diimbangi dengan demand atau ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi. Dua permasalahan umum di bidang ketenagakerjaan adalah (1) kelebihan penawaran, yaitu tingkat penawaran tenaga kerja relatif tinggi di bandingkan tingkat permintaan tenaga kerja. Indikator yang digunakan adalah Tingkat Terbuka (TPT). (2) produktivitas, yaitu tingkat produktivitas tenaga kerja yang rendah. Indikator yang digunakan mengukur produktivitas tenaga kerja adalah tingkat upah dan pengeluaran perkapita (Uzair Suhaimi; 2008). Masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan disebabkan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. 1
2 Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi dinegara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Permasalahan ketenagakerjaan di negara-negara berkembang termasuk di dalamnya Indonesia, tidak terbatas hanya pada angka pengangguran terbuka. Kritikan para ahli tentang kesesuaian indikator standar ketenagakerjaan yang hanya mengacu pada jumlah penduduk bekerja dan jumlah pengangguran untuk negara berkembang telah banyak dilakukan. Menurut Dewan dan Peek (2007) indikator jumlah penduduk bekerja dan pengangguran merupakan proksi yang masuk akal untuk negara industri maju namun tidak mampu menjelaskan kualitas pekerjaan dan keberagaman pasar tenaga kerja di negara berkembang. Tabel 1.1. Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja dan Terbuka di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2014 Tahun Penduduk Usia 15+ Angkatan Kerja Penduduk Bekerja Terbuka Tingkat terbuka (TPT) (1) (2) (3) (4) (5) (6) 2005 23.877.654 16.995.013 15.548.609 1.446.404 8,51 2006 24.669.248 16.924.244 15.567.335 1.356.909 8,02 2007 25.178.172 17.664.277 16.304.058 1.360.219 7,70 2008 24.411.601 16.690.966 15.463.658 1.227.308 7,35 2009 24.669.525 17.087.649 15.835.382 1.252.267 7,33 2010 23.874.585 16.856.330 15.809.447 1.046.883 5,63 2011 24.270.714 17.026.107 15.822.765 1.203.342 7,07 2012 24.575.631 17.513.488 16.531.395 982.093 5,61 2013 24.881.808 17.524.022 16.469.960 1.054.062 6,01 2014 25.181.967 17.547.026 16.550.682 996.344 5,68 Sumber: Data Sakernas 2005-2014 diolah.
3 Kemampuan penyerapan pasar kerja selama periode tahun 2005-2014 di Provinsi Jawa Tengah terlihat cukup besar dengan semakin membaiknya indikator Tingkat Terbuka (TPT). TPT merupakan proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja, namun sedang aktif mencari pekerjaan. Pada kondisi Agustus tahun 2014 TPT di Jawa Tengah tercatat sebesar 5,68 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 6,01 persen. Secara rata-rata, selama kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2005, TPT di Jawa Tengah terus mengalami penurunan seperti yang terlihat pada gambar 1.1. Rendahnya angka TPT pada gambar tersebut menunjukkan bahwa masalah ketenagakerjaan di Jawa Tengah seakan-akan bukan lagi merupakan masalah yang serius. Tingkat penyerapan pasar tenaga kerja sudah cukup besar dan sudah mampu menampung angkatan kerja yang tersedia. Gambar 1.1. TPT di Jawa Tengah Tahun 2005-2014 Angka penganggur terbuka, proporsi angkatan kerja yang termasuk penganggur, bagi negara-negara berkembang biasanya relatif rendah. Hal ini terjadi karena di negara-negara berkembang seseorang prinsipnya tidak mampu menganggur untuk dapat hidup karena negara tidak mampu memberikan
kompensasi bagi penganggur. Angka penganggur tinggi biasanya hanya pada keluarga mampu secara ekonomis, kelompok usia muda (yang baru memasuki pasar kerja) dan terdidik (cenderung memilih pekerjaan). Jadi, secara keseluruhan angka penganggur cenderung rendah dan relatif tidak banyak berubah sehingga kurang sensitif dan realistis sebagai indikator ketenagakerjaan. Bagi negara berkembang yang masih bercorak agraris dan didominasi sektor informal, angka setengah penganggur tampaknya lebih sensitif dan realistis. Angka setengah penganggur biasa digunakan untuk mengukur produktivitas tenaga kerja. Tabel 1.2. Status Pekerja Berdasarkan Jumlah Jam Kerja Seminggu di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 Tahun Pekerja Penuh Sementara Tidak Bekerja Pekerja Tidak Penuh Pekerja Paruh Waktu Jumlah Jumlah Penduduk Bekerja 4 Persentase Persentase Pekerja Pekerja Penuh Tidak Terhadap Penuh PendudukTerhadap Bekerja Penduduk Bekerja (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) 2010 10.644.982 2.114.686 2.618.422 4.733.108 15.378.090 69,22 30,78 2011 10.599.855 2.077.016 2.882.532 4.959.548 15.559.403 68,13 31,87 2012 10.914.193 1.653.929 3.088.982 4.742.911 15.657.104 69,71 30,29 2013 9.365.868 1.452.446 3.560.501 5.012.947 14.378.815 65,14 34,86 2014 11.160.776 1.185.343 3.713.271 4.898.614 16.059.390 69,50 30,50 Sumber: Data Sakernas 2010-2014 diolah. Berdasarkan jumlah jam kerja maka status pekerja dapat dibedakan menjadi 2 kelompok pekerja. Pertama adalah penduduk yang bekerja dengan jam kerja normal atau memiliki jam kerja minimal 35 jam seminggu. Kelompok kedua adalah mereka yang bekerja di bawah 35 jam kerja seminggu disebut juga pekerja tidak penuh. Tidak termasuk dalam kelompok ini penduduk yang sementara tidak bekerja pada saat pencacahan. Pada tahun 2014 pekerja tidak penuh di jawa
5 Tengah adalah sebesar 4,90 juta orang (Tabel 1.2). Selama kurun waktu 2005-2010 persentase pekerja tidak penuh berada pada kisaran angka 30 persen. Pekerja tidak penuh dibedakan menjadi dua yaitu pekerja dengan jam kerja di bawah 35 jam seminggu tetapi tidak berusaha mendapatkan pekerjaan lain dan atau tidak menginginkan pekerjaan selain pekerjaan utama mereka. Mereka yang termasuk ke dalam kelompok ini disebut pekerja paruh waktu. Kelompok kedua adalah pekerja dengan jam kerja di bawah 35 jam seminggu tetapi masih menginginkan atau bersedia untuk melakukan pekerjaan selain pekerjaan utamanya. Mereka inilah yang selanjutnya disebut setengah pengangguran (underemployment). Gambar 1.2. Status Pekerja Menurut Jumlah Jam Kerja Seminggu Tahun 2010-2014 (dalam persen) Pembatasan ruang lingkup definisi setengah pengangguran bertujuan untuk menghasilkan indikator ketenagakerjaan yang lebih sensitif dan lebih mampu menggambarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Pekerja paruh waktu
umumnya adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal namun merasa sudah cukup terhadap jam kerja atau balas jasa yang diperoleh dari pekerjaan mereka saat ini. Keengganan untuk terlibat lebih jauh dalam ketenagakerjaan menjadi alasan mereka tidak lagi digolongkan menjadi setengah pengangguran. Gambar 1.2 menampilkan perkembangan proporsi pekerja paruh waktu dan setengah pengangguran di Jawa Tengah selama kurun waktu lima tahun terakhir. Di Indonesia khususnya di Jawa Tengah, permasalahan ketenagakerjaan yang cukup serius bukan hanya masalah penganggur, tetapi juga masalah setengah penganggur. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah setengah penganggur di Jawa Tengah lebih besar dari jumlah penganggurnya. Tingginya jumlah setengah penganggur ini menyebabkan kurang optimalnya produktivitas pekerja di Jawa Tengah. Tabel 1.3. Jumlah Penduduk Angkatan Kerja, Terbuka dan Setengah di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2010-2014 Tahun Penduduk Angkatan Kerja Terbuka Setengah Tingkat Terbuka (TPT) Tingkat Setengah (TSP) TPT+TSP (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2010 16.856.330 1.046.883 2.114.686 6,21 12,55 18,76 2011 17.026.107 1.203.342 2.077.016 7,07 12,20 19,27 2012 17.513.488 982.093 1.653.929 5,61 9,44 15,05 2013 17.524.022 1.054.062 1.452.446 6,01 8,29 14,30 2014 17.547.026 996.344 1.185.343 5,68 6,76 12,43 Sumber: Data Sakernas 2005-2014 diolah. 6 Jumlah setengah pengangguran di Jawa Tengah pada tahun 2014 tercatat sebesar 1,18 juta orang (Tabel 1.3). Walaupun jumlahnya mengalami fluktuasi setiap tahunnya tetapi secara rata-rata selama periode 2012-2014 tercatat sekitar
7 9,35 persen dari jumlah penduduk yang bekerja di Jawa Tengah termasuk ke dalam kelompok setengah pengangguran. Proposi jumlah setengah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja menghasilkan indikator tingkat setengah pengangguran (TSP). Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2014 tercatat tingkat setengah pengangguran di Jawa Tengah adalah sebesar 6,76 persen. Tingginya TSP ini memberikan gambaran bahwa ketenagakerjaan di Jawa Tengah tidak lepas dari kompleksitas permasalahan ketenagakerjaan. Mereka yang termasuk setengah pengangguran umumnya berada pada sektor-sektor subsisten. Lapangan pekerjaan mereka adalah lapangan pekerjaan yang mudah untuk dimasuki namun memiliki keterbatasan terhadap jumlah besaran balas jasa dan jaminan keberlangsungan terhadap pekerjaan tersebut. Gambar 1.3 menampilkan akumulasi TSP dan TPT di tahun 2014 memiliki proporsi sebesar 12,43 persen terhadap jumlah angkatan kerja atau sebesar 2,18 juta orang. Angka ini jauh lebih besar dari indikator TPT yang sebesar 5,68 persen. Tingkat setengah pengangguran inilah yang sebenarnya merupakan permasalahan yang ada selama ini dan tersamarkan oleh membaiknya indikator ketenagakerjaan yang hanya berdasarkan pada Tingkat Terbuka dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja.
8 Gambar 1.3. Tingkat Terbuka dan Tingkat Setengah di Jawa Tengah Tahun 2010-2014 Gambaran di atas memperlihatkan bahwa ketenagakerjaan di Jawa Tengah memiliki permasalahan tersembunyi yang perlu untuk segera dicari pemecahannya. Oleh karena itu dirasakan perlu dilakukan penelitian Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Pekerja menurut Jam Kerja Para Pekerja di Provinsi Jawa Tengah (Analisis Data Sakernas Agustus 2014). B. Rumusan Masalah dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah :
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi status pekerja menurut jam kerja para pekerja di Provinsi Jawa Tengah. 9 C. Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang muncul adalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor demografi pekerja berpengaruh terhadap status pekerja menurut jam kerja? 2. Apakah faktor sosial ekonomi pekerja berpengaruh terhadap status pekerja menurut jam kerja? D. Tujuan Penelitian Tulisan ini bertujuan mengupas ketenagakerjaan di Jawa Tengah khususnya permasalahan jumlah jam kerja dan memberikan gambaran belum optimalnya pemanfaatan tenaga kerja dalam pembangunan. Tujuan penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui gambaran situasi dan kondisi pekerja menurut jam kerja yang terdiri dari pekerja setengah pengangguran, pekerja paruh waktu dan pekerja purna waktu. 2. Menganalisis pengaruh faktor-faktor demografi dan karakteristik penduduk lainnya terhadap status pekerja menurut jam kerja.
10 E. Kegunaan Hasil Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai masukan untuk para pembuat kebijakan (policy maker) dan para pengambil keputusan (decision maker) bidang ketenagakerjaan di Jawa Tengah. 2. Motivasi dan referensi bagi peneliti lainnya yang tertarik terhadap masalah penelitian ketenagakerjaan khususnya permasalahan setengah pengangguran.