BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

1 Universitas Kristen Maranatha

PROFIL RADIOLOGIS TORAKS PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI POLIKLINIK PARU RSUD DR HARDJONO-PONOROGO SKRIPSI

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Mycobacterium tuberculosis. Tanggal 24 Maret 1882 Dr. Robert Koch

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. jiwa dan diantaranya adalah anak-anak. WHO (2014) mengestimasi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

BAB 1 PENDAHULUAN. TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sinar matahari, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang muncul dilingkungan masyarakat. Menanggapi hal itu, maka perawat

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Depkes RI, 2011). Mycobacrterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Departemen Kesehatan RI (2008) tuberkulosis merupakan

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis faktor-faktor..., Kartika, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat secara global. TB Paru menduduki peringkat ke 2 sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

PERANAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS PARU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. mengganti aktor pusat menjadi daerah dalam hal pengambilan kebijakan. dengan masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang proses

BAB I PENDAHULUAN. di kenal oleh masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis pada tahun 2007 dan ada 9,2 juta penderita tuberkulosis baru serta 1,7 juta kematian akibat penyakit ini diseluruh dunia pada tahun 2006. Diperkirakan 95% kasus tuberkulosis dan 98% kematian akibat tuberkulosis didunia, terjadi pada negara-negara berkembang (WHO, 2007 dan Tribune 2008). Demikian juga, kematian wanita akibat tuberkulosis lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Depkes RI, 2007). Meningkatnya penularan infeksi yang dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya pelayanan dan infrastruktur kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya pandemi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang rendah, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC. WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2007 menyatakan terdapat 22 negara yang dikategorikan sebagai high-burden countries terhadap tuberkulosis paru, termasuk Indonesia yang menempati urutan ketiga setelah India dan China 1

dengan jumlah penderita sekitar 10% dari total jumlah penderita tuberkulosis di dunia. Di Indonesia, penyakit tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua setelah penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidens kasus tuberkulosis BTA positif tahun 2006 sekitar 105 per 100.000 penduduk (Depkes RI dan WHO, 2008) Pada tahun 1995, WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly observed Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan tuberkulosis. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi strategi DOTS ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan tuberkulosis, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita tuberkulosis tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan tuberkulosis dan dengan demikian menurunkan insidens tuberkulosis di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan tuberkulosis. Kesembuhan penderita tuberkulosis paru tidak hanya ditentukan dengan adanya fasilitas kesehatan yang memadai, ketersediaan obat yang bermutu, laboratorium yang bermutu dan jumlah tenaga kesehatan yang cukup, namun juga 2

ditentukan oleh keteraturan dan kepatuhan penderita TBC untuk berobat. Peneliti lain menyebutkan bahwa salah satu masalah dalam pengobatan tuberkulosis adalah lamanya jangka pemberian obat yang mempengaruhi kepatuhan berobat penderita (dikutip dari Hidayati, 2003). Selain itu dalam strategi DOTS penemuan kasus dilakukan secara pasif sehingga kesuksesan tergantung pada kesadaran dari penderita TBC, kemampuan mengenali gejala TBC dan kemudahan akses ke tempat pelayanan kesehatan untuk berobat, akibatnya dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan TBC (Jaramillo 1998). Menurut WHO, ada 2 fase keterlambatan sejak penderita mengalami gejala hingga mendapat obat untuk penyakitnya, yaitu keterlambatan diagnosis dan keterlambatan pengobatan, seperti yang digambarkan di bawah ini : Gambar 1.1 Alur keterlambatan diagnosis dan pengobatan Onset keterlambatan diagnosis Mencari pelayanan Keterlambatan pengobatan Gejala kesehatan pertama Tanggal Tanggal Kali diagnosis mulai pengobatan keterlambatan pasien Keterlambatan sistem kesehatan keterlambatan total Sumber : Diagnostic and treatment delay in tuberculosis, WHO, 2006 Program pengendalian TBC yang efektif memerlukan diagnosis dini dan mulai 3

pengobatan segera pada penderita TBC. Program di beberapa negara dihadapkan pada masalah terjadinya keterlambatan penderita mencari pengobatan dan kepatuhan penderita untuk melaksanakan pengobatan setelah didiagnosis. Kasus TBC yang luput dan keterlambatan diagnosis atau pengobatan dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang dan memperluas penyebaran penyakit pada komunitas. Umumnya transmisi terjadi antara munculnya batuk dan mulai pengobatan (Sorla D.G. dkk., 2008). Penelitian menunjukkan bahwa 58-63% kasus bakteri tahan asam (BTA) negatif yang tidak diobati pada follow up 58 bulan dapat berkembang menjadi BTA positif. Penderita TB dengan BTA negatif dan mendapat pengobatan anti tuberculosis dapat menghambat berkembangnya reaktivitas sebesar 90% dibanding yang tidak diobati. Penelitian pada pasien TB rawat inap di Kanada menunjukkan setelah faktorfaktor demografi dan klinis dikendalikan terdapat hubungan yang bermakna antara keterlambatan diagnosis dan pengobatan dengan kematian (OR adj 4,3 ; 95% : 2-9,1 dan 3,3 : 1,7-6,5) (Greenaway C. dkk, 2002). Penelitian di Gambia menunjukkan risiko terjadinya kematian pada penderita TBC dengan keterlambatan pengobatan (interval sejak dari gejala muncul sampai dengan mulai pengobatan) lebih dari 8 minggu adalah 5 kali lebih besar dibanding penderita dengan keterlambatan pengobatan kurang dari 8 minggu (dikutip dari Hidayati 2003). Tahun 2006 WHO melaporkan penelitian multi negara di wilayah Mediterania Timur WHO ( Mesir, Iran, Irak, Siria, Yemen, Pakistan, Somalia) yang dilakukan tahun 2003-2004 tentang keterlambatan pengobatan penderita TBC dan faktor yang 4

mempengaruhinya. Penelitian tersebut dilakukan di klinik dan pusat pengobatan rongga dada dengan disain potong lintang, menunjukkan rata-rata durasi antara onset gejala pada pasien sampai mendapat obat antituberkulosis pertama kali (keterlambatan total) yaitu 1,5 4 bulan ( 46 hari di Irak, 57 hari di Mesir, 59,2 hari di Yemen, 79,5 di Somalia, 80,4 di Siria, 100 di Pakistan, 127 di Iran). Untuk keterlambatan pengobatan yang merupakan interval waktu sejak tanggal diagnosis sampai tanggal mendapat obat antituberkulosis pertama kali menunjukkan rentang 0-123 hari. Faktor risiko utama yang diteliti adalah dari sisi penderita yaitu sosioekonomi, ekonomi, stigma, waktu tempuh ke pelayanan kesehatan, mengunjungi lebih dari satu petugas kesehatan sebelum diagnosis, mencari individu yang nonspecialiized. Penelitian Greenaway C. dkk tentang keterlambatan penderita TBC mendapat obat pertama kali setelah didiagnosis BTA positif menunjukkan sama atau lebih dari 1 minggu sebanyak 45%. Yimer S., dkk 2 hari, sedangkan Maamari F. menghasilkan 75% dengan rata-rata 2,9 hari dan Gulbaran Z. 75% dengan rata-rata kurang dari 8 hari. Sampai saat ini penelitian tentang keterlambatan/ketidaktepatan waktu penderita TBC mendapat obat pertama kali setelah didiagnosis BTA positif masih sangat terbatas di Indonesia. Penelitian oleh Aditama pada tahun 1988 di Jakarta tentang interval waktu sejak pasien mengalami gejala hingga didiagnosis menunjukkan 2,57 bulan, dengan lebih dari 40% pasien mengalami keterlambatan lebih dari 2 bulan. Penelitian oleh Hidayati tahun 2003 di kecamatan Ciracas Jakarta 5

Timur dalam periode satu tahun menemukan keterlambatan pasien lebih dari 4 minggu (46,3%) dan keterlambatan didiagnosis lebih dari 1 minggu (43,83%). Keterlambatan pasien merupakan interval waktu yang dihitung sejak pasien merasakan gejala sampai mengunjungi unit pelayanan kesehatan pertama kali sedangkan keterlambatan didiagnosis merupakan interval waktu yang dihitung sejak pasien mengunjungi unit pelayanan kesehatan sampai didiagnosis menderita TBC. Faktor yang telah diteliti adalah dari sisi pasien yaitu jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, jarak UPK dengan tempat tinggal, status perkawinan, gejala, persepsi keparahan penyakit, anjuran berobat, pengetahuan tentang TB, sosioekonomi. Program pemberantasan penyakit tuberkulosis di DKI Jakarta dimulai pada tahun 1995. Evaluasi laporan dari kabupaten tahun 2006 didapat angka penderita TBC paru baru dengan BTA positif dan persentase kesembuhan yaitu di wilayah Jakarta Pusat 1206 orang dan yang sembuh 60,2%, di wilayah Jakarta Utara 1251 orang dan yang sembuh 62,99%, di wilayah Jakarta Selatan 1642 orang dan yang sembuh 77,53%, di wilayah Jakarta Barat 1184 orang dan yang sembuh 63,6%, di wilayah Jakarta Timur 2004 orang dan yang sembuh 51,55% Dari data tersebut di atas terlihat wilayah Jakarta Timur termasuk nomor satu tertinggi kasus TB BTA positif di DKI Jakarta. Menurut Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2006, wilayah Jakarta Timur terdapat 10 kecamatan meliputi 65 kelurahan. Jumlah rumah tangga miskin pada tahun 2005 yaitu 38.738 unit. Salah satu tempat pelayanan penyakit TBC di Jakarta timur yaitu Puskesmas Kecamatan Ciracas. 6

Data yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun 2007 terdapat 538 orang penderita TBC paru yang terdaftar. Dari 538 orang dilakukan pemeriksaan dahak didapat 165 penderita TBC paru baru dengan BTA positif (30,67%), 364 penderita TBC paru baru dengan BTA negatif (67,66%) dan 9 penderita TBC paru kambuh (1,67%). 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan penelitian di beberapa negara diketahui bahwa masih terjadi penderita tidak segera mendapatkan obat TBC setelah didiagnosis BTA positif, dengan interval waktu yang bervariasi antara satu penelitian dengan penelitian lainnya. Di Indonesia penelitian tentang seberapa banyak pasien yang tidak segera mengambil obat antituberkulosis pertama kali setelah didiagnosis BTA positif serta faktor risikonya masih sangat terbatas. Penderita TBC BTA positif yang tidak segera diobati selain dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita, juga dapat memperpanjang transmisi penyakit tuberkulosis ke komunitas yang lebih luas. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap adanya interval waktu/ketidaktepatan waktu mendapat obat antituberkulosis pertama kali pada penderita TBC sejak didiagnosis dari sisi penderita telah diidentifikasi yatu jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, status perkawinan, pengetahuan tentang TBC, jarak /waktu tempuh dari tempat tinggal ke UPK, gejala penyakit, anggapan keparahan penyakit, sosial ekonomi. Di Jakarta Timur jumlah penderita TBC BTA positif nomor satu tertinggi di 7

DKI Jakarta. Dengan demikian akan dilakukan penelitian kepatuhan waktu mengambil obat pertama kali oleh penderita tuberkulosis paru setelah didiagnosis BTA positif dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Puskesmas Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. 1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Berapakah proporsi ketidaktepatan waktu mengambil obat antituberkulosis (OAT) pertama kali oleh penderita tuberkulosis (TBC) paru baru setelah didiagnosis BTA positif di Puskesmas Ciracas, Jakarta Timur dan Puskesmas Satelitnya 2. Faktor-faktor individu dari penderita tuberkulosis paru baru apa yang berpengaruh terhadap ketidaktepatan waktu mengambil OAT pertama kali di Puskesmas Ciracas, Jakarta Timur dan Puskesmas Satelitnya setelah didiagnosis BTA positif. 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Mengetahui proporsi ketidaktepatan waktu mengambil OAT pertama kali pada penderita TBC paru baru setelah didiagnosis BTA positif dan faktor - faktor individu yang mempengaruhinya di Puskesmas Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur dan Puskesmas Satelitnya pada periode 1 Januari 2007 sampai dengan 23 Desember 2008. 8

1.4.1. Tujuan khusus 1. Diketahuinya proporsi ketidaktepatan waktu mengambil OAT pertama kali dari penderita TBC paru baru setelah didiagnosis BTA positif di Puskesmas Ciracas, Jakarta Timur dan Puskesmas Satelitnya 2. Menganalisis kekuatan hubungan umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, akses ketempat pelayanan kesehatan, pengetahuan tentang TBC, anggapan pasien terhadap penyakit, anjuran berobat, sosioekonomi dengan ketidaktepatan waktu mengambil OAT pertama kali setelah diagnosis BTA positif dan 3. Menganalisis faktor yang paling mempengaruhi terhadap ketidaktepatan waktu mengambil OAT dari penderita TBC paru baru pertama kali setelah diagnosis BTA positif. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah dan masyarakat umum maupun tenaga kesehatan atau peneliti. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi kepada instansi terkait seperti Dinas Kesehatan, Suku Dinas Kesehatan, Puskesmas Kecamatan Ciracas dan Puskesmas Satelitnya atau Pemerintah Pusat bahwa besarnya masalah ketidaktepatan waktu mengambil obat pertama kali oleh penderita tuberkulosis paru baru setelah didiagnosis BTA positif dan faktor-faktor yang mepengaruhinya. Sehingga dapat disusun 9

metoda dalam perencanaan program pengendalian penyakit tuberkulosis di Indonesia dengan mempertimbangkan segi keterbatasan penderita. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat untuk mencegah ketidakpatuhan mengambil obat bagi penderita tuberkulosis paru setelah diagnosis ditegakkan. 3. Sebagai acuan atau referensi untuk penelitian sejenis atau lebih lanjut 4. Bagi peneliti sendiri dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dan kemampuan menganalisis masalah penyakit tuberkulosis serta sebagai pengalaman dalam menyusun perencanaan, melaksanakan dan menulis hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian ini berada dalam ruang lingkup studi kesehatan masyarakat bidang epidemiologi. Penelitian ini merupakan studi observasional dengan pendekatan disain potong lintang (Cross Sectional) untuk mencari informasi proporsi ketidaktepatan waktu mengambil OAT pertama kali pada penderita tuberkulosis paru baru setelah didiagnosis BTA positif serta faktor-faktor individu yang mempengaruhi terjadinya ketidaktepatan tersebut. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Subyek penelitian yaitu seseorang yang telah didiagnosis menderita TBC paru dengan pemeriksaan sputum hasilnya BTA positif, berusia sama atau lebih dari 15 tahun pada periode 1 Januari 2007 sampai dengan 23 Desember 2008 di Puskesmas Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Data penelitian di ambil dari Formulir TB 01 di Puskesmas 10

Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur dan Puskesmas Satelitnya. Ketidaktepatan waktu antara mengambil OAT pertama kali dengan diagnosis BTA positif dihitung sebagai jumlah hari antara tanggal hasil pemeriksaan dahak SPS terakhir dengan tanggal pertama kali mengambil obat OAT sesuai program DOTS. Jika jumlah hari sama atau lebih dari 1 maka dikategorikan sebagai kasus. Faktor individu yang mempengaruhi ketidaktepatan tersebut diteliti hanya dari sisi perspektif penderita tuberkulosis. Data berdasarkan wawancara pada responden dengan kuisioner terstruktur dalam bentuk restrospektif. 11