BAB I PENDAHULUAN KELEMBAGAAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. digunakan untuk seluruh mahluk hidup di muka bumi ini dengan. ketersediaannya di alam semesta dalam jumlah yang tetap.

LAPORAN REKAPITULASI ANGGARAN T.A2017

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

BAB.III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

2 sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membangun bendungan; d. bahwa untuk membangun bendungan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

IV. GAMBARAN UMUM. mempergunakan pendekatan one river basin, one plan, and one integrated

5. Pelaksanaan urusan tata usaha; dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

DAFTAR PERATURAN Versi 31 Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN 1.1. UMUM

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR. Cut Azizah Dosen Teknik Sipil Fakultas TekikUniversitas Almuslim ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Air dan sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27/PRT/M/2015 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Hari Air Dunia Mengingatkan Kembali Kepedulian Kita Pentingnya Air dan Pengelolaan Air Limbah

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Bagi masyarakat yang belum menyadari peran dan fungsi Situ, maka ada kecenderungan untuk memperlakukan Situ sebagai daerah belakang

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERMUKIMAN PROVINSI BANTEN 1. INFORMASI TENTANG PROFIL BADAN PUBLIK

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

TATA CARA PENYUSUNAN POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum d

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI SUMATERA UTARA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM. Dana Alokasi Khusus. Infrastruktur. Juknis.

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 36 TAHUN 2009 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PEKERJAAN UMUM PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Rencana Strategis

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

RENJA K/L TAHUN 2016

TANGGAPAN KAJIAN/EVALUASI KONDISI AIR WILAYAH SULAWESI (Regional Water Assessment) Disampaikan oleh : Ir. SALIMAN SIMANJUNTAK, Dipl.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2010 TENTANG BENDUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PRT/M/2015 TENTANG RENCANA DAN RENCANA TEKNIS TATA PENGATURAN AIR

PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30/PRT/M/2015 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI

4/12/2009. Water Related Problems?

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh: Tim Analisa BPK Biro Analisa APBN & Iman Sugema

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

BAB 2 DASAR KEBIJAKAN BAGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI. 2.1 Rencana Pembangunan Nasional dan Regional

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 /PRT/M/2015 TENTANG KRITERIA DAN PENETAPAN STATUS DAERAH IRIGASI

Penanganan Das Bengawan Solo di Masa Datang Oleh : Ir. Iman Soedradjat,MPM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA)

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN BELITUNG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142/PMK.07/2007 TENTANG PENETAPAN ALOKASI DANA ALOKASI KHUSUS TAHUN ANGGARAN 2008 MENTERI KEUANGAN,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. KELEMBAGAAN DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Departemen Pekerjaan Umum (Dep. PU) mempunyai tugas membantu Presiden dalam penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum berdasarkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005. Urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum meliputi penyelenggaraan infrastruktur mulai dari perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan secara berkelanjutan atau secara umum dapat disebut sebagai pengelolaan infrastruktur ke-pu-an yang meliputi sektor sumber daya air (irigasi, rawa, pantai, danau, sungai), sektor ke-binamargaan (jalan dan jembatan), sektor ke-ciptakarya-an (permukiman, sanitasi, drainase, persampahan, air minum, tata bangunan) dan sektor penataan ruang. Beberapa permasalahan kebijakan kelembagaan Dep. PU 1 saat ini meliputi (1) organisasi Departemen yang makin membesar, (2) penambahan unit kerja yang baru belum meningkatkan kualitas infrastruktur, (3) adanya potensi tumpang tindih (overlap) antarunit pelaksana infrastruktur, (4) organisasi tidak atau belum mencerminkan keterpaduan antar sektor, dan (5) harmonisasi hubungan antara Pusat dan Daerah. Dari permasalahan kebijakan tersebut yang terkait dengan kelembagaan organisasi ke-pu-an adalah semakin membesarnya organisasi Dep. PU pada saat ini dibandingkan dengan organisasi Dep. PU sebelumnya (pada masa Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah). Apalagi, bila diperhitungkan dengan keberadaan UPT Dep. PU yang tersebar di seluruh Indonesia. Peran departemen sebagai regulator dan perubahan pola pikir (mindset) departemen dari rowing (pelaksanaan/pembangunan) menjadi steering (pengaturan, pembinaan dan pengawasan) membawa konsekuensi tugas pembangunan yang harus dilaksanakan 1 Hasil Kajian Paradigma Kelembagaan Dep. PU, Pusat Kajian Strategis, Dep. PU, 2007 1

oleh Pemerintah (dalam hal ini Dep. PU) secara bertahap beralih dari tugas pusat menjadi tugas daerah. Namun, yang terjadi saat ini adalah pembentukan unit kerja baru di bawah kendali Dep. PU dalam melaksanakan pembangunan di daerah dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau lebih dikenal dengan nama Balai. Konsekuensi ini menimbulkan penambahan alokasi anggaran yang dikelola oleh Dep. PU dan tidak mendukung organisasi yang telah ada, ditambah dengan adanya regulasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah serta undang-undang sektoral lainnya. Permasalahan lain adalah potensi terjadinya tumpang tindih (overlap) pelaksanaan tugas antara unit kerja di Dep. PU dengan instansi lain seperti Direktorat Jenderal (Ditjen.) Sumber Daya Air dengan Dep. Pertanian, Dep. Perhubungan, Dep. ESDM, Dep. Dalam Negeri, dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, atau Ditjen Cipta Karya dengan Dep. Dalam Negeri dan Kementerian Perumahan Rakyat, maupun antara unit kerja lain di lingkungan Dep. PU. Demikian pula halnya dengan adanya pembentukan balai yang bersifat sektoral hampir di setiap provinsi seperti Balai Wilayah Sungai (sektor sumber daya air) dan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (sektor bina marga) serta balai pendukung seperti Balai Litbang, Balai Diklat, dll, yang kesemuanya beroperasi dan bertanggung jawab dalam satu wilayah kerja. Hal ini terkait pula dengan kelembagaan daerah yang ada di setiap Provinsi, seperti keberadaan Dinas PU Provinsi, Dinas PU Kabupaten/Kota, serta Balai Pelaksana yang berada di bawah kendali Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal tersebut juga menimbulkan adanya potensi tumpang tindih pelaksanaan pekerjaan. Untuk mewujudkan visi Dep. PU 2 yaitu Tersedianya infrastrutur PU yang handal, bermanfaat, dan berkelanjutan untuk mendukung terwujudnya Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta lebih sejahtera maka perlu dukungan kelembagaan yang sesuai kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu dalam hal penyediaan infrastruktur PU. 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 51/PRT/2005 tentang Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum Tahun 2005 2009 2

Sesuai amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang No. 38 Tahun 2007 tentang Pemerintah Daerah bahwa Pemerintah Daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencangkup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang (1) politik luar negeri, (2) pertahanan keamanan, (3) peradilan, (4) moneter dan fiskal, (5) agama, serta (6) kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3 Kewenangan di bidang infrastruktur adalah kewenangan yang termasuk dalam kategori kewenangan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/ Kota dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi adalah pelaksanaan tugas bidang infrastruktur kepada Daerah sesuai dengan pembagian kewenangan Pusat dan Daerah. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan Pusat di Daerah kepada Pemerintah Provinsi, berupa kewenangan dalam bidang regulasi. Sedangkan Asas Tugas Pembantuan adalah pelimpahan kewenangan Pusat di Daerah kepada Pemerintah Provinsi/Kabupaten/ Kota berupa pelaksanaan tugas pelaksanaan infrastruktur di daerah. Dalam pembangunan infrastuktur bidang ke-pu-an, salah satu tugas dalam penyelenggaraan urusan bidang pengelolaan sumber daya air yang dituangkan melalui Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005, dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 286/PRT/M/2005 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 01/PRT/M/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum, merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA). 3 Penjelasan UU No. 22 tahun 1999 3

I.2. PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Indonesia dianugerahi sumber daya air yang melimpah. Banyaknya danau, situ, rawa dan sungai yang panjang dan besar mengalir sampai jauh mendukung mitos bahwa bagi Indonesia air bukanlah masalah. Rasa keberlimpahan akan air mempengaruhi pandangan, sikap, dan budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, sebagian besar rakyat Indonesia menganggap aneh pertanyaan cukupkah air bagi kehidupan kita hari ini dan kelak?. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Kepulauan Indonesia mendapat anugerah curah hujan antara 4.000 milimeter per tahun di wilayah Barat Indonesia, sampai curah hujan yang relatif rendah, kurang dari 800 milimeter per tahun di wilayah timur Indonesia. Total curah hujan diperkirakan mencapai 3.085 milyar meter kubik per tahun. Dari jumlah tersebut, Pulau Jawa mendapat berkah 195 milyar meter kubik. Data di atas membuktikan bahwa keberlimpahan air di Indonesia ternyata sangatlah tidak merata. Dari total curah hujan, Pulau Jawa hanya mendapat 6,32%, sementara selain di Pulau Jawa mendapat porsi 90% lebih. Sementara itu, pemanfaatannya baru mencapai 75,4 milyar meter kubik per tahun (2,44%). Untuk pulau Jawa, pemanfaatannya mencapai 49,4 milyar meter kubik (65,51%). 4 Pemanfaatan yang mencapai 65% tersebut disebabkan dengan adanya pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa. Di lain pihak, jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai 120 juta penduduk (52,6%) dari 228 juta penduduk Indonesia sehingga memerlukan konsumsi akan air yang cukup banyak. Dari 49,4 milyar meter kubik air di Pulau Jawa, 90% digunakan untuk kebutuhan pertanian dan sisanya untuk kebutuhan industri, pariwisata, kelistrikan, dan perkotaan/permukiman. Meningkatnya pertumbuhan industri dan pariwisata menyebabkan kebutuhan akan air semakin tinggi, demikian pula dengan kualitas air yang dibutuhkan untuk industri, pariwisata, perkotaan/permukiman. Ketersediaan air dirasakan semakin berkurang dengan maraknya kerusakan sumber-sumber air, kerusakan daerah tangkapan air, dan pencemaran atau polusi lingkungan, yang membuat turunnya kualitas serta kuantitas air. 4 Mengelola Air untuk Kemakmuran Rakyat, Ditjen Pengairan, Dep. PU, 1997 4

Berdasarkan perhitungan neraca air untuk Pulau Jawa, sejak tahun 1995 ketersediaan air permukaan hanya sebesar 30.569 juta meter kubik, sedangkan kebutuhan air mencapai 62.927 juta meter kubik, sehingga defisit sebesar 32.347 juta meter kubik. Pada tahun 2000 defisit air mencapai 52.809 juta meter kubik dan untuk tahun 2015 diperkirakan defisitnya 134.102 juta meter kubik. Ironisnya, perhitungan neraca air yang sudah ada tersebut berlalu begitu saja, tanpa ada nilai manfaat tindak lanjutnya. Begitu mengalami kekeringan seperti yang terjadi saat ini, baru terjadi kepanikan. 5 Kenyataan akan adanya krisis kelangkaan air sudah terasa beberapa waktu lalu. Berkurangnya volume air secara drastis dalam waduk utama di Pulau Jawa (khususnya dalam musim hujan) menjadi indikator adanya krisis kelangkaan air. Jumlah air yang terserap ke dalam tanah dibandingkan dengan jumlah air yang mengalir di permukaan tanah (run-off) yang kemudian menyebabkan banjir di beberapa tempat sebelum akhirnya bermuara ke laut mencerminkan adanya kerusakan di daerah hulu, daerah tangkapan air, yang seharusnya menjadi kawasan reservasi air. Situ, danau atau waduk yang seharusnya dapat menjadi tempat berkumpulnya air sementara, ternyata di beberapa tempat telah dihilangkan dan berganti wujud menjadi hutan beton sehingga luapan air yang seharusnya dapat ditampung di situ atau danau menggenangi daerah lain di sekitarnya. Bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami juga menambah permasalahan pengelolaan sumber daya air khususnya dalam kerusakan infrastruktur dan kerusakan DAS, baik di daerah hulu maupun di daerah hilir. Pembangunan bidang sumber daya air (dahulu disebut bidang pengairan) telah dilaksanakan sejak awal Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, bersamaan dengan dimulainya Pembangunan Lima Tahun (Pelita) VI. Perubahan orientasi kebijakan dari user-oriented (PJP I) menjadi resources-oriented (PJP II) menunjukkan bahwa keterbatasan ketersediaan air menyebabkan semakin tingginya nilai air sebagai komoditas ekonomi yang menjadikan air sangat 5 Menguak Kerusakan DAS di Indonesia, Sutopo Purwo Nugroho, Kompas, 24 Agustus 2003 (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0308/24/fokus/503619.htm) 5

berpotensi menimbulkan konflik. (diungkapkan oleh Ibu Tien Soeharto, 5 Agustus 1991,... Tidak mustahil pada suatu saat nanti negeri ini akan kekurangan air.... Tanpa air, tidak akan ada pembangunan, bahkan tidak akan ada kehidupan ). Sepanjang sejarah peradaban manusia tak pernah lepas dari peranan air sebagai sumber kehidupan dan penghidupan. Demikian halnya dengan perlakuan atau pengelolaan sumber daya air yang dari waktu ke waktu berkembang seiring dengan tingkat peradaban manusia yang tercermin dalam nilai budaya. Terciptanya kondisi lingkungan yang berperadaban akan menjadi aman dari kerusakan dan bencana akibat perilaku manusia dan alam. Adanya tradisi budaya untuk menjaga kelestarian sumber daya air akan menjamin kesejahteraan masyarakat dengan bertumpu pada pengelolaan sumber daya air secara partisipatif, terintegrasi, dan berwawasan lingkungan. Seiring dengan perjalanan waktu, meningkat pula berbagai masalah yang kompleks dan sarat konflik, seperti terjadi banyaknya kejadian banjir dan tanah longsor, kekeringan dan defisit air, serta degradasi kualitas air akibat limbah dan aliran sedimen. Kondisi sumber daya air yang sudah mencapai tingkat kritis tidak terlepas dari dampak lingkungan yang menyebabkan terganggunya siklus hidrologi pada daerah aliran sungai (DAS). Misalnya, kerusakan DAS Siak sudah sangat parah ditandai dengan menurunnya kualitas air, 6 sementara di Sumatera Utara, 7 alih guna lahan yang tidak terkendali akibat tidak adanya koordinasi antar instansi, menambah panjang penyebab kerusakan dan lemahnya pengelolaan sumber daya air. Dalam rangka mengatasi permasalahan sumber daya air di atas telah dilakukan upaya-upaya oleh pemerintah bersama organisasi nonpemerintah antara lain dengan 8 : 6 Wawancara Prof. DR.Rokhmin Dahuri, Riau Online, 3 Des 2003 7 Pemerintah Biarkan Kerusakan DAS, Kompas, 21 Sep 2007 8 Robert J Kodoatie, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, 2005 6

a. Membentuk Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air, pada Desember 2001, yang bertugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan nasional sumber daya air dan mempersiapkan Undang-Undang pengganti Undang-Undang No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan. b. Melakukan Dialog Penyelamatan Air bersama pemilik kepentingan sumber daya air, pada Hari Air Sedunia (HAS) tahun 2003. c. Membentuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan melalui rehabilitasi dan reboisasi nasional sebagai langkah investasi secara nasional untuk masa depan (SK Bersama Menko Kesra, Menko Polkam, dan Menko Perekonomian). d. Menyusun Deklarasi Pengelolaan Sumber Daya Air yang efektif mengatasi bencana oleh 11 Menteri, pada Hari Air Sedunia (HAS) XII tahun 2004. e. Menerbitkan Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada Maret 2004, yang telah lulus pengujian di Mahkamah Konstitusi pada April 2005. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memuat kebijakan baru pengelolaan sumber daya air dengan lebih menyeluruh dan terpadu, menuju pelayanan sumber daya air yang adil, efisien, dan berkelanjutan dalam memberikan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain upaya di atas, juga telah dilakukan upaya di lingkungan Dep. PU dalam hal peningkatan kelembagaan melalui re-organisasi kelembagaan yang menangani bidang sumber daya air, yang telah berubah beberapa kali yaitu bersifat sektoral sampai dengan tahun 1999, lalu berubah menjadi bersifat kewilayahadministrasian pada tahun 1999 sampai dengan 2004, lalu kembali berubah menjadi sektoral kembali pada tahun 2004 sampai saat ini. Namun demikian, sampai saat ini pengelolaan sumber daya air masih mengalami kendala, terlebih dalam kerangka otonomi daerah, pengelolaan sumber daya air menjadi konflik di beberapa tempat. Peran pemerintah pusat dan pemerintah 7

daerah yang saling tumpang tindih dalam beberapa hal menyebabkan adanya hambatan pelaksanaan pengelolaan sumber daya air. Hal tersebut diperkuat dengan salah satu hasil pertemuan World Water Forum II tahun 2000 di Den Haag yang menyatakan bahwa: salah satu penyebab krisis air (termasuk di Indonesia) adalah kelemahan dalam tata penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air (water governance). Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air sudah cukup banyak, berbagai langkah seperti perubahan Undang Undang, reorganisasi kelembagaan, pelibatan partisipasi masyarakat atau pemangku kepentingan bidang sumber daya air. Namun demikian pengelolaan sumber daya air sampai saat ini masih rendah, bahkan diberitakan jumlah DAS yang sangat kritis 9 mencapai 60 buah, 16 buah diantaranya berada di Pulau Jawa. Hal ini juga diperkuat dengan hasil investigasi Pusat Litbang Sumber Daya Air 10 mencatat 50 bendung dan 13 bendungan di Pulau Jawa mengalami kerusakan akibat perawatan operasional bangunan yang kurang memadai dan tuanya usia bangunan. Apakah dengan tersedianya peraturan dalam hal pengelolaan sumber daya air akan dapat memberikan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik? Bagaimana halnya dengan konflik-konflik yang terjadi sehubungan dengan pemanfaatan pengelolaan sumber daya air yang ada serta peran dan tanggung jawab masingmasing stakeholder sesuai tugas dan kewenangannya? Sebaik-baiknya peraturan yang ada tetap perlu didukung dengan perangkat lainnya sehingga diharapkan pengelolaan sumber daya air yang baik, efektif, dan efisien akan tercapai. I.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN Tesis ini dimaksudkan sebagai kajian awal mengenai kelembagaan pengelolaan sumber daya air pada Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum sebagai bahan masukan dalam penyusunan kelembagaan 9 60 DAS Berada Dalam Kondisi Sangat Kritis, Kompas, 6 Agustus 2008 10 Infrastruktur Pengairan Rusak, Kompas, 28 Juli 2008 8

pengelolaan sumber daya air yang dapat mengakomodasikan kebutuhan pengelolaan di tingkat Pusat dan tingkat Daerah. Pengkajian yang dilakukan meliputi: 1. Pengkajian struktur organisasi pengelolaan sumber daya air di tingkat Pusat (Dep. PU) berupa: a. Pengkajian kelembagaan sumber daya air berbasis sektoral. b. Pengkajian kelembagaan sumber daya air berbasis wilayah administrastif. 2. Pengkajian hubungan kelembagaan sumber daya air antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sesuai dengan sifat studi ini yang merupakan studi exploratory, maka studi ini merupakan studi kasus institusi sumber daya air yang ada di lingkungan Ditjen Sumber Daya Air dan diharapkan menghasilkan keluaran (output) berupa rekomendasi kelembagaan pengelolaan sumber daya air pada Ditjen Sumber Daya Air yang dapat mengakomodasi kepentingan pengelolaan sumber daya air di tingkat Pusat dan Daerah. I.4. RUMUSAN PERMASALAHAN Permasalahan utama yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan institusi pengelolaan sumber daya air adalah menemukan suatu institusi pengelolaan sumber daya air yang dapat mengacu pada satuan wilayah sungai dan daerah aliran sungai, serta dapat mengakomodasikan kepentingan pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah administratif, mengingat adanya satuan wilayah sungai dan daerah aliran sungai yang berada dan atau melalui beberapa wilayah kabupaten, kota, bahkan provinsi. 9

Dalam kaitannya dengan persoalan tersebut, perlu dikaji hal-hal sebagai berikut: a. Mengingat peran Pemerintah Pusat yang bergeser dari fungsi rowing menjadi fungsi steering dan adanya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004, mengapa kelembagaan pengelolaan sumber daya air di tingkat Pusat menjadi semakin besar? b. Bagaimanakah peranan institusi kelembagaan Ditjen Sumber Daya Air yang telah ada saat ini terhadap pelaksanaan pengelolaan sumber daya air? c. Selanjutnya adalah mencari bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya air baik di pusat maupun di pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah yang dapat mengakomodasikan sistem pengelolaan sumber daya air yang mengacu pada pengelolaan sumber daya air yang berbasis satuan wilayah sungai dan daerah aliran sungai serta kepentingan pengelolaan sumber daya air yang berbasis wilayah administratif. I.5. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterprestasikan apa-apa yang ada serta kondisi-kondisi yang terjadi pada saat ini. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka hasil perhitungan. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode analisis kebijakan. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Tujuan metode deskriptif adalah menjelaskan dan atau memprediksikan sebabsebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Metode ini digunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memberikan informasi mengenai institusi pengelolaan sumber daya air di lingkungan Ditjen Sumber Daya Air. 10

I.6. SUSUNAN PENULISAN TESIS Mengacu kepada rumusan tujuan penelitian serta pendekatan yang dikemukakan terdahulu, maka setelah uraian pendahuluan dalam Bab 1 ini, penyajian materi uraian dan bahasan di dalam naskah tesis ini disusun sebagai berikut: Dalam Bab II diuraikan kajian pustaka tentang pengelolaan sumber daya air dan perencanaan pengorganisasian kelembagaan pengelola sumber daya air. Pada bab ini pula memuat informasi mengenai pola dan alur pikir pemecahan masalah, lokasi penelitian, desain kuesioner, dan teknik analisis data. Dalam Bab III diuraikan mengenai gambaran umum institusi pengelolaan sumber daya air di lingkungan Ditjen Sumber Daya Air yang mencakup sejarah Departemen Pekerjaan Umum, profil Ditjen Sumber Daya Air, sistem pengelolaan sumber daya air, sistem pembagian kewenangan, serta kegiatan pengelolaan sumber daya air baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun yang didelegasikan ke tingkat provinsi/kabupaten. Bab ini juga memaparkan kondisi institusi kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang ada sebelumnya, beberapa bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya air di beberapa provinsi baik tingkat Balai maupun tingkat Dinas Provinsi. Dalam Bab IV diuraikan analisis dan interprestasi mengenai institusi pengelolaan sumber daya air, usulan bentuk kelembagaan khususnya institusi kelembagaan di tingkat Ditjen Sumber Daya Air dalam pengelolaan sumber daya air yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Analisis dilakukan dengan metode kualitatif. Bab V menyampaikan pokok-pokok kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian, selanjutnya disajikan pula saran-saran dan rekomendasi alur penelitian lanjutan yang berkaitan dengan bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya air untuk menyempurnakan penelitian ini. 11