Pangalengan, The Hiden Paradise Among Industrial Pangalengan. Merupakan sebuah tempat dimana seluruh tumpahan segala aspek masyarakat yang hidup dalam kepungan antara Ranah industri dan Suasana Alam yang sejuk yang mungkin dapat memikat mata siapapun yang melihatnya. Teringat apa yang dikatakan beberapa teman-teman saya yang telah mengunjungi suatu tempat yang katanya bisa buat Kopi panas bisa dingin dalam waktu 3-5 Menit saja ia mengatakan di dataran tinggi dekat perkebunan teh Malabar ada sebuah tempat untuk Niis, dan tempat itu cocok untuk para masyarakat kota yang katanya Mumet dengan hingar bingar Kota Metropolitan.
Ditempat inilah, sejenak teman-teman kami yang semula akan melakukan perjalanan pada bagi buta yang semula rencana berangkat pada jam 04.00 sekian. Ternyata molor karena ada beberapa teman kami yang terlambat, ya meski begitu kebersamaan kami tetap solid disini hingga akhir perjalanan. Awalnya, saya sendiri menyiapkan peralatan untuk memulai liputan untuk pembuatan film, disini saya dan teman saya Dray Andry Hidayat sebagai reporter yang akan melaporkan di tiap tempat yang kami kunjungi. Barulah pada pukul 06.30 kami berangkat menuju Pangalengan. Pada saat akan keluar gerbang UIN, kami langsung disambut Kemacetan yang biasa terjadi
pada Pagi hari. Dimana para Komuter termasuk saya pribadi melakukan perjalanan dari sub distrik atau kabupaten ke pusat kota untuk bekerja. Kemacetan bermula dari bundaran Cibiru yang mungkin tak kunjung gerak selama 20 menit, sehingga bus kami kewalahan untuk memutar arah menuju ke Soekarno-Hatta Freeway dan saya pun mendapat firasat akan kemacetan di Freewaynya Soetta, dan benar sekali dugaan saya, kami terjebak kembali kemacetan, semula dari Metro hingga Buah batu. Dari sinilah kesabaran kami diuji, karena pastinya kita akan melenceng dari jadwal semula, kita di jadwalkan untuk tiba di Rumah adat Cikondang sekitar jam 9-10an, tapi kenyataan yang datang yaitu kami terjebak kembali kemcetan
di sekitaran Baleendah karena ada perbaikan jalan. Namun semua itu dibayar dengan hiburan yang kami lakukan selama di Bus. Kami semua bernyanyi bersama dalam kegalauan macet yang tiada hentinya di kota ini.
Sejujurnya. Saya sangat senang sekali dengan Perjalanan ini. Saya sendiri terharu, karena ada yang mengatakan mungkin ini kebersamaan terakhir di semester ini, mengingat kita semua sudah akan menyusun Skripsi kedepanya. Saya harap tidak demikian. Tapi sebelumnya saya berterima kasih banya kepada dosen kami yaitu ibu Detty yang telah menyetujui terselenggaranya acara ini. Saya tahu betul tentang rencana acara ini. Saya bersyukur bisa bersama. Lanjut lagi, setelah keluar dari zona Kemacetan yang menjengkelkan, akhirnya kami tiba di daerah Cikondang untuk melihat rumah adatnya. Semua memang jalanya begitu berliku, maka tak heran ada sebagian teman kami yang mabuk perjalanan, ya meski begitu mereka tetap gembira suka cita, saya dan Dray tetap meliput meski kami di bus.
Terlihat dalam Foto, wajah kami memang Kusam dan berminyak, wajar saja mungkin, mengingat jalanya saja terjal minta ampun, seperti jalan Cicabe Parakanmuncang Sumedang atau tanjakan di desaku di Kuningan, Tambak baya, kami memang kelelahan setelah ini, namun kelelahan kami disambut oleh wajah ramah dari masyarakat sekitar, seolah lelah itu hilang, dan akhirnya kamipun mendatangi rumah dari Bapak yang bagian Humas atau bagian pariwisata. Beliau memberikan pengarahan pada kami sebelum akhirnya ke lapangan.
Saya tidak mengetahui nama Beliau, karena saya sedang sibuk untuk meliput di lapangan, dari sinilah kami memulai untuk menuju rumah yang konon katanya banyak sekali Pantanganya, seperti halnya Wanita dilarang masuk ketika berhalangan, dan pengunjungpun dibatasi, lalu ketika kita masuk, kita harus mengucapkan salam sunda atau Sampurasun didalam rumah adat ini. Sebelumnya, Beliau( Pak Humas) telah memperlihatkan kepada kami mengenai Lisung yang digunakan untuk menumbuk Padi yang katanya hanya dilakukan pas Musim Suro dan Panen. Konon Lisung itu telah berada di lokasi itu semenjak tahun 1700 an.
Lisung itu dikeramatkan dan selalu dimandikan di Malam Jumat Kliwon Ujarnya. Kembali ke rumah adat. Pada saat itu juga saya dan Rekan saya saja yang diperbolehkan masuk kedalam Rumah adat. Seperti yang dibahas diatas. Kami mengambil gambar secara sembunyi karena dikhawatirkan mengganggu ketenangan Rumah, saat itu, saya merekam dengan Kamera saya, dan rekan saya Erli mengambil sudut ruangan dengan kamera DSLRnya. Setelah taking foto di berbagai sudut. Akhirnya, kami keluar dan selesai pula perjalan kami di rumah adat. Ketika kembali ke rumah Pak Humas. Kami diperlihatkan beberapa Benda untuk makan dan minum dari Rumah adat itu. Katanya harganya hanya 25 perak
Saya hanya melihat-lihatnya sedikit saja. Selebihnya teman-teman saja yang memegang. Setelah itu, kami pun kembali ke Bus untuk melakukan perjalanan selanjutnya, yaitu Tea Plantation Malabar.
Setibanya di Bus, kami biasa melakukan canda tawa dengan anak anak untuk menghilangkan rasa penat dan kantuk, mereka pun mendengarkan Musik dangdut yang diputar berkali-kali di Bus. Setibanya di perkebunan teh. Kami disuguhkan dengan pemandangan menyejukan dan indah dimana banyak sekali kebun teh yang berjejer rapih.
Selapas itu. Kami pun segera turun dari bus setelah ampai pabrik perkebunan teh malabar. Awalnya kami memang terasa dingin. Tapi setelah itu rasa dingin kami dipecahakan oleh keadaan suasana alam yang indah. Kami pun tak lupa mengambil gambar dari berbagai sudut.
Setelah taking foto beberapa menit, kami langsung memasuki pabrik teh. Disini kami disuguhkan oleh berbagai cara pengolahan Teh. Dari mulai, Oolong, Green tea. Teh Pucuk, Peko, Teh Hitam, Putih dan hingga reguler.disajikan disini, kami pun mencoba melihat-lihat sekitaran pabrik dari mulai proses pengambilan dari perkebunan hingga proses pengeringan teh. Semuanya dilakukan secara mesin. Dan Proses Pengolahan yang secara berkala. Disini kami pun diperbolehkan Mencoba teh-teh yang telah disediakan di
sebuah meja yang memang disediakan untuk para tamu.