PERFORMA PRODUKSI KELINCI DI KABUPATEN MAGELANG, JAWA TENGAH

dokumen-dokumen yang mirip
KARAKTERISTIK REPRODUKSI KELINCI REX, SATIN DAN REZA

PERFORMANCE REPRODUCTION OF RABBIT IN BUMIAJI SUB-DISTRICT BATU CITY

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

Dari hasil Lokasi Pengamatan : dilakukan terletak wilayah Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat Kabupaten Pekalongan adalah daerah

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

PENGARUH PERBEDAAN KEPADATAN KANDANG TERHADAP PERFORMA PERTUMBUHAN KELINCI LEPAS SAPIH PERANAKAN NEW ZEALAND WHITE SKRIPSI BADRI YUSUF

Lokakarya Fungsional Non Peneli gram sehingga daya hidup anak menjadi rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya mortalitas antara lain :

Korelasi antara bobot badan induk dengan litter size, bobot lahir dan mortalitas anak kelinci New Zealand White

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG

Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2005 Metode pengukuran karakteristik Reproduksi (selang beranak, lama bunting, jumlah anak

Performa Produksi Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo:

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

EFISIENSI REPRODUKSI INDUK KAMBING PERANAKAN ETAWAH YANG DIPELIHARA DI PEDESAAN

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

KARAKTERISTIK REPRODUKSI PADA KELINCI REX, SATIN, DAN REZA AKIBAT SELEKSI BERDASARKAN TOTAL BOBOT SAPIH SKRIPSI NIKEN DEWI SAVITRI

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

TERNAK KELINCI. Jenis kelinci budidaya

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

PRODUKTIVITAS TIGA BANGSA KELINCI DI PETERNAKAN RAKYAT DESA PAKUNDEN KECAMATAN NGLUWAR KABUPATEN MAGELANG JAWA TENGAH

Animal Agriculture Journal 4(2): , Juli 2015 On Line at :

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga

PRODUKTIVITAS TERNAK DOMBA GARUT PADA STASIUN PERCOBAAN CILEBUT BOGOR

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

PEMANFAATAN DAN ANALISIS EKONOMI USAHA TERNAK KELINCI DI PEDESAAN

KARAKTERISTIK KARKAS DAN POTONGAN KOMERSIAL KELINCI REX DAN SATIN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Kelinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BALI DENGAN POLA SELEKSI PRODUKSI

PERTUMBUHAN ANAK KAMBING KOSTA SELAMA PERIODE PRASAPIH PADA INDUK YANG BERUMUR LEBIH DARI 4 TAHUN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

PLASMA NUTFAH KELINCI SEBAGAI SUMBER PANGAN HEWANI DAN PRODUK LAIN BERMUTU TINGGI

PENGARUH EFEK TETAP TERHADAP BOBOT BADAN PRASAPIH DOMBA PRIANGAN

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

PERFORMANS PRODUKSI DAN REPRODUKSI TERNAK BABI LOKAL DI KODYA KUPANG

PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

KARAKTERISTIK UKURAN KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

PENGARUH JUMLAH ANAK SEKELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KINERJA ANAK DOMBA SAMPAI SAPIH. U. SURYADI Jurusan Peternakan, Politeknik Negeri Jember

Agros Vol. 17 No.1, Januari 2015: ISSN

ANALISIS USAHATANI TERNAK KELINCI PADA POLA PEMELIHARAAN PETERNAK SKALA MENENGAH DAN KECIL DI KALIMANTAN TIMUR

DINAMIKA REKASATWA, Vol. 2 No. 2, 21 Agustus 2017 HUBUNGAN KARAKTER KUANTITATIF UKURAN TUBUH PADA BERBAGAI BANGSA PEJANTAN KELINCI ABSTRAK

Peningkatan Produktivitas Kelinci Rex, Satin dan Persilangannya melalui Seleksi

STRATEGI PEMBIBITAN PADA PETERNAKAN KELINCI SKALA MENENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI KUALITAS KULIT MENTAH KELINCI REX

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak membutuhkan modal dan tidak memerlukan lahan yang luas serta sebagai

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan

REPRODUKSI AWAL KAMBING KACANG DAN BOERKA-1 DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

BUDIDAYA KELINCI MENGGUNAKAN PAKAN LIMBAH INDUSTRI PERTANIAN SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBERDAYAAN PETANI MISKIN ABSTRAK

Pendugaan Jarak Genetik Kelinci Melalui Analisis Morfometrik

KEMAJUAN SELEKSI BOBOT LAHIR DAN BOBOT SAPIH KELINCI (Oryctolagus cuniculus) REX DAN SATIN SKRIPSI DWI VENTRI DAMAYANTI

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

Teniu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 ditunda sampai pada siklus pertumbuhan bulu berikutnya, sehingga akan menambah biaya pemelihara

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

POTENSI PENGEMBANGAN USAHATERNAK KELINCI DI KECAMATAN CIAWI KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT SKRIPSI VALENT FEBRILIANY

PENDAHULUAN. percobaan, penghasil bulu, pupuk kandang, kulit maupun hias (fancy) dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

Penampilan Kelinci Persilangan Lepas Sapih yang Mendapat Ransum dengan Beberapa Tingkat Penggunaan Ampas Teh

PENGARUH FAKTOR NON GENETIK TERHADAP BOBOT LAHIR KAMBING BOER PADA STASIUN PERCOBAAN LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SEI PUTIH

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Potensi Kelinci

PERSILANGAN PADA AYAM LOKAL (KUB, SENTUL, GAOK) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING UNGGAS NASIONAL

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KABUPATEN LEBAK DAN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

BOBOT POTONG, BOBOT BAGIAN EDIBLE DAN IN EDIBLE AYAM LOKAL JIMMY S FARM CIPANAS KABUPATEN CIANJUR JAWA BARAT

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

BOBOT BADAN BERBAGAI JENIS AYAM SENTUL DI GABUNGAN KELOMPOK TANI TERNAK CIUNG WANARA KECAMATAN CIAMIS KABUPATEN CIAMIS

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

Muhamad Fatah Wiyatna Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

KA-DO UNTUK PETERNAKAN INDONESIA Oleh: Fitria Nur Aini

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

THE EFFECT OF CROSSES HAMSTER CAMPBELL NORMAL WITH HAMSTER CAMPBELL PANDA AND PARENT AGE WHEN MATED TO THE APPEARANCE OF CHILDRENS PRODUCTION

PENAMBAHAN DAUN KATUK

Transkripsi:

PERFORMA PRODUKSI KELINCI DI KABUPATEN MAGELANG, JAWA TENGAH (Performance of Rabbit Production at Magelang District, Central Java) B. BRAHMANTIYO 1, Y.C. RAHARJO 2, S.S. MANSJOER 2 dan H. MARTOJO 2 1 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Evaluation of rabbit production raised under local farmer can explain this opportunity and potency to be developed in the future. Reproduction and production characteristics were important information for improving its productivity. Farmers in Magelang district raised English Spot (ES), Flemish Giant (FG), New Zealand White (NZ) dan Rex (RR) rabbit. There was no difference on reproduction characteristic among breed because the rabbit were raised in the same management. RR had lowest production compared to ES, FG and NZ. Performances of ES, FG and NZ were not different because of uncontrolled mating system. Key Words: Reproduction, Production, Rabbit ABSTRAK Performa produksi kelinci di tingkat peternak dapat memberikan gambaran potensi dan peluang pengembangan kelinci di masa mendatang. Karakteristik reproduksi seperti lama bunting, umur dewasa kelamin, jumlah anak lahir, selang beranak dan produksi seperti bobot sapih, bobot anak, remaja dan dewasa merupakan peubah yang penting sebagai dasar pertimbangan pengembangan kelinci. Kelinci yang banyak dipelihara peternak anggota Perhimpunan Peternak Kelinci Magelang (PPKM) adalah English Spot (ES), Flemish Giant (FG), New Zealand White (NZ) dan Rex (RR). Karakteristik reproduksi semua galur kelinci tidak berbeda karena dipelihara dengan manajemen pemeliharaan yang sama. Kelinci RR memiliki karakteristik produksi yang terendah dibanding ES, FG dan NZ, sedang diantara ES, FG dan NZ tidak berbeda. Kelinci ES, FG dan NZ memiliki performa yang sama dikarenakan belum adanya kontrol perkawinan. Kata Kunci: Reproduksi, Produksi, Kelinci PENDAHULUAN Pada tahun 2005, informasi perkembangan kelinci di lapang kembali meningkat, hal ini menjadi menarik, karena semenjak merebaknya wabah flu burung yang menyerang ayam/ unggas, banyak peternak yang menggantungkan hidupnya dari ternak ini menutup usahanya. Budidaya ternak kelinci merupakan usaha yang relatif mudah dikuasai, nilai investasi rendah, dapat dipelihara dengan skala kecil dan melibatkan tenaga keluarga, sehingga banyak peternak unggas/ayam yang mengalihkan usahanya pada ternak kelinci. Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah pengembangan ternak kelinci yang peternaknya berkembang didorong oleh keunggulan ternak kelinci dibandingkan ternak lain. Sebagian besar kelinci yang dikembangkan ditujukan untuk menghasilkan daging. Pasar yang berkembang adalah kelinci bibit yang diperjual belikan pada umur lepas sapih (2 bulan) dan remaja (3 4 bulan). Pasar kelinci ini dapat ditemui di Pasar Muntilan setiap hari pasaran yang jatuh pada hari Kliwon. Transaksi jual beli kelinci ini bisa mencapai rataan 300 500 ekor/hari. Adapun kelinci afkir atau tua diperjual belikan sebagai kelinci potong. Kelinci potong ini untuk memenuhi permintaan daging pedagang sate, gulai, dan tongseng yang banyak terdapat di sepanjang jalan menuju Borobudur, Sleman dan Yogyakarta (WIDODO, 2005). Produksi kelinci di lapang dapat memberikan gambaran 582

potensi dan peluang pengembangannya, sehingga suatu penelitian survei bertujuan menggali informasi mengenai performa produksi kelinci di tingkat peternak menjadi menarik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong upaya pemerintah dalam kecukupan gizi, ketahanan pangan serta menjadi alternatif penanggulangan pengangguran akibat tekanan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini. MATERI DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2006 di lokasi desa Pekunden, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang. Ternak yang akan digunakan adalah kelinci sebanyak 474 ekor dengan berbagai tingkat umur dan jenis kelamin dari 30 orang peternak anggota Perhimpunan Peternak Kelinci Magelang (PPKM). Metode survei dan pengamatan langsung dilakukan untuk pengamatan performa produksi kelinci yang dipelihara peternak. Data sekunder diperoleh berdasarkan pada laporan tahunan PPKM dan data statistik dari PEMDA dan BPS KABUPATEN MAGELANG (2004), sedang data primer diperoleh dari pengisian borang meliputi pertumbuhan kelinci berdasarkan tahapan umur, yaitu anak, remaja dan dewasa, dan produktivitas induk. Peubah yang diamati yaitu (1) bobot badan diukur berdasarkan kriteria umur, yaitu anak (30-60 hari), remaja (100-150 hari) dan dewasa (> 150 hari), (2) umur pertama kawin, (3) lama bunting, (4) jumlah anak sekelahiran (litter size), (5) umur sapih, (6) bobot sapih, dan (7) calving interval (selang beranak). Analisis data menggunakan bantuan program Statistics Analytical System (SAS 1985) dengan prosedur General Linear Program (GLM). Untuk menguji perbedaan setiap perlakuan, selanjutnya dilakukan Uji Berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) menurut STEEL dan TORRIE (1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan umum berada pada posisi 110 01-51 bujur timur, 110 26-58 bujur timur, 7 19-13 lintang selatan, dan 7 42-16 lintang selatan. Kabupaten Magelang terbagi dalam 21 kecamatan yang terdiri atas 372 desa dengan luas wilayah 108.573 ha. Suhu udara di Kabupaten Magelang berkisar antara 22 26 o C dan dapat mencapai hingga 32ºC pada beberapa daerah, kelembaban berkisar antara 70 92%. Curah hujan rata-rata 159.5 mm/tahun. Pada bulan Mei Oktober curah hujan rata-rata 28 mm dan bulan November April 281,5 mm (Pemda dan BPS Kabupaten Magelang, 2004). Suhu lingkungan yang cukup tinggi ini kurang cocok untuk pemeliharaan ternak kelinci. Temperatur ideal pemeliharaan ternak kelinci berkisar antara 16 20 o C (CHEEKE et al., 1987) dengan kelembaban udara relatif 50%. Ditambahkan oleh LUKHEFAHR dan CHEEKE (1990), bahwa produktivitas kelinci dapat optimal pada kondisi lingkungan dengan suhu udara 18 C dan tingkat kelembaban udara 70%. Populasi kelinci yang menyebar di 21 kecamatan mencapai 5.855 ekor dan merupakan potensi yang tinggi (Pemda dan BPS Kabupaten Magelang 2004). Berdasarkan data yang dilakukan oleh PPKM, jumlah peternak dan populasi kelinci pada bulan Maret 2006 sejumlah 1.841 orang peternak dan 22.399 ekor kelinci. Peningkatan ini dapat disebabkan karena munculnya peternak kelinci yang baru, peternak ayam/unggas yang beralih menjadi peternak kelinci dan adanya peningkatan populasi karena kemampuan reproduksi kelinci yang tinggi. Berikut ditampilkan galur kelinci yang diamati (Gambar 1). Kelinci Flemish Giant (FG), English Spot (ES), New Zealand White (NZ) dan Rex (RR) yang dimiliki peternak adalah kelinci-kelinci yang cukup memiliki ciri khas. Kelinci FG merupakan kelinci tipe besar dan banyak dikembangkan peternak karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kelinci ini banyak diperjual belikan pada umur sapih, yaitu sekitar delapan minggu sebagai bibit. Adapun pejantan tua dan betina kurang produktif diperjual belikan sebagai ternak potong. Kabupaten Magelang merupakan Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang letak geografis 583

Flemish Giant English Spot New Zealand White Rex Gambar 1. Galur kelinci yang banyak dipelihara peternak Performa produksi Performa produksi kelinci di lapang merupakan hasil survei yang pengelompokannya terdiri atas umur kelinci (anak, remaja dan dewasa) dan performa produksi induk. Data mengenai performa reproduksi dari galur FG, NZ, ES dan RR dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 menunjukkan, bahwa peternak mengawinkan kelinci jantan pertama kali lebih muda dibanding betina, berturut-turut untuk kelinci FG (6,95 ± 0,61 bulan dan 7,80 ± 0,89 bulan), kelinci NZ (6,80 ± 0,70 bulan dan 7,85 ± 0,93 bulan), kelinci ES (6,90 ± 0,79 bulan dan 7,70 ± 0,80 bulan), dan kelinci RR (7,00 ± 0,73 bulan dan 7,80 ± 0,83 bulan). Menurut LEBAS et al. (1986) dewasa kelamin pada kelinci mempunyai keragaman yang besar tergantung pada bangsanya. Bangsa kecil mencapai dewasa kelamin pada umur 4 5 bulan, bangsa besar mencapai dewasa kelamin pada umur 5 8 bulan. Idealnya kelinci ES betina mulai dikawinkan sekitar umur 5-6 bulan (PETPLANET.CO.UK. 2004) dan NZ siap dikawinkan pertama kali pada umur 18-19 minggu untuk pejantan (SARTIKA dan DIWYANTO, 1986). Waktu yang dibutuhkan kelinci untuk mengandung anak dapat mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan dan bobot lahir, semakin lama maka jumlah anak dilahirkan semakin rendah dengan bobot lahir yang semakin besar (CHEEKE et al. 1987). Ditambahkannya, bahwa lama bunting kelinci berkisar antara 28-32 hari dan dipengaruhi oleh tipe kelinci. Rataan lama bunting kelinci FG, NZ, RR dan ES berturutturut selama 30,30 ± 1,22 hari, 29,55 ± 0,95 hari, 29,05 ± 0,89 hari dan 29,25 ± 0,89 hari. Tabel 1. Rataan dan simpangan baku sifat reproduksi dan produksi ternak kelinci Karakteristik ES FG NZ RR (n=20) (n=20) (n=20) (n=20) Umur kawin pertama - jantan (bulan) - betina (bulan) 6,90 ± 0,79 b 7,70 ± 0,80 a b 6,95 ± 0,61 7,80 ± 0,89 a b 6,80 ± 0,70 7,85 ± 0,93 a b 7,00 ± 0,73 7,80 ± 0,83 a Lama bunting (hari) 29,25 ± 0,85 b 30,30 ± 1,22 a 29,55 ± 0,94 b 29,05 ± 0,89 b Jumlah anak lahir (ekor) 7,00 ± 0,86 a 7,10 ± 0,97 a 7,05 ± 0,94 a 6,95 ± 0,61 a Umur sapih (hari) 58,00 ± 4,0 a 58,50 ± 4,89 a 59,00 ± 3,08 a 58,00 ± 5,23 a Bobot Sapih (kg) 0,92 ± 0,30 a 0,90 ± 0,17 a 0,80 ± 0,07 b 0,71 ± 0,03 b Selang beranak (hari) 64,65 ± 14,02 a 68,30 ± 6,25 a 68,65 ± 4,66 a 62,65 ± 19,09 a ES = English Spot; FG = Flemish Giant; NZ = New Zealand White; RR = Rex; Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P < 0,05), kecuali untuk umur kawin pertama, huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama berbeda nyata (P < 0,05) 584

Jumlah anak sekelahiran berturut-turut kelinci FG 7,10 ± 0,97 ekor, NZ 7,05 ± 0,95 ekor, ES 7,00 ± 0,86 ekor dan RR 6,95 ± 0,61 ekor. LEBAS et al. (1986), melaporkan jumlah anak sekelahiran antara 1 13 ekor. Selanjutnya, jumlah anak sekelahiran ini bervariasi karena faktor genetik, musim, umur induk, periode beranak dan bangsa. Penyapihan sebaiknya dilakukan pada umur anak kelinci 28 hari (CHEEKE et al., 1987). LUKEFARH et al. (1981), menyatakan bahwa air susu merupakan sumber pakan bagi anak kelinci sebelum berumur tiga minggu dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhannya. Penyapihan yang lebih cepat dapat menyebabkan anak kelinci kekurangan susu, sehingga dapat menyebabkan pertumbuhan anak kelinci tidak optimal. Hasil survei menunjukkan bahwa peternak umumnya melakukan penyapihan selama 50 60 hari. Rataan lama sapih berturut-turut 58,50 ± 4,89 hari pada kelinci FG, 59,00 ± 3,08 hari pada kelinci NZ, 58,00 ± 5,23 hari pada kelinci RR dan 58,00 ± 4,10 hari pada kelinci ES. Hasil ini tidak berbeda dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa 43% peternak melakukan penyapihan anak kelinci setelah 46 60 hari (SASTRODIHARDJO, 1985), dan 40 50 hari (SZENDRO et al., 1996). Bobot sapih kelinci ES mencapai bobot sapih terbesar 0,92 ± 0,30 kg diikuti kelinci FG 0,90 ± 0,17 kg, kelinci NZ 0,80 ± 0,07 kg, dan kelinci RR 0,71 ± 0,05 kg. Pada umur delapan minggu rataan bobot kelinci FG 840,1 ± 229,6 g. Hasil survei tersebut lebih rendah dari pernyataan SUC et al. (1996), bobot hidup kelinci NZ pada umur 60 hari adalah 891 1055 g. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik dan kemurnian bangsa masih diragukan, kondisi yang berbeda dari tiap individu, konsumsi energi yang kurang mencukupi untuk hidup pokok dan produksi susu induk. Selang beranak merupakan jarak beranak satu dengan berikutnya yang berhubungan dengan umur mengawinkan kembali kelinci. Peternak di Magelang mengawinkan kembali kelincinya bervariasi antara 7 15 hari setelah beranak. Jarak waktu mengawinkan kembali setelah beranak pada keempat galur kelinci adalah 62,65 ± 19,09 sampai dengan 68,30 ± 6,25 hari. Lama waktu mengawinkan kembali dapat dipersingkat apabila kondisi kelinci sehat dan tidak kurus setelah masa menyusui. Hasil tersebut menunjukkan bahwa selama masa bunting dan menyusui peternak sangat memperhatikan tata laksana pemeliharaan dan pemberian pakan. Menurut WIRADARYA et al. (2005), pertumbuhan kelinci terdiri atas lima fase, yaitu fase pertama umur 0 40 hari (periode lahir-sapih), fase kedua umur 40 100 hari (saat disapih), fase ketiga umur 100 140 hari (periode remaja), fase keempat umur 140 200 hari (saat kelinci mencapai keseimbangan hormonal) dan fase kelima umur lebih dari 200 hari (saat kelinci mencapai dewasa tubuh). Hasil pengamatan di lapang, karena keterbatasan pencatatan, maka pertumbuhan kelinci dikelompokkan pada kisaran umur, yaitu bobot anak (umur 30 60 hari), bobot remaja (umur 100 150 hari) dan dewasa (umur 150 hari). Pada Tabel 2 ditampilkan kisaran bobot kelinci FG, ES, NZ dan RR. Bobot anak kelinci ES jantan tertinggi (1,05 ± 0,45 kg) dibandingkan bobot kelinci lain, sedang kelinci RR baik jantan dan betina bobot anaknya terendah, yaitu 0,66 ± 0,13 kg dan 0,57 ± 0,16 kg. Bobot badan kelinci remaja pada keempat galur terlihat sama besar, hanya pada kelinci ES jantan dan RR jantan yang lebih rendah dibanding kelinci lainnya dengan bobot sebesar 2,20 ± 0,25 kg dan 2,22 ± 0,21 kg. Pada kelinci dewasa tampak kelinci RR lebih rendah bobot badannya dibandingkan galur lain, yaitu sebesar 3,00 ± 0,28 kg pada jantan dan 2,89 ± 0,44 kg pada betina. Bobot dewasa kelinci ES, FG dan NZ tidak berbeda, hal ini diduga terjadi karena adanya pencampuran pada ketiga galur kelinci. Pencampuran pada galur kelinci ES, FG dan NZ terjadi karena peternak tidak memiliki pejantan yang segalur atau pejantan yang tersedia dari galur yang berlainan saat betina siap dikawinkan. Adapun kelinci RR, karena kekhasan yang dimilikinya, baik bobot badan, bentuk dan ukuran tubuh serta karakteristik kulit-bulu memudahkan peternak dalam melakukan pemisahan dan kontrol perkawinan agar tidak terjadi pencampuran. 585

Tabel 2. Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman bobot hidup kelinci Bobot badan ES FG NZ RR Anak sex Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan N (ekor) 19 11 42 50 15 16 17 12 rataan (kg) 0,85 b 1,05 a 0,79 b 0,88 b 0,78 b 0,77 b 0,57 c 0,66 c SB 0,16 0,43 0,16 0,19 0,08 0,11 0,16 0,13 KK 18,82 40,95 20,25 21,59 10,26 14,29 28,07 19,70 Remaja N (ekor) 5 6 19 24 4 8 7 5 rataan (kg) 2,84 a 2,20 b 3,20 a 2,62 a 2,49 a 2,82 a 2,55 a 2,22 b SB 0,29 0,25 0,38 0,42 0,43 0,42 0,25 0,21 KK 10,21 11,36 11,88 16,03 17,27 14,89 9,80 9,46 Dewasa N (ekor) 22 20 98 38 22 8 39 17 rataan (kg) 3,64 a 3,64 a 3,60 a 3,49 a 3,70 a 3,44 a 2,89 b 3,00 b SB 0,55 0,55 0,52 0,40 0,55 0,88 0,44 0,28 KK 15,11 15,11 14,44 11,46 14,86 25,58 15,22 9,33 ES = English Spot; FG = Flemish Giant; NZ = New Zealand White; RR = Rex; SB = simpangan baku; KK = koefisien keragaman; Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama, berbeda nyata (P < 0,05) KESIMPULAN Peternak mengenal kelinci penghasil daging yang dipelihara sebagai galur kelinci ES, FG dan NZ dengan performa reproduksi dan produksi yang tidak berbeda serta kelinci RR yang khas sebagai kelinci hias. Kesamaan performa tiga galur kelinci (ES, FG dan NZ) menerangkan belum adanya kontrol perkawinan kelinci di tingkat peternak dikarenakan rendahnya pengetahuan peternak akan galur kelinci atau adanya keinginan mendapatkan gabungan sifat melalui persilangan. Manajemen pemeliharaan oleh peternak cukup baik dengan penampilan reproduksi yang cukup baik pada semua galur kelinci yang dipelihara. DAFTAR PUSTAKA SAS (Statistics Analytical System). 1985. SAS User's Guide. SAS Inst., Inc., Cary. NC. CHEEKE, P.R., N.M. PATTON and G.S. TEMPLETON. 1987. Rabbit Production. Fifth Ed. Danville, Illinois, USA. The Interstate Printers and Publisher, Inc. LEBAS, F., P. COUDERT, R. ROUVIER and H. DEROCHAMBEAU. 1986. The Rabbit. Italy. Food and Agriculture Organization of the United Nations. LUKEFAHR, S.D. and P.R. CHEEKE. 1990. Rabbit project planning strategies for developing countries (1): Practical considerations. Livestock Research for Rural Development 2(2): 1 14. http://www.cipav.org.co/lrrd/ lrrd2/3/cheeke1.htm. (10 September 2007). LUKEFAHR, S.D., W.D. HOHENBOKEN, P.R. CHEEKE, N.M. PATTON and W.H. KENNICK. 1981. Carcass and meat characteristics of Flemish Giant and New Zealand White purebred and terminal-cross rabbits. J. Appl. Rabbit Res. 4: 66 72. PEMDA dan BPS KABUPATEN MAGELANG. 2004. Kabupaten Magelang dalam Angka (Magelang Regency in Figures) 2004. Pemerintah Daerah dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang. PETPLANET.CO.UK. 2004. Small animal breed: Rabbit-Flemish Giant Profile. http://www.pet planet.co.uk/petplanet/breeds/rabbit-flemish _Giant.htm. (6 Juni 2006). SARTIKA, T. dan K. DIWYANTO. 1986. Produktivitas kelinci lokal: Litter size, pertumbuhan, mortalitas dan kondisi induk. Ilmu dan Peternakan 2(3): 117 122. SASTRODIHARJO. 1985. Performa produksi kelinci (Oryctologus cuniculus) pada peternakan kelinci di Jawa. Pros. Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Puslitbang Peteranakan, Bogor. 586

STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. SZENDRO, Z., F. PALOS, L. RODNAI, E. BIRO-NEMETH and R. ROMVARY. 1996. Effect of litter size and birth weight on the mortality and weight gain of suckling and growing rabbits. J. of 6 th World Rabbit Congress, Toulouse. pp. 365 370. WIDODO, R. 2005. Usaha budidaya ternak kelinci dan potensinya. Pros. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung, 30 September 2005. Kerjasama Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm. 26 37. WIRADARYA, T.R., M. DULDJAMAN, S. RAHAYU, M. YAMIN, M. BAIHAQI, D. MAULUDIN dan ASEP. 2005. Strategi pembibitan pada peternakan kelinci skala menengah. Pros. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung, 30 September 2005. Kerjasama Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. hlm. 87 92. 587