BAB I PENDAHULUAN. satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah.

dokumen-dokumen yang mirip
SKRIPSI ANALISA PENERAPAN SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KOTA PADANG WINDA PUSPITA SARI FAKULTAS EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan berjalannya reformasi dibidang keuangan, maka perlu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah merupakan suatu tuntutan yang perlu direspon oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. atau memproduksi barang-barang publik. Organisasi sektor publik di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang menghasilkan produk berupa jasa pelayanan, baik pelayanan yang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas, mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan reformasi di segala bidang yang didukung oleh sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi pengelolaan keuangan Negara masih terus dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah, salah satunya adalah terkait dengan manajemen keuangan

BAB I PENDAHULUAN. wujud dari adanya tuntutan publik terhadap akuntabilitas dan transparansi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan Daerah yaitu dengan menyampaikan laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran kinerja pemerintah merupakan hal yang sangat penting,

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

BAB I PENDAHULUAN. memahami garis besar lingkup pengelolaan keuangan unit-unit kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. dan fungsinya yang didasarkan pada perencanaan strategis yang telah ditetapkan.

1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi telah memberikan peluang bagi perubahan cara-cara pandang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good governance government). Good governance. yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien.

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh daerah. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. harus ditingkatkan agar menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. reformasi yang semakin luas dan menguat dalam satu dekade terakhir. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan diterapkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik adalah organisasi yang bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. ini bukan hanya orang-orang dari bidang akuntansi yang dapat memahami laporan

BAB 1 PENDAHULUAN. berlangsung secara terus menerus. Untuk bisa memenuhi ketentuan Pasal 3. Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang keuangan, negara

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dapat dinilai kurang pesat, pada saat itu yang lebih mendapat perhatian

BAB I PENDAHULUAN. pencatatan single-entry. Sistem double-entry baru diterapkan pada 2005 seiring

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia semakin pesat

BAB 1 PENDAHULUAN. disebut dengan Good Governance. Pemerintahan yang baik merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB 1 PENDAHULUAN. dibangku perkuliahan. Magang termasuk salah satu persyaratan kuliah yang

BAB I PENDAHULUAN. dan teori perlu berimplikasi pada praktik. Oleh karena itu antara teori dan praktik

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. dana, menentukan arah, tujuan dan target penggunaan anggaran.

BAB I PENDAHULUAN. pusat untuk mengatur pemerintahannnya sendiri. Kewenangan pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sekarang ini dihadapkan oleh banyaknya tuntutan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Ulum, 2004). (Stanbury, 2003 dalam Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia semakin pesat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaporan keuangan sektor publik khususnya laporan keuangan. pemerintah adalah wujud dan realisasi pengaturan pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. laporan keuangan yang handal, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan sebagai dasar

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat

BAB I PENDAHULUAN. dan berganti menjadi era Reformasi. Pada era ini, desentralisasi dimulai ketika

BAB I PENDAHULUAN. pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Beralihnya masa orde lama ke orde baru telah menimbulkan banyak. perubahan baik dalam segi pemerintahan, ekonomi dan politik.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB II. individu atau suatu organisasi pada suatu periode tertentu. Menurut Stoner (1996 :

BAB I PENDAHULUAN. telah mendorong pemerintah untuk menerapkan akuntabilitas publik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum UU No.17 tahu 2003, pengelolaan keuangan negara dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dan hak publik. Mardiasmo, (2002).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia telah melewati serangkain

BAB II TINJAUAN/KAJIAN PUSTAKA. mencapai tujuan penyelenggaraan negara. dilakukan oleh badan eksekutif dan jajaranya dalam rangka mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

BAB I PENDAHULUAN. adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan. masyarakat merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah yang merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang tepat, jelas, dan terukur sesuai dengan prinsip transparansi dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah pada era reformasi ini dituntut untuk melaksanakan. perubahan penting dan mendasar yang dimaksudkan untuk memperbaiki

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pemerintah dituntut untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Saat ini organisasi sektor publik berupaya memberikan kualitas pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Good governace merupakan function of governing, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Frilia Dera Waliah, 2015 ANALISIS KESIAPAN PEMERINTAH KOTA BANDUNG DALAM MENERAPKAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansi Pemerintah yang menggantikan PP No. 24 Tahun 2005 akan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang ditandai dengan munculnya era New Public Management

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 merupakan tonggak dimulainya era demokrasi di

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Dasar dan Pancasila sila ke

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam era otonomi daerah ini, masyarakat semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan lebih dapat menyampaikan aspirasi yang berkembang yang salah satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua Undang-undang ini telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur sumber dana, menentukan arah, tujuan, dan target penggunaan anggaran. Perubahan yang mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan wujud dari adanya tuntutan publik terhadap akuntabilitas dan transparansi manajemen pemerintah, salah satunya adalah terkait dengan manajemen keuangan Negara maupun Daerah. Baridwan (2004:27) menegaskan tuntutan publik akan pemerintahan yang baik memerlukan adanya perubahan paradigma dan prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah, baik pada tahap penganggaran, implementasi maupun pertanggungjawaban. Hal ini menandakan perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah merupakan suatu tuntutan yang perlu direspon oleh pemerintah, karena perubahan tersebut mengakibatkan manajemen keuangan daerah menjadi semakin kompleks. Penekanan tersebut menunjukkan bahwa proses pengelolaan keuangan dan penerapan mengenai sistem akuntansi keuangan daerah sangat diperlukan dalam manajemen pemerintahan.

Dalam situasi tertentu akuntansi menjadi salah satu kendala teknis bagi eksekutif dalam pengelolaan keuangan daerah karena akuntansi dapat menjadi salah satu alat kontrol yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Neu dalam Lukman Pakaya (2014) bahwa teknik akuntansi dan teknik lain-lain dapat digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu tujuan makro dan mikro. Tujuan makro adalah tujuan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan tujuan mikro adalah tujuan yang mengarah pada kegiatan operasional organisasi dalam menunjang tujuan makro. Hal senada juga di tegaskan oleh Newkirk dalam Lukman Pakaya (2014) bahwa dari sekian banyak problem yang ada pada pemerintah daerah salah satunya adalah tentang akuntansi. Pernyataan ini menandakan bahwa pengelola keuangan daerah pada masing-masing satuan kerja perlu dilakukan secara cermat guna dapat menyelesaikan problem akuntansi dan dapat melakukan penyajian informasi keuangan secara memadai. Mardiasmo (2004: 35) menegaskan bahwa sistem pertanggungjawaban keuangan suatu institusi dapat berjalan dengan baik, bila terdapat mekanisme pengelolaan keuangan yang baik pula. Ini berarti pengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam APBD memiliki posisi strategis dalam mewujudkan manajemen pemerintahan yang akuntabel. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Keuangan daerah harus dikelola dengan baik agar semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan daerah. Pengelolaan keuangan daerah harus transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, akuntabilitas dalam

pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintah semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Transparansi dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana masyarakat dapat mengetahui dengan jelas semua kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjalankan fungsinya beserta sumber daya yang digunakan. Sedangkan akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemerintah Daerah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang menggunakan sistem akuntansi yang diatur oleh pemerintah pusat dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang bersifat mengikat seluruh Pemerintah Daerah. Dalam Sistem Pemerintah Daerah terdapat 2 subsistem, yaitu Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Laporan Keuangan SKPD merupakan sumber untuk menyusun Laporan Keuangan SKPKD, oleh karena itu setiap SKPD harus menyusun Laporan Keuangan sebaik mungkin.

Transparansi atau akuntabilitas dapat diterangkan melalui Teori Keagenan (Agency Theory). Dalam teori keagenan disebutkan bahwa senantiasa terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan agen. Masyarakat merupakan principal yang memiliki hak sepenuhnya atas sejumlah sumber daya yang digunakan oleh pemerintah. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai agen yang mengemban amanah untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya tersebut untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu principal perlu mengetahui dan mengendalikan tindakan agen agar tetap sejalan dengan kepentingan principal. Oleh sebab itu akuntansi keuangan daerah memegang peranan penting dalam perbaikan manajemen keuangan daerah. Sebagaimana kita ketahui akuntansi keungan daerah berfungsi menghasilkan output berupa laporan keuangan yang akan menjadi dasar bagi penilaian kinerja pemerintah itu sendiri maupun oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemerintah daerah (stakeholders pemerintah daerah). Selama ini pelaporan keuangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah terkesan belum memenuhi kebutuhan informasi pemakaianya. Kurangnya informasi yang dihasilkan mengakibatkan pemerintah tidak mempunyai manajerial yang baik dan tidak bisa mewujudkan transparansi dan akuntabilitas yang sesuai dengan harapan masyarakat dan stokeholders lainnya. Dalam rangka melanjutkan reformasi dibidang pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. PP ini menginstruksikan pemerintah daerah agar segera menyusun dan menerapkan sistem akuntansi untuk mencatat dan melaporkan transaksi keuangannya. PP ini selanjutnya terus diperbaharui dengan di keluarkannya PP No. 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga telah menerbitkan Peraturan No. 13 Tahun 2006 yang memuat pedoman pengelolaan keuangan daerah.

Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota yang mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Salah satunya adalah Permendagri No. 13 Tahun 2006. Permendagri No. 13 tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang memuat pedoman dalam penerapan Sistem Akuntansi Keungan Daerah (SAKD). SAKD merupakan penyempurnaan dari sistem pengelolaan keuangan daerah sebelumnya, dimana SAKD sudah menggunakan metode pencatatan double entry dengan sistem akuntansi berbasis kas modifikasian yang mengarah kepada basis akrual (accrual basis). Disamping itu penerapan SAKD juga ditempatkan dalam upaya mencapai komputerisasi dalam organisasi pemerintah. Penerapan SAKD diharapkan akan menghasilkan catatan dan laporan atas transaksi keuangan yang terjadi dalam organisasi (entitas) pemerintah daerah menjadi lebih akurat, tepat dan komprehensif, sehingga dapat memperbaiki kualitas keputusan yang diambil pemakai laporan keuangan tersebut. Pemerintah Kabupaten Belu telah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Namun dalam hal penyusunan laporan keuangan tersebut pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami sistem akuntansi yang sekarang berlaku yaitu basis kas menuju basis akrual. Hal ini dipertegas oleh sekretaris pada Dinas PPKAD kabupaten Belu Gradus Mbulu. Beliau menyatakan bahwa Basis kas menuju akrual yang saat ini diterapkan belum semua dipahami oleh masing-masing entitas akuntansi maupun entitas pelaporan, sudah harus diberlakukan basis yang baru dalam tahun 2015 yaitu basis akrual, menjadi alasan perlunya dilakukan pelatihan tenaga akuntansi. Pelatihan sebaiknya langsung terhadap praktik-praktik real

di lapangan disertai dengan contoh-contoh soal akan tetapi dengan tidak meninggalkan pemahaman teori akuntansi pemerintahan. Peningkatan SDM akuntansi ini menjadi modal penting dalam penerapan akuntasi berbasis akrual. Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa masih perlunya pemahaman tentang sistem akuntansi keuangan daerah dalam suatu instansi pemerintahan di Kabupaten Belu. Dalam menyusun laporan keuangan inilah dibutuhkan yang namanya transparansi dan akuntabilitas. Oleh sebab itu akuntansi keuangan daerah memegang peranan penting dalam perbaikan manajemen keuangan daerah sehingga pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana kita ketahui akuntansi keuangan daerah berfungsi menghasilkan output berupa laporan keuangan yang akan menjadi dasar bagi penilaian kinerja pemerintah itu sendiri maupun oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemerintah daerah (stakeholders pemerintah daerah). Selama ini pelaporan keuangan pemerintah, baik di pusat maupun daerah terkesan belum memenuhi kebutuhan informasi pemakainya. Kurangnya informasi yang dihasilkan mengakibatkan pemerintah tidak mempunyai manajerial yang baik dan tidak bisa mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan masyarakat dan stakeholders lainnya. Hal ini berdasarkan hasil audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Belu pada tahun 2014 memperoleh predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kebijakan yang memberikan keleluasaan bagi Pemda untuk mengelola keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja daerah yang bersangkutan. Banyaknya pembahasan mengenai keuangan daerah, terutama hubungannya dengan otonomi daerah yang sementara berlangsung menjadikan hal ini menarik untuk dibahas, oleh karena itu ketidakpahaman tentang pengelolaan keuangan daerah dan kurangya sumber daya yang memadai

dalam melaksanakan sistem akuntansi keuangan daerah, seperti yang diutarakan oleh Sekretaris Dinas PPKAD Kabupaten Belu mengatakan bahwa sistem akuntansi keuangan daerah belum sepenuhnya dipahami oleh masing-masing entitas akuntansi maupun entitas pelaporan, serta masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Belu yakni sebagian besar APBD Kabupaten Belu berasal dari Pemerintah Pusat. Selain itu dalam kinerja Keuangan instansi pemerintah daerah Belu berdasarkan hasil audit BPK masih di bawah harapan dari masyarakat maupun stakeholder. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Penilaian BPK terhadap kinerja Kabupaten Belu Tahun Anggaran 2014 Penilaian BPK Permasalahan Dalam Laporan Keuangan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) 1. Saldo Aset Tetap per 31 Desember 2014 dan 2013 masing-masing sebesar Rp.1.124.940.677.526,00 dan Rp.1.279.509.216.165,00. Yang disajikan belum dapat diyakini telah dicatat secara lengkap dan menggambarkan asset tetap yang dapat digunakan untuk operasional pemerintah dan belum didukung dengan bukti kepemilikan. 2. Saldo Belanja per 31 Desember 2014 dan 2013 masingmasing sebesar Rp.541.316.991.540,00 dan Rp.800.235.089.590,00. Dari realisasi tersebut terdapat realisasi belanja yang tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp.11.213.047.128,00, yang terdiri dari realisasi belanja pegawai sebesar Rp.213.750.000,00, belanja barang dan jasa sebesar Rp.3.653.815.000,00, dan belanja modal sebesar Rp.7.345.482.128,00. 3. Penyajian Anggaran Belanja dan Jasa pada TA 2014 sebesar Rp.107.290.427.560.,00 dengan realisasi sebesar Rp.91.568.298.153,00. Dari realisasi tersebut diantaranya terdapat kelebihan pembayaran belanja perjalanan dinas

sebesar Rp.216.812.980,00 dan belanja barang dan jasa yang tidak dapat diyakini sebagai pertanggungjawaban yang menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp.448.788.650,00. (sumber : PPKAD 2014) Berdasarkan tabel di atas membuktikan bahwa kinerja dari pemerintah daerah kabupaten Belu masih jauh dari harapan masyarakat terutama dalam hal pengelolaan aset dan belanja menjadi masalah utama. Kedua dalam hal pencatatan, dan perincian aset berdasarkan jenisnya juga menjadi permasalahan, hal ini menjadi tolak ukur tentang penerapan sistem akuntansi keuangan daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, pemerintah daerah sudah harus menerapkan SAKD mulai tahun 2003. Keputusan ini di perkuat dengan keluarnya Permendagri No. 13 tahun 2006 yang kemudian disempurnakan dengan Permendagri No. 59 tahun 2007 yang memuat perubahan atas Permendagri No. 13 tahun 2006. Untuk menerapkan sistem ini diperlukan tenaga staf keuangan yang mampu melaksanakan proses pencatatan akuntansi dan mampu menyusun format laporan keuangan yang baru seperti sesuai yang diharapkan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut. Namun, penerapan SAKD bisa saja mengalami hambatan dan kendala akibat ketidaksesuaian penerapan SAKD oleh aparat pemerintah daerah. Artikel-artikel yang penulis baca banyak menyatakan bahwa penerapan SAKD belum berlangsung optimal sebagaimana yang diharapkan. penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nofri Melsi (2006) yang berjudul Analisa Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman, menyimpulkan bahwa penerapan SAKD pada pemda kabupaten pariaman berjalan cukup baik dengan skor rata-rata 74,12%. Pada penelitian terdahulu ini analisanya dilakukan terhadap aparat pemda dengan menggunakan kuesioner.

Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejauh mana pengaruh pengaruh pengelolaan keuangan daerah dan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian empiris dengan judul: Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah dan Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah terhadap Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Belu. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah pengelolaan keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah pada pemerintah daerah Kabupaten Belu? 2. Apakah penerapan sistem akuntansi keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah pada pemerintah daerah Kabupaten Belu? 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh signifikasi pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Belu 2. Untuk mengetahui pengaruh signifikasi Penerapan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Belu 1.4.Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai 2 manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pengetahuan terutama dalam bidang akuntansi, khususnya dalam menambah wawasan untuk menyikapi isu-isu masa kini dalam mengembangkan akuntansi khususnya akuntansi sektor publik itu sendiri yang sering terjadi di lingkungan pemerintah daerah. 2. Manfaat Praktis Bagi pembaca pada umumya diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat dalam membangun bangsa ini lebih baik kedepannya dan juga sebagai literatur untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Untuk pemerintah daerah itu sendiri, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sistem akuntansi keuangan daerah menjadi lebih baik lagi dan juga sebagai bahan masukan dalam meningkatkan kinerja SKPD pada Pemerintah Daerah Kabupaten Belu menjadi lebih baik lagi.