BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam era otonomi daerah ini, masyarakat semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan lebih dapat menyampaikan aspirasi yang berkembang yang salah satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua Undang-undang ini telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur sumber dana, menentukan arah, tujuan, dan target penggunaan anggaran. Perubahan yang mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan wujud dari adanya tuntutan publik terhadap akuntabilitas dan transparansi manajemen pemerintah, salah satunya adalah terkait dengan manajemen keuangan Negara maupun Daerah. Baridwan (2004:27) menegaskan tuntutan publik akan pemerintahan yang baik memerlukan adanya perubahan paradigma dan prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah, baik pada tahap penganggaran, implementasi maupun pertanggungjawaban. Hal ini menandakan perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah merupakan suatu tuntutan yang perlu direspon oleh pemerintah, karena perubahan tersebut mengakibatkan manajemen keuangan daerah menjadi semakin kompleks. Penekanan tersebut menunjukkan bahwa proses pengelolaan keuangan dan penerapan mengenai sistem akuntansi keuangan daerah sangat diperlukan dalam manajemen pemerintahan.
Dalam situasi tertentu akuntansi menjadi salah satu kendala teknis bagi eksekutif dalam pengelolaan keuangan daerah karena akuntansi dapat menjadi salah satu alat kontrol yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Neu dalam Lukman Pakaya (2014) bahwa teknik akuntansi dan teknik lain-lain dapat digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu tujuan makro dan mikro. Tujuan makro adalah tujuan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan tujuan mikro adalah tujuan yang mengarah pada kegiatan operasional organisasi dalam menunjang tujuan makro. Hal senada juga di tegaskan oleh Newkirk dalam Lukman Pakaya (2014) bahwa dari sekian banyak problem yang ada pada pemerintah daerah salah satunya adalah tentang akuntansi. Pernyataan ini menandakan bahwa pengelola keuangan daerah pada masing-masing satuan kerja perlu dilakukan secara cermat guna dapat menyelesaikan problem akuntansi dan dapat melakukan penyajian informasi keuangan secara memadai. Mardiasmo (2004: 35) menegaskan bahwa sistem pertanggungjawaban keuangan suatu institusi dapat berjalan dengan baik, bila terdapat mekanisme pengelolaan keuangan yang baik pula. Ini berarti pengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam APBD memiliki posisi strategis dalam mewujudkan manajemen pemerintahan yang akuntabel. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Keuangan daerah harus dikelola dengan baik agar semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan daerah. Pengelolaan keuangan daerah harus transparansi yang mulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, akuntabilitas dalam
pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem pemerintah semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Transparansi dapat diartikan sebagai suatu situasi dimana masyarakat dapat mengetahui dengan jelas semua kebijaksanaan dan tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam menjalankan fungsinya beserta sumber daya yang digunakan. Sedangkan akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemerintah Daerah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang menggunakan sistem akuntansi yang diatur oleh pemerintah pusat dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang bersifat mengikat seluruh Pemerintah Daerah. Dalam Sistem Pemerintah Daerah terdapat 2 subsistem, yaitu Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Laporan Keuangan SKPD merupakan sumber untuk menyusun Laporan Keuangan SKPKD, oleh karena itu setiap SKPD harus menyusun Laporan Keuangan sebaik mungkin.
Transparansi atau akuntabilitas dapat diterangkan melalui Teori Keagenan (Agency Theory). Dalam teori keagenan disebutkan bahwa senantiasa terdapat perbedaan kepentingan antara principal dan agen. Masyarakat merupakan principal yang memiliki hak sepenuhnya atas sejumlah sumber daya yang digunakan oleh pemerintah. Sedangkan pemerintah berfungsi sebagai agen yang mengemban amanah untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya tersebut untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu principal perlu mengetahui dan mengendalikan tindakan agen agar tetap sejalan dengan kepentingan principal. Oleh sebab itu akuntansi keuangan daerah memegang peranan penting dalam perbaikan manajemen keuangan daerah. Sebagaimana kita ketahui akuntansi keungan daerah berfungsi menghasilkan output berupa laporan keuangan yang akan menjadi dasar bagi penilaian kinerja pemerintah itu sendiri maupun oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemerintah daerah (stakeholders pemerintah daerah). Selama ini pelaporan keuangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah terkesan belum memenuhi kebutuhan informasi pemakaianya. Kurangnya informasi yang dihasilkan mengakibatkan pemerintah tidak mempunyai manajerial yang baik dan tidak bisa mewujudkan transparansi dan akuntabilitas yang sesuai dengan harapan masyarakat dan stokeholders lainnya. Dalam rangka melanjutkan reformasi dibidang pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. PP ini menginstruksikan pemerintah daerah agar segera menyusun dan menerapkan sistem akuntansi untuk mencatat dan melaporkan transaksi keuangannya. PP ini selanjutnya terus diperbaharui dengan di keluarkannya PP No. 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga telah menerbitkan Peraturan No. 13 Tahun 2006 yang memuat pedoman pengelolaan keuangan daerah.
Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota yang mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan. Pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri. Salah satunya adalah Permendagri No. 13 Tahun 2006. Permendagri No. 13 tahun 2006 ini merupakan penyempurnaan dari Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang memuat pedoman dalam penerapan Sistem Akuntansi Keungan Daerah (SAKD). SAKD merupakan penyempurnaan dari sistem pengelolaan keuangan daerah sebelumnya, dimana SAKD sudah menggunakan metode pencatatan double entry dengan sistem akuntansi berbasis kas modifikasian yang mengarah kepada basis akrual (accrual basis). Disamping itu penerapan SAKD juga ditempatkan dalam upaya mencapai komputerisasi dalam organisasi pemerintah. Penerapan SAKD diharapkan akan menghasilkan catatan dan laporan atas transaksi keuangan yang terjadi dalam organisasi (entitas) pemerintah daerah menjadi lebih akurat, tepat dan komprehensif, sehingga dapat memperbaiki kualitas keputusan yang diambil pemakai laporan keuangan tersebut. Pemerintah Kabupaten Belu telah menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Namun dalam hal penyusunan laporan keuangan tersebut pemerintah daerah belum sepenuhnya memahami sistem akuntansi yang sekarang berlaku yaitu basis kas menuju basis akrual. Hal ini dipertegas oleh sekretaris pada Dinas PPKAD kabupaten Belu Gradus Mbulu. Beliau menyatakan bahwa Basis kas menuju akrual yang saat ini diterapkan belum semua dipahami oleh masing-masing entitas akuntansi maupun entitas pelaporan, sudah harus diberlakukan basis yang baru dalam tahun 2015 yaitu basis akrual, menjadi alasan perlunya dilakukan pelatihan tenaga akuntansi. Pelatihan sebaiknya langsung terhadap praktik-praktik real
di lapangan disertai dengan contoh-contoh soal akan tetapi dengan tidak meninggalkan pemahaman teori akuntansi pemerintahan. Peningkatan SDM akuntansi ini menjadi modal penting dalam penerapan akuntasi berbasis akrual. Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa masih perlunya pemahaman tentang sistem akuntansi keuangan daerah dalam suatu instansi pemerintahan di Kabupaten Belu. Dalam menyusun laporan keuangan inilah dibutuhkan yang namanya transparansi dan akuntabilitas. Oleh sebab itu akuntansi keuangan daerah memegang peranan penting dalam perbaikan manajemen keuangan daerah sehingga pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebagaimana kita ketahui akuntansi keuangan daerah berfungsi menghasilkan output berupa laporan keuangan yang akan menjadi dasar bagi penilaian kinerja pemerintah itu sendiri maupun oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemerintah daerah (stakeholders pemerintah daerah). Selama ini pelaporan keuangan pemerintah, baik di pusat maupun daerah terkesan belum memenuhi kebutuhan informasi pemakainya. Kurangnya informasi yang dihasilkan mengakibatkan pemerintah tidak mempunyai manajerial yang baik dan tidak bisa mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan harapan masyarakat dan stakeholders lainnya. Hal ini berdasarkan hasil audit BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah Kabupaten Belu pada tahun 2014 memperoleh predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Kebijakan yang memberikan keleluasaan bagi Pemda untuk mengelola keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja daerah yang bersangkutan. Banyaknya pembahasan mengenai keuangan daerah, terutama hubungannya dengan otonomi daerah yang sementara berlangsung menjadikan hal ini menarik untuk dibahas, oleh karena itu ketidakpahaman tentang pengelolaan keuangan daerah dan kurangya sumber daya yang memadai
dalam melaksanakan sistem akuntansi keuangan daerah, seperti yang diutarakan oleh Sekretaris Dinas PPKAD Kabupaten Belu mengatakan bahwa sistem akuntansi keuangan daerah belum sepenuhnya dipahami oleh masing-masing entitas akuntansi maupun entitas pelaporan, serta masih rendahnya Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Belu yakni sebagian besar APBD Kabupaten Belu berasal dari Pemerintah Pusat. Selain itu dalam kinerja Keuangan instansi pemerintah daerah Belu berdasarkan hasil audit BPK masih di bawah harapan dari masyarakat maupun stakeholder. Hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Penilaian BPK terhadap kinerja Kabupaten Belu Tahun Anggaran 2014 Penilaian BPK Permasalahan Dalam Laporan Keuangan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) 1. Saldo Aset Tetap per 31 Desember 2014 dan 2013 masing-masing sebesar Rp.1.124.940.677.526,00 dan Rp.1.279.509.216.165,00. Yang disajikan belum dapat diyakini telah dicatat secara lengkap dan menggambarkan asset tetap yang dapat digunakan untuk operasional pemerintah dan belum didukung dengan bukti kepemilikan. 2. Saldo Belanja per 31 Desember 2014 dan 2013 masingmasing sebesar Rp.541.316.991.540,00 dan Rp.800.235.089.590,00. Dari realisasi tersebut terdapat realisasi belanja yang tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp.11.213.047.128,00, yang terdiri dari realisasi belanja pegawai sebesar Rp.213.750.000,00, belanja barang dan jasa sebesar Rp.3.653.815.000,00, dan belanja modal sebesar Rp.7.345.482.128,00. 3. Penyajian Anggaran Belanja dan Jasa pada TA 2014 sebesar Rp.107.290.427.560.,00 dengan realisasi sebesar Rp.91.568.298.153,00. Dari realisasi tersebut diantaranya terdapat kelebihan pembayaran belanja perjalanan dinas
sebesar Rp.216.812.980,00 dan belanja barang dan jasa yang tidak dapat diyakini sebagai pertanggungjawaban yang menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp.448.788.650,00. (sumber : PPKAD 2014) Berdasarkan tabel di atas membuktikan bahwa kinerja dari pemerintah daerah kabupaten Belu masih jauh dari harapan masyarakat terutama dalam hal pengelolaan aset dan belanja menjadi masalah utama. Kedua dalam hal pencatatan, dan perincian aset berdasarkan jenisnya juga menjadi permasalahan, hal ini menjadi tolak ukur tentang penerapan sistem akuntansi keuangan daerah. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, pemerintah daerah sudah harus menerapkan SAKD mulai tahun 2003. Keputusan ini di perkuat dengan keluarnya Permendagri No. 13 tahun 2006 yang kemudian disempurnakan dengan Permendagri No. 59 tahun 2007 yang memuat perubahan atas Permendagri No. 13 tahun 2006. Untuk menerapkan sistem ini diperlukan tenaga staf keuangan yang mampu melaksanakan proses pencatatan akuntansi dan mampu menyusun format laporan keuangan yang baru seperti sesuai yang diharapkan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tersebut. Namun, penerapan SAKD bisa saja mengalami hambatan dan kendala akibat ketidaksesuaian penerapan SAKD oleh aparat pemerintah daerah. Artikel-artikel yang penulis baca banyak menyatakan bahwa penerapan SAKD belum berlangsung optimal sebagaimana yang diharapkan. penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nofri Melsi (2006) yang berjudul Analisa Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Padang Pariaman, menyimpulkan bahwa penerapan SAKD pada pemda kabupaten pariaman berjalan cukup baik dengan skor rata-rata 74,12%. Pada penelitian terdahulu ini analisanya dilakukan terhadap aparat pemda dengan menggunakan kuesioner.
Berdasarkan latar belakang ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejauh mana pengaruh pengaruh pengelolaan keuangan daerah dan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian empiris dengan judul: Pengaruh Pengelolaan Keuangan Daerah dan Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah terhadap Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Belu. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah pengelolaan keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah pada pemerintah daerah Kabupaten Belu? 2. Apakah penerapan sistem akuntansi keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah pada pemerintah daerah Kabupaten Belu? 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh signifikasi pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Belu 2. Untuk mengetahui pengaruh signifikasi Penerapan sistem akuntansi keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah Kabupaten Belu 1.4.Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai 2 manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pengetahuan terutama dalam bidang akuntansi, khususnya dalam menambah wawasan untuk menyikapi isu-isu masa kini dalam mengembangkan akuntansi khususnya akuntansi sektor publik itu sendiri yang sering terjadi di lingkungan pemerintah daerah. 2. Manfaat Praktis Bagi pembaca pada umumya diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat dalam membangun bangsa ini lebih baik kedepannya dan juga sebagai literatur untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Untuk pemerintah daerah itu sendiri, diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pelaksanaan sistem akuntansi keuangan daerah menjadi lebih baik lagi dan juga sebagai bahan masukan dalam meningkatkan kinerja SKPD pada Pemerintah Daerah Kabupaten Belu menjadi lebih baik lagi.