BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya tidak lepas dari kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Dalam kehidupannya manusia itu di berikan akal serta pikiran oleh Allah SWT untuk dapat berpikir mana yang benar dan mana yang salah. Setiap manusia sama derajatnya di hadapan Allah SWT, tetapi yang membedakannya adalah tingkat iman dan takwanya kepada Allah SWT. Setiap manusia memiliki naluri untuk saling berpasang-pasangan, dengan naluri tersebut manusia menginginkan sebuah komunitas kecil yaitu keluarga, sehingga manusia harus melangsungkan sebuah perkawinan. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut UUP), perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di antara tujuan yang lain dalam perkawinan adalah sebagai dasar utama untuk mendapatkan keturunan (seorang anak) yang sah sebagai kelanjutan keturunannya. Meskipun tujuan utama dari suatu perkawinan bukan semata-mata untuk mendapat keturunan, akan tetapi tujuannya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Meskipun adanya keturunan (anak) bukan sutu-satunya tujuan dari suatu perkawinan akan tetapi di dalam praktik dengan tidak adanya anak maka perkawinan kurang sempurna bahkan tidak jarang berujung pada perceraian. Sehingga satu-satunya jalan untuk memperoleh anak apabila selama perkawinan berlangsung cukup lama dan belum mendapatkan keturunan adalah dengan cara mengangkat anak baik dari lingkungan keluarga sendiri maupun orang lain. Dalam Islam pengangkatan anak tidak dikenal, bahkan dalam al-qur an surat al-ahzab ayat (4) dan (5)yang artinya :...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapakbapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka) sebagai saudarasaudara seagamamu maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetap (yang ada dosanya) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Islam melarang praktik pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang di kenal oleh hukum Barat/hukum sekuler yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban
" untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam telah menggariskan bahwa hubungan hukum antara orang tua angkat dengan anak angkat terbatas sebagai sebagai hubungan antara orang tua asuh dengan anak asuh yang di perluas, 1 dan sama sekali tidak menciptakan hubungan nasab. Akibat yuridis dari pengangkatan anak dalam Islam hanyalah terciptanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesama manusia. Sebagai jalan keluar antara keinginan umat muslim untuk mempunyai seorang anak sedangkan dia tidak dapat mempunyai keturunan, Islam memberikan jalan keluar dengan cara pemeliharaan anak (hadhanah) anak orang lain. Hal ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (i) yang merumuskan definisi anak angkat sebagai berikut, anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya-biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan. Bahkan KHI telah memberi jalan keluar yang berkaitan dengan harta baik terhadap anak hadhanah dengan orang tuanya dan sebaliknya. Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga di sebutkan mengenai harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat dengan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta 1 Pengangkatan anak dalam Islam konteksnya lebih tepat disebut anak asuh yang diperluas. Rifyal Ka bah menyebutnya dengan istilah Hadhanah yang di perluas. Anak asuh yang di perluas, karena dalam pengangkatan anak, harus melalui proses penetapan Pengadilan Agama, sedangkan pengasuhan anak tidak memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
warisan anak angkatnya, serta bagi orang tua angkat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 (UU No. 23 Tahun 2003) tentang Perlindungan Anak, dalam ketentuan Pasal 1 angka (9) memberikan definisi tentang anak angkat sebagai berikut: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Jadi pengangkatan anak yang di perbolehkan menurut hukum islam adalah pengangkatan anak dalam pengertian memperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya yang bukan memperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Pengangkatan anak angkat sebagai anak nasabnya sendiri tersebut merupakan suatu pengingkaran yang nyata, baik terhadap Allah maupun manusia. Pengangkatan anak dilakukan melalui Pengadilan di atur dalam Pasal 9 Ayat (1) staatsblad 1917 Nomor 129. Pengadilan mempunyai wewenang untuk memberi izin pengangkatan anak bagi janda cerai mati apabila izin dari keluarga mendiang suaminya tidak di peroleh. Izin dari pengadilan itu harus disebutkan dalam pengangkatan anak. Pengadilan yang dimaksud untuk pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri (PN) dan kelak setelah UU No. 3 Tahun 2006 berlaku, pengangkatan anak
antara calon orang tua angkat dan calon anak angkat yang beragama Islam akan menjadi kewenangan Pengadilan Agama (PA). PN dalam konsep staatsblaad No. 129 Tahun 1917 adalah sebagai Pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Oleh sebab itu semua perkara pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri (PN). Sebelum UU No. 3 Tahun 2006 berlaku, PA sebagai salah satu lembaga pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam telah mengabulkan permohonan anak berdasarkan hukum Islam di beberapa daerah seperti di Kabupaten Bantul, Kota Bengkulu, Sulawesi, Yogyakarta. PA telah memberikan penetapan yang sekaligus dapat di pandang sebagai yurisprudensi tetap tentang pengangkatan anak di kalangan hakim di PA. 2 Menguatnya kesadaran muslim Indonesia untuk mengangkat anak berdasarkan prinsip-prinsip hukum Islam, menyebabkan tidak terbendungnya keinginan mereka untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan. Selama ini perkara permohonan pengangkatan anak menjadi kewenangan absolut PN, dengan hukum terapan Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 yang filosofinya berasal dari budaya masyarakat Keturunan Tionghoa, dan membawa konsekuensi yuridis yang sangat bertentangan dengan hukum Islam. Pada tanggal 20 April 2006 lahirlah UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan 2 Andi Syamsu Alam dan HM. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Kencana Prenada Media Group, hlm.7
# Peradilan Agama yang memberikan kewenangan absolut kepada PA untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara asal-usul anak dan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Setelah di berlakukanya UU No.3 Tahun 2006 di PN Yogyakarta terdapat calon orang tua angkat yang seagama dengan calon anak angkat (agama Islam) mengajukan permohonan pengangkatan anak dan dikabulkan permohonannya oleh majelis hakim. Dasar hukum hakim PN Yogyakarta dalam menerima permohonan penetapan pengangkatan anak adalah Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 6 Tahun 1983, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No 4 Tahun 1989, Pasal 50 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dasar hukum hakim PN Yogyakarta dalam mengabulkan permohonan pengangkatan anak adalah Undangundang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 39 ayat (1), Pasal 39 ayat (3) Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik menyusun skripsi berjudul: PELAKSANAAN KEWENANGAN PENGANGKATAN ANAK BAGI ORANG MUSLIM SETELAH LAHIRNYA UU NO 3 TAHUN 2006 (STUDI KASUS DI PN YOGYAKARTA). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan :
! 1. Apa yang menjadi dasar hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk menerima permohonan pengangkatan anak bagi orang Muslim setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam mengabulkan penetapan proses pengangkatan anak bagi orang beragama Muslim setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim sekaligus sebagai dasar di terimanya pengangkatan anak di PN Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan hakim sekaligus sebagai dasar di kabulkannya pengangkatan anak di PN Yogyakarta. D.Tinjauan Pustaka Ada beberapa istilah yang dikenal dalam pengangkatan anak di Indonesia. Salah satunya adalah adopsi yang berasal dari kata adoptie dalam bahasa Belanda, atau adoption dalam bahasa Inggris. Kata adopsi berarti pengangkatan seorang anak dijadikan sebagai anak kandung atau anak sendiri. 3 Masalah pengangkatan anak bukanlah masalah baru di Indonesia. Sejak zaman dahulu telah dilakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri yang belum 3 Yan Pramudya Puspa. Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hlm.37
$ memiliki peraturan dan perundang-undangan yang lengkap, pengangkatan anak sudah terjadi sejak zaman dahulu. Tujuan dari pengangkatan anak antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, mana kala dalam perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat di benarkan dan salah satu jalan alternatif yang positif dan manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam pelukan keluarga, setelah bertahun-tahun belum dikaruniai seorang anakpun. Perkembangan masyarakat sekarang menunjukkan bahwa tujuan mengangkat anak tidak lagi semata-mata atas motivasi meneruskan keturunan saja, tidak jarang pula karena faktor politik, sosial, budaya dan sebagainya. Dasar hukum pengangkatan anak dalam Islam adalah Surat al Ahzab (4-5) dan ayat (37) yang garis besarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia 2. Anak angkatmu bukanlah anak kandungmu 3. Panggilah anak angkatmu menurut anak bapaknya 4. Bekas isteri anak angkat boleh kawin dengan anak angkat. 4 Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat di benarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 4 M.Budiarto, Pengangkatan Anak di tinjau dari segi hukum, Akademika Presindo, Jakarta 1985 hlm.24
% 1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga. 2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orangtua angkat, melainkan sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya. 3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar tanda pengenal/alamat. 4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya. 5 Lembaga pengangkatan anak tidak di atur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak diaturnya lembaga pengangkatan anak tersebut dalam sejarah proses pembuatan hukum UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan karena alasan sosial dan politik pada saat itu. Namun demikian, apabila kembali melihat bahwa pengangkatan anak merupakan bagian dari bidang perkawinan sesuai Pasal 63 Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan yang menegaskan bahwa PA sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara bidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya, maka kewenangan yang berkaitan dengan pengangkatan anak yang 5 Ibid, hlm.25
dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam seharusnya menjadi kewenangan PA. 6 Kewenangan PA juga diatur pada Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam. Akidah Islam yang melekat dalam diri seseorang menjadi patokan kewenangan pengadilan agama terhadap suatu perkara. 7 Pasal 171 (h) KHI mengatur pengangkatan anak menurut hukum Islam disebutkan: Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkat berdasarkan putusan pengadilan. Pengadilan yang dimaksud adalah PA. Pasal 209 (2) KHI menyatakan bahwa anak angkat hanya berhak mendapatkan washiah wajibah, sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, bila almarhum tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkatnya, tetapi tidak mendapatkan hak waris. Batas kewenangan absolut PN dan PA dalam Pasal 50 UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan PN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Jadi pada 6 Musthofa sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Kencana Prenada Media group, hlm.59 7 Ibid, hlm. 60
dasarnya, semua perkara pidana dan perdata menjadi kewenangan peradilan umum (asas lex generalis). Tetapi kemudian ada ketentuan lain dalam UU yang menentukan bahwa terhadap perkara-perkara perdata tertentu menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama (asas lex specialis). Apabila kedua asas tersebut berhadapan, maka secara lex specialis ketentuan khusus tersebut harus di utamakan berlakunya. Lex specialis derogaad lex generalis ketentuan yang lebih khusus mengesampingkan ketentuan yang bersifat umum. 8 Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: 1. Perkawinan; 2. Waris; 3. Wasiat; 4. Hibah 5. Wakaf; 6. Zakat; 7. Infaq; 8. Sedekah; 9. Ekonomi syari ah. 8 Andi Syamsu Alam dan HM. Fauzan, 0p. cit, hlm.8-9
Ada satu penambahan kewenangan PA dalam subbidang perkawinan, yaitu penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 49 Huruf a angka 20. Kewenangan ini tidak disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 menegaskan tentang asas personalitas keislaman. Ketentuan yang demikian juga terdapat pada Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang selanjutnya berkembang pendapat bahwa pengangkatan anak merupakan kewenangan PA, meskipun secara eksplisit pasal-pasal dalam UU No. 7 Tahun 1989 tidak mengaturnya. Rakernis Mahkamah Agung RI juga cenderung mengarah pada pendapat bahwa sepanjang memenuhi asas personalitas keislaman maka pengangkatan anak merupakan kewenangan PA. 9 E. Metode Penelitian 1. Obyek penelitian a. Dasar hukum dan pertimbangan hakim sekaligus sebagai dasar di terimanya pengangkatan anak di PN Yogyakarta. b. Dasar hukum dan pertimbangan hakim sekaligus sebagai dasar di kabulkannya pengangkatan anak di PN Yogyakarta. 2. Subyek penelitian Karena yang di teliti adalah PN Yogyakarta yang mengabulkan proses permohonan pengangkatan anak beragama Islam, maka yang kami jadikan subyek adalah Hakim PN Yogyakarta. 9 Musthofa sy, op. Cit, hlm. 63-64
" 3. Sumber Data. a. Data Primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subyek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara. b. Data Sekunder, Data yang diperoleh secara tidak lansung melalui kepustakaan dan dokumen, seperti peraturan perundang-undangan, literatur, jurnal, putusan pengadilan, majalah, dan lain-lain. 4. Teknik pengumpulan data a Wawancara, yakni penulis akan mengadakan wawancara secara langsung dengan majelis hakim yang mengabulkan permohonan pengangkatan anak dan mempelajari keputusan hakim PN tentang pengangkatan anak. b Studi Kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan perundangundangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan peneliti. c Studi Dokumentasi, yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi Institusional yang berupa penetapan pengadilan dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Pendekatan yang digunakan. Pendekatan Yuridis Empiris: pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan melihat kenyataan sosial dimasyarakat. 6. Pengolahan dan Analisis Data yang di kumpul disajikan secara deskriptif kemudian di analisa secara kualitatif, yaitu suatu cara analisis yang dinyatakan responden (subyek)
penelitian secara tertulis maupun lisan yang diteliti dan dipelajari secara utuh kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar mengambil kesimpulan. F. Kerangka Skripsi. Bab I tentang pendahuluan. Bab ini berisikan Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Tinjauan pustaka, Metode penelitian. Bab II tentang tinjauan umum pengangkatan anak dan kewenangan pengadilan. Pengertian pengangkatan anak, Pengangkatan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan, Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, Kewenangan pengadilan dalam melakukan pengangkatan anak sebelum berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, Kewenangan pengadilan dalam melakukan pengangkatan anak menurut UU No. 3 Tahun 2006. Bab III tentang Pelaksanaan Kewenangan pengangkatan anak bagi orang Islam di PN Yogyakarta setelah Berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006. Pembahasan meliputi dasar hukum diterimanya permohonan pengangkatan anak oleh hakim PN Yogyakarta serta analisis, Dasar hukum dikabulkannya permohonan pengangkatan anak beserta analisis. Bab IV tentang kesimpulan dan saran.