ASEP DI JAKARTA Sebuah novel karya Nday
ASEP DI JAKARA Oleh: Nday Copyright 2013 by Nday Dulu saya pikir Indonesia itu Jakarta. Pemahaman saya tentang Indonesia itu absurd... Setelah saya keliling Indonesia, saya paham betul bahwa tidak mungkin Jakarta jadi tolok ukur untuk menggambarkan Indonesia karena sangat tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan. (Pandji Pragiwaksono) Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Untuk siapapun yang sedang mencari sesuatu yang berarti di Jakarta (Nday) 3
(1) Kamu ini, ada-ada saja, Nak. Ibu membantuku melipat semua pakaian yang aku butuhkan ke dalam tas dengan tampak enggan. Sudah enak kerja disini, mau-maunya pindah ke Jakarta demi kerja di restoran. Kerja di resto kan capek, Nak. Aku mendesah pelan. Aku sudah mendengar kalimat itu puluhan kali keluar dari mulut Ibu sejak aku mengatakan padanya bahwa aku ingin pindah ke Jakarta dari sejak sebulan yang lalu. Aku tahu Ibu tidak mengenal siapapun yang pernah bekerja di restoran. Dia hanya mengatakan itu untuk membuatku kembali mempertimbangkan keputusanku. Tapi, aku sedang tidak ingin mendebatkan rencanaku lagi karena keputusanku sekarang sudah bulat. Tapi.. Seolah membaca pikiranku, Ibu terdiam, mengehela nafas dengan terlalu berlebihan. Kamu sudah dewasa, Ibu tidak bisa mengatur hidupmu, Ibu hanya bisa mendoakan. Yang penting, kamu jaga diri kamu baik-baik disana. 4
segalanya. Iya, Ibu. Aku mengangguk tanpa berhenti membereskan Jakarta itu tidak seaman Kota Kecil ini. Ibu memelankan suaranya saat mengatakan itu seolah dia tidak ingin si Jakarta mendengarnya. Ibu lihat di TV, disana sering terjadi tindak kriminal. Ibu mulai tidak bisa dihentikan saat sudah menghubungkan sesuatu yang sedang dibicarakannya dengan apa yang dilihatnya di televisi. Benda kotak itu telah memberi pengaruh yang luar biasa dalama pikiran ibuku. Mmmm hmmm, gumamku. Sering terjadi demo, banjir, preman-preman, narkoba, copet, pencurian, penculikan, penyekapan, dan.. Ibu gergidik ngeri, bahkan sering terjadi kasus pembunuhan. Menakutkan! Tidak setiap sudut Jakarta dipenuhi dengan itu semua, Bu. Kali ini aku memutuskan untuk angkat bicara. Yang ibu lihat itu program berita khusus untuk memberi informasi seputar kejadian kriminal. Mereka tidak akan menginformasikan tentang anak dari 5
kampung yang menjadi sukses di Jakarta di acara itu. Ibu jangan terlalu sering percaya dengan apa yang Ibu lihat di televisi. Ibu cemas, Nak. Ibu menatapku. Ya, Ibu. Aku pasti menjaga diri baik-baik. Itu saja yang ingin aku katakan. Jika aku teruskan, acara perpisahan ini akan berubah menjadi situasi yang dramatis. Ibu senang mendramatisir keadaan yang bisa jadi disebabkan oleh kebiasaannya terlalu banyak menonton sinetron dengan kisah - kisah yang berlebihan. Setiap kali aku membicarakan mengenai keinginanku untuk pindah ke Jakarta, dia selalu bergidik ngeri seolah aku baru saja mengatakan padanya bahwa aku berniat untuk berangkat jihad ke Jalur Gaza. Tidak satupun dari semua anggota keluargaku yang pernah pergi ke luar kota. Gambaran mereka tentang Jakarta umumnya hanya berdasarkan pada apa yang mereka lihat dari televisi. Semua keluarga besar kami bermukim di Kota Kecil ini. Di sebuah kampung yang asri dan makmur. Disini, kami tidak hanya 6
berada di kota yang sama, kami bahkan bertetangga. Bisa dibilang, keluarga kamilah yang merupakan penduduk asli kampung ini. Hal ini membuatku harus pergi dari satu rumah saudara yang satu ke rumah saudara yang lainnya untuk berpamitan. Dan setiap kali mereka bertanya mengapa aku pindah ke Jakarta, aku akan menjawab, disana, gaji yang ditawarkan hampir dua kali lipat dari Upah Minumum Regional di kota ini, Bibi. Gajinya lebih besar. Bagi mereka dan hampir semua penduduk Kota Kecil, gaji yang lebih besar adalah alasan yang paling masuk akal untuk mereka dengar saat seseorang memutuskan untuk pindah kerja. Padahal, aku sendiri belum tahu berapa gaji yang akan aku dapatkan disana. Wawancara kerja sebenarnya baru akan dilakukan besok. Aku tidak bisa mengatakan pada mereka, aku pindah ke Jakarta untuk menjadi penulis. Untuk menyelidiki seperti apa kehidupan disana dan menulisnya lalu kemudian menjadikannya sebuah buku. Hidup di kota ini membuatku bosan. Itu tidak akan bisa mereka pahami, tidak oleh keluarga dan saudara-saudaraku yang berpikir bahwa laki-laki hanya berkewajiban untuk mencari uang 7
sebanyak-banyaknya lalu menikah dengan salah satu gadis desa. Kalau bisa, jadi pengusaha yang sukses. Jangan lupa, beri kabar kalau sudah sampai disana ya, ujar Mira, salah satu sahabatku saat aku mentraktirnya bersama dengan sahabat-sahabatku yang lain di sebuah kedai bakso dalam rangka melepas kepergianku ke Jakarta. Jangan sampai lupa sama teman lama karena dapat teman baru disana. Ya ngga akan lah. Aku menatap mereka satu persatu dengan senyuman persahabatanku. Kan cuma hubungan professional kita yang berakhir, hubungan pertemanan kita ngga kan? Eh, kalau udah jadi artis.. Dian, rekan kerjaku yang lain ikut bicara. Dia masih berpikir aku pergi ke Jakarta untuk menjadi artis terkenal seperti kisah-kisah selebriti yang sukses di Jakarta. Padahal, dialah sebenarnya yang sangat ingin menjadi seorang artis. Jangan sampai lupa kita kita ya. Awas loh! Mending kalian minta tanda tanganku dari sekarang deh, sebelum nanti harus bikin perjanjian yang berbelit-belit dulu sebelum kita bisa ketemu! Aku terkekeh. Aku tidak terlalu pandai membuat lelucon. Dan itu terlihat dari bagaimana sahabat-sahabatku berpura- 8
pura menampakan ekspresi mual saat mendengar itu. Kami tertawa. Aku pasti akan merindukan mereka semua di Jakarta. Aku selalu menyukai semua sahabat-sahabatku di Radio Masa Kini. Mereka semua menyenangkan sehingga membuatku betah dan merasa nyaman bekerja disana sebagai seorang penyiar radio. Pekerjaan yang sudah ada di benakku sejak aku lulus SMA sebelum akhirnya waktu membuatku sadar bahwa aku lebih ingin menjadi seorang penulis terkenal. Persahabatanku dengan mereka yang menyenangkan dan kenyamanan itu yang justru membuatku lupa untuk bergegas menegejar keinginanku untuk menjadi seorang penulis yang aku yakini bisa aku wujudkan di Jakarta. Aku menghabiskan lebih dari 4 tahun menikmati zona nyaman di tempat itu sehingga aku lupa dengan cita-cita yang ingin aku raih di Ibu Kota. Baru kali ini, setelah pertimbangan yang cukup lama, aku memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman itu. Meninggalkan Kota Kecil ini, pekerjaan yang menyenangkan ini, juga sahabat-sahabat yang selalu baik dan kampung halamanku yang dipenuhi oleh orangorang ramah yang bersahabat. 9
Aku menyukai kota tempat aku dilahirkan dan dibesarkan ini, aku hanya merasa kehidupan dengan ritme seperti air sungai yang mengalir tenang seperti ini bukanlah jenis kehidupan yang aku inginkan. Bukan berarti aku ingin hidupku mengalir seperti badai tsunami, dipenuhi dengan bahaya. Aku hanya merasa hari-hariku di Kota Kecil ini tidak lagi memberiku inspirasi apapun untuk aku tulis. Bagiku, Kota Kecil ini sudah tidak lagi menawarkan banyak kisah menarik seiring dengan semakin bertambahnya usiaku dan keinginanku untuk mencoba banyak pengalaman baru. Dalam pikiranku, Jakarta adalah tempat dimana seharusnya aku berada. Aku merasa disanalah aku akan menemukan banyak kisah menarik untuk aku tulis. Tidak apa aku bekerja sebagai pelayan di restoran selama aku berada di Jakarta. Aku bisa pergi ke setiap sudut Jakarta di waktu luangku, mengeskplor setiap apapun yang bisa aku lihat disana dan mendapatkan kisah-kisah untuk ditulis. Semua kejadian yang dramatis dan mirip dongeng selalu terjadi di Jakarta. Seperti yang sering Ibu lihat melalui berita televisi, meskipun aku tahu sebagian dari kisah itu didramatisasi oleh para 10