BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA

Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Bagian Kedua Penyidikan

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

pihak. Lebih lanjut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pencucian uang atau money laundering pertama kalinya dipakai sebagai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

WACANA HUKUM VOL.VIII, NO.1, APRIL 2009 PERANAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP MACAM ALAT BUKTI DALAM RUU KUHAP

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK DALAM HUKUM ACARA PIDANA BERLAKU DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB II PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA MENURUT KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh: Stenli Sompotan 2

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KELUARGA

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa: Hakim tidak boleh

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari

IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang,

BAB IV ANALISIS. keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Malah tempatnya diletakkan pada. yang penting, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB 2 KETERANGAN AHLI DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. 2.1 Keterangan Ahli dalam HIR dan KUHAP

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

BAB II. A. Pembuktian. 1. Pengertian Pembuktian. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Menjauhkan Korban dari Viktimisasi Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

BAB III SMS (SHORT MASSAGES SERVICE) SEBAGAI ALAT BUKTI PEMIDANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Para ahli Teknologi Informasi pada tahun 1990-an, antara lain Kyoto Ziunkey,

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Transkripsi:

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Peranan Alat Pendeteksi Kebohongan pada Proses Peradilan Pidana Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin berkembang dengan pesat, hal tersebut juga telah membawa perkembangan yang signifikan terhadap dunia teknologi informasi. Kehadiran alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sangat terkait dengan perangkat komputer sebagai alat yang digunakan untuk membantu tugas kepolisian pada proses pemeriksaan. Peranan alat bukti eketronik, khususnya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang dapat berdiri sendiri tentunya harus dapat memberikan jaminan bahwa salinan data (data recording) dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku atau telah diprogram sedemikian rupa sehingga hasil tes dari pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat diterima sebagai alat bukti dalam suatu kasus tindak pidana, yang dalam hal ini ialah kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Verry Idhan Henryansyah alias Ryan. Pada beberapa negara, khususnya di Inggris, kedudukan alat bukti elektronik di dalam pengadilan diatur dalam Police and Criminal Evidence Act 1984 section 23 dan 24, dalam hal pembuktian suatu kasus, keabsahan data/dokumen tidak harus tercetak diatas kertas, tetapi juga termasuk data atau informasi yang ada dalam

sebuah disket atau dokumen yang diterima dengan menggunakan sistem komputer dan hasil data berupa salinan print out dapat dijadikan sebagai alat bukti. Hukum acara pidana mengenal 5 (lima) alat bukti yang sah sebagaimana diatur pada Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) antara lain yaitu : Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental. Apabila dibandingkan dengan KUHAP, maka di sini tampak tidak semua pembaharuan ini ditiru oleh KUHAP. 42 Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah: 1. Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 43 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penututan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. 44 42 Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241. 43 Pasal 1 butir (27) KUHAP 44 Pasal 1 butir (26) KUHAP

Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. 45 Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi adalah sebagai berikut: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa awtau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dengan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. 46 Perkecualian sebagai saksi tersebut juga tercantum dalam ketentuan Pasal 170 KUHAP, karena pekerjaannya maka dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, mengingat harkat dan martabat atau jabatannya sebagai yang diwajibkan menyimpan rahasia, dimana kekecualian ini disebut sebagai kekecualian relatif. Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara 45 Pasal 159 ayat 2 KUHAP. 46 Pasal 168 KUHAP.

pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang-kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka: a. saksi harus mengucapkan sumpah; b. keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya; c. keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan; d. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya; e. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau kealpaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. f. Adanya: (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; (c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; (d) cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala

sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Penjelasan Pasal 185 ayat (5) dikaitkan dengan HIR disebut juga kesaksian persetujuan dan berhubungan, atau dikenal juga dengan istilah kesaksian berantai. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam: a. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; b. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan. 47 2. Keterangan Ahli Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 48 Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 49 Penjelasan Pasal ini mengatakan, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut 47 S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 112-113. 48 Pasal 1 butir 28 KUHAP 49 Pasal 186 KUHAP

umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Menurut Pasal 179 KUHAP: (1) setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan; (2) semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Selanjutnya Pasal 180 mengatakan: (1) dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan; (2) dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang; (3) hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2); (4) penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil berbeda dari instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu. Sama seperti keterangan saksi, keterangan ahli dalam KUHAP juga tidak menentukan bahwa alat bukti ini mempunyai nilai pembuktian sempurna dan menentukan. Oleh karena itu, keterangan ahli ini sebagai salah satu alat bukti mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Namun sekalipun

demikian, hakim dalam mempergunakan kebebasan tersebut haruslah bertanggung jawab. Isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenal apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. 50 Mengenai contoh dari keterangan ahli ini dapat disebutkan yaitu, seumpama hakim membutuhkan untuk mengetahui dari keaslian suatu benda, yang mana benda ini harus diperiksa oleh seorang ahli khusus dan tidak dapat diperiksa oleh orang yang bukan ahlinya, misalnya benda itu berupa batu delima, mutiara, intan dan lain-lain benda yang memerlukan pemeriksaan khsusus dari seorang ahli. Pengertian keterangan ahli juga disebutkan dalam Pasal 186, Pasal 120 dan Pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Pernyataan dari keterangan ahli diperlukan dalam proses peradilan pidana, apabila pada waktu proses pemeriksaan oleh penyidikan belum diminta keterangan ahli. Keterangan seorang ahli bersifat diminta, seorang ahli harus membuat laporan sesuai yang dikehendaki oleh penyidik dan laporan dari keterangan seorang ahli dimasukkan dalam berita acara penyidikan. Berdasarkan keempat pasal tersebut yang dapat dikatakan sebagai seorang ahli, harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 50 Wirjono Prodjodikoro, Op. cit, hal. 87-88.

a. Seseorang yang mempunyai keahlian khusus. b. Keterangan dari seorang ahli dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. c. Keterangan seorang ahli dapat berupa surat ataupun pernyataan yang disampaikan secara lisan kepada hakim dalam proses persidangan. Keterangan ahli tidak terbatas hanya pada keterangan seorang ahli laboratorium forensik komunikasi, melainkan lebih luas lagi dapat melibatkan ahliahli dalam berbagai bidang, misalnya ahli dalam teknologi informasi, ahli pada program-program jaringan komputer, serta ahli dalam bidang enkripsi/password dan ahli kedokteran kehakiman. Pada prinsipnya keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang dapat mengikat pelaku kejahatan atau dengan kata lain nilai kekuatan keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan ahli, antara lain yaitu: a. Mempunyai kekuatan yang bebas atau vrij bewijskracht, artinya hakim bebas menilai dan tidak terikat pada keterangan seorang ahli sebagai alat bukti atau dengan kata lain tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli sebagai alat bukti. b. Sesuai denga prinsip minimum pembuktian yang diatur pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), artinya bahwa keterangan ahli tersebut berdiri sendiri dan tidak didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, maka dapat dikatakan bahwa alat bukti

3. Surat tersebut tidak cukup atau tidak memadai untuk membuktikan kesalahan seorang tersangka. Surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 51 Menurut A. Pitlo surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. 52 Suatu alat bukti yang berupa surat yang dalam hal ini harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam bentuk surat resmi. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 187 KUHAP, mengatakan: a. berita acara surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan di situ, antara lain tentang hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam HIR dan Ned. Sv. yang lama ditentukan bahwa ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun surat-surat khusus di dalam 51 Andi Hamzah., Op. cit, hal. 253. 52 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 138.

hukum acara perdata berlaku juga di dalam penilaian hukum acara pidana tentang kekuatan bukti-bukti surat. Tetapi dalam Ned. Sv. yang baru tidak lagi diatur hal yang demikian. Kepada hakimlah diminta kecermatan dalam mempertimbangkan bukti berupa surat. 53 Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut pada Pasal 187 adalah alat bukti yang sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut huruf d bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 180 bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati, bukan mencari keterangan formil. Lalu asas keyakinan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kemudian asas batas minimum pembuktian. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya satu alat bukti surat, kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri sendiri, dia harus dibantu lagi dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain guna 53 Andi hamzah., Op. cit, hal. 284.

memenuhi apa yang telah ditentukan oleh batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. 4. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 54 M. Yahya Harahap memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. 55 Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2), petunjuk dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut, terlihat bahwa alat bukti petunjuk bentuknya sebagai alat bukti yang asesor (tergantung) pada alat bukti lain. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak ada alat bukti petunjuk. Berbeda dengan alat bukti saksi misalnya bisa hadir tanpa hadirnya alat bukti petunjuk. Dengan demikian, alat bukti petunjuk selamanya 54 Pasal 188 ayat (1) KUHAP. 55 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 893.

tergantung dari alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti lain belum dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. 56 Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang lain, dimana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian petunjuk adalah bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip minimum pembuktian. Yang berhak menilai atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam hal ini dinyatakan pula dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP, ialah dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Jadi di sini jelas dapat dibaca bahwa akhirnya persoalan tersebut diserahkan kepada hakim, yang dengan demikian sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Dalam hal ini, A. Minkenhof juga berpendapat, disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan 56 M. Taufik Makarao, Op. cit, hal. 130.

dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui umum. 57 5. Keterangan Terdakwa KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama, yaitu HIR yang menyebut pengakuan terdakwa sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti. 58 Mengenai keterangan terdakwa ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yakni sebagai berikut: a. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; b. keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; c. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; d. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah: a. keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan; 57 Hendrastanto, Op. cit, hal. 255. 58 Andi Hamzah., Op. cit, hal. 286.

c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. 59 Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan. 60 Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat diajukan dengan hadirnya terdakwa. 61 Apabila di saat dibutuhkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan ternyata terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP, yakni sebagai berikut: a. jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya (ayat 3) b. jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi (ayat 4) c. hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (ayat 6). 59 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 851. 60 Pasal 175 KUHAP. 61 Pasal 176 ayat (1) dan (2) KUHAP.

Ketidakhadiran, ketidakbenaran untuk memberikan keterangan sebagai alat bukti ini, pada umumnya manusia merasa takut dalam menerima pidana, Sehingga ia menghindari dari tujuan keterangan yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum khususnya para hakim yang bersangkutan yang memimpin sidang. Juga ketidakbenaran keterangan yang diharapkan, walaupun dalam hati terdakwa tersebut tertanam rasa ingin mengungkapkan keterangan yang sebenarnya, namun karena ia merasa takut untuk menerima pidana atas perbuatan yang dilakukan, maka dari rasa ketakutan tersebut menimbulkan dorongan kuat untuk memberikan keterangan yang tidak sesungguhnya, dimana dalam hal ini memang dapat diterima oleh nalar. Maka di sini benar-benar dituntut adanya psikologi yang benar-benar berperan dalam kasus-kasus semacam ini. 62 Berdasarkan Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Penjelasan Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dekumen elektronik merukan alat bukti hukum yang sah, berdasarkan Pasal 5 angka1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatas, penggunaan sistem elektronik khususnya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam proses peradilan yaitu sebagai alat bukti petunjuk. 62 Hendrastanto, Op. cit, hal. 257.

Selanjutnya, Berdasarkan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Penjelasan pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah jelas menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Hasil dari penggunaan sistem eletronik, khususnya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia. B. Pengaturan tentang Pembuktian Alat Pendeteksi Kebohongan pada Proses Peradilan Pidana Berdasarkan KUHAP dan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, melalui pembuktian tersebut dapat ditentukan nasib terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan yang dipergunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh terdakwa. Pembuktian merupakan suatu cara yang digunakan untuk dapat meyakinkan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan harus dapat membuktikan bahwa tersangka

benar-benar bersalah dan dapat dihukum berdasarkan peraturan perundangundangan. Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya. Putusan dalam kasus-kasus tindak pidana dalam dunia peradilan bergantung dari pertimbangan majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Keputusan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa mutlak berada di tangan majelis hakim. Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut: 63 1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim (Convictim in Time) Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini 63 M. Taufik Makarso dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 103-106.

mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 64 Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh. 65 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. 66 Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan. 64 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798. 65 Andi Hamzah, Op. cit, hal. 260. 66 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal. 75.

Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. 67 2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis (La Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee). Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 68 3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di 67 Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hal 187. 68 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 231.

bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 69 Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia. 70 4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif. Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 69 Ibid, hal. 799. 70 Ansorie Sabuan, Op. cit., hal. 187.

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. 71 Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat (1) yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu. KUHAP dan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman menekankan kepada alat bukti yang sah dahulu, kemudian keyakinan hakim, sedangkan HIR mendahulukan keyakinan hakim baru kemudian alat bukti yang sah. KUHAP lebih tegas menekankan dua alat bukti yang sah, sedangkan UUPK dan HIR hanya menyebutkan alat bukti yang sah dan alat pembuktian yang sah. 71 Ibid., hal. 188.

Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undangundang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan. D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undangundang 72. Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun 72 Andi Hamzah, Op.cit, hal. 234.

keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. 73 M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. 74 Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. 75 Barang bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari tindak pidana serta alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), padahal ini masih bersifat kuantitatif karena sistem teori pembuktian di Indonesia masih menganut sistem teori pembuktian secara negatif (Negatief Wettlijk Stelsel) yaitu salah tidaknya 73 Wirjono Prodjodikoro, Op. cit, hal. 77. 74 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 804. 75 Lihat juga Pasal 152 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, telah jelas bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana. Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturanperaturan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengakui hasil penggunan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dinyatakan bahwa : 1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. 2. Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 3. Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem eletronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 4. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dengan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk : a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini membahas mengenai informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, terkait dengan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) yang dalam hal ini merupakan bagian dari sistem elektronik yang hasil pengujiannya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, pembuktian data elektronik pada hal ini adalah salah satu

penyelesaian perkara untuk memberikan keyakinan pada hakim dalam memberikan sangsi kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan penjelasan Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer. Sistem pembuktian dengan menggunakan teknologi informasi saat ini merupakan tantangan yang besar bagi seorang hakim karena hakim harus cermat dan tepat dalam menggunakan defenisi informasi dan transaksi elektronik yang dapat diterima sebagai alat bukti di persidangan, maka pada proses persidangan

hakim harus berpegang pada Pasal 28 angka 1 Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa : Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam hal ini tidak boleh menolak suatu kasus yang telah masuk dalam pengadilan, dengan alasan belum ada aturan hukum tertulis yang mengatur tentang kasus atau perkara yang masuk kepengadilan. Hakim memiliki kewajiban untuk menyelesaikan kasus yang ada dengan mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum dan demi tercapainya kepastian hukum tetap (inkracht).

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan atas permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana yaitu sebagai alat bukti petunjuk, namun harus didukung oleh alat-alat bukti lainnya antara lain yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat yang berupa salinan data (data recording) dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector). 2. Penggunan sistem elektronik, khususnya pada hal ini alat pendeteksi kebohongan (lie detector) belum diatur secara tegas di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan pelaku tindak pidana. Berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti dapat mengacu kepada Pasal 5 angka 1 dan Pasal 5 angka 2 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik sebagai alat bukti di pengadilan. Pasal 5 angka 1 dan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector), pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil dari pemeriksaan tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer. B. Saran 1. Diharapkan bagi pemerintah agar segera mengundangkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), agar pembuktian dengan sistem elektronik mendapatkan kepastian hukum yang jelas. Karena pembuktian dengan sistem elektronik khususnya penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) belum diatur secara tegas dalam Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diharapkan tidak hanya digunakan oleh pihak kepolisian dalam proses pemeriksaan tersangka dan perusahan-perusahan swasta melainkan juga dapat digunakan oleh semua lembaga-lembaga pendidikan.