BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dengan cita-cita pembaharuan hukum. Pernyataan kemerdekaan tersebut sekaligus terkandung di dalamnya pernyataan untuk merdeka dari bayang-bayang penjajahan hukum Belanda. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) ditegaskan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa juga didorong oleh keinginan luhur bangsa Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas. Salah satu wujud keinginan yang luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas ditandai dengan membentuk suatu pemerintahan negara Republik Indonesia yang disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar. Dengan demikian keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan tersebut bukan hanya menjadi keinginan berkehidupan kebangsaan yang bebas tetapi berkehidupan yang bebas dalam keteraturan dan dalam suasana tertib hukum apalagi di era demokrasi seperti saat ini. Menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat Indonesia dari segala bentuk ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah Indonesia, seperti salah satu tujuan negara yang terdapat dalam Pembukaan UUDNRI Tahun 1945, alinea 4 yang berbunyi, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Oleh karena itu diperlukan adanya alat negara yang dapat menjamin keamanan, ketertiban masyarakat, dan yang terpenting adalah dapat menjaga keamanan bangsa Indonesia dari segala bentuk serangan baik dari luar maupun dari dalam yang dapat mengganggu keamanan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kesatuan yang mempunyai kedaulatan penuh atas wilayah, bangsa, budaya, dan seluruh aspek yang dapat menyangga agar tetap berdirinya NKRI. 1 Reformasi di Indonesia ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, yang akhirnya membawa dampak perubahan dan pembaharuan hampir di segala bidang tata kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali di bidang hukum dilaksanakan dengan mengganti produk-produk hukum yang dinilai bersifat represif dan otoriter dengan produk hukum yang lebih demokratis dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Apabila ditelisik lebih jauh, maka keinginan dan usaha pembaharuan hukum di Indonesia sudah mulai sejak lahirnya UUDNRI Tahun 1945 khususnya tidak dapat dilepaskan dari landasan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila. Inilah garis kebijakan sekaligus tujuan pembaharuan hukum di Indonesia. 2 1 2 Padmo Wahyono, 1999, Ilmu Negara, Indo Hill Co, Jakarta, hlm. 209.
Pembaharuan hukum di Indonesia salah satunya melingkupi pembaharuan hukum militer. Dalam Hukum Militer telah dilakukan usaha-usaha memperbaharui seperti hukum disiplin militer yang semula menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer yang merupakan terjemahan dari Wetboek Van krijgstucht Voor Nederlands Indie(Staatblad 1924 Nomor 168) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1947, dan selanjutnya dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, maka ketentuan Wetboek Van Krijgstucht Voor Nederlands Indie dinyatakan tidak berlaku. Demikian juga pembaharuan di bidang hukum acara pidana militer dan Peradilan Tata Usaha Militer dengan produk hukum perubahan terakhir Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan pembaharuan hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsgesetz), sedangkan hukum pidana substantif terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Hingga kini masih digunakan KUHPM yang merupakan terjemahan dari Wetboek Van Militair Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1934 Nomor 167) yang merupakan kitab undang-undang warisan Pemerintah Hindia Belanda dahulu yang berlaku untuk KNIL (het Koninklijke Nederlands(ch)Indische Leger) yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang- Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, Semarang hlm 1.
Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. 3 Lahirnya peradilan militer tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari sejarah lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah melahirkan keamanan bagi bangsa dan negara. TNI dengan rakyat bersatu padu mengusir penjajah dari bumi Indonesia meskipun telah banyak menelan korban para pahlawan perintis kemerdekaan yang gugur sebagai patriot, pahlawan heroik dengan gagah perkasa, berani menentang maut, sebagai bukti kecintaan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia meski harus berkorban jiwa dan raganya. 4 TNI adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. 5 Keberadaan TNI sebagai organisasi militer di Indonesia mempunyai tugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta secara ikut aktif dalam tugas pemeliharaan 3 Marjoto, 1958, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara Serta Komentar-komentarnya, Politea, Bogor, hlm 6. 4 5 Majalah Bukit Barisan, Tahun Pengabdian Kodam I, 2009, hlm 2. Buku Saku Prajurit Pasal 21, Edisi Maret 2006, Mabes TNI Badan Pembinaan Hukum.
perdamaian regional dan internasional. 6 Oleh karena itu, TNI mempunyai dua tugas yang berkaitan yaitu menjaga pertahanan, keamanan negara dan turut aktif menjaga perdamaian dunia. Dalam kedudukanya di depan hukum, TNI (militer) mempunyai kedudukan yang sama dengan warga negara lain, artinya sama-sama tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di negara baik hukum perdata, hukum acara perdata, hukum pidana, maupun hukum acara pidana. TNI dalam pengaturan hukum pidana, hukum acara pidana maupun tata usaha militer mempunyai aturan hukum serta alat perlengkapan hukum tersendiri. Dengan demikian anggota TNI sebagai warga negara Indonesia tunduk pada ketentuan hukum pidana militer yang tercantum dalam KUHPM dan Hukum Acara Pidana Militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam KUHPM diatur mengenai hukum pidana militer yang dalam pengertiannya adalah bagian dari hukum positif yang berlaku bagi subyek peradilan militer yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana yang menentukan hal apa dan bilamana pelangganya dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan menentukan juga 6 Indonesia. Lihat bagian menimbang Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
cara penuntutan, penjatuhan pidana, dan pelaksanaan pidana demi tercapainya keadilan dan ketertiban hukum. 7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 juga mengatur mengenai sengketa Tata Usaha Militer yang fungsinya merupakan sistem kontrol terhadap kewenangan pejabat di lingkungan militer. Adapun kewenangan administratif sipil dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang kemudian telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah lagi melalui Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, diatur secara detail mengenai Peradilan Tata Usaha Militer. Hal ini dirumuskan dalam penjelasan Umum yang berbunyi 8 Peradilan Militer Tinggi dan Peradilan Militer Utama selain mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana juga mempunyai kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan bersenjata sesuai dengan hukum acaranya masing-masing. Berdasarkan kewenangan Pengadilan Tinggi Militer memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha Militer maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengamanatkan pelaksanaannya 3 tahun setelah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 diundangkan, hal ini sesuai dengan 7 8 S.R. Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni, Jakarta, hlm 18. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 disebutkan 9 Undang-Undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambatlambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Berdasarkan ketentuan di atas, sudah seharusnya pada tanggal 15 Oktober 2000 Peraturan Pemerintah yang terkait peradilan tata usaha militer sudah ada atau dengan kata lain sudah mulai beroperasi karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 disahkan atau diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997. Dalam praktik peradilan khususnya yang menyangkut tata usaha militer terjadi pada seorang perwira menengah (Pamen) Mayor CHK Kantor Ketaren, SH yang dicopot dari jabatanya oleh Pangdam IV/Diponegoro, menjadi masalah Tata Usaha Militer karena pencopotan jabatan tersebut seharusnya menjadi kewenangan Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Upaya yang dilakukan oleh Mayor CHK Kantor Ketaren, SH dengan menggugat komandannya yaitu Pangdam IV/Diponegoro ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri menemui jalan buntu. Hal tersebut karena sengketa Tata Usaha Militer telah diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 10, 9 10 Lihat Pasal 353 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer Lihat Pasal 2 angka 6 Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
sehingga Pengadilan Negeri menolak gugatan tersebut dengan dasar pertimbangan kewenangan mengadili suatu perkara atau kompetensi absolut. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, khususnya mengenai peradilan tata usaha militer yang keberadaannya telah diakui menurut Undang- Undang 31 Tahun 1997 serta Keputusan Tata Usaha Militer merupakan bagian dari keputusan administrasi pemerintahan yang dapat atau potensial menimbulkan kerugian bagi individual prajurit TNI, maka penelitian ini bermaksud menganalisis fenomena permasalahan yang diangkat sehingga menemukan kesimpulan atau jawaban terhadap fenomena permasalahan tersebut agar dapat memberikan pandangan yang bersumber dari kajian akademis. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban dan solusi atas polemik penegakan hukum dan keadilan yang ada selama ini khususnya yang terkait dengan Tata Usaha Militer. B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari penjelasan latar belakang tersebut di atas, yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah : 1. Apa latar belakang pemikiran adanya kewenangan Peradilan Militer dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer? 2. Bagaimanakah pelaksanaan penyelesaian sengketa tata usaha militer di Peradilan Militer selama ini?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Penelitian ini secara obyektif memiliki tujuan untuk mengetahui, menganalisis, menelaah dan memahami latar belakang pemikiran adanya kewenangan Peradilan Militer dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer. b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penyelesaian sengketa tata usaha militer di Peradilan Militer selama ini. 2. Tujuan Subyektif Penelitian ini secara subjektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis sebagai syarat akademis peneliti untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H,) pada Program Magister Hukum Litigasi, Klaster Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, lebih khusus bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yang berkaitan
dengan eksistensi peradilan militer dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : a. Praktisi Hukum, memberikan saran dan kritik bagi pengembangan dunia hukum militer. b. Militer, memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi subyek hukum militer. c. Hakim Militer, dapat memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan sengketa tata usaha militer. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan terdapat beberapa karya tulis baik yang berupa tesis maupun disertasi yang berkaitan dengan Peradilan Militer. Berikut beberapa karya tulis ilmiah yang penulis maksud. 1. Karya tulis ilmiah dengan judul Bekerjanya Peradilan Militer (studi di lingkungan peradilan militer). Karya tulis ini merupakan tesis yang dibuat pada tahun 1999 oleh S. Sarwo Edy, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu bagaimanakah bekerjanya atau dijalankannya peradilan militer dan faktor apa sajakah yang mempengaruhi bekerjanya peradilan militer?. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ditarik kesimpulan bahwa bekerjanya peradilan militer merupakan suatu kerja sistem peradilan dengan adanya kedudukan Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer, Oditur dan pengadilan serta pemasyarakatan militer sebagai sub sistem dalam sistem yang besar yaitu sistem peradilan militer. Ada beberapa hal yang mempengaruhi bekerjanya peradilan militer dimulai dari sistem Mahkamah Militer seperti halnya pada peradilan umum adalah mengenai acara pemeriksaan biasa, cepat dan koneksitas. Satu hal yang tidak dijumpai pada peradilan umum adalah acara pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan pada pengadilan militer pertempuran, yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran dan putusan pengadilan pertempuran itu hanya dapat diupaya hukum kasasi. Selanjutnya adanya penggolongan kewenangan tiaptiap pengadilan terhadap prajurit dengan kriteria kepangkatan seperti pengadilan militer berwenang mengadili prajurit paling tinggi berpangkat kapten, sedangkan bagi prajurit berpangkat perwira menengah ke atas merupakan kewenangan pengadilan militer tinggi. Hal ini secara hakekat menunjukan diskriminasi perlakuan terhadap prajurit yang melakukan tindak pidana. 11 11
2. Karya tulis ilmiah dengan judul Politik Penegakan Hukum Pidana Pada Peradilan Pidana Militer. Karya tulis ini merupakan tesis yang dibuat pada tahun 2013 oleh saudara Zulkarnain, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu : (1) Mengapa sampai saat ini belum dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer?; (2) Bagaimana kelanjutan arah politik hukum pidana yang tercantum di dalam Tap MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2004; (3) Bagaimana seharusnya pengaturan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang melibatkan militer di masa yang akan datang?. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Pada dasarnya belum dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 selalu munculnya deadlock atau jalan buntu dalam pembahasan RUU Peradilan Militer, maksudnya tidak adanya titik temu antara pemerintah dan DPR dalam hal penentuan yurisdiksi peradilan militer itu sendiri. DPR sendiri menginginkan agar peradilan militer hanya berwenang mengadili militer yang melakukan tindak pidana militer saja, dan militer yang melakukan tindak pidana umum diadili dibawah peradilan umum. Sedangkan disisi lain Pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia tetap pada pemberlakuan yurisdiksi peradilan militer berwenang mengadili setiap tindak pidana (tindak pidana militer dan tindak pidana umum) yang dilakukan oleh militer dengan dasar dan asas spesialitas militer, pengedepanan kepentingan militer dan ketidakmampuan Sarwo Edy, 1999, Bekerjanya Peradilan Militer (Studi di Lingkungan Peradilan Militer), Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Semarang.
peradilan umum dalam melakukan pengusutan perkara pidana umum yang dilakukan oleh militer. (2) Tap MPR NO. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 secara arah politik hukum pidana berjalan ditempat. Hal ini dikarenakan paradigma dan politik yang terkandung di dalam Tap MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang menginginkan militer tunduk dibawah peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk dibawah peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum belum dapat diaplikasikan. Penundukan militer yang melakukan tindak pidana umum dibawah peradilan umum belum bisa berlaku dikarenakan masih berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang mengatur yurisdiksi peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana termasuk tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer. (3) Yurisdiksi peradilan militer yang akan datang tidak lagi didasarkan kepada subyek pelaku melainkan dilihat dari jenis tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh militer tersebut serta disamping itu Ankum dan Papera tidak boleh dikesampingkan dalam proses penyelesaian perkara pidana di peradilan militer, keberadaannya didasari dengan Asas Unity of command atau asas kesatuan komando, agar pengusutan perkada pidana di lingkungan peradilan militer tidak sampai mengganggu keutuhan dan koordinasi dalam kesatuan serta mobilitas kesatuan. 12 12 Zulkarnain, 2013, Politik Penegakan Hukum Pidana Pada Peradilan Pidana Militer, Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Gajah Mada
3. Karya tulis ilmiah dengan judul Peradilan Militer Di Bawah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia (studi tentang kedudukan dan yurisdiksinya). Karya tulis ini merupakan disertasi yang dibuat pada tahun 2009 oleh saudara Tiarsen Buaton Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Adapun rumusan masalahnya antara lain : (1) Bagaimanakah kedudukan dan yurisdiksi peradilan militer di Indonesia setelah ditetapkanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman? (2) Bagaimanakah kedudukan asas-asas militer yang merupakan bagian dari asas kesatuan komando? (3) Sistem Peradilan Militer yang bagaimanakah yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia?. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Bahwa setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana peradilan militer berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, yang sebelumnya sepenuhnya ada dibawah kendali Markas Besar TNI, membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dari campur tangan komando. (2) Bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas komando, asas komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum atau Papera juga tidak berlaku lagi atau peranannya akan berkurang. Dengan demikian, fungsi pembinaan yang dilakukan oleh komandan selaku pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin
prajurit juga akan berkurang. (3) Sistem peradilan militer yang seyogianya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana peradilan militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum bagi anggota militer. 13 Meskipun terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang peradilan militer, namun penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji tentang eksistensi peradilan militer dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer yang mengambil fokus tentang latar belakang pemikiran adanya kewenangan peradilan militer dalam penyelesaian sengketa tata usaha militer dan pelaksanaan penyelesaian sengketa tata usaha militer selama ini, sehingga membuat penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya. Penelitian dengan objek yang sama belum pernah penulis temukan di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada maupun di tempat lain, setelah penulis melakukan penelusuran dan pengamatan. 13 Tiarsen Buaton, 2009, Peradilan Militer Di Bawah Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia (studi tentang kedudukan dan yuridiksinya), Disertasi, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.