BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial

Ukuran: px

Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial"

Ida Jayadi
6 tahun lalu
Tontonan:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya.

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai mahkluk individu juga merupakan mahkluk sosial di mana manusia selalu ingin berinteraksi dengan sesama manusia lainnya. Di dalam suatu kelompok masyarakat, baik masyarakat kota, desa, modern ataupun primitif, bahkan masyarakat yang lebih besar selalu dijumpai aneka macam peraturan yang merupakan petunjuk hidup bagi setiap individu bagaimana ia harus bertingkah laku dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat. Kedisiplinan sangat diperlukan di dalam kehidupan, baik pribadi, maupun kelompok atau masyarakat. Disiplin yang berintisari ketaatan atau kepatuhan kepada ketentuanketentuan, aturan-aturan atau kelaziman yang berlaku adalah salah satu faktor penting dalam usaha mencapai tujuan tertentu. Berhubungan dengan kedispilinan tentunya harus ada suatu peraturan yang nantinya diharapkan dapat mengatur kesemuanya itu. Dalam hal ini hukum merupakan permasalahan yang hampir disentuh oleh seluruh lapisan masyarakat. Hukum menjadi penting keberadaanya karena perkembangan masyarakat yang semakin maju dan cepat maka tidak heran apabila persaingan untuk memenuhi kebutuhan hidup juga semakin ketat. Hal tersebut mempunyai arti yang tersirat, dimana apabila tidak dihadapi dengan dewasa maka akan terjadi banyak pelanggaran dan kejahatan. Hukum dibuat untuk melindungi kepentingan manusia sesuai dengan hak dan kewajibannya. Hukum harus seimbang antara hal-hal yang

2 seharusnya (das solen/law in book) dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat (das sein/law in action). Penegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan (Sudikno Mertokusumo, 1986: 130). Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berarti setiap penduduk, pejabat penguasa aparatur negara termasuk anggota militer tunduk dan taat pada hukum yang berlaku dalam tingkah laku sehari-hari baik di dalam maupun di luar dinas. Perbuatan atau tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota militer baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam kehidupan atau bertentangan dengan peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan militer pada hakikatnya merupakan perbuatan atau tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik militer yang apabila perbuatan atau tindakan tersebut dibiarkan terus menerus, maka dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan dan pembinaan satuan militer. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan bagian dari masyarakat umum yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara dan bangsa. Hal tersebut juga tercantum dalam Pasal 30 ayat (3) Undangundang Dasar 1945 Amandemen Keempat. Selain itu anggota militer dibatasi oleh Undang-undang dan peraturan militer sehingga semua tindak tanduk perbuatan yang dijalani juga harus berlandaskan pada Undang-undang dan peraturan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat dan khusus, maka

3 setiap anggota militer dididik dan dilatih untuk memenuhi perintah-perintah ataupun putusan tanpa membantah dan melaksanakannya dengan tepat, berdaya guna dan berhasil guna. Kesatuan militer bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota militer merupakan anggota masyarakat biasa, namun bagi mereka dikenakan adanya beban kewajiban angkatan bersenjata sebagai inti dalam pembelaan negara, sehingga diperlukan suatu pemeliharaan, ketertiban yang lebih atau berdisiplin dalam organisasinya. Hal tersebut seolah-olah mereka merupakan kelompok tersendiri dalam mencapai atau melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok sehingga diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan tersendiri yang terpisah dari peradilan umum (Moch. Faisal Salam, 2002: 14). Adapun tujuan dibuatnya peraturan-peraturan yang bersifat khusus yang sifatnya lebih keras dan berat adalah : 1. Ada beberapa perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh anggota militer saja, karena bersifat asli militer dan tidak berlaku bagi umum, misalnya : desersi, menolak perintah atasan, insubordinasi dan sebagainya. 2. Beberapa perbuatan yang bersifat berat sedemikian rupa apabila dilakukan oleh anggota militer dalam keadaan tertentu, ancaman hukuman dari hukum pidana umum dianggap terlalu ringan. 3. Jika soal-soal tersebut di atas dimasukkan ke dalam KUHP akan membuat KUHP sukar digunakan, karena terhadap ketentuanketentuan ini hanya tunduk sebagian kecil dari anggota masyarakat,

4 peradilan yang berhak melaksanakannya juga tersendiri yakni Peradilan Militer (Moch. Faisal Salam, 1994: 21). Setiap anggota militer harus tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM), Peraturan Disiplin Militer (PDM) dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturanperaturan itulah yang diterapkan kepada Tamtama, Bintara, maupun Perwira yang melakukan suatu tindakan yang merugikan kesatuan, masyarakat umum dan negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi masyarakat umum (Moch. Faisal Salam, 2002: 14). Pemeriksaan dalam perkara pidana di peradilan militer salah satunya yaitu dilakukan melalui tahap penyidikan. Pasal 69 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjelaskan bahwa apabila anggota militer melakukan tindak pidana, maka pihak yang menyidik bukan dari Kepolisian Republik Indonesia, melainkan ada tiga pihak yang berwenang menyidik, yaitu Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer (POM) dan Oditur Militer (Pasal 69 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Polisi Militer adalah salah satu tulang punggung yang menegakkan normanorma hukum di dalam lingkungan militer. Sesuai fungsi Polisi Militer yang merupakan fungsi teknis, secara langsung turut menentukan keberhasilan dalam pembinaan anggota militer maupun penyelenggaraan operasi Hankam. Selain itu untuk meningkatkan kesadaran hukum, disiplin dan tata tertib yang merupakan

5 syarat utama dalam kehidupan prajurit yang tercermin dalam sikap perilaku, tindakan dan pengabdiannya maka diperlukan adanya pengawasan secara ketat dan berlanjut yang dilakukan oleh Polisi Militer. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tindak pidana desersi. Pengertian desersi secara singkat adalah perbuatan meninggalkan dinas kesatuannya tanpa sah selama 30 (tiga puluh) hari dalam waktu damai dan 4 (empat hari) dalam waktu perang. Hal ini diperkuat dengan angka tindak pidana desersi dari dua tahun terakhir yang meningkat di wilayah DENPOM IV/1 Purwokerto. Tabel 1. Desersi di DENPOM IV/1 Purwokerto TAHUN DESERSI JUMLAH 40 Sumber : DENPOM IV/1 Purwokerto Detasemen Polisi Militer yang ada di Purwokerto adalah DENPOM IV/1 Purwokerto, yang memiliki cakupan wilayah cukup luas dan membawahi beberapa Sub DENPOM seperti Sub DENPOM IV-1-1 Cilacap, Sub DENPOM IV-1-2 Pekalongan, DENPOM IV-1-3 Tegal. Kasus desersi terbaru yang ditangani DENPOM IV/1 Purwokerto adalah yang terjadi pada awal bulan Juni DENPOM IV/1 Purwokerto melakukan penyidikan terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Kopral Dua (Kopda) Saifulloh Taunany dengan jabatan

6 Tabak So Ru 1 Ton I Kipan C Kesatuan Yonif 405/SK Brigif 4/DR Wanareja Cilacap. Anggota militer tersebut telah meninggalkan dinas tanpa ijin yang sah dari komandan kesatuannya selama 38 hari dari tanggal 8 Juni 2015 sampai 16 Juli 2015 secara berturut-turut. Anggota militer tersebut diputus bersalah karena desersi dan dijatuhi pidana 3 bulan penjara (Wawancara dengan Mayor Wiji Swandaru, Pasi Idik, 9 Desember 2015, 20:00 WIB). Proses penyelesaian tindak pidana militer khususnya desersi pada umumnya berbeda dengan tindak pidana umum. Letak perbedaannya adalah pada subyeknya bahwa tindak pidana militer dilakukan oleh seorang militer seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 yaitu prajurit adalah anggota TNI yang terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara sedangkan tindak pidana umum dilakukan oleh sipil murni. Tindak pidana desersi disebut juga sebagai tindakan atau perbuatan kejahataan ketidakhadiran tanpa izin seperti yang tercantum dalam Bab III Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang mana pada tingkat permulaan umumnya lebih cenderung merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Suatu kenyataan sampai saat ini masih banyak ditemukan di kesatuan militer yang personilnya meninggalkan dinas tanpa izin satuan berturut-turut lebih dari 30 (tiga puluh) hari (Moch. Faisal Salam, 2002: 17). Tindak pidana desersi sudah lama berlangsung dalam tata kehidupan keprajuritan, hal ini sering terjadi dimungkinan oleh beberapa faktor, yang pertama adalah dari aspek pola hidup anggota militer. Dikarenakan tidak dapat

7 menahan diri untuk hidup sederhana dan apa adanya anggota militer tersebut terlibat banyak hutang yang biasanya ditandai hidup boros, suka berpesta sehingga dalam menjalani kehidupan selalu serba kekurangan. Kedua adalah perilaku hidup komsumtif, biasanya anggota militer yang masih muda lebih cenderung tidak dapat mengatur keuangannya, sehingga ketika berbaur di masyarakat dengan berbagai pola dan kultur hidup yang berbeda-beda, anggota militer tersebut tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi pendapatannya. Dan yang ketiga adalah masih minimnya gaji yang diperoleh seorang militer, tetapi alasan yang ketiga ini sebenarnya tidak terlalu berpotensi penuh dijadikan alasan untuk melakukan tindak pidana desersi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka penulis terdorong untuk meneliti dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI (Studi di Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto).

8 B. Perumusan masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penyidikan terhadap tindak pidana desersi di Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto? 2. Apakah hambatan dalam penyidikan terhadap tindak pidana desersi di Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto? C. Tujuan penelitian 1. Mengetahui penyidikan dalam tindak pidana desersi di Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto. 2. Mengetahui hambatan hambatan penyidikan tindak pidana desersi di Detasemen Polisi Militer IV/1 Purwokerto. D. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, terutama di bidang hukum militer. b. Menjadi sumber informasi dan pedoman dalam penelitian yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. 2. Manfaat Praktis a. Memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana S1.

9 b. Memberikan kontribusi dan pemahaman bagi masyarakat atau pembaca tentang penyidikan terhadap tindak pidana desersi di kalangan militer.

dokumen-dokumen yang mirip

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga kedaulatan Negara yang bertugas untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan keamanan serta kedaulatan