Pengendalian Hayati Merupakan salah satu cara pengendalian hama yang tertua dan salah satu yang paling efektif. Catatan sejarah: tahun 300-an (abad keempat) petani di Kwantung, Cina, telah memanfaatkan semut untuk mengusir hama tanamannya. Penerapan pengendalian hayati secara ilmiah dan signifikan terjadi sejak tahun 1888 di AS ketika mendatangkan predator Rodolia cardinalis dari Australia untuk mengendalikan kutu jeruk Icerya purchasi di California. Istilah pengendalian hayati (biological control) pertama kali digunakan oleh H.S. Smith pada tahun 1919 untuk menyatakan pengendalian hama menggunakan musuh alaminya. Pengendalian hayati diterapkan melalui agen pengendali hayati yang terdiri atas tiga kelompok,yaitu predator, parasit/parasitoid, dan patogen hama. Icerya purchasi & Rodolia cardinalis 1
Predator Hewan yang hidup bebas yang memakan hewan lain sebagai mangsanya. Predator dapat menyerang mangsanya baik dalam fase dewasa maupun fase mudanya dan lebih dari satu mangsa diperlukan oleh predator untuk mencapai fase dewasa. Predator-predaror utama hama serangga: burung, hewan amfibi, ikan, reptilia, mamalia, dan hewan artropoda termasuk serangga. Spesies serangga yang banyak berperan sebagai predator: Coccinellidae, Carabidae (Coleoptera), Chrysopidae (Neuroptera), Formicidae (Hymenoptera), Syrphidae (Diptera), Nabidae (Hemiptera), dan Reduviidae (Hemiptera). Kepik Predator Famili: Gerridae, Belastomatidae, Pentatomidae, Reduviidae 2
Kumbang kubah (Coccinellidae) Staphylinidae 3
Belalang Predator PT GUNUNG MADU PLANTATIONS Konservasi predator hama 4
Parasit dan parasitoid. Parasit: hewan yang hidup pada atau di dalam hewan lain yang lebih besar sebagai inang-nya. Parasit memakan inangnya, melemahkannya dan terkadang menyebabkan kematian pada inangnya. Seekor parasit hanya memerlukan satu atau sebagian dari satu individu inang untuk melengkapi siklus hidupnya menjadi dewasa. Seringkali terdapat lebih dari satu parasit hidup pada satu individu inang. Istilah parasitoid lebih tepat digunakan bagi serangga yang memarasit serangga atau artropoda lain. Parasitoid umumnya bersifat parasitik pada fase mudanya dan setelah dewasa menjadi hidup secara bebas. Parasitoid membunuh inangnya meskipun pada sebagian serangga inang mungkin belum mati pada saat parasitoid meninggalkannya. Parasitoid menyerang semua fase serangga, tetapi fase dewasa paling sedikit mengalami parasitisme. Ordo parasitoid: Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Famili-famili utama yang banyak mempunyai anggota parasit adalah Ichneumonidae dan Braconidae (Hymenoptera) serta Tachinidae (Diptera). Cotesia sp. 5
Braconidae PT GUNUNG MADU PLANTATIONS Telenomus dignoides Tetrastihcus schoenobii Telenomus dignoides Tetrasticus scoenobii 6
PT GUNUNG MADU PLANTATIONS Penggerek Pucuk Tebu Putih Larva Penggerek Pucuk Pra pupa Penggerek Pucuk Ngengat Penggerek Pucuk PT GUNUNG MADU PLANTATIONS Elasmus zehntneri Stenobracon nicevillei Rhaconotus schirpophagae 7
Ciri Musuh Alami (Predator & Parasitoid) yang baik (1) memiliki daya mencari (searching capacity) tinggi; (2) memiliki kekhususan inang; (3) laju perkembangbiakan tinggi; (4) mudah dipelihara dan dikembangbiakkan; (5) mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim dan niche hama sasaran. Patogen serangga. Kasus penyakit pada serangga telah diketahui sejak tahun 2700 S.M. di Cina pada lebah madu (Aphis melifera) dan ulat sutera (Bombyx mori). Cendawan patogenik Beauveria bassiana merupakan salah satu patogen yang telah sangat lama dikenal penggunaannya. Mikroorganisme utama yang dapat menjadi patogen serangga meliputi bakteri, virus, protozoa, jamur, dan riketsia. Telah dimanfaatkan sebagai bahan aktif insektisida yang disebut dengan microbial insecticides (insektisida mikroba). 8
Bacillus thuringiensis Cendawan Patogen Serangga Beauveria bassiana Metarhizium anisopliae 9
Nuclear polyhedrosis virus (NPV) BENTUK FORMULASI NPV Pelaksanaan Pengendalian Hayati (1) Introduksi (Introduction). Introduksi, augmentasi, dan konservasi. Metode introduksi juga dikenal dengan istilah importasi. Dianggap sebagai praktik pengendalian hayati klasik karena pada masa-masa awal sebagian besar proyek pengendalian hayati menerapkan cara ini. Dasar dari metode ini adalah mengidentifikasi musuh alami yang dapat mengendalikan populasi hama pada daerah asalnya dan memasukannya ke daerah baru tempat terjadinya hama mengalami epidemi. Diharapkan musuh alami yang dintroduksi ke wilayah baru ini dapat berkembang biak dan secara permanen menurunkan populasi ekuilibrium hama menjadi di bawah aras luka ekonomiknya. 10
(2) Augmentasi (Augmentation). Praktik pengendalian hayati yang dirancang untuk meningkatkan jumlah atau meningkatkan keefektivan musuh yang telah ada. Dicapai dengan melepaskan musuh alami tambahan ke dalam sistem atau memodifikasi lingkungan sedemikian rupa sehingga jumlah individu atau keefektifan musuh alami meningkat. Pelepasan musuh alami tambahan ini pada prinsipnya sama dengan praktik introduksi. Perbedaannya, pada augmentasi musuh alami mungkin hanya bekerja pada periode waktu tertentu, misalnya satu musim atau kurang. Karena efeknya hanya bersifat sementara maka pelepasan musuh alami harus dilakukan secara berkala, baik dilakukan secara inundatif (masif dalam jumlah besar) atau inokulatif. Inundatif musuh alami dilepas dalam jumlah besar sehingga dalam waktu relatif singkat mampu mengendalikan hama tanpa harus menunggu musuh alami berkembang biak di lapangan. Musuh alami yang telah dicoba untuk dilepas secara inundatif antara lain Trichogramma (parasit telur), Chrysoperla carnea (Neuroptera), dan kumbang perisai Hippodamia convergens (Pedigo, 1989). Kadang-kadang pelepasan inundatif predator dan parasitoid kurang berhasil dengan baik disebabkan oleh kurang luasnya wilayah yang dapat dijangkau oleh musuh alami (jumlahnya musuh alami kurang banyak atau wilayahnya terlalu luas) atau lingkungan tempat pelepasan kurang mendukung. Pelepasan inundatif yang berhasil antara lain pelepasan patogen virus dan Baccilus thuringiensis untuk pengendalian hama Lepidoptera dan Diptera (nyamuk). 11
Pada pelepasan inokulatif musuh alami diharapkan berkembang biak dan menyebar secara alami pada wilayah pengendalian. Pelepasan umumnya dilakukan sekali dalam satu musim tanam dan yang diharapkan bekerja sebagai agen pengendali adalah keturunan dari induk musuh alami yang dilepas tersebut. (3) Konservasi musuh alami. Merupakan teknik yang paling banyak diterapkan dalam program pengendalian hayati. Tujuan dari metode ini adalah untuk melindungi dan memelihara populasi musuh alami, terutama predator dan parasitoid, yang sudah ada pada hamparan agroekosistem. Pada dasarnya pendekatan ini memerlukan pengetahuan semua aspek biologis dari komunitas musuh alami yang antara lain meliputi: jenis dan jumlah spesies yang ada, fenologi, dan dampak musuh alami terhadap ekosistem. Life system dari musuh alami pada suatu agroekosistem harus diketahui. Pendekatan yang lebih baru lagi bahkan bukan lagi life system tetapi lebih komprehensif lagi sehingga memerlukan habitat study (studi habitat) untuk memperolehnya. 12
Contoh kasus rumitnya PHT Sejak lama petani kakao di Indonesia mengetahui bahwa kehadiran semut Dolichoderus thoracius sangat berperanan dalam menekan serangan hama Helopeltis (Miridae). Namun demikian, semut tersebut mempunyai hubungan mutualistik yang sangat erat dengan hama kutu berlilin Cataenococcus hispidus (mealybug). Konsekuensinya maka untuk meningkatkan populasi semut D. thoracius diperlukan introduksi populasi hama mealybug C. hispidus. Tetapi semut dan kutu yang bersimbiosis mempunyai musuh alami yang sama, yaitu sejenis semut lain yang bersifat antagonistik. Strategi kemudian: melepaskan semut D. thoracius dalam jumlah besar untuk mengatasi semut antagonis tersebut. Teknik ini dapat digabungkan dengan pemasangan umpan beracun untuk menekan populasi semut antagonis sebelum pelepasan D. thoracius. Di Malaysia, penghematan biaya pengendalian hama kakao dengan semut ini selama 30 bulan untuk areal seluas 7 ha adalah US$12 per ha per tahun (pengendalian kimiawi: US$192 per ha per tahun). 13