BAB II LANDASAN TEORI A. MASA KANAK-KANAK AKHIR 1. Definisi Kanak-kanak Akhir Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual, atau dari 6 12 tahun. Masa kanak-kanak akhir ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi dari masa kanak-kanak akhir adalah kanak-kanak yang berada pada rentang usia enam sampai dua belas tahun. 2. Tugas-tugas Perkembangan Kanak-kanak Akhir Havighurst (dalam Monks, 1999) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan, yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma budaya (Monks, 1999). Tugas-tugas perkembangan masa kanak-kanak akhir menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) adalah :
a. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum. b. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh. c. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya d. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat. e. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung. f. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari. g. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, tata dan tingkatan nilai. h. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembagalembaga. i. Mencapai kebebasan pribadi. B. ANAK JALANAN 1. Definisi Anak Jalanan Anak jalanan diistilahkan sebagai anak-anak bermasalah pada era Orde Baru. Istilah ini muncul dari cara dan niat pemerintah yang cenderung melihat keberadaan anak-anak di luar kerangka atau norma yang diberlakukan. Suyono Yahya dalam presentasinya tentang anak jalanan di Philipina (1989) menyebutkan anak jalanan sebagai anak yang mengalami penyimpangan sosial atau child s social dysfunction. Istilah penyimpangan menunjuk pada cara pandang atau
sikap pemerintah yang diskriminatif, dimana anak jalanan dibedakan dengan anak-anak lain berdasarkan norma atau aturan yang ditentukan sendiri oleh rezim Orde Baru (Karyanto dalam Suranto, 1999). Soedijar (dalam Irwanto, 1995) mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Soedijar juga menambahkan bahwa istilah anak jalanan digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasi kelompok anakanak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Identifikasi ini kuat dipengaruhi oleh cara masyarakat yang mendasarkan pandangannya pada domestikasi. Dalam pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga atau di dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999). Menurut Suwardi (2007), seseorang dapat dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia 7 15 tahun yang bekerja dan menggunakan jalanan ataupun tempat umum lainnya sebagai tempat mencari nafkah serta berada di jalanan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu. 2. Karakteristik dan Kriteria Anak Jalanan Penelitian Nusa Putra (dalam Mulandar, 1996) menyebutkan secara umum beberapa karakteristik anak jalanan, antara lain :
a. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat hiburan) selama 3 sampai 24 jam sehari. b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah dan hanya sedikit sekali yang tamat SD). c. Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (biasanya berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya). d. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal). Kriteria yang menonjol dari diri anak jalanan (Suwardi, 2007) antara lain : a. Terlihat kumuh atau kotor, baik kotor pada badan atau tubuh maupun pakaian yang mereka pakai. b. Memandang orang lain (di luar orang yang berada di jalanan) adalah orang yang bisa atau dapat dimintai uang. c. Mandiri artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makanan. d. Muka atau mimik yang selalu memelas terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. e. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan mengobrol dengan siapapun sesama di jalanan. f. Malas untuk melakukan pekerjaan anak rumahan misalnya mandi, membersihkan badan, menyimpan pakaian serta jadwal tidur selalu tidak teratur.
3. Klasifikasi Anak Jalanan Menurut Suwardi (2007) anak jalanan terbagi ke dalam empat tipe, yaitu: a. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua. b. Anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua. c. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga. d. Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga. Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) juga membagi anak jalanan ke dalam tiga kategori, yaitu : a. Children of the Street : anak jalanan yang selama 24 jam hidup di jalanan termasuk makan, tidur, bekerja dan juga tinggal di jalan. Anak jalanan kategori ini tidak ada lagi kontak dengan keluarga, tidak bersekolah lagi juga tidak pernah lagi pulang ke rumah meskipun rumah mereka masih ada. b. Children on the Street : anak masih memiliki keluarga dan pulang ke rumah, bahkan sebagian ada yang masih bersekolah. Kategori inilah yang meroket jumlahnya semenjak krisis 1997 melanda Indonesia, berhubung penghasilan orang tua yang menurun karena gelombang PHK dan krisis ekonomi yang melanda. Membantu orang tua termasuk membiayai sendiri biaya sekolah menjadi salah satu alasan mereka bekerja di jalan.
c. Children Vulnerable to Be on the Street : kelompok anak yang berteman atau bergaul dengan 2 tipe di atas dan terkadang ikut-ikutan turun ke jalan. Kelompok anak kategori ini melihat asyiknya gaya hidup di jalanan yang bebas, punya uang, dll. Anak tersebut tinggal menunggu the crash moment seperti dipukul orang tua, perceraian, bencana (kebakaran, penggusuran, banjir, dsb) untuk masuk ke dalam kategori pertama atau kedua. 4. Latar Belakang Anak Jalanan Tata Sudrajat (dalam Mulandar, 1996) menyebutkan ada tiga tingkat yang menyebabkan munculnya fenomena anak jalanan, yaitu : a. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi anak dan keluarganya seperti kondisi ekonomi keluarga yang rendah, ketidakharmonisan keluarga, kekerasan dalam keluarga. b. Tingkat meso (underlying causes), yaitu faktor-faktor yang ada di masyarakat tempat anak dan keluarga berada seperti tinggal di tempat kumuh dan juga lingkungan pergaulan anak. c. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan struktur makro dari masyarakat (ekonomi, politik dan kebudayaan) seperti krisis moneter, konflik antar suku, kerusuhan dan bencana alam. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi penyebab munculnya fenomena anak jalanan adalah karena kondisi keluarga (termasuk ekonomi, ketidakharmonisan dan kekerasan), lingkungan pergaulan anak dan ketidakstabilan ekonomi-politik negara.
5. Dinamika Kehidupan Anak Jalanan Menurut Soedijar (dalam Irwanto, 1995) anak jalanan merupakan anak yang berusia 7 15 tahun dan menurut Hurlock (1999) rentang usia tersebut merupakan masa kanak-kanak akhir (6 12 tahun) dan masa remaja (13 18 tahun). Karakteristik anak jalanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang berada pada masa kanak-kanak akhir dimana pada masa ini tugas perkembangan dari seorang anak adalah mengembangkan keterampilanketerampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, anak mulai membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan pada masa ini anak akan menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah (Hurlock, 1999). Namun pada kenyataannya, anak jalanan yang berada di rentang usia 6 12 tahun tersebut, selain mereka tetap menjalankan kewajiban mereka untuk belajar di sekolah formal, mereka juga harus terjun ke jalanan dan justru lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan dengan orang-orang yang bukan sebaya dengannya daripada di sekolah dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga akan berhadapan langsung dengan kerasnya dunia serta melakukan kegiatan ataupun tugas-tugas yang seharusnya belum dilakukan pada rentang usia mereka. Anak-anak jalanan diharuskan dapat menguasai tugas-tugas perkembangan yang seharusnya baru dapat mereka kuasai dan mereka lakukan pada tahap dewasa awal yaitu mencari nafkah untuk dapat mempertahankan kehidupannya sendiri serta kehidupan keluarga mereka. Anak jalanan melakukan kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan seperti pekerjaan menjadi pengamen jalanan, pembersih mobil, penyapu angkutan umum,
penjual koran, penyemir sepatu dan lain sebagainya, dimana seharusnya pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak dilakukan oleh anak seusia mereka karena akan dapat membahayakan diri mereka sendiri dimana anak-anak jalanan tersebut akan berhadapan dengan rintangan-rintangan kehidupan (antara lain kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minum minuman keras akibat dari pergaulannya dan sebagainya) agar dapat menghasilkan sesuatu. Pekerjaanpekerjaan tersebut dilakukan anak-anak jalanan karena mereka harus mendapatkan penghasilan atau uang tambahan sebab penghasilan dari orang tua mereka dirasa masih kurang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sekeluarga sehingga anak-anak jalanan dan keluarganya dapat tetap bertahan hidup. C. SELF-EFFICACY 1. Definisi Self-Efficacy Schultz (1994) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan individu terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan individu tersebut dalam menghadapi kehidupan. Bandura (dalam Santrock, 1998) mendefinisikan selfefficacy sebagai individual s belief that they can master a situation and produces positive outcomes. Definisi ini menyebutkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Bandura (dalam Feist & Feist, 2002; Akbar & Hawadi, 2004) mengatakan bahwa self-efficacy merupakan prediktor tingkah laku yang paling kuat. Bandura
juga mengatakan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu dari peristiwa yang dihadapi dalam hidupnya dan hal ini akan mendorong suatu keinginan serta akan berpengaruh dalam pemilihan perilaku, usaha dan ketekunan seseorang. Bandura menambahkan pendapatnya bahwa persepsi individu terhadap kemampuannya (mencakup penilaian kemampuan) akan mengatur dan menjalankan tindakan dalam jenis performansi tertentu. Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) berpendapat bahwa selfefficacy merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan atau mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan atau kompetensi yang ada dalam dirinya yang akan mempengaruhi dalam pemilihan perilaku dan usaha dari individu tersebut ketika mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu dan melakukan suatu tugas untuk mencapai suatu tujuan. 2. Pembentukan Self-Efficacy Self-efficacy berkembang secara bertahap dan menurut Bandura (dalam Schultz,1994) perkembangan self-efficacy dimulai dari masa bayi. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai belajar tentang kemampuan dirinya seperti
kemampuan fisik, keterampilan sosial dan kecakapan berbahasa. Kemampuan ini hampir secara konstan digunakan dan ditunjukkan di lingkungan. Awal pertumbuhan self-efficacy berasal dari orang tua, kemudian setelah itu diperluas lagi dengan pengalaman dunia anak dan penerimaan pengaruh dari saudara kandung, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Anak yang berpengalaman dan sukses dalam tugas dan permainan akan menunjukkan selfefficacy yang tinggi (Schultz, 1994). Ketika memasuki masa remaja, seseorang dihadapkan dengan tuntutan dan tekanan baru, dari pengenalan seks hingga pemilihan universitas dan karir. Dalam setiap situasi yang membutuhkan penyesuaian, remaja harus membentuk kemampuan baru dan penilaian baru terhadap kemampuan mereka. Bandura mencatat bahwa keberhasilan pada masa remaja tergantung pada self-efficacy yang terbentuk pada masa kanak-kanak (Schultz, 1994). Bandura membagi masa dewasa atas 2 kelompok yaitu dewasa muda dan dewasa pertengahan. Menurut Bandura, self-efficacy penting pada masa dewasa muda yakni dalam hal penyesuaian terhadap perkawinan dan peningkatan karir. Individu yang mempunyai self-efficacy rendah cenderung gagal dalam menyesuaikan diri dalam situasi sosial (Schultz, 1994). Bandura (1994) juga menambahkan pendapatnya mengenai proses terbentukya self-efficacy dimana ia mengatakan bahwa penilaian self-efficacy merupakan suatu proses pertimbangan pada faktor kemampuan dan non kemampuan, dan proses penyimpulan terhadap kesuksesan dan kegagalan. Self-efficacy bersama-sama dengan kemampuan kognitif, sosial dan tingkah laku diatur menjadi tindakan yang
terintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu. Akibatnya, dalam situasi yang sama dan orang yang berbeda dapat menghasilkan prestasi yang berbeda. Demikian juga orang yang sama dalam situasi yang berbeda dapat menghasilkan prestasi yang berbeda pula (Akbar & Hawadi, 2004). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa proses perkembangan selfefficacy yang dimiliki oleh seseorang berlangsung dari sejak masa bayi, kanakkanak, remaja, dan seterusnya sampai usia dewasa. Dalam perkembangannya, self-efficacy seseorang akan dipengaruhi oleh pengalaman sosial bersama orang tua, saudara dan lingkungan di sekitarnya. 3. Sumber-sumber Self-Efficacy Bandura (1997) mengatakan bahwa terdapat empat sumber informasi yang dapat diperoleh individu mengenai kemampuan dirinya, yaitu : a. Enactive Mastery Experiences (Pengalaman Keberhasilan) Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang merupakan sumber informasi yang paling berpengaruh terhadap self-efficacy. Bila seseorang berhasil mencapai kesuksesan yang diinginkan, maka akan dapat meningkatkan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, bila seseorang mengalami kegagalan dalam mencapai sesuatu yang diinginkan, maka akan dapat mengurangi keyakinan terhadap kemampuan dirinya (Bandura, 1997). b. Vicarious Experience (Pengalaman Orang Lain) Melihat orang lain yang sama dengan dirinya dalam memperoleh keberhasilan, maka akan meningkatkan harapan individu untuk melakukan
tugas yang sama pula. Individu akan menilai bahwa dirinya juga mampu melakukan hal yang sama. Sementara jika individu tersebut melihat orang lain yang dinilai memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya mengalami kegagalan, maka hal tersebut dapat merendahkan penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri (Bandura, 1997). c. Verbal Persuasion (Persuasi Verbal) Individu dapat memperoleh informasi mengenai kemampuan dirinya melalui persuasi verbal yang disampaikan oleh orang lain dan biasanya merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh terhadap dirinya. Pada dasarnya persuasi digunakan untuk membantu individu percaya akan kemampuan yang dimilikinya (Bandura, 1997). d. Physiological State (Keadaan Fisiologis) Individu dapat mengetahui bahwa kondisi fisiknya dalam suatu situasi yang menekan, sebagai tanda bahwa ia tidak mampu melakukan suatu tugas. Dalam menghadapi suatu aktifitas yang menuntut kekuatan fisik dan stamina, seseorang dapat membaca kelelahannya sebagai indikasi ketidakmampuan, sehingga keyakinan dirinya akan menurun (Bandura, 1997). 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy Menurut Bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi selfefficacy individu antara lain : a. Jenis kelamin
Orang tua seringkali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan anak laki-laki dan perempuannya. Zimmerman (dalam Bandura, 1997) dalam penemuannya melaporkan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi anak laki-laki dan perempuan. Ketika anak lakilaki berusaha untuk sangat membanggakan kemampuan dirinya, anak perempuan malah seringkali meremehkan kemampuan mereka. b. Sifat dari tugas yang dihadapi Derajat kompleksitas dan kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri. Semakin kompleksnya suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin rendah individu tersebut dalam menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi individu tersebut akan menilai kemampuannya. c. Insentif eksternal Bandura (1997) mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan self-efficacy adalah competent contingent incentive yaitu insentif yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang dalam menguasai atau melaksanakan tugasnya. d. Status (peran serta individu dalam lingkungan) Individu yang memiliki peran di dalam lingkungan akan memperoleh derajat kontrol yang lebih besar sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga tinggi. Sedangkan individu yang tidak terlibat dalam lingkungan akan memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self-efficacy yang dimilikinya juga rendah
dibandingkan dengan orang yang aktif dalam lingkungan. Peran dalam lingkungan dapat ditunjukkan dengan mengikuti satu atau lebih organisasiorganisasi sosial yang ada. e. Informasi tentang kemampuan diri Seseorang akan memiliki self-efficacy yang tinggi jika ia memperoleh informasi yang positif mengenai dirinya dan akan memiliki self-efficacy yang rendah jika memperoleh informasi yang negatif mengenai dirinya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi self-efficacy yaitu jenis kelamin, sifat dari tugas yang dihadapi, insentif eksternal, status (peran serta individu dalam lingkungan) dan informasi tentang kemampuan diri. 5. Aspek-aspek Self-Efficacy Menurut Bandura (1997), ada 3 aspek dari self-efficacy antara lain : a. Magnitude Level (tingkat kesulitan tugas) Magnitude level berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dihadapi. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin menganggap tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan semakin mudah dilakukan.
Magnitude level terbagi atas 3 bagian, yaitu : 1) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil. 2) Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya, yaitu seberapa besar keyakinan atau kemampuan individu dalam menghindari situasi dan perilaku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya. 3) Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit, yaitu seberapa besar keyakinan dan kemantapan individu dalam menjalankan tugas dan tantangan pekerjaan. b. Generality (luas bidang perilaku) Berkaitan dengan luas bidang perilaku dimana seseorang merasa yakin bahwa dirinya mampu untuk mengerjakan suatu tugas baik pada setiap bidang yang biasa dijalaninya maupun pada bidang yang belum pernah dilakukannya. c. Strength (kemantapan keyakinan) Berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.
6. Karakteristik Individu yang Mempunyai Self-Efficacy Tinggi dan Self- Efficacy Rendah Bandura (1997) mengatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan penilaian terhadap seberapa baiknya seseorang dalam melakukan suatu tindakan yang diperlukan dalam situasi tertentu. Karakteristik individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah : a. Merasa yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang dihadapi. b. Tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas. c. Percaya pada kemampuan diri sendiri. d. Memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru. e. Menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadapnya. f. Menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan. g. Berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan. h. Cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan dan menghadapi stressor atau ancaman dan keyakinan bahwa dirinya mampu mengontrolnya (Bandura, 1997). Karakteristik individu yang memliki self-efficacy yang rendah adalah : a. Merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis dan menjadi cemas. b. Menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit.
c. Cepat menyerah saat menghadapi rintangan. d. Aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai dalam situasi yang sulit cenderung akan memikirkan kekurangan dirinya. e. Lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997). Bandura (dalam Warsito, 2004) menambahkan individu yang memiliki selfefficacy yang rendah akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Mereka menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang ada. Dalam kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini, orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan sebaliknya orang yang memiliki self-efficacy yang rendah akan mengurangi usaha mereka untuk bekerja dalam situasi yang sulit. C. Self-Efficacy pada Anak Jalanan Menurut Tauran (2000), anak jalanan harus memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas atau kegiatan dalam menghadapi kehidupannya karena mereka akan menghabiskan waktunya untuk bekerja antara lima sampai dua belas jam dalam sehari antara lain sebagai pengamen jalanan, pedagang asongan ataupun pembersih mobil dan angkot. Dalam realitanya, anak jalanan banyak berinteraksi dengan orang dewasa dan berhadapan dengan kekerasan hidup, masalah keuangan dan bagaimana memenuhi kebutuhan konsumtif mereka.
Menurut Hurlock (1999), jika dikaitkan dengan tugas perkembangan seorang anak jalanan (dimana pada penelitian ini berumur 7 12 tahun), maka dapat dilihat bahwa hal tersebut bukan merupakan tugas perkembangan dari anak jalanan karena di usia kanak-kanak akhir (6 12 tahun) tersebut seharusnya anak berada dalam lingkungan bermain, belajar serta menghabiskan banyak waktu di sekolah. Anak akan menghadapi tugas untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan konsumtif mereka pada masa dewasa awal (18 40 tahun). Pada fenomena yang ada, anak jalanan memang masih melakukan tugas perkembangannya sebagai seorang pelajar di sekolah formal namun dapat dikatakan mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjadi anak jalanan agar mendapatkan uang sebagai penghasilan tambahan bagi orangtua mereka. Di rentang usia tersebut anak-anak seharusnya lebih banyak bergaul dan berteman dengan anak seusia mereka namun pada kenyataannya, mereka justru lebih banyak bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua dari mereka. Anak jalanan melakukan tugas-tugas yang seharusnya belum dilakukan di usia mereka yaitu mencari nafkah di jalanan karena akan dapat membahayakan diri mereka sendiri sebab anak-anak jalanan akan berhadapan dengan rintanganrintangan kehidupan agar dapat menghasilkan sesuatu. Menurut Suwardi (2007), pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan anak-anak jalanan karena mereka harus mendapatkan penghasilan untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya agar dapat tetap bertahan hidup. Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) mengatakan bahwa hal tersebut sesuai dengan definisi dari selfefficacy yaitu merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau
kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan mengatasi rintangan untuk menghasilkan sesuatu. Anak jalanan memiliki tugas untuk mencari nafkah guna mencapai tujuan yaitu mendapatkan penghasilan atau uang, dan untuk memenuhi tugas dan tujuan tersebut, anak jalanan harus dapat mengatasi rintangan-rintangan kehidupan yang akan dihadapi mereka (antara lain kekerasan seksual dan fisik yang dilakukan pada anak jalanan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, bahaya merokok, seks bebas, minuman keras akibat dari pergaulan dan sebagainya) ketika menjalankan tugas untuk mencapai tujuannya. Bandura (dalam Santrock, 1998) mengatakan bahwa self-efficacy berhubungan dengan keyakinan individu dalam mengatasi suatu situasi kehidupan. Dalam kaitannya dengan anak jalanan adalah bahwa anak jalanan yang berada di masa kanak-kanak akhir (6 12 tahun), selain mereka harus tetap menyelesaikan pendidikan sebagai seorang pelajar di sekolah formal, mereka juga harus dapat berhadapan dengan situasi-situasi kehidupan dan tugas untuk mencari nafkah yang seharusnya belum dilakukan untuk rentang usia tersebut. Menurut Bandura (dalam Warsito, 2004) individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi merupakan individu yang mampu bertahan serta memiliki usaha yang keras dalam menghadapi situasi dan tantangan hidup yang sulit. Sebaliknya, individu yang memiliki self-efficacy yang rendah akan gagal menyesuaikan diri dalam situasi sosial dan mereka juga akan mengurangi usahanya untuk bekerja ketika mereka berhadapan dengan situasi dan tantangan hidup yang sulit. Anak jalanan yang memiliki self-efficacy yang tinggi, akan merasa mampu mengatasi situasi dan
rintangan-rintangan kehidupan yang mereka hadapi dan dapat memenuhi tugasnya untuk bersekolah dan mencari nafkah sedangkan anak jalanan yang memiliki selfefficacy yang rendah akan merasa kurang mampu mengatasi situasi dan rintanganrintangan kehidupan. Self-efficacy yang rendah dapat menyebabkan anak jalanan tersebut merasa gagal memenuhi tugasnya untuk bersekolah dan mencari nafkah karena mereka mengurangi usaha ketika berhadapan dengan rintangan dan situasi kehidupan yang sulit.
D. Paradigma Self-Efficacy pada Anak Jalanan Kanak-kanak Akhir Latar Belakang : problematika di dalam keluarga (Koentjoro, 2001) Anak Jalanan Klasifikasi Anak Jalanan : 1. Children of the Street 2. Children on the Street 3. Children Vulnerable to be on the Street (Tata Sudrajat, 1996) Tugas perkembangan : Bersekolah dan mempersiapkan karir ekonomi (Hurlock, 1999) Anak Jalanan bersekolah dan mencari uang / nafkah bagi keluarganya. Faktor-faktor self-efficacy: 1. Jenis kelamin 2. Sifat dari tugas yang dihadapi 3. Insentif eksternal 4. Status 5. Informasi tentang kemampuan diri Self-efficacy Aspek self-efficacy : 1.Magnitude Level 2.Generality 3.Strength Sumber self-efficacy : 1.Enactive mastery experiences 2.Vicarious experiences 3.Verbal persuasion 4.Physiological state Self-efficacy Tinggi dan Self-efficacy Rendah