BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia seringkali menjadi sorotan karena konflik pertanahan. Hafid (2001: 1-2) mengatakan, semenjak tahun 1970an persoalan ini menjadi krusial karena Soeharto yang baru saja menjadi Presiden, mengeluarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan dan Undang-Undang Pokok Pertambangan. Peraturan tersebut lebih memfasilitasi perusahaan tambang dan penguasa kehutanan. Sehingga membuat petani melawan karena merasa dirugikan, hal ini juga memancing bentrokan dan menghasilkan korban. 40 tahun kemudian, kembali terjadi konflik pertanahan di Mesuji, Lampung. Sengketa lahan yang mencapai puncaknya pada November 2010 ini juga menyeret pihak aparat sebagai pelaku kekerasan. Menurut news.detik.com peristiwa ini menghasilkan 9 korban tewas. Akhir tahun 2011 tepatnya tanggal 24 Desember, Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan bentrokan antara massa yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang dengan Aparat Kepolisian di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Seperti yang diberitakan Harian Kompas Edisi 26-27 Desember 2011, peristiwa ini terjadi karena massa yang terdiri dari Warga 1
Kecamatan Lambu, memblokir Pelabuhan Sape dengan tuntutan pencabutan izin usaha penambangan bahan mineral oleh PT Putera Mineral, dan PT Sumber Mineral Nusantara di daerah itu. Alasan tuntutan mereka adalah area penambangan seluas 24.000 hektar tersebut, mencemari sumber air dan saluran irigasi yang dipergunakan warga sekitar. Pada akhirnya massa yang bertahan sejak 19 Desember ini, dibubarkan oleh pihak kepolisian. Namun pembubaran tersebut memicu bentrokan yang mengakibatkan sedikitnya tiga orang tewas, sejumlah orang luka-luka, dan puluhan orang ditangkap. Peristiwa yang turut menyita perhatian banyak orang ini akhirnya dimuat oleh berbagai media massa, dan sempat menjadi current issue. Sebagian media melihat peristiwa ini sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara. Sebagian lainnya melihat peristiwa ini sebagai akumulasi dari bentrokan di daerah lain sebelumnya, contohnya peristiwa kekerasan di Mesuji. Dalam pemberitaannya tentang peristiwa ini, berbagai media massa tersebut melakukan perannya dalam kehidupan sosial. Luwi Iswara (2005:7-8) mengutip Bernard C. Cohen menyebutkan bahwa peran umum yang dijalankan pers adalah sebagai pelapor, interpreter, wakil publik, pembuat kebijaksaan/advokasi, dan watchdog (anjing penjaga). Hal ini tercermin dalam isi berita yang diberikan kepada masyarakat. 2
Media meletakkan perhatiannya pada kasus ini karena menyangkut masalah HAM (Hak Asasi Manusia). Lebih lanjut hal ini juga tidak lepas dari nilai berita yang terkandung dalam peristiwa ini. Buku Catatan-catatan Jurnalisme Dasar karya Luwi Iswara (2005:53) menjelaskan bahwa nilai berita menjadi ukuran yang berguna, atau yang biasa diterapkan untuk menentukan kelayakan berita. AS Haris Sumadiria (2006:80) mengatakan kriteria umum nilai berita terdiri dari 11 nilai, yaitu keluarbiasaan, kebaruan, akibat, aktual, kedekatan, informasi, konflik, orang penting, ketertarikan manusiawi, kejutan, seks. Haris melanjutkan bahwa dengan kriteria tersebut seorang reporter dapat dengan mudah mendeteksi peristiwa yang perlu diliput dan dilaporkan, dan mana peristiwa yang perlu diliput dan harus dilupakan. Dilihat dari penjelasan tadi, peristiwa di Bima ini, memiliki beberapa nilai berita, yaitu keluarbiasaan, konflik dan akibat. Nilai keluarbiasaan paling tidak dapat dilihat dari lima aspek, lokasi peristiwa, waktu peristiwa, jumlah korban, daya kejut peristiwa, dan dampak yang ditimbulkan (AS Haris Sumadiria, 2006). Kaitannya dengan peristiwa di Bima, jumlah korban tewas maupun luka membuat masyarakat semakin ingin tahu tentang kejadian ini. Seperti yang dilansir Rakyamerdekaonline edisi 27 Januari 2012, peristiwa ini juga sempat memicu gerakan masyarakat yang menuntut mundurnya Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan pada awal 2012 lalu, Kantor Bupati Bima juga sempat dibakar massa. 3
Selain nilai keluarbiasaan, peristiwa ini juga jelas memiliki nilai konflik. Luwi Ishwara (2005:53) mengatakan bahwa kebanyakan konflik adalah berita. Luwi melanjutkan, konflik fisik seperti perang atau perkelahian adalah layak berita karena biasanya ada kerugian dan korban. Pada kasus kekerasan di Bima contohnya, Suaramerdeka.com edisi 3 Januari 2012 mencatat, 10 anak mengalami tindak kekerasan dan mereka juga ikut ditahan oleh pihak kepolisian. Suatu peristiwa juga memiliki dampak yang luas bagi masyarakat. Peristiwa yang mengakibatkan atau bisa mengakibatkan timbulnya rangkaian peristiwa yang memengaruhi banyak orang adalah jelas layak berita (Luwi Ishwara, 2005). Peristiwa kekerasan di Bima mengakibatkan sediktinya tiga orang tewas, sejumlah luka dan puluhan orang lainnya ditangkap. Rangkaian peristiwa lain terjadi setelah bentrokan ini, dimulai dari aksi dukungan terhadap korban Bima, hingga Kantor Bupati Bima yang dibakar. Berangkat dari latar belakang tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana media mengontruksi peristiwa berdarah di Bima ini. Pada penelitian kali ini, penulis memilih Harian Rakyat Merdeka (RM) sebagai objek penelitian, karena reputasinya sebagai koran yang cenderung beraliran jurnalisme kuning dengan menonjolkan aspek-aspek sensasionalitas. Hal senada juga dikatakan oleh budayawan, Veven Wardhana, yang menjelaskan bahwa kecenderungan sensasionalitas pemberitaan Harian Rakyat Merdeka terdapat pada judul beritanya (Wawancara, Maret, 2012). 4
Bahkan seringkali akibat gaya pemberitaanya cenderung frontal dan berani, media ini sering mengalami masalah. Sebagai contoh, Gedung RM sempat mau diancam bom dan dibakar oleh pihak-pihak tertentu dengan alasan berita RM tidak benar atau dinilai sepihak (Hamad, 2004:138). Keberanian harian ini juga sering kali berujung di persidangan, misalnya pada tahun 2003. Seperti yang diberitakan oleh Hukumonline.com, empat judul berita Harian Rakyat Merdeka harus berakhir di persidangan dan membuat Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka, Supratman, menjadi terdakwa. Hal ini dikarenakan, Supratman membuat judul berita yang menghina Presiden Megawati. Oleh sebab itu penelitian ini akan sangat menarik jika melihat peristiwa berbau kekerasan di Bima tersebut dibingkai oleh Rakyat Merdeka. Penulis mencoba menganalisis pembingkaian Rakyat Merdeka dengan menggunakan framing analysis dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, karena perangkat ini memiliki empat pendekatan, yaitu sintaksis (cara wartawan menyusun berita), skrip (cara wartawan mengisahkan fakta), tematik (cara wartawan menulis fakta), dan retoris (cara wartawan menekankan fakta). Perangkat ini dipakai penulis karena empat pendekatan tersebut, tercermin dalam pengemasan berita oleh RM tentang bentrokan antara polisi dan rakyat di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. 5
1.2 RUMUSAN MASALAH Bagaimana Harian Rakyat Merdeka membingkai peristiwa kekerasan antara aparat kepada warga yang terjadi di Bima tersebut? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Harian Rakyat Merdeka membingkai peristiwa kekerasan tersebut. 1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Signifikasi Akademis Kiranya dalam penelitian ini dapat memberikan informasi dalam pengembangan analisis framing. Khususnya bisa bermanfaat bagi penelitian komunikasi selanjutnya. 1.4.2 Signifikansi Praktis Penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, mahasiswa maupun praktisi media massa terkait pembingkaian sebuah berita dan fakorfaktor yang memengaruhi isi surat kabar, terutama pada surat kabar Rakyat Merdeka. 1.5 BATASAN PENELITIAN Pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada pemberitaan bentrokan antara polisi dengan masyarakat di Pelabuhan Sape, Bima pada harian Rakyat Merdeka pada tanggal 25 Desember 2011 sampai 29 Desember 2011. Penelitian 6
ini juga difokuskan pada artikel berita yang terkait masalah bentrokan antara kepolisian dengan masyarakat di Pelabuhan Sape, Bima. 7