BAB I PENDAHULUAN. mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Potensi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. 1

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL. A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH INTERNASIONAL STATUS MATA KULIAH KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2 PRASYARAT : SEMESTER SAJIAN : SEMESTER 7

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah No. 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhanan, pelabuhan adalah

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar

III. METODE PENELITIAN. mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

TINJAUAN YURIDIS PENYELESAIAN SENGKETA PULAU BATU PUTEH (PEDRA BRANCA) ANTARA MALAYSIA- SINGAPURA MELALUI MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 2008

METODE PENELITIAN. Metode artinya cara melakukan sesuatu dengan teratur ( sistematis ) 27. Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. Namun tidak semua negara memiliki wilayah lautan. Wilayah lautan hanya

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN [DEWI TRIWAHYUNI]

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat. kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. negara dapat mengadakan hubungan-hubungan internasional dalam segala bidang

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 73

BEBERAPA CATATAN TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA; ARBITRASE oleh: Prof. DR. H. Yudha Bhakti A., SH., MH.

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. hukum tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

BAB II KEDUDUKAN LEMBAGA PERMANENT COURT OF ARBITRATION DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KEKUATAN MENGIKAT RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

DAFTAR PUSTAKA. Adolf, Huala Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN Lembaga dan Proses

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Samudera Pasifik, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya

BAB I PENDAHULUAN. yang kedaulatannya berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

BAB I PENDAHULUAN. asasi tenaga kerja dalam Undang-Undang yang tegas memberikan. bahkan sampai akhirnya terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

BAB III PENUTUP. dipertahankan sekarang ini, misalnya saja prinsip non intervensi yang. negara yang melanggar aturan.

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan manusia.peranan itu makin menentukan sehubungan

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Acapkali hubungan itu menimbulkan sengketa diantara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Potensi sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan dan lain-lain. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan, yang tidak kecil dalam penyelesaian. 1 Dalam hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. 2 Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasionalmengenal dua cara penyelesaian, yaitu cara penyelesaian 1 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Raja Grafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm.1 2 http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/monograf/article/viewfile/633/565 diakses pada tanggal 18 Juli 2016

secara damai dan perang (militer). 3 Penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu cara yang bersahabat, sedangkan penyelesaian secara kekerasan atau perang yaitu apabila cara yang dipakai atau dikenakan adalah melalui cara paksa yang sifatnya bukan untuk kepentingan damai, misalnya: perang dan tindakan bersenjata non-perang, retorsi, tindakan-tindakan pembalasan (repraisals),blokade dan intervensi. Dalam mengkaji sengketa hukum internasional publik, para pakar membedakan antara sengketa hukum dengan sengketa politik. Meskipun demikian, sebetulnya tidak ada kriteria yang jelas dan dapat diterima secara umum mengenai pengertian kedua istilah itu. 4 Sering kali yang menjadi ukuran suatu sengketa dipandang sebagai sengketa hukum yaitu apakah sengketa tersebut bisa atau dapat di serahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional, namun pandangan demikian sulit diterima. Sengketa internasional secara teoritis pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sesulit apapun suatu sengketa, suatu peradilan internasional tampaknya bisa memutuskan dengan bergantung kepada prinsip kepatutan dan kelayakan (ex aequeo et bono) 5. Salah satu dari penyelesaian sengketa internasional secara damai adalah melalui Badan Arbitrase internasional. Kata Arbitrase berasal dari 3 Huala Adolf, Op.Cit., 2004, hlm. 1 4 Hiliton Tarnama Putra, Eka An Aimuddin, Mekanisme Penyelesaian Sengketa di ASEAN, Graha Ilmu, Jakarta, 2011, hlm. 4 5 Huala Adolf, Hukum Penyeleseian Sengketa Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.2

Arbitrase (Latin), Arbitrage (Belanda), Arbitration (Inggris), Schiedspruch (Jerman) danarbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. 6 Peradilan arbitrase jauh berbeda dengan peradilan intern suatu negara karena bentuknya yang non-intitusional. Dalam pengertian yang luas, istilah ini merujuk pada cara penyelesaian secara damai sengketa internasional yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh arbitrator yang dipilih oleh pihak yang bersengketa. Para pihak tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang diambil. 7 Salah satu peradilan arbitrase yang lahir dari konvensi Den Haag tahun 1899 adalah Permanent Court of Arbitration. Permanent Court of Arbitration (PCA) adalah sebuah organisasi internasionalyang berbasis di Den Haag, Belanda. Permanen Court of Arbitration mendorong penyelesaian sengketa yang melibatkan negara, badan negara, organisasi antar pemerintah, dan pihak swasta dengan membantu dalam pembentukan arbitrasepengadilan dan memfasilitasi urusan hukum antara mereka. 8 6 https://www.academia.edu/8271182/penyelesaian_sengketa_internasional_melalui_arbitrase _internasional_studi_kasus_pertamina_dengan_karaha_bodas_company_kbc_dan_kasus_pt_newmont _nusa_tenggara_?auto=download diakses pada tanggal 20/07/2016 7 Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008., hlm. 228 8 https://permanent Court Arbitration-cpa.org/en/about/introduction/history/diakses pada tanggal 18 Juli 2016, pukul 19.21 WIB

Permanent Court of Arbitration merupakan badan arbitrase internasional pertama yang menyelesaikan sengketa antar negara. Pasal 18 Konvensi Den Haag 1899 menyatakan bahwa: in questions of a legal nature, and especially in the interpretation or application of International Conventions arbitration is the most effective, and at the same time the most equitable, means of settling disputes which diplomacy has failed to settle. 9 Berdasarkan pasal tersebut penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini merupakan penyelesaian yang dianggap paling efektif menurut konvensi 1899.Permanent Court Of Arbitrationdidirikan berdasarkan pasal 20 konvensi 1899 yang berbunyi : with the object of facilitating an immediate recourse to arbitration for international differences which it has not been possible to settle by diplomacy, the signatory Powers undertake to organize a Permanent Court of Arbitration, accessible at all times and operating, unless otherwise stipulated by the parties, in accordance with the rules of procedure inserted in the present Convention. 10 Salah satu konflik yang melibatkan Permanent Court Of Arbitrationdalam hal penyelesaiannya adalah sengketa yang terjadi antara Filipina dengan Tiongkok terhadap wilayah di kawasan Laut China Selatan.Laut China Selatan ialah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, mencakup daerah dari Singapura ke Selat Taiwan sekitar 3.500.000 km². Secara geografis Laut China Selatan terbentang dari arah barat daya ke timur laut, batas selatan 3 Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata), dan batas utara nya adalah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di 10 ibid

Tiongkok daratan. Laut China Selatan terletak di sebelah selatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Taiwan; di sebelah Barat Filipina; di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara Indonesia; di sebelah timur laut Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam. 11 Faktor terbaru yang menyebabkan semakin memanasnya sengketa di kawasan ini dilatar belakangi oleh adanya klaim yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap kawasan Laut China Selatan dengan membuat nine dash line yaitu sembilan titik imajiner yang menunjukkan klaim Tiongkok atas sebagian Besar wilayah Di Laut China Selatan.UntukmematenkanLautCina Selatan sebagaiteritorialnya, pada 2009 Tiongkokmengajukan peta Sembilangarisputusputusnyakepada PBB. 12 Setelah perundingan selama belasan tahun antara Tiongkok dan Filipina terkait dengan masalah kedaulatan dan hak-hak berdaulat di Laut China Selatan tidak membuahkan hasil, Filipina mengajukan kasus ini ke Permanen Court Arbitration di Den Haag pada tanggal 22 Januari 2013. 13 Adapun landasan yang dipakai oleh Filipina adalah Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982). Pengajuan gugatan Filipina melalui Permanent Court Of Arbitrationdilakukan dengan sangat cermat karena pukul 19.34 WIB 11 http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56443 diakses pada tanggal 18 Juli 2016 13 https://pcacases.com/web/view/7 diakses pada tanggal 20 Juli 2016

UNCLOS menetapkan banyak pembatasan mengenai materi sengketa yang bisa diajukan. Masalah kepemilikan dan kedaulatan atas fitur-fitur alamiah maupun penetapan garis batas maritim tidak bisa diajukan sebagai pokok perkara, apabila negara tergugat (defendant state) telah membuat deklarasi yang secara tegas tidak menghendaki kedua masalah itu ditangani dan diselesaikan melalui mekanisme UNCLOS 1982. Filipina mempergunakan ketentuan pasal 286, 287 dan 297 UNCLOS yang memungkinkan Mahkamah Arbitrasi Permanen (Permanent Court Of Arbitration) menangani sengketa di antara para pihak, asal saja sengketa ini menyangkut soal interpretasi ketentuan UNCLOS. Ketentuan pasal-pasal tersebut secara tidak langsung mengikat Tiongkok, karena Tiongkok tidak melakukan reservasi terhadap pasal-pasal tersebut. Pasal 287 ayat 1 yang berisikan tentang alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa salah satu badan yang berwenang menyelesaikan sengketa yang berhubungan dengan konvensi adalah Permanent Court of Arbitration (PCA), jadi Tiongkok dianggap telah menyetujui dan mengakui penyelesaian sengketa melalui Permanent Court Of Arbitrationsemenjak tiongkok meratifikasi Konvensi Hukum Laut ini. Disamping itu, Mahkamah Arbitrase menyatakan memiliki yurisdiksi untuk menangani dan menyelesaikan sengketa kedua negara

karena sengketa ini terkait dengan soal penafsiran dan penerapan ketentuanketentuan UNCLOS. 14 Dalam Note Verbale ke Permanent Court Of Arbitration pada 1 Agustus 2013 Tiongkok menegaskan kembali posisinya, bahwa Tiongkok tidak menerima arbitrase yang diprakarsaioleh Filipina. 15 Padahal jika kita mengacu kepada pasal21 Convention For The Pacific Settlement Of International Disputes 1899 (Hague I) yang berbunyi : The Permanent Court shall be competent for all arbitration cases, unless the parties agree to institute a special Tribunal. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Permanent Court Of Arbitration berwenang menyelesaikan semua jenis sengketa kecuali pihak yang bersengketa telah melakukan perjanjian yang memuat tentang cara penyelesaian sengketa yang berbeda sebelumnya. Termasuk dalam kasus yang diajukan oleh Filipina ini, Permanent Court Of Arbitration mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya, karena antara Filipina dan Tiongkok belum melakukan perjanjian internasional tentang penyelesaian sengketa ini sebelumnya. Setelah menjalani proses yang sangat panjang, akhirnya Permanent Court Arbitration mengumumkan putusan nya yaitu pada tanggal 12 Juli 2016.Dengan keluarnya putusan ini, adalah untuk pertama kalinya Permanent Court Of 14 Junal : Marcel Hendrapati, Penolakan Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen Terkait Sembilan Garis Putus-Putus dan Implikasinya Bagi Delimitasi Maritim di LTS, Universitas Hassanudin, 2016. 15 https://permanent Court of Arbitrationcases.com/web/view/7diaksestanggal 28 Agustus 2016 Pukul 23.00

Arbitration mengeluarkan keputusan tentang klaim-klaim kedaulatan di Laut Cina Selatan. 16 Dalam putusan bernomor (case number)2013-19 tersebut arbitrase memenangkan Filipina atas kasus ini. Secara tidak langsung Permanent Court Of Arbitrationmenyatakan bahwa klaim yang dilakukan Tiongkok atas sembilan titik imajiner (nine dash line) yang melingkari hampir 90 % kawasan Laut China Selatan dinyatakan tidak diakui menurut hukum internasional. 17 Dengan demikian tiongkok tidak mempunyai kedaulatan yang sah di Laut China Selatan. Pengadilan arbitrase juga menyatakan Tiongkok telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina. Disebutkan pula bahwa Tiongkok telah menyebabkan 'kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang' dengan membangun pulaupulau buatan 18. Kehadiran Permanent Court Of Arbitrationsebagai badan internasional yang menyelesaikan kasus antara Filipina dan Tiongkok ini, merupakan suatu treatment yang ditunggu oleh negara-negara di kawasan ASEAN, hal ini mengingat begitu agresif nya tindakan Tiongkok untuk menguasai Laut China Selatan. Sehingga menimbulkan suatu kondisi yang mencekam di kawasan tersebut. Padahal jika ditinjau lebih jauh, perdamaian dan keamanan di kawasan Laut China Selatan harus lebih kondusif, mengingat 16 http://nusantaranews.co/tolak-hasil-keputusan-mahkamah-arbitrase-cina-siap-perang/diakses pada tanggal 20 Juli 2016 17 http://internasional.metrotvnews.com/asia/ynl8xoyn-pengadilan-arbitrase-tolak-akui-9- garis-putus-tiongkok diakses pada tanggal 19 Juli 2016 18 N.W, Koesmawardhani, Putusan Lengkap Mahkamah Arbitrase Internasional Soal Laut Tiongkok Selatan, diakses dari www.detik.com

kawasan ini merupakan jalur pelayaran dan navigasi yang sangat penting bagi kapa-kapal dan pesawat udara dalam hal kepentingan damai. Namun pada kenyataan nya putusan yang dikeluarkan oleh Permanent Court Of Arbitration tidak diakui oleh Tiongkok, dengan alasan Tiongkok bersikukuh bahwa sumber daya laut di wilayah sembilan garis demarkasi (nine dash line) itu telah ditemukan sejak 1940-an lalu pada peta wilayah Tiongkok. 19 Disamping itu Tiongkok juga menanggapi keputusan Mahkamah Arbitrase ini dengan keras dan mengatakan keputusan badanarbitrase itu tak memiliki kekuatan hukum terkait masalah di Laut China Selatan. 20 Padahal menurut ketentuan yang berlaku, bahwa setiap putusan yang berasal dari badan arbitrase sifatnya adalah final dan mengikat(final and binding) 21, Dimana tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk memeriksa putusan Arbitrase ini tersebut. Dalam proses penyelesaian ini, Permanen Court Arbitration menggunakan aturanthe 1976 UNCITRAL Arbitration Rulessebagaihukum acara nya. 22 Didalam pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa apabila para pihak telah sepakat bahwa perselisihan di antara mereka sehubungan dengan hubungan hukum yang ditetapkan, apakah kontrak atau tidak, harus dirujuk kearbitrase berdasarkan 19 Ghoida Rahmah, Cina Tolak Keputusan Arbitrase Soal Laut Cina Selatan, diakses dari www.tempo.co pada tanggal 19 Juli 2016 20 http://internasional.kompas.com/read/2016/07/14/10094481/filipina.desak.tiongkok.patuhi. keputusan.mahkamah.arbitrase diakses pada tanggal 21 Juli 2016 21 Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2015. Hlm. 243 22 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 47

Peraturan arbitrase UNCITRAL, maka sengketa tersebut harus diselesaikan sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules ini. Melihat perkembangan kasus ini, dapat dilihat bahwa beberapa negara masih belum mentaati hukum internasional secara utuh. Dalam hal ini Tiongkok tidak mengakui putusan yang telah dikeluarkan oleh Permanent Court Of Arbitrationdan tidak mau melaksanakan putusan yang telah dikeluarkan tersebut. Padahal sifat hukum yang mengikat terletak pada keharusan negara-negara melaksanakan keputusan-keputusan dengan itikad baik 23. Karena jika putusan suatu badan arbitrase tidak diakui oleh salah satu pihaknya nya, maka tentunya efektivitas dari badan ini masih belum terwujud sebagai badan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa internasional secara damai. Dari uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan peneletian tentang bagaimana Efektivitas Permanen Court of Arbitration dalam menyelesaikan sengketa antara Fillipina Dengan Tiongkok untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di Laut China Selatan. Maka penulis mengangkat tema tersebut untuk di teliti dalam penelitian yang di beri judul Pelaksanaan Putusan Permanen Court of Arbitration dalam menyelesaikan sengketa antara Filipina Dengan Tiongkok dalam Hal Menciptakan Stabilitas Perdamaian dan Keamanan di Kawasan Laut China Selatan 23 Boer Mauna, Op Cit, hlm. 229

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana PelaksanaanPutusanPermanen Court of Arbitration dalam menyelesaikan sengketa antara Filipina Dengan Tiongkok dalam hal menciptakan stabilitas perdamaian di kawasan Laut China Selatan? 2. Bagaimana penolakan Tiongkok atas putusan Permanent Court Of Arbitration menurut Hukum Internasional ditinjau dari prinsip itikad baik (good faith)dalam penyelesaian sengketa internasional? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimanapelaksanaanputusanpermanen Court of Arbitration (PCA) dalam menyelesaikan sengketa antara Filipina Dengan Tiongkok dalam hal menciptakan perdamaian di kawasan Laut China Selatan. 2. Untuk mengetahuibagaimana analisis terhadap penolakan yang dilakukan oleh Tiongkok atas putusan Permanent Court Of Arbitration menurut Hukum Internasional ditinjau dari prinsip itikad baik (good faith)dalam penyelesaian sengketa internasional. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Adapun manfaat secara teoritis dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis sendiri sebagai mahasiswa hukum Program Kekhususan Hukum Internasional dalam bidang ilmu hukum internasional. b. Dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dalam hal menjawab keingintahuan terhadap masalah yang penulis teliti, serta dapat menunjang perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Internasional khusus nya. c. Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa, dosen maupun masyarakat luas dalam menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat dijadikan bahan perbandingan bagi peneliti selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Adapun manfaat praktis dalam penulisan ini adalah: a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran bagi para praktisi hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan, terutama bagi subjek hukum internasional yang terlibat dalam suatu sengketa internasional untuk menyelesakan sengketa secara adil, bijak dan beritikad baik sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Internasional. b. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan informasi bagi yang memerlukan. E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Jenis dan Sifat Penelitian. a. Penulisan skripsi ini menggunakanjenis penelitian hukum normatif karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini dalam tinjauan hukum terhadap Permanent Court Of Arbitrationdalam menyelsesaikan sengketa antara Filipina dengan Tiongkok. Penelitian hukum normatif adalah penelitian dengan mengambil data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen).

b. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa perjanjian-perjanjian dan Konvensi-konvensi internasional yang berkaitan tentang Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional 2. Sumber Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari : a) Bahan Hukum Primer, yaitu : bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer diperoleh melalui United Nations Convention on the Law Of The Sea 1982, konvensi Den Haag 1899, Konvensi Den Haag 1907 serta perjanjian perjanjian internasional dan konvensi-konvensi internasional yang terkait. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : semua dokumen yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, misalnya : kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. 24 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research)yang dilakukan di : a) Perpustakaan Pusat Universitas Andalas b) Perrpustakaan Fakultas Hukum Universitas Andalas c) Buku-buku literatur yang penulis miliki d) Perpustakaan Elektronik dan sumber dari website institusi terkait. Penelitian Kepusatakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen perintah, termasuk peraturan perundang-undangan. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber-sumber yang berkaitan dengan penelitian berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga hlm. 113-114 24 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011,

diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.