I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan sistem usahatani yang selama ini dilakukan pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas pertanian, belum stabilnya hasil produksi pertanian, rendahnya efisiensi penggunaan sumberdaya pertanian dan rendahnya tingkat kesesuaian jenis usahatani terhadap kondisi lokal. Situasi ini mengakibatkan sistem usahatani yang dikembangkan belum mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya penyuluhan pertanian, pemakaian pupuk kimia yang berlebihan, kurangnya dukungan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta kurangnya perhatian terhadap faktor lingkungan (Irianto et al., 2003). Pada hakekatnya, sistem usahatani berkelanjutan menganut konsep back to nature, yakni sistem usahatani yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau usahatani yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah (Salikin, 2003). Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil, namun dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kerusakan lingkungan, yang berarti produktivitas lahan juga akan mengalami penurunan. Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi semata, karena bidang ekonomi tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Munasinghe (1993) menyatakan bahwa prasyarat tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah keseimbangan tiga aspek utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.
Dalam bidang pembangunan pertanian, penerapan konsep pembangunan berkelanjutan khususnya untuk sistem usaha tani perlu mengintegrasikan ketiga aspek tersebut yaitu ekologi, ekonomi dan sosial (Arifin, 2001). Dari aspek ekologi (lingkungan) diharapkan tidak terjadi degradasi lingkungan, dari aspek ekonomi kegiatan harus berorientasi pada peningkatan pendapatan petani (layak), dan dari aspek sosial, kegiatan bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan pemerataan kepada semua pihak yang berkepentingan dengan pembangunan pertanian. Namun, pengembangan sistem usahatani dengan pendekatan konsep pembangunan berkelanjutan saja ternyata belum cukup untuk memberikan hasil yang optimal. Sampai saat ini dalam pelaksanaan sistem usahatani petani laki-laki dan perempuan sebagai pelaku utama dalam kegiatan sistem usahatani belum memberikan perannya secara optimal. Kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam pengembangan sistem usahatani diharapkan dapat memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi secara nasional, mengingat pertanian merupakan mata pencaharian utama bagi 50 persen lebih penduduk Indonesia. Pertanian sebagai mata pencaharian lebih dari 50 persen penduduk Indonesia merupakan sektor yang relatif banyak menyerap tenaga kerja perempuan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 1999 menunjukkan bahwa dari sejumlah 47 juta penduduk berumur 10 tahun ke atas, terdapat 23 juta orang yang lapangan pekerjaan utamanya di sektor pertanian, dengan rasio perempuan per laki-laki sebesar 43,7 persen untuk di perkotaan dan 63,1 persen untuk di perdesaan. Dilaporkan bahwa perempuan yang berfungsi sebagai kepala rumahtangga semakin meningkat jumlahnya, yaitu sekitar 13,2 persen pada tahun 1999 (BPS, 2000). Data tersebut menunjukkan peranserta perempuan berpotensi untuk diikutsertakan dalam kegiatan pengembangan sistem usahatani. Mayoritas perempuan perdesaan kurang memiliki akses terhadap sumberdaya pertanian seperti terbatasnya akses dan hak atas lahan dan sumberdaya lainnya. Tanpa akses sumberdaya yang memadai, 2
perempuan perdesaan tidak dapat menerima insentif yang cukup untuk mengelola sumberdaya alam dan konsekuensinya pembangunan perdesaan akan terhambat (Rwelamira, 1999). Perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan. Penelitian tentang kebijakan sistem usahatani berkelanjutan yang responsif gender perlu dilakukan agar kegiatan usahatani menjadi optimal dan terjaminnya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan Social-Economic And Gender Analysis (SEAGA). Melalui pendekatan SEAGA yang dilakukan secara partisipatif dengan menempatkan masyarakat petani sebagai bagian penting dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya pada tingkat lapangan (Micro level), maka masyarakat petani secara bersama-sama dapat melakukan pemahaman tentang kondisi kehidupan mereka sehingga diharapkan dapat membuat rencana dan tindakan yang berhasil guna (FAO, 2001). Secara kuantitatif pola relasi antara laki-laki dan perempuan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks keadilan dan kesetaraan gender (IKKG). Pola relasi gender pada setiap pola usahatani yang ditemukan di lokasi penelitian dalam bentuk nilai IKKG dijadikan dasar untuk menyusun arahan kebijakan apa yang diperlukan agar peran petani laki-laki dan perempuan dapat secara optimal. 1.2. Rumusan Masalah Sistem usahatani konvensional yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat petani belum memperhatikan kelestarian lingkungan, terutama dalam hal pengolahan tanah dan pemilihan komoditas yang diusahakan. Sistem usahatani yang dikembangkan sekarang masih didominasi oleh kepentingan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani, sehingga konservasi sumberdaya lahan pertanian belum menjadi 3
fokus perhatian. Peran laki-laki masih mendominasi hampir pada semua tahapan kegiatan usahatani, baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan keputusan. Kegiatan usahatani yang dilakukan pada saat ini, selain menghasilkan berbagai produk untuk memenuhi permintaan konsumen, juga menimbulkan berbagai eksternalitas negatif antara lain: 1) polusi udara dari gas metan; 2) polusi tanah, air dan udara dari pestisida dan herbisida; 3) polusi perairan dan udara dari sisa pupuk yang tidak diserap oleh tanaman, dan 4) erosi tanah oleh angin dan air (Adnyana, 2001). Dalam perspektif gender, dominasi laki-laki dalam kegiatan usahatani memberikan dampak kurang optimalnya akses dan kontrol perempuan dalam kegiatan usahatani. Sistem usahatani yang lebih didominasi lakilaki tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender. Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Apa aspek prioritas dan variabel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan?. 2. Apa pola usahatani yang paling memenuhi kriteria berkelanjutan?. 3. Bagaimana pola relasi gender pada setiap pola usahatani?. 4. Bagaimana rumusan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender?. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan aspek prioritas dan variabel utama dalam sistem usahatani berkelanjutan. 2. Menganalisis keberlanjutan berbagai pola usahatani. 3. Menganalisis pola relasi gender pada setiap pola usahatani. 4. Merumuskan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender. 4
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pertanian yang memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan gender. 2. Meningkatkan perhatian semua stakeholder terhadap aspek lingkungan, ekonomi dan sosial serta gender dalam pengembangan sistem usahatani. 3. Sebagai masukan bagi para pengambil keputusan dalam menyusun perencanaan dan program pembangunan pertanian yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan memperhatikan kesetaraan gender. 1.5. Novelty 1. Mengkombinasikan analisis sistem usahatani berkelanjutan dengan analisis gender melalui pendekatan instrumen SEAGA ( Social Economic And Gender Analysis ) untuk mengukur pola relasi gender dari setiap pola usahatani secara kuantitatif dalam bentuk Indeks Keadilan dan Kesetaraan Gender (IKKG). 2. Memformulasikan arahan kebijakan sistem usahatani berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) dan gender berdasarkan akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya pertanian dan tahapan kegiatan usahatani yang dilakukan. 1.6. Kerangka Pikir Penelitian Pengembangan sistem usahatani melalui pendekatan ekonomi semata tidak dapat menjamin keberlanjutan usahatani dalam jangka panjang, sehingga diperlukan kombinasi yang seimbang antara aspek: lingkungan, ekonomi, dan sosial sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Aspek yang menjadi prioritas dalam pegembangan sistem usahatani disuatu daerah/wilayah berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah/wilayah yang bersangkutan. 5
Dalam pelaksanaan penelitian dilakukan analisis pola usahatani di derah penelitian. Berdasarkan pola usahatani yang diidentifikasi akan dibuat prioritas pola usahatani yang paling memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan. Pengembangan sistem usahatani dengan memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan saja ternyata juga belum dapat memberikan manfaat yang optimal bagi petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian jika dilihat dalam perspektif gender. Peran laki-laki yang lebih dominan dalam hal akses dan kontrol pada sistem usahatani menyebabkan ketidaksetaraan gender, Pola usahatani yang telah teridentifikasi sebelumnya akan di analisis berdasarkan peran laki-laki dan perempuan. Pendekatan SEAGA digunakan untuk analisis ini. Dengan menggunakan pendekatan SEAGA akan diperoleh gambaran secara kualitatif tentang kondisi sosial dan ekonomi masyarakat petani yang ditinjau dari sudut pandang laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Selanjutnya, hasil analisis SEAGA tersebut dikuantifikasi menggunakan rumus Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) sehingga diperoleh gambaran pola relasi gender dalam bentuk askes dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan usahatani pada setiap pola usahatani yang ada di lokasi penelitian. Berdasarkan hasil analisis pola usahatani berkelanjutan dan pendekatan SEAGA secara partisipatif dalam bentuk nilai IKKG, dapat dirumuskan arahan kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar. Secara skematis kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 6
Survey Kondisi Usahatani saat ini Pemetaan Kondisi Usahatani Pola Usahatani di Lokasi Penelitian AHP Usahatani Berkelanjutan Prioritas Pola Usahatani SEAGA Pola Relasi Gender Arahan Kebijakan Sistem Usahatani Berkelanjutan Responsif Gender Indeks Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) Pola Relasi Gender Pemetaan Pola Relasi Gender Untuk Setiap Pola Usaha tani Gambar 1. Kerangka pikir penelitian kebijakan sistem usahatani berkelanjutan responsif gender di Kabupaten Karanganyar. 7