BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament (TGT)

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

48. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB E) A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. meringankan kerja manusia. Matematika diberikan kepada siswa sebagai bekal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ine Riani, 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Matematika mempunyai peran yang sangat besar baik dalam kehidupan

DESKRIPSI BUTIR ANGKET PENILAIAN MODUL MATEMATIKA PROGRAM BILINGUAL PADA MATERI SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN PMRI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Realistic Mathematics Education (RME) Secara harfiah realistic mathematics education diterjemahkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. intelektual dalam bidang matematika. Menurut Abdurrahman (2012:204)

42. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB A)

BAB II KAJIAN TEORITIS

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

Tri Muah ABSTRAK. SMP Negeri 2 Tuntang Kabupaten Semarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi sekarang ini pendidikan di Indonesia sudah mulai berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

43. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunarungu (SMPLB B)

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, antara lain pembaharuan kurikulum, peningkatan kualitas tenaga. pendidik dan peningkatan sarana dan pra sarana.

2014 PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER DALAM PEMBELAJARAN OPERASI PERKALIAN BILANGAN CACAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

I. PENDAHULUAN. didiknya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berusaha secara terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai

REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION: MODEL ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dewasa ini, tidak lepas dari peranan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dalam pendidikan matematika yang pertama kali diperkenalkan dan

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu membentuk individu-individu yang berkompentensi. sesuai bidang keahlian yang dipilih atau yang dimilikinya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION

dalam pembelajaran matematika mencakup pemahaman konsep, penalaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. matematika diantaranya: (1) Siswa dapat memahami konsep matematika,

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

Oleh : Moh. Kanzunnudin, Eka Zuliana dan Henry Suryo Bintoro

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses membantu manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Menurut

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar tingkat SD/MI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan potensi yang ada pada manusia tersebut. Pendidikan adalah usaha sadar

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG HASIL BELAJAR SISWA PADA PEMBELAJARAN BILANGAN BULAT

KTSP Perangkat Pembelajaran SMP/MTs, KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) Mapel Matematika kls VII s/d IX. 1-2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

44. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dalam menghadapi era globalisasi itu diperlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang dihadapi manusia, suatu cara yang menggunakan informasi,

37. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. ketidakpastian. Pendidikan sebagai sumber daya insani sepatutnya mendapat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Salah satu bukti yang menunjukkan pentingnya. memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami siswa (Nana Sudjana, 2011:2). Sementara menurut Aunurrahman (2011:37) mengemukakan hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang diperoleh dari aktivitas belajar. Walapun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku pada kebanyakan hal merupakan suatu perubahan yang dapat diamati (observable). Akan tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku yang dimaksudkan sebagai hasil belajar tersebut dapat diamati. Perubahan-perubahan yang dapat diamati kebanyakan berkenaan dengan perubahan aspek-aspek motorik. Menurut Winkel (Purwanto, 2011) hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek perubahan itu mengacu pada taksonami tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Haroow mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berdasarkan pendapat beberapa para ahli mengenai pengertian hasil belajar, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan pada kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai pengaruh pengalaman belajar yang dialami siswa. 2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar Menurut Slameto (2003:54-72) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar yaitu: 1. Faktor intern, yang terdiri dari tiga faktor berikut: 1) Faktor jasmaniah yang meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.

6 2) Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. 3) Faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan rohani. 2. Faktor ekstern 1) Faktor keluarga yang meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan. 2) Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. 3) Faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat. 2.1.3 Hakekat Matematika Menurut Ruseffendi (Heruman, 2007) Matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk

7 bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran matematika, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya. 1. Tujuan Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 2. Ruang Lingkup Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1) Bilangan 2) Geometri dan pengukuran 3) Pengolahan data 2.1.4 Model Pembelajaran RME (Realistic Mathematics Education) RME merupakan suatu model pembelajaran yang dapat menciptakan suasana untuk mengembangkan kemampuan berfikir dan berargumentasi dari

8 siswa dalam memecahkan suatu persoalan Freudenthal (Ariyadi Wijaya, 2012). RME berupaya untuk mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran matematika, dengan cara memberi kesempatan yang sangat luas kepada siswa untuk melakukan proses yaitu mengembangkan kreatifitasnya dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. RME menggunakan masalah kontekstual (contextual problem) sebagai titik awal dalam belajar matematika, sebagai ganti dari pengenalan konsep dengan cara abstrak. Proses pengembangan konsepkonsep dan gagasan matematika bermula dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata, namun juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak. RME membantu siswa untuk mengembangkan dayapikir dan kemampuan berargumentasi dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal tersebut dapat dilakukan dalam suatu kelompok kecil, berdua atau sendiri. Apabila siswa tidak mampu untuk bekerja sendiri dalam memecahkan suatu permasalahan dapat dibuat suatu kelompok kecil untuk dapat mendiskusikan perbedaan strategi serta memutuskan strategi mana yang terbaik untuk suatu soal. Di sini seorang guru hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam interaksi antara siswa dengan guru ataupun antar siswa itu sendiri sehingga dapat tercipta suasana aktif. Suksesnya RME tergantung pada kemampuan guru dalam menciptakan iklim dimana siswa mau mencoba berfikir dengan cara baru dan mengkomunikasikan apa yang dihasilkan. Jika seorang guru dapat menghargai perbedaan ide atau jawaban siswa maka siswa akan respek untuk selalu mencoba terus mencari ide-ide baru. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik dari RME yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Treffers (Ariyadi Wijaya, 2012) RME memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Menggunakan masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai titik tolak atau titik awal untuk belajar). 2. Menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda.

9 Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self develop models). Peran self develop models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dari formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal. 3. Menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka. Dengan pembuatan produksi bebas siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian mana yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal. 4. Menggunakan Interaktif. Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa. 5. Menggunakan Keterkaitan. Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks. Mengacu pada karakteristik pembelajaran matematika realistik, maka langkah-langkah dalam kegiatan inti proses pembelajaran matematika realistik pada penelitian ini adalah: Langkah 1: Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual dan siswa memahami permasalahan tersebut.

10 Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran. Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas. Langkah 5: Menyimpulkan Dari diskusi, guru menarik kesimpulan suatu prosedur atau konsep. Prinsip-prinsip pokok pembelajaran matematika secara RME dikemukakan oleh Marpaung (2003: 5-6), yaitu: 1. Prinsip Aktivitas. Prinsip ini menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Matematika paling baik dipelajari dengan melakukannya sendiri. 2. Prinsip Realitas. Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realistis bagi siswa). (Catatan: realistis bagi siswa diartikan tidak selalu berkaitan dengan dunia nyata, bisa juga dari dunia lain tetapi dapat dibayangkan oleh siswa). Jika matematika diajarkan lepas dari pengalaman siswa maka matematika itu mudah dilupakan. 3. Prinsip Penjenjangan. Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui berbagai jenjang yaitu dari menemukan (to invent) penyelesaian kontekstual secara informal ke skematisasi. Kemudian perolehan insight dan penyelesaian secara formal.

11 4. Prinsip Jalinan. Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah tidak di pecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-pisah. 5. Prinsip Interaksi. Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu. (Prinsip ini sesuai dengan pandangan filsafat konstruktivisme, yaitu bahwa di satu pihak pengetahuan itu adalah konstruksi sosial (Vijgotskij) dan di lain pihak sebagai konstruksi individu. 6. Prinsip Bimbingan. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent) matematika, siswa perlu mendapat bimbingan. Menurut Suwarsono dalam (Jaka Purnama:18) kelebihan-kelebihan Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebagai berikut: 1) RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia. 2) RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang biasa yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut. 3) RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang lain. 4) RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materimateri matematika yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu (guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan telrjadi. 5) RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap unggul.

12 6) RME bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional. Proses pembelajaran topik-topik matematika dikerjakan secara menyeluruh, mendetail dan operasional sejak dari pengembangan kurikulum, pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya secara makro tapi juga secara mikro beserta proses evaluasinya. Selain kelebihan-kelebihan seperti yang diungkapkan, terdapat juga kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education (RME) yang dikemukan oleh Suwarsono dalam (Jaka Purnama: 20) adalah sebagai berikut: 1) Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME membutuhkan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal, misalnya seperti siswa, guru, peranan sosial, peranan kontek, peranan alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan karena paradigma lama sudah begitu kuat dan lama mengakar. 2) Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara. 3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri. 4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan memulai soal-soal kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa membantu siswa dalam menemukan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu. 5) Pemilihan alat peraga harus cermat agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME. 6) Penilaian (assesment) dalam RME lebih rumit daripada dalam pembelajaran konvensional.

13 7) Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip RME. 2.2 Penelitian Yang Relevan 1. Nurlaili (2010) meneliti tentang Keefektifan Model Pembelajaran Matematika Realistik dengan Bantuan Alat Peraga Benda Konkrit Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Peserta Didik Kelas VIII Semester II SMP Negeri 4 Pati menyatakan kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang menggunakan model pembelajaran Matematika Realistik dengan Bantuan alat peraga benda konkrit lebih efektif daripada kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang menggunakan model pembelajaran ekspositori dengan bantuan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan menggunakan uji t dari materi sebelumnya diperoleh data kedua kelas tersebut berada pada kondisi awal yang sama. Berdasarkan hasil penelitian, perhitungan uji normalitas kelas eksperimen diperoleh X2 hitung = 5,500 dan kelas kontrol didapat X2 hitung = 7,669 dengan X2 tabel = 7,81 dapat disimpulkan data bersifat normal. Perhitungan uji homogenitasnya diperoleh Fhitung = 1,032 dan Ftabel = 2,074 dapat disimpulkan data bersifat homogen. Untuk menguji hipotesis digunakan uji t diperoleh thitung = 1,790 dan t tabel = 1,671 dapat disimpulkan Ho ditolak, artinya hipotesis diterima. 2. Artha Debiyanti dalam skripsinya berjudul Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Logika Matematika dengan Menggunakan Metode Realistic Mathematics Education (RME) Ditinjau dari Karakteristik Gaya Belajar Matematika Siswa kelas I Semester II SMK Negeri I Cepu Kabupaten Blora Tahun 2003/2004. Menemukan bahwa penggunaan metode RME dalam pengajaran matematika pada pokok bahasan logika matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penggunaan RME yang berbasis pengalaman nyata dapat memudahkan siswa untuk dapat memahami konsep matematika, selain itu RME

14 memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan ide-idenya sehingga siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran matematika. Hasil penelitian menunjukkan 97,6% (42 dari 43 siswa) menyatakan tertarik dengan model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME). 2,4% (1 dari 43 siswa) menyatakan tidak tertarik dengan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) karena adanya kolaborator dan peneliti (sekelas dua guru) sehingga siswa merasa seperti diawasi dalam pembelajaran. 81,4% (35 dari 43 siswa) menyatakan lebih mudah memahami pembelajaran dengan model Realistic Mathematics Education (RME) dengan alasan banyak latihan soal, aktif, dan menjadi kreatif. 9,3% (4 dari 43 siswa) menyatakan tingkat pemahaman dalam pembelajaran kontekstual biasa-biasa saja, dengan alasan pemahaman sangat tergantung pada ketekunan dalam berlatih sendiri. 9,3% (4 dari 43 siswa) menyatakan tingkat pemahaman dalam pembelajaran kontekstual sangat relatif (kadang mudah paham kadang tidak) tergantung tingkat kesukaran materi. 100% siswa baru mengaplikasikan model Realistic Mathematics Education (RME) di kelas pada pelajaran matematika, dan belum menerapkan pada mata pelajaran lain baik diluar maupun di dalam kelas. 3. Joko Bekti Haryono dalam skripsinya berjudul Upaya Peningkatan Matematika Realistik Pokok Bahasan Relasi dan Pemetaan pada Siswa Kelas II SMP Negeri Di Sukoharjo Tahun Ajaran 2004/2005 menunjukkan ada peningkatan hasil belajar siswa yang dapat dilihat dari hasil belajar matematika siswa pada pra siklus nilai rata- rata siswa 52,85 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 32,14 % terjadi peningkatan dengan nilai rata-rata siswa 62,32 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 64,28 % pada siklus I dan nilai rata-rata siswa 69,10 dengan ketuntasan belajar klasikal siswa 82,14 % pada siklus II. Perilaku negatif yang ditunjukkan siswa pun berubah setelah diberikan tindakan. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran, berani mengemukakan pendapat di depan kelas, dan semakin percaya diri tampil dalam presentasi.

15 4. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Umi Andriyati dengan judul Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Metode Realistic Mathematics Education (RME) pada Pokok Bahasan Logika Matematika Ditinjau Dari Kreativitas Belajar Siswa SMA Negeri 8 Surakarta Tahun Ajaran 2006/2007 dengan metode Realistic Mathematics Education (RME) menghasilkan prestasi belajar yang sama dengan metode konvensional pada pokok bahasan logika matematika siswa kelas X semester II SMA Negeri 8 Surakarta tahun pelajaran 2006/2007. Hal ini ditunjukkan dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama yaitu F obs = 0.029151 < 3.92 = F tab, pada taraf signifikansi 5%, (2) Kreativitas belajar siswa tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan logika matematika siswa kelas X semester II SMA Negeri 8 Surakarta tahun pelajaran 2006/2007. Hal ini ditunjukkan dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama yaitu F obs = 1.269 < 3.07 = F tab, pada taraf signifikansi 5%, (3) Tidak ada interaksi antara penggunaan metode mengajar dan kreativitas belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika siswa pada pokok bahasan logika matematika. Hal ini ditunjukkan dari analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama yaitu F obs = 0.533762 < 3.07 = F tab, pada taraf signifikansi 5%. 2.3 Kerangka Berpikir Bertolak dari tinjauan teori, dapat dibuat suatu kerangka pemikiran sebagai berikut: Prestasi belajar matematika adalah hasil belajar yang dicapai siswa dalam proses belajar sehingga terdapat proses perubahan dalam pemikiran serta tingkah laku. Has belajar matematika dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah metode pembelajaran dan kreativitas belajar. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah Realistic Mathematics Education (RME) pada mata pelajaran matematika. Model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu model mengajar yang memiliki beberapa prinsip diantaranya prinsip realitas. Prinsip

16 tersebut menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalahmasalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa. Oleh karena itu penggunaan model pembelajaran RME pada mata pelajaran matematika akan lebih memudahkan siswa dalam pemahaman konsep-konsep matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa sekolah dasar. Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu model dalam proses pembelajaran yang dapat menciptakan suasana untuk membangkitkan kemampuan berpikir dan berargumentasi dalam menyelesaikan masalah dengan berbagai ide atau gagasan. Dengan menggunakan model pembelajaran RME, siswa dituntut untuk lebih berpikir kreatif dan mempunyai kemampuan berpikir yang peka terhadap suatu permasalahan yang dihadapkan. Bertolak dari kerangka berpikir tersebut, maka diduga penggunaan model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) mempengaruhi hasil belajar matematika siswa sekolah dasar, sehingga dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut: Kelas Kontrol Pembelajaran dengan konvensional Post Tes Pre Test Uji Persyaratan Analisis (Homogenitas dan Normalitas) Uji hasil post tes apakah ada pengaruh yang signifikan dengan menggunakan model pembelajaran Realistic Matematics Education (RME) Kelas Eksperimen Pembelajaran dengan menggunakan RME Post Test Gambar 2.1 Paradigma Pemikiran

17 Penelitian ini akan membandingkan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen di mana kelas kontrol dilakukan pembelajaran konvensional yang biasa diterapkan di SD. Sedangkan kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME). 2.4 Perumusan Hipotesis Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut; Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) Mempengaruhi Hasil Belajar Matematika Siswa Sekolah Dasar.