ARTIKEL Judul PURA AGUNG JAGATNATHA DI DENPASAR, BALI (PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA-SISWI SMPN 1 DENPASAR) Oleh PUTU ADMI SURYANI NIM. 0914021061 JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
Pura Agung Jagatnatha di Denpasar, Bali (Perspektif Pendidikan Karakter Bagi Siswa Siswi SMPN 1 Denpasar Putu Admi Suryani, Prof.Dr.Nengah Bawa Atmadja, M.A1, Dr. I Wayan Mudana, M.Si2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja (email: gecadmi999@gmail.com, nengah bawa atmadja@yahoo.co.id, mudanawayan935@yahoo.co.id) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui(1) Sejarah Pura Agung Jagatnatha di Kota Denpasar ;(2) Persembahyangan yang dilakukan siswa-siswi SMPN 1 Denpasar;(3) Nilai-nilai Pendidikan Karakter yang ditanamkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tahap-tahap yaitu:(1) Teknik penentuan informan; (2) Teknik pengumpulan data (observasi, wawancara, studi dokumen) dan; (3) analisis data. Pura Agung Jagatnatha untuk merealisasikan keputusan yang ditetapkan dalam Pesamuhan Parisada Dharma Hindu Bali, yaitu membangun pusat kegiatan keagamaan di jantung Kota Denpasar. Akhirnya digunakan sebagai tempat persembahyangan untuk semua umat Hindu sedharma. Selain masyarakat umum, siswa-siswi SMPN 1 Denpasar juga sering melakukan persembahyangan di Pura ini saat Purnama Tilem atau hari hari biasa. Melalui kegiatan persembahyangan inilah yang menjadi potensi dalam menanamkan Pendidikan Karakter bagi siswa-siswi SMPN 1 Denpasar. Sejalan dengan menurunnya etika dan moralitas di jaman globalisasi. Kata Kunci :Sejarah Pura Agung Jagatnatha, Persembahyangan/ritual, dan Pendidikan Karakter. ABSTRACT This research as a purpose to knows about: (1)History of Pura Agung Jagatnatha in Denpasar City. (2) Praying who students of SMPN 1 Denpasar do. (3) The characteristic for students of SMPN 1 Denpasar by prayed activity on this research make us of qualitative by means phase that is: (1) Technique act of defermining informant. (2) Technique aggregation of data (Observation, interview, document study) and (3) data analyze. Result finding on Fact development of Pura Agung Jagatnatha which located on east Puputan badung field and on north Bali Museum. Besides the society, students of SMPN 1 Denpasar as often as do praying at Pura Agung Jagatnatha when full moon and tilem or anothers days without rahinan Because of location SMPN 1 Denpasar contiguous with Pura Agung Jagatnatha by the praying activities which become potential of characteristic education for students in SMPN 1 Denpasar be in accordance with decrease of ethic and morality in this globalisastion period. Keywords: History of Pura Agung Jagatnatha, praying/ritual, and characteristic education. Di Bali, kita mengenal istilah Pura Kahyangan Jagat. Dimana pura ini adalah pura umat Hindu yang bersifat umum, karena bisa dipuja oleh siapapun, tanpa membedakan asal keluarga, desa, ataupun profesi (Atmadja, 2010:450). Masing-masing daerah di Bali memiliki Pura Kahyangan Jagat, salah satunya di Kota Denpasar yang
dikenal dengan nama Pura Agung Jagatnatha. Pura ini menjadi sungsungan masyarakat Hindu, dari manapun mereka berasal (Linus, 2003:88). Pura ini dibangun pada tahun 1963 dan berlokasi di Jalan Mayor Wisnu Denpasar. Di sebelah utara terdapat Museum Bali, di sebelah timur Lapangan Umum Puputan Badung dan disebelah barat terdapat sekolah SMPN 1 Denpasar. Pura ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat religius, namun juga berfungsi sebagai media pendidikan. Hal ini beranjak dari fenomena berbagai kasus yang tidak sejalan dengan etika, moralitas, sopan santun atau perilaku yang menunjukkan rendahnya karakter dalam masyarakat. Arus Globalisasi menyebabkan masyarakat kehilangan jati diri. Hal ini diakibatkan karena masuknya pengaruh-pengaruh barat yang lebih modern. Sehingga banyak masyarakat yang melupakan budaya-budaya asli yang tradisional. Lebih memprihatinkan lagi, adanya perilaku menyimpang seperti pemakaian narkoba, pencurian, tawuran, kekerasan dan penipuan tidak sedikit ditunjukkan oleh orang-orang yang terdidik (pelajar). Dimana gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan (Asmani, 2011:34). Ini membuktikan bahwa pendidikan saja, kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter) yang terpuji. Pendidikan sekarang ini lebih banyak mengembangkan ranah kognitif dibandingkan afektif sehingga karakter yang terletak di ranah afektif sangat jarang sekali tersentuh. Anak didik cenderung di nina bobokkan, sehingga pola pikir, mental, dan kebiasaan mereka bersifat instan. Semua permasalahan ini berakar dari krisis karakter. Maraknya kasus-kasus yang tidak sejalan sesuai etika dan moral di kalangan anak didik tersebut, menyebabkan banyak pihak yang menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal (sekolah). Lembaga pendidikan formal (sekolah) sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda, diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik. SMPN 1 Denpasar, lokasinya bersebelahan dengan Pura Agung Jagatnatha. Pura ini dipakai siswa-siswi SMPN 1 Denpasar untuk melakukan kegiatan persembahyangan. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban atau aturan yang diterapkan dari sekolah. Para siswa-siswi yang ber-inisiatif melakukan persembahyangan khususnya setiap Purnama-Tilem dan hari-hari biasa. Namun, setiap hari raya siwalatri, sekolah mengajak muridnya untuk melakukan pamuspan di parahyangan sekolah kemudian mereka bersama-sama melakukan ritual mekemit di Pura Agung Jagatnatha. Melakukan persembahyangan di pura, merupakan suatu kewajiban bagi setiap umatnya untuk menyiapkan diri secara lahir dan bathin. Dengan melakukan persembahyangan di pura, siswa-siswi merasa lebih khusyuk secara emosional, dan lebih merasakan kehadiran Tuhan dalam diri mereka yang nantinya akan membangun karakter yang baik dalam diri siswa itu. Berdoa kepada Tuhan, mempunyai efek positif bagi perkembangan mental dan keperibadian seseorang. Dengan berdoa, hati menjadi tenang, perilaku terkendali, dan orientasi hidup tertata dengan baik (Asmani, 2011:161-167). Semua orang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan untuk memohon perlindungannya (Wiana, 1992:3). Kajian sejenis mengenai Pura Agung Jagatnatha di Denpasar, Bali sudah pernah dilakukan oleh Linus (2003), yang mengkaji Sejarah dan fungsi Pura Agung Jagatnatha di Kota Denpasar, Bali dalam bukunya yang berjudul Bali Objek Dan Daya Tarik Wisata. Secara umum tulisannya lebih memfokuskan tentang sejarah bagaimana awal dibangunnya Pura tersebut, dan fungsi religius sebagai tempat persembahyangan, fungsi sosial sebagai sarana pembinaan umat, dan fungsi budaya sebagai pusat seni budaya. Tetapi dari sekian banyaknya penulis yang meneliti tentang pura tidak ada yang membahas mengenai Pura Agung Jagatnatha di Denpasar, Bali (Kajian Pendidikan Karakter). Hal inilah yang mendasari Pura Agung Jagatnatha menarik untuk diketengahkan secara akademis. Melihat kenyataan diatas, maka penulis berusaha untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut yang berjudul PURA AGUNG JAGATNATHA DI DENPASAR, BALI (PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA-SISWI SMPN 1 DENPASAR). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa siswa-siswi SMPN 1 Denpasar melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha, bagaimana tata cara persembahyangan yang dilakukan siswa-siswi SMPN 1 Denpasar saat Purnama Tilem atau hari hari biasa dan nilai-nilai karakter apa saja yang ditanamkan melalui kegiatan persembahyangan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan bersandarkan pada teknik teknik pendekatan kualitatif di antaranya: (1) Penentuan informan, melalui Jero Mangku, Kepala Sekolah, Guru Agama; (2) Metode Pengumpulan data, yaitu lewat teknik pengamatan langsung, teknik wawancara, dan studi pustaka (dokumen); (3) metode validitas data secara croos cek dengan dua metode yaitu teknik triangulasi data dan triangulsi metode; dan (4) Analisis data yaitu penarikan simpulan yang bersifat kasar melalui: pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan / verifikasi data. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sejarah Pura Agung Jagatnatha Pura Agung Jagatnatha berlokasi di pusat kota Denpasar, tepatnya di Jalan Mayor Wisnu, di sebelah timur Lapangan Puputan Badung, dan atau di sebelah selatan Jalan Hayam Wuruk. Pura ini berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat, yang menjadi sungsungan dan penyiwian masyarakat Hindu, dari manapun mereka berasal (Linus, Ketut 2003). Latar belakang pembangunan Pura Agung Jagatnatha yang berlokasi di sebelah timur Lapangan Puputan Badung dan di sebelah utara Museum Bali itu adalah untuk merealisasikan keputusan-keputasan yang telah ditetapkan dalam Pesamuhan Parisada Dharma Hindu Bali pada tanggal 20 November 1961 di Campuhan Ubud, Kabupaten Gianyar. Sejak tahun 1968, Parisadha Dharma Hindu Bali, secara resmi telah ditetapkan menjadi atau sebagai Parisadha Hindu Dharma, Majelis Tertinggi Umat Hindu Indonesia, yang berkedudukan di Denpasar (Linus, Ketut 2003). Salah satu dari keputusan tersebut, antara lain: membangun pusat kegiatan pendidikan keagamaan, untuk membina dan mengembangkan kehidupan agama Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Pembangunan pura di sentrum kota Denpasar ini, diprakarsai oleh almarhum Kapten TNI I Gusti Ngurah Pindha, BA, (kodom XVI Udayana) bersama sama dengan kepala Jawatan Rokhani Hindu Derah Militer ( Kerobindam) XVI Udayana, almarhum Letnan TNI (Tituler) Ida Padandha Gde Wayan Sideman dan Letnan TNI I Wayan Merta Suteja, BA yang sama-sama dari Kodam XVI Udayana juga. Pada tanggal 13 Mei 1968, bertepatan dengan Hari Purnamaning Sasih Jyestha telah dapat dilaksanakan Upacara Pemelaspas di Sekar (Upacara Pemelaspas Alit) dan persembahan pujawali (pawedalan Alit) yang pertama kalinya yang harus sebagai tegak pawedalan Pura Agung Jagatnatha. Sampai bulan Januari 1970 telah dapat pula diselesaikan Candi Bentar di kiri dan kanan Gelung Kuri (yang belum selesai pada waktu itu). Pada waktu itu penyengker keliling Pura Agung Jagatnatha juga telah dapat diselesaikan. Pada tanggal 21 Mei 1970, bertepatan dengan Hari Purnamaning Sasih Jyestha, yang merupakan rahina subhadiwasa tegak pawedalan Pura Agung Jagatnatha, lagi dilaksanakan persembahan dan pemujaan pujawali (pawedalan) Alit yang kedua kalinya (Linus, Ketut 2003). Pada era sekarang, Pura Agung Jagatnatha merupakan tempat memuja Hyang Widhi bagi anak-anak siswa SMP dan SMA, para Mahasiswa, Para Pegawai Negeri, Karyawan, Swasta, dan masyarakat umum, terutama pada waktu Hari Saraswati, Puja malam Siwaratri dan yang paling ramai adalah pada waktu hari-hari Purnama-Tilem. Demikian pula pada hari-hari suci tertentu, masyarakat kota Denpasar yang
berasal dari suatu Desa Pakraman di Bali kalau tidak sempat pulang ke desa untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan bersama keluarganya mereka cukup memedek melakukan pemuspan dan persembahyangan dari Pura Agung Jagatnatha saja. Inilah kedudukan dan fungsi umum Pura Agung Jagatnatha yang sekaligus sebagai pura yang berkedudukan dan berstatus Pura Khayangan Jagat. Setelah Panitia Pembangunan Pura Agung Jagatnatha, secara periodik berhasil mempersiapkan pelaksanaan pembangunan dipersiapkan sebagai berikut : Pada tanggal 1 Januari 1996 Panitia Pembangunan Pura Agung Jagatnatha meminta kesediaan Anak Agung Ketut Anggara, seorang Undagi Maranggi dari Jeroan Belong Denpasar untuk Memimpin Undagi Maranggi dan Sangging Maranggi melaksanakan pekerjaan pembangunan Pura Agung Jagatnatha. Pada tanggal 27 Juli 1967, dasar bangunan Padmasana yang berwujud Badawangnala yang dibelit oleh Naga Antabhoga dan Naga Basuki (vasuki) telah dapat diselesaikan. Selanjutnya tanggal 15 Oktober 1967, pembangunan Padmasana telah dapat diselesaikan di madya angga atau bagian pertengahannya. Pada tanggal 13 Desember 1968 seluruh bangunan Padmasana telah diselesaikan. Sementara itu, pada tanggal 5 Februari 1968 Candi Bentar di Utama Mandala telah dapat diselesaikan juga. Pada tanggal 13 Mei 1968, bertepatan dengan Hari Purnamaning Sasih Jyestha telah dapat dilaksanakan Upacara Pemelaspas di Sekar (Upacara Pemelaspas Alit) dan persembahan pujawali (pawedalan Alit) yang pertama kalinya yang harus sebagai tegak pawedalan Pura Agung Jagatnatha. Sampai bulan Januari 1970 telah dapat pula diselesaikan Candi Bentar di kiri dan kanan Gelung Kuri (yang belum selesai pada waktu itu). Pada waktu itu penyengker keliling Pura Agung Jagatnatha juga telah dapat diselesaikan. Pada tanggal 21 Mei 1970, bertepatan dengan Hari Purnamaning Sasih Jyestha, yang merupakan rahina subhadiwasa tegak pawedalan Pura Agung Jagatnatha, lagi dilaksanakan persembahan dan pemujaan pujawali (pawedalan) Alit yang kedua kalinya (Linus, Ketut 2003:55). Selanjutnya, dari tanggal 17 Agustus 1970 sampai dengan bulan November 1970 pekerjaan pembangunan unsur dan struktur bangunan Pura Agung Jagatnatha Bale Pelik Sari (Kiwa Tengen) di depan Padmasana dan sebuah Bale Kulkul. Dana pembangunan Pura Agung Jagatnatha sampai selesainya sampai tahap seperti itu, seluruhnya berasal dari dana punia, antara lain : Panglima Kodam XVI Udayana, Kol. TNI. Soepardi, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali dan parabhakta dari mana pun mereka berdaa pada waktu itu. Demikian pula, walau pun sebagai Undagi Maranggi dan Sangging Marangggi yang tetap bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan pembangunan Pura Agung Jagatnatha dan sekaligus sebagai perancang unsur dan struktur jajar kemiri bangunan palinggih Pura Agung Jagatnatha pada waktu itu tetap adalah Anak Agung Ketut Anggara tetapi banyak pula Undagi dan Sanggging Maranggi sekarang dari Kabupaten Gianyar yang ikut ngayah. Termasuk Sangging dan Undagi dari Desa Pakraman Denpasar dan sekitarnya. Termasuk pengayah pengerombo, adalah Krama Banjar dari beberapa Banjar, Desa Pakraman Denpasar, dibantu oleh pegawai negeri karyawan swasta, para mahasiswa yang ada di lingkungan kota Denpasar. Juga tidak terlupakan adalah yang berasal dari prajurit TNI di jajaran /kodam XVI Udayana (Linus, Ketut 2003:57). Secara sepintas telah dikemukakan bahwa konsep dan ide membangun Pura Agung Jagatnatha oleh para pemrakarsa dan sesepuh sejak tahun 1963 dan baru terwujud di sekitar tahun 1970, disamping sebagai usaha mengimplementasikan dan mewujudnyatakan butir-butir buah pikiran yang telah ditetapkan dan diputuskan dalam pesamuhan Parisada Dharma Hindu Bali di Campuhan Ubud pada tanggal 20 November 1961, empat puluh dua tahun lalu, juga merupakan usaha para pemrakarsa, pemikiran, sesepuh pada waktu itu di kota Denpasar dapat dibangun sepelebahan pura yang terlepas dari beberapa karakter pura-pura di Bali yang cendrung mengkling para pemedek (yang
bukan klen, watu wit, yang bukan Krama Desa Adat yang bukan seprofesi) tidak akan melakukan pemuspan dan persembahyangan di suatu pura yang memiliki kekhasan karakter itu, sehingga perlu dibangun pura yang lebih umum sifatnya, siapa saja boleh memedek untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan di pura umum itu, seperti aksistensi Pura Agung Jagatnatha (Linus, Ketut 2003:58). Walaupun melalui proses yang agak panjang, apa yang menjadi ide, cita-cita para pemrakarsa,pemikir, sesepuh yang membangun Pura Agung Jagatnatha, diakui atau tidak, jelas-jelas sudah berhasil. Pada era sekarang, Pura Agung Jagatnatha merupakan tempat memuja Hyang Widhi bagi anak-anak siswa SMP dan SMA, para Mahasiswa, Para Pegawai Negeri, Karyawan, Swasta, dan masyarakat umum, terutama pada waktu Hari Saraswati, Puja malam Siwaratri dan yang paling ramai adalah pada waktu hari-hari Purnama-Tilem. Demikian pula pada hari-hari suci tertentu, masyarakat kota Denpasar yang berasal dari suatu Desa Pakraman di Bali kalau tidak sempat pulang ke desa untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan bersama keluarganya mereka cukup memedek melakukan pemuspan dan persembahyangan dari Pura Agung Jagatnatha saja. Inilah kedudukan dan fungsi umum Pura Agung Jagatnatha yang sekaligus sebagai pura yang berkedudukan dan berstatus Pura Khayangan Jagat. Pada waktu Hari Raya Galungan dan Kuningan pun yang merupakan Rehahinan Gumi, yang dirayakan sebagai Hari Raya Kemenangan Dharma mengalahkan Adharma dan permohonan peningkatan kejayaan Dharma, para pemedek selalu memenuhi Pura Agung Jagatnatha untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan. Lebihlebih dimalam hari. Bahkan tidak jarang Pura Agung Jagatnatha menjadi tempat Penjagran, bukan pada waktu pejagran di prawanining Tilem Kapitu saja, saat merayakan Malam Siwa Yang Kudus. Pajagran selalu dilaksanakan setiap saat oleh perseorangan secara individual ataupun secara berkelompok. Karena sekalipun kota Denpasar semakin hiruk pikuk, tetapi kalau majagra di Pura Agung Jagatnatha lebih-lebih pada waktu hari-hari suci tertentu akan didapatkan juga ketenangan bhatin. Inilah keistimewaan suasana Pura Agung Jagatnatha. Sekalipun berlokasi ditengahtengah kota Denpasar yang hiruk pikuk, tetapi dapat memberikan ketenangan bhatin saat majagra ataupun saat melakukan perenungan setiap saat diwaktu malam hari. Akhir-akhir ini Pura Agung Jagatnatha sering digunakan untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan untuk mencapai goals yang lebih global oleh kelompok-kelompok tertentu (Wawancara dengan Jero mangku Mia pada tanggal 5 Mei 2014). Demikian pula kenyataan yang sangat penting untuk dikemukakan adalah Pura Agung Jagatnatha setiap tahun digunakan untuk mempersiapkan Persembahan dan pemujaan Tawur Kesanga yang dilaksanakan pada waktu rahina Caitramasa di lapangan Puputan Badung dan Catuspata sebagai warisan kerajaan Badung, Catuspata dipatung catur muka adalah merupakan Catuspata yang tak terpisahkan dari eksistensi Pura Denpasar yang berlokasi di Rumah Jabatan Gubernur Bali (sekarang). Karena Catuspata itulah yang patut kaparisudha (disucikan) dalam kerangka pemujaan dan persembahan Upacara Bhutayajnya, Tawur Kesanga di Lapangan Puputan Badung pada Pacaitramasa atau Tileming Sasih Kasanga itu. Di Denpasar yang akan memohon Tirtha dan Nasi Tawur setelah pemujaan dan persembahan Tawur Agung Kesanga di Lapangan Puputan Badung selesai dilaksanakan. Demikian secara faktual keberhasilan para pemrakarsa, para pemikir, dan sesepuh Umta Hindu membangun Pura Agung Jagatnatha yang memiliki multi dimensi fungsi keagamaan yang dicita-citakan oleh para tokoh Umat Hindu tempo dulu. Sebagai pura umum yang berkedudukan dan berstatus Pura Khayangan Jagat, Penyungsung dan Pengiwi Pura Agung Jagatnatha adalah masyarakat Umat Hindu secara umum. Dari mana pun mereka berasal, siapapun mereka, kalau ingin memedek untuk melakukan pemuspan dan persembahyangan ke Pura Agung Jagatnatha boleh-boleh saja. Bahkan itu adalah
merupakan salah satu butir pikiran sekaligus merupakan tujuan penting pembangunan Pura Agung Jagatnatha, sehingga masyarakat umat Hindu pada umumnya tidak terjebak atau tidak terkapling oleh berbagai karakter dan kekhasan suatu pura yang merupakan kenyataan faktual di Bali. Sering timbul pertanyaan dari kalangan masyarakat yang diduga masih terjebak oleh sistem berpikir yang berlatar belakang sosiologis sekaligus yang masih hidup dan didukung oleh masyarakat Bali pada umumnya. Pertanyaan itu adalah siapa sebagai Pangemong, Pangempon dan Krama Pemaksan Pura Agung Jagatnatha. Dulu sebagai pangempon dan pengamong Pura Agung Jagatnatha seperti telah dikemukakan secara sepintas adalah Panitia Hari Raya (PAHARA) HINDU yang Kepala Daerah Tingkat I Bali dan sebagai penyiwi Pura Agung Jagatnatha itu adalah seluruh umat Hindu baik yang berada di kota Denpasar dan sekitarnya maupun seluruh umat Hindu yang berasal dari berbagai daerah. Hari Subhadiwasa pujawali (pawedalan) Pura Agung Jagatnatha jatuh pada setiap Hari Purnamaning Sasih Jyesta, setiap tahun sekali. Dana untuk pelaksanaan persembahan dan pemujaan di Hari subhadiwasa pujawali (pawedalan) di Pura Agung Jagatnatha dulu diurus dan ditangani oleh PAHARA yang bersumber dari bantuan Pemerintah Daerah Propinsi Bali dan juga bantuan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Tetapi, sesuai dengan informasi yang disampaikan kepada penulis dari sumber yang layak dipercaya, bahwa dana-dana untuk kegiatan keagamaan di Pura Agung Jagatnatha sekarang sepenuhnya ditangani dan diselenggarakan oleh pemerintah Daerah Kota Denpasar (Linus, Ketut 2003). Mandala Pura Agung Jagatnatha tidak terdiri dari Trimandala seperti unsur dan struktur mandala pura-pura pada umumnya di Bali. Nistamandala, Madyamandalanya tidak ada. Bahkan Madyamandalanya adalah langsung Jalan Mayor Wisnu di sebelah timur Lapangan Puputan Badung. Unsur mandala seperti itu karena memang lokasi Pura Agung Jagatnatha yang dibangun dibekas tugu disebelah utara Museum Bali, situasi dan kondisinya memang demikian. Sehingga, karena situasi dan kondisi lokasi Pura Agung Jagatnatha seperti itu, kalau ada kegiatan keagamaan, Jalan Mayor Wisnu yang seyogyanya menjadi areal Madyamandala dipenuhi oleh para pemedek yang akan melakukan kegiatan dan aktivitas keagamaan di pura tersebut (hasil wawancara dengan Jero mangku Mia, pada tanggal 5 Mei 2014). Bahkan, banyak diantara pemedek duduk-duduk atau menunggu teman, keluarga, yang belum selesai melakukan kegiatan keagamaan atau setelah melakukan pemuspan dan persembahyangan di utamandala Pura Agung Jagatnatha. Situasi seperti ini lebih nampak menonjol terutama pada waktu persembahyangan dan pemujaan Upacara Bhutayajya, Tawur Kesanga sehari sebelum Hari Raya Nyepi, pergantian Tahun baru Saka. Situasinya ramai, karena yang datang melakukan pamuspan dan persembahyangan mohon nasi tawur, ulam tawur dan tirtha tawur (kalau pada waktu dulu) seluruh utusan Desa Pakraman Se- Kabupaten Badung dan Desa Pakraman di Kota Denpasar. Waktu belakangan ini, walaupun yang mohon nasi tawur, ulam tawur dan tirtha tawur hanya utusan Desa Pakraman di Kota Denpasar saja, keramaian tidak berkurang. Lebih-lebih pada waktu persembahyangan di hari-hari suci seperti hari Purnama-Tilem, Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Saraswati Puja, Malam Siwaratri, keramaian semakin bertambah, sampai para pemedek yang melakukan pamuspan dan persembahyangan antre, menunggu secara bergiliran dengan tertib sehingga walaupun situasi ramai sekali, suasana khidmat, khusuk dan tertib tetap terjaga. Demikian situasi dan kondisi Pura Agung Jagatnatha sebagai tempat suci di sentrum kota Denpasar pada masa sekarang, sehingga cita-cita para pemrakarsa, pemikiran dan para sesepuh masyarakat umat Hindu membangun keagamaan, seni budaya dan aspek-aspek kehidupan agama, adat dan budaya pada umumnya telah berhasil dan selaras dengan cita-cita yang telah
dicanangkan pada waktu dulu (Linus, Ketut 2003:63). Sejarah SMPN 1 Denpasar SMPN 1 Denpasar terletak di Jalan Surapati Denpasar. Menurut sejarah bangunan sekolah ini telah ada sejak zaman pemerintahan Belanda. Pada masa itu bangunan ini digunakan sebagai salah satu gedung pemerintahan Belanda dan juga sebagai sekolah bagi kaum bangsawan. Bangunan ini telah mengalami tiga zaman yaitu zaman pemerintahan Belanda, Jepang dan juga Inggris (wawancara dengan bapak Rimbya Temaja, tanggal 5 Mei 2014). Sekarang bangunan ini masih berdiri dengan kokohnya di tengah-tengah kota Denpasar. Bangunan ini juga telah mengalami berbagai tahap renovasi sehingga menjadi lebih cantik dan menawan. Selain itu di SMPN 1 Denpasar sistem pembelajarannya pun lebih maju dan modern. SMPN 1 Denpasar telah banyak melahirkan siswa-siswa berprestasi dan telah banyak pula menjuarai berbagai macam perlombaan baik di tingkat kabupaten, provinsi, nasional, maupun di tingkat internasional. Hingga saat ini SMPN 1 Denpasar merupakan sekolah terfavorit di Bali (http//smpn-1 dps.com). Selain itu, SMPN 1 Denpasar lokasinya sangat strategis dari Kota Denpasar. Sekolah ini juga bersebelahan dengan Pura Agung Jagatnatha. Karena lokasi yang bersebelahan inilah memudahkan siswa siswi SMPN 1 Denpasar untuk melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha. Tidak hanya pada saat Purnama-Tilem, tetapi setiap pagi sebelum melakukan proses pembelajaran, maka siswa siswi SMPN 1 Denpasar akan melakukan persembahyangan dahulu di Pura tersebut. Tidak ada kewajiban dari pihak sekolah, siswa siswilah yang berinisiatif melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha. Hal ini sangat baik untuk menanamkan pendidikan karakter di kalangan siswa siswi melalui kegiatan persembahyangan. 2. Mengapa Siswa Siswi SMPN 1 Denpasar melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha Jika kita melihat rutinitas persembahyangan yang dilakukan siswa siswi SMPN 1 Denpasar setiap Purnama Tilem atau sehari hari di Pura Agung Jagatnatha, tampaknya ini merupakan sebuah fenomena yang sangat bagus sekali untuk dikaji lebih dalam. Karena di jaman Globalisasi ini Pendidikan Budi Pekerti dan Pendidikan Karakter melalui kegiatan Spritual diharapkan mampu merubah mental anak didik ke arah yang lebih baik. Saat banyak sekolah sekolah mencanangkan hal tersebut, penulis mengamati bahwa sekolah SMPN 1 Denpasar dan khususnya siswa siswinya sudah mampu menuju kearah perubahan yang baik tersebut. Setelah penulis melakukan observasi dan survey langsung ke Pura Agung Jagatnatha dan SMPN 1 Denpasar, dan melakukan wawancara oleh beberapa pihak siswa siswi SMPN 1 Denpasar dan jero mangku Pura Agung Jagatnatha, adapun beberapa kesimpulan yang bisa penulis paparkan dalam menjawab rumusan masalah pertama yaitu, mengapa siswa-siswi SMPN 1 Denpasar melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha Denpasar : Siswa Siswi SMPN 1 Denpasar percaya adanya Tuhan Di dalam badan manusia terdapat hati spiritual, dan dalam hati itu ada jiwa (Tuhan). Jiwa inilah yang menjadi sutradara yang menulis kehidupan ini baik ataupub buruk, kebajikan, dan doa. Tuhan ada dimana mana termasuk dalam bangunan suci yang terbuat dari batu, kayu ataupun sebagainya. Bangunan suci seperti itu di yakini sebagai tempat tinggal Tuhan (Tuhan hadir di tempat tersebut). Maka dari itulah mengapa orang orang berbondong-bondong datang ke tempat suci tersebut sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing untuk memuja-nya karena hanya ditempattempat suci itulah mereka dapat bertemu dan berkomunikasi lebih intens secara bathin dengan Tuhan. Beliau selalu melayani semua dar mereka yang datang menghadap-nya (Yupardhi, 2012). Letak Pura Agung Jagatnatha berdampingan dengan SMPN 1 Denpasar Seperti yang kita ketahui, Lokasi Pura Agung Jagatnatha Denpasar, bersebelahan
dengan SMPN 1 Denpasar. Karena lokasi yang berdekatan itulah memudahkan siswa siswi SMPN 1 Denpasar yang beragama Hindu melakukan persembahyangan di pura tersebut. Mendapat Ketenangan lahir dan bathin dengan melakukan persembahyangan. Sembahyang dalam hidup keseharian sering disebut dengan Mebhakti atau Muspa. Disebut dengan Mebhakti karena inti dari sembahyang adalah untuk mengungkapkan rasa bhakti yang setulus-tulusnya kepada Tuhan. Disebut dengan Muspa karena sarana pokok yang digunakan adalah bunga atau puspa. Adapun manfaat dari pelaksanaan sembahyang adalah : 1. Dapat meningkatkan kesucian hati dan pikiran 2. Dapat menumbuhkan keikhlasan Anjuran dari Sekolah setiap Purnama Tilem menggunakan pakaian adat bagi yang beragama Hindu Seperti yang kita ketahui bahwa SMPN 1 Denpasar maupun sekolah-sekolah lainnya yang ada di kota Denpasar sudah mencanangkan atau menganjurkan agar siswa siswi mereka yang beragama hindu untuk menggunakan pakaian adat sembahyang ke sekolah. Karena sebelum mereka melakukan kegiatan pembelajaran, terlebih dahulu mereka akan melakukan kegiatan persembahyangan bersama dengan para guru, pegawai, dan Kepala Sekolah. Khusus untuk siswa siswi SMPN 1 Denpasar, setiap Purnama Tilem mereka melakukan kegiatan persembahyangan bersama di parahyangan sekolah maupun di Pura Agung Jagatnatha. Dan di Pura tersebut juga sudah siap beberapa orang sulinggih atau jero mangku yang menuntun mereka selama melakukan persembahyangan. 3. Tata cara persembahyangan yang dilakukan oleh siswa-siswi SMPN 1 Denpasar setiap Purnama-Tilem dan hari-hari biasa. Tata cara persembahyangan yang dilakukan siswa siswi SMPN 1 Denpasar itu dibedakan menjadi 2, yaitu tata cara saat melakukan kegiatan persembahyangan rutin sehari hari dan ritual saat Purnama Tilem. Seperti halnya bakti yang dilakukan siswa siswi SMPN 1 Denpasar yaitu dengan melakukan persembahyangan ke Pura Agung Jagatnatha sehari hari. Sebelum melakukan pembelajaran, mereka beramai ramai dengan teman teman mereka melakukan persembahyangan dengan tata cara persembahyangan yang sederhana. Mereka biasanya membawa Canang Ceper sendiri dari rumah beserta dupanya. Jika lupa membawa canang, biasanya mereka memakai Canang Ceper yang sudah disediakan di Pura Agung Jagatnatha. Untuk pakaian, mereka menggunakan seragam sekolah dan memakai selendang saja pada saat melakukan persembahyangan. Dan mereka melakukan persembahyangan masing masing tanpa dituntun oleh seorang sulinggih (Yupastra, 2012). Saat Purnama Tilem, sudah siap beberapa orang Sulinggih yang menuntun siswa siswi saat melakukan persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha. Alat persembahyangan yang digunakan pun sudah harus lebih lengkap yaitu membawa Canang Sari, Dupa, Kwangen, dan berpakaian adat ke Pura. Dan sebelum masuk ke areal Pura hendaknya melukat terlebih dahulu dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan mohon ijin secara niskala. 4. Nilai nilai karakter apa yang ditanamkan melalui kegiatan persembahyangan Dalam melakukan persembahyangan, sesorang tidak hanya berdoa memohon keselamatan. Namun makna yang lebih dalam adalah sejauh mana orang tersebut mampu mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam agama yang diyakininya tersebut. Tujuan daripada agama adalah membentuk manusia yang berakhlak, mampu mengontrol diri, dan berperilaku yang baik sesuai norma yang berlaku. Tujuan daripada agama ini sangat erat kaitannya daripada tujuan pendidikan karakter itu sendiri. Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri seseorang dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu (Asmani, 2011:42-43). SIMPULAN
Pura Agung Jagatnatha berlokasi di pusat kota Denpasar, tepatnya, di Jalan Mayor Wisnu, di sebelah timur Lapangan Puputan Badung, dan atau di sebelah selatan Jalan Hayam Wuruk. Pura ini berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat, yang menjadi sungsungan dan penyiwian masyarakat Hindu, dari manapun mereka berasal (Linus, Ketut 2003). Pura ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat religius, namun juga berfungsi sebagai media pendidikan. Hal ini beranjak dari fenomena berbagai kasus yang tidak sejalan dengan etika, moralitas, sopan santun atau perilaku yang menunjukkan rendahnya karakter dalam masyarakat. Arus Globalisasi menyebabkan masyarakat kehilangan jati diri. Disinilah penulis sangat tertarik untuk meneliti Pura Agung Jagatnatha dalam perspektif Pendidikan Karakter bagi siswasiswi SMPN 1 Denpasar. Karena penulis mengamati, siswa siswi SMPN 1 Denpasar rutinitas melakukan persembahyangan baik sehari hari maupun setiap Purnama Tilem di Pura Agung Jagatnatha. Karena melakukan persembahyangan merupakan Implementasi juga dalam menerapkan atau menanamkan nilai nilai karakter yang baik dalam diri siswa siswi tersebut. Persembahyangan adalah suatu kegiatan yang terarah dimana dalam persembahyangan akan mewujudkan manusia yang berkarakter mulia melalui media pura sebagai tempat suci. Dalam melakukan persembahyangan, sesorang tidak hanya berdoa memohon keselamatan. Namun makna yang lebih dalam adalah sejauh mana orang tersebut mampu mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam agama yang diyakininya tersebut. Tujuan daripada agama adalah membentuk manusia yang berakhlak, mampu mengontrol diri, dan berperilaku yang baik sesuai norma yang berlaku. Tujuan daripada agama ini sangat erat kaitannya daripada tujuan pendidikan karakter itu sendiri. Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri seseorang dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu (Asmani, 2011:42-43). KATA PERSEMBAHAN Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof.Dr Nengah Bawa Atmadja,M.A selaku pembimbing 1 yang telah banyak memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran sehingga penulis bisa menyusun artikel ini dengan tepat waktu. Dan juga kepada Bapak Dr. I Wayan Mudana, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan masukan dalam penulisan ini. DAFTAR RUJUKAN Agus, Bustanuddin. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Arwati, Made Sri. 2006. Sembahyang Ke Tempat Suci. Denpasar: Umat Se- Dharma Hindu. Asmani, Jamal Ma mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press. Atmadja, Nengah Bawa. 2010. Ajeg Bali Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Suprapta, I Nyoman. 2012. Pura Jagatnatha Ring Denpasar. Denpasar: Sanggar Sunari. Sura, I Gede.1994. Agama hindu Sebuah Penghantar. Denpasar: CV Kayu Mas Agung. Wardi, Nyoman. 2008. Makna Tata Ruang Parhyangan Sebagai Warisan Budaya. Denpasar: Ikatan Arsitek Indonesia Daerah Bali. Wiana, Ketut. 1992. Sembahyang Menurut Hindu. Denpasar: Percetakan Offset BP Sumber Website: Anonim. 2012. Pengertian Pendidikan Karakter. Terdapat pada http:// www. erlangga. co.id/umum/7405- pendidikan-karakter-peransekolah dan-keluarga-.html). Diunduh tanggal 27 April 2014.
-----, 2012. Pengalaman dan Motivasi. Terdapat pada (http://fafaquetezee.blogspot.com/2012/ 06/pengalaman-dan-motivasiberagama-dan.html). Diunduh tanggal 4 Juni 2014.