BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tekanan internal maupun eksternal (Vesdiawati dalam Cindy Carissa,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

Studi Komparatif Mengenai Resiliensi Remaja Korban Sodomi di Desa X dan di Desa Y Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

BAB I PENDAHULUAN. laku serta keadaan hidup pada umumnya (Daradjat, 1989). Pendapat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga. Melalui perkawinan dua insan yang berbeda disatukan, dengan

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari (Reivich &

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

HAK ASUH ANAK DALAM PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

A. Remaja. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata latin adolescere yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI. Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. untuk mampu melakukan tugas rumah tangga. Kepala keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB II LANDASAN TEORI

LAMPIRAN A SKALA PENELITIAN SEBELUM UJI COBA. 1. Skala Tawakal ( I ) 2. Skala Adversity Quotient ( II )

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB I PENDAHULUAN. disediakan oleh pemerintah untuk menampung orang-orang yang melanggar

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Resiliensi ( Resilieance ) Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, egoresilience adalah a personality resource that allows individual to modify their characteristic level and habitual mode of expression of ego-control as the most adaptively encounter, function in and shape their immediate and long term environmental context. (Block, dalam Klohnen, 1996, hal.45). Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua 12

peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait. Menurutnya, trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan kehidupan. Individu yang mempunyai intelegensi yang baik, mudah beradaptasi, social temperament, dan berkepribadian yang menarik pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten pada penghargaan diri sendiri, kompetensi, dan perasaan bahwa ia beruntung. Individu tersebut adalah individu yang resilien. Resiliensi pada individu didefinisikan oleh Grotberg (dalam Schoon, 2006) sebagai kapasitas manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan bahkan berubah akibat pengalaman traumatik tersebut. Ketika orang yang resilien mendapatkan gangguan dalam kehidupan, mereka mengatasi perasaan mereka dengan cara yang sehat. Mereka membiarkan diri mereka untuk merasakan duka, marah, kehilangan, dan bingung ketika merasa tersakiti dan distress, akan tetapi mereka tidak membiarkan hal tersebut menjadi perasaan yang permanen (Siebert, 2005). Resiliensi merupakan proses mengembangkan kapasitas untuk bertahan dalam menghadapi tantangan fisik, sosial, dan emosional (Glantz & Johnson, 1999). Beberapa dari individu yang resilien tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Mereka akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi. 13

Sehingga, pada akhirnya mereka akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005). Grotberg (1995), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan. Resiliensi disebut juga oleh Wolin & Wolin (dalam Bautista, Roldan & Bascal, 2001), sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair). Lazarus (dalam Tugade & Fredrikson, 2004), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpaan tersebut bisa diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif. Banaag (2002), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan melunakkan kesulitan hidup individu. 14

Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner). 2.1.1 Domain resiliensi Menurut Reivich dan Shatte (2002), terdapat tujuh domain yang membangun resiliensi, yaitu aspek regulasi emosi, impuls kontrol, optimisme, analisis kausal, empati, self-efficacy, dan reaching out. a. Emotion Regulation Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang saat berada di bawah tekanan. Individu yang resilien menggunakan sekumpulan keterampilan dengan baik yang dapat membantu mereka untuk mengontrol emosi, perhatian, dan perilaku mereka. Self-regulated merupakan hal yang penting dalam membentuk kedekatan, sukses di pekerjaan dan membantu pemeliharaan kesehatan fisik seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan pertemanan. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam alasan di antaranya adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. 15

Emosi yang dirasakan seseorang cenderung menular kepada orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan dan rasa cemas maka kita juga akan semakin menjadi seseorang yang pemarah dan mudah cemas. Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol. Tidak semua rasa marah, sedih, gelisah, dan rasa bersalah harus diminimalisir ataupun ditahan. Hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Beberapa individu cenderung untuk lebih sering mengalami rasa gelisah, sedih, dan marah daripada orang yang lainnya. Ketika mereka kecewa, mereka kesulitan untuk mengembalikan emosi menjadi positif seperti semula. Mereka sering terpaku pada rasa marah, sedih, dan gelisahnya sehingga mereka menjadi kurang efektif dalam memecahkan dan mengatasi masalah yang muncul. Mereka pun biasanya merasa kesulitan mencari pertolongan orang lain dan mengutip pembelajaran dari suatu kejadian ketika mereka sedang dikuasai oleh emosi mereka tersebut (Reivich & Shatte, 2002). Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat memudahkan individu dalam meningkatkan regulasi emosi, yaitu calming (tenang) dan focusing (fokus). Dua buah keterampilan ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, memfokuskan pikiran 16

individu ketika muncul banyaknya hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu. a.1. Calming (Tenang) Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun begitu, seorang individu tidak akan mampu menghindar dari keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang. Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol jumlah stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk relaksasi dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang, yaitu dengan mengontrol pernafasan, relaksasi otot serta dengan menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu tempat yang tenang dan menyenangkan. a.2 Focusing (Fokus) Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada memudahkan individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Setiap permasalahan yang ada akan berdampak pada timbulnya permasalahanpermasalahan baru. Individu yang fokus mampu untuk menganalisa dan membedakan antara sumber permasalahan yang sebenarnya dengan masalahmasalah yang timbul sebagai akibat dari sumber permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang 17

ada. Hal ini tentunya akan mengurangi stres yang dialami oleh individu (Reivich & Shatte, 2002). b. Impulse Control Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich & Shatte, 2002). Individu dengan pengendalian impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran impulsifnya yang pertama mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak sesuai dengan situasi tersebut. Sedangkan individu dengan pengendalian impuls yang tinggi dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002) pencegahan dapat dilakukan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya sendiri, seperti apakah 18

penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi berdasarkan fakta atau hanya menebak? apakah saya sudah melihat permasalahan secara keseluruhan? apakah manfaat dari semua ini? dan sebagainya. Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan kemampuan regulasi resilience quotient emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki skor resilience quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte). c. Optimism Individu yang resilien biasanya memiliki sifat optimis. Mereka percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Individu yang optimis memiliki harapan terhadap masa depan mereka dan mereka percaya bahwa mereka lah pemegang kendali atas arah hidup mereka. Individu yang optimis memiliki kesehatan yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung pesimis. Menurut Siebert (2005) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dan ekspektasi kita dengan kondisi kehidupan yang dialami individu. Peterson dan Chang (dalam Siebert, 2005) mengungkapkan bahwa optimisme sangat terkait dengan karakteristik yang diinginkan oleh individu, kebahagiaan, ketekunan, prestasi, dan kesehatan. Individu yang optimis percaya bahwa situasi yang sulit suatu saat akan berubah menjadi situasi yang lebih baik. 19

Sebagian individu memiliki kecenderungan untuk optimis dalam memandang hidup ini secara umum, sementara sebagian invidu yang lain optimis hanya pada beberapa situasi tertentu (Siebert, 2005). Optimisme bukanlah sebuah sifat yang terberi melainkan dapat dibentuk dan ditumbuhkan dalam diri individu (Siebert, 2005). Optimisme menandakan bahwa adanya keyakinan bahwa kita mempunyai kemampuan untuk mengatasi kemalangan atau ketidakberuntungan yang mungkin terjadi di masa depan tersebut. Hal ini juga merefleksikan self efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Reivich & Shatte (2002) mengemukakan individu yang optimis mampu memprediksi masa depan dengan akurat pada masalah potensial yang akan muncul dan membangun strategi untuk mencegah dan mengatasi masalah yang terjadi. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada seseorang akan mendorong individu untuk mampu menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002). Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. 20

Berbeda dengan unrealistis optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya. Pada kenyataannya unrealistic optimism akan membuat individu mengabaikan ancaman yang sebenarnya yang perlu mereka antisipasi. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self efficacy adalah kunci resiliensi dan kesuksesan. d. Causal Analysis Causal analysis merupakan istilah yang digunakan untuk mengartikan sebuah kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat. Analisis kausal digunakan individu untuk mencari penjelasan dari suatu kejadian. Jika kita tidak mampu memperkirakan penyebab masalah dengan akurat, maka kita akan membuat kesalahan yang sama secara terus-menerus. Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya berpikir explanatori yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka. Gaya berpikir ini erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya berpikir saya-selalu-semua merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari dirinya sendiri (saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (selalu), serta permasalahan yang ada tidak dapat diubah (semua). Sementara individu yang 21

memiliki gaya berpikir bukan saya-tidak selalu-tidak semua meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (bukan saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (tidak selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada selalu-semua tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi dan mengubah situasi. Mereka akan menyerah dan putus asa. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir tidak selalu-tidak semua dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Individu yang resilien mempunyai fleksibilitas kognitif dan dapat mengidentifikasi seluruh penyebab signifikan dari kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga selfesteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). 22

e. Empathy Menurut Reivich & Shatte (2002) dikatakan bahwa empati mencerminkan kemampuan individu membaca tanda dari kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tandatanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Individu dengan empati yang renadah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002). Dengan kemampuan individu dapat memahami bagaimana menghadapi orang lain sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang baik (Reivich & Shatte, 2002). Sedangkan ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. 23

f. Self-efficacy Efikasi diri merepresentasikan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialami dengan efektif dan keyakinan akan kemampuan untuk sukses. Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap self efficacy mereka akan selalu tertinggal dari yang lain dan terlihat ragu-ragu. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting sebagai untuk mencapai resiliensi. g. Reaching out Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari kemalangan yang menimpa dirinya. Resiliensi membantu untuk meningkatkan aspek positif dalam kehidupan kita. Resiliensi merupakan sumber dari kemampuan untuk menggapai sesuatu yang lebih (reaching out) dimana orang lain cenderung tidak dapat melakukannya. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individuindividu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Mereka menganggap gagal ketika melakukan sesuatu lebih 24

buruk daripada gagal sebelum mencoba. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihan-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini dikenal dengan istilah self-handicapping, dan secara tidak sadar membatasi diri mereka sendiri. Individu seperti ini cenderung berlebihan (overestimate) dalam melihat kemungkinan kegagalan yang akan mendatangkan bencana besar. Reaching Out adalah kemampuan seseorang untuk menemukan dan membentuk suatu hubungan dengan orang lain, untuk meminta bantuan, berbagi cerita dan perasaan, untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah baik personal maupun interpersonal atau membicarakan konflik dalam keluarga (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Reivich & Shatte (2002), resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi. 2.2 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi 25

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi). Grotberg (1995), mengemukakan faktor-faktor resiliensi yang diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. I Am, I Have, I Can merupakan karakteristik untuk meningkatkan resiliensi dari the principal investigator of the Internasional Resilieance Project (Grotberg, 1995). a. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri, seperti perasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang terdapat dalam diri seseorang. Faktor I Am terdiri dari beberapa bagian antara lain bangga pada diri sendiri, perasaan dicintai dan sikap yang menarik, individu dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan, mencintai, empati dan altruistic, yang terakhir adalah mandiri dan bertanggung jawab. Berikut ini, akan dijelaskan satu persatu mengenai bagianbagian dari faktor I Am. 26

a.1 Bangga pada diri sendiri Individu tahu bahwa mereka adalah seorang yang penting dan merasa bangga akan siapakah mereka itu dan apapun yang mereka lakukan atau akan dicapai. Individu itu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkan mereka. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. a.2 Perasaan dicintai dan sikap yang menarik Individu pasti mempunyai orang yang menyukai dan mencintainya. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. Bagian yang lain adalah dipenuhi harapan, iman, dan kepercayaan. Individu percaya ada harapan bagi mereka, serta orang lain dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan mana yang benar maupun salah, dan ingin ikut serta di dalamnya. Individu mempunyai kepercayaan diri dan iman dalam moral dan kebaikan, serta dapat mengekspresikannya sebagai kepercayaan terhadap Tuhan dan manusia yang mempunyai spiritual yang lebih tinggi. a.3 Mencintai, empati, altruistic Ketika seseorang mencintai orang lain dan mengekspresikan cinta itu dengan berbagai macam cara. Individu peduli terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan melalui berbagai perilaku atau kata-kata. 27

Individu merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk menghentikan atau berbagi penderitaan atau memberikan kenyamanan. a.4 Mandiri dan bertanggung jawab Individu dapat melakukan berbagai macam hal menurut keinginan mereka dan menerima berbagai konsekuensi dan perilakunya. Individu merasakan bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. b. I Have Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah : b.1 memberi semangat agar mandiri, Dimana individu baik yang independen maupun masih tergantung dengan keluarga, secara konsisten bisa mendapatkan pelayanan seperti rumah sakit, dokter, atau pelayanan lain yang sejenis. b.2 Struktur dan aturan rumah, Setiap keluarga mempunyai aturan-aturan yang harus diikuti, jika ada anggota keluarga yang tidak mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan 28

penjelasan atau hukuman. Sebaliknya jika anggota keluarga mematuhi aturan tersebut maka akan diberikan pujian. b.3 Role Models Orang-orang yang dapat menunjukkan apa yang individu harus lakukan seperti informasi terhadap sesuatu dan memberi semangat agar individu mengikutinya. b.4 Mempunyai hubungan. Orang-orang terdekat dari individu seperti suami, anak, orang tua merupakan orang yang mencintai dan menerima individu tersebut. Tetapi individu juga membutuhkan cinta dan dukungan dari orang lain yang kadangkala dapat memenuhi kebutuhan kasih sayang yang kurang dari orang terdekat mereka. c. I Can Faktor I Can adalah kompetensi sosial dan interpersonal seseorang. Bagianbagian dari faktor ini adalah : c.1 Mengatur berbagai perasaan dan rangsangan Dimana individu dapat mengenali perasaan mereka, mengenali berbagai jenis emosi, dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan tingkah laku namun tidak menggunakan kekerasan terhadap perasaan dan hak orang lain maupun diri sendiri. Individu juga dapat mengatur rangsangan untuk memukul, kabur, merusak barang, atau melakukan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. 29

c.2 Mencari hubungan yang dapat dipercaya Dimana individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. c.3 Keterampilan berkomunikasi Dimana individu mampu mengekspresikan berbagai macam pikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengar apa yang orang lain katakan serta merasakan perasaan orang lain. c.4 Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain Dimana individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. c.5 Kemampuan memecahkan masalah Individu dapat menilai suatu masalah secara alami serta mengetahui apa yang mereka butuhkan agar dapat memecahkan masalah dan bantuan apa yang mereka butuhkan dari orang lain. Individu dapat membicarakan berbagai masalah dengan orang lain dan menemukan penyelesaian masalah yang paling tepat dan 30

menyenangkan. Individu terus-menerus bertahan dengan suatu masalah sampai masalah tersebut terpecahkan. Setiap faktor dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi, misalnya individu yang mampu berkomunikasi dengan baik (I Can) tetapi ia tidak mempunyai hubungan yang dekat dengan orang lain (I Have) dan tidak dapat mencintai orang lain (I Am), ia tidak termasuk orang yang beresiliensi. Pada dasarnya proses resiliensi merupakan hasil kombinasi dari faktor faktor I have, I am dan I can. Ketiga faktor tersebut harus berinteraksi satu sama lain. Setidaknya terdapat lima faktor yang sangat menentukan kualitas interaksi dari I have, I am, dan I can, menurut Grotberg (1999), yaitu : a. Kepercayaan (thrust) Faktor berhubungan dengan bagaimana lingkungan mengembangkan rasa percaya remaja. Perasaan percaya ini akan sangat menentukan seberapa jauh remaja memiliki kepercayaan terhadap orang lain mengenai hidupnya, kebutuhan kebutuhan dan perasaan perasaannyam serta kepercayaan terhadap diri sendiri, terhadap kemampuan, tindakan dan masa depannya. Kepercayaan akan menjadi sumber pertama bagi pembentukan resiliensi pada remaja. Oleh karena itu, bila remaja diasuh dan didik dengan perasaan penuh kasih sayang dan kemudian 31

mampu mengembangan relasi yang berlandaskan keprercayaan, maka akan tumbuh pemahaman darinya bahwa ia dicintai dan dipercaya. Kondisi demikian pada gilirannya akan menjadi dasar bagi seseorang ketika ia berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya secara bebas. b. Otonomi (autonomy) Otonomi adalah faktor yang berkaitan dengan seberapa jauh remaja menyadari bahwa dirinya terpisah dan bebeda dari lingkungan sekitar sebagai kesatuan diri pribadi. Pemahaman bahwa dirinya juga merupakan sosok mandiri yang terpisah dan berbeda dari lingkungan sekitar akan membentuk kekuatan tertentu pada dirinya. Kekuatan tersebut akan sangan menentukan tindakan seseorang didalam menghadapi masalahnya. Oleh sebab itu apabila seseorang diberi kesempatan padanya untuk menumbuhkan otonomi dirinya, maka ia akan memiliki pemahaman bahwa dirinya adalah seseorang yang mandiri, independen. Kondisi demikian akan menjadikan dasar bagi dirinya untuk mampu memecahkan masalah dengan kekuatan dirinya sendiri. c. Inisiatif (Initiative) Inisiatif yaitu faktor ketiga pembentukan resiliensi yang berperan dalam penumbuhan minat seseorang melakukan sesuatu yang baru. Inisiatif juga berperan dalam mempengaruhi remaja mengikuti berbagai macam aktivitas atau menjadi bagian dari suatu kelompok. Dengan inisiatif, seseorang didalam menghadapi kenyataan bahwa dunia adalah lingkungan dari berbagai macam aktivitas, dimana ia dapat mengambil bagian untuk berperan aktif dari setiap 32

aktivitas yang ada. Ketika orang berada dilingkungan yang memberikan kesempatan mengikuti aktivitas, maka orang akan memiliki sikap optimis serta bertanggung jawab. Kondisi ini pada gilirannya juga akan menumbuhkan perasaan mampu seseorang untuk mengemukakan ide kreatifnya. d. Industri (Industry) Industri yaitu faktor resiliensi yang berhubungan dengan pengembangan keterampilan keterampilan berkaitan dengan aktivitas rumah, sekolah, dan sosialisasi. Melalui penguasaan keterampilan tersebut seseorang akan mampu mencapai prestasinya baik di rumah, maupun di lingkungan sosialnya. Dengan prestasi tersebut, akan menentukan penerimaan seseorang di lingkungannya. Bila orang tersebut berada dilingkungan yang memberikan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan keterampilan, maka orang itu akan mengembangkan perasaan bangga terhadap prestasi yang telah dan akan dicapainya. Kondisi demikian pada gilirannya akan menumbuhkan perasaan mampu serta berupaya untuk memecahkan setiap persoalan, atau mencapai prestasi sesuai dengan kebutuhannya. e. Identitas (indentity) Identitas yaitu faktor resiliensi yang berkaitan dengan pengembangan pemahaman remaja akan dirinya sendiri, baik kondisi fisik maupun psikologisnya. Identitas membantu seseorang mendefinisikan dirinya dan mempengaruhi selfimage nya. Identitas ini diperkuat melalui hubungan dengan faktor resiliesi lainnya. Apabila seseorang memiliki lingkungan yang memberikan umpan balik 33

berdasarkan kasih sayang, penghargaan atas prestasi dan kemampuan yang dimilikinya, maka orang tersebut akan menerima dirinya dan orang lain. Kondisi demikian akan menumbuhkan perasaan mampu untuk mengendalikan, mengarahkan, dan mengatur diri, serta menjadi dasar untuk menerima kritikan dari orang lain. 2.2 Konsep Single Mother Semua wanita idealnya tak ada yang mau menjadi single parent. Karena hal itu bukanlah pilihan melainkan satu kondisi yang tidak mudah dihadapi. Namun, pada akhirnya status itu bisa menimpa siapa saja. Entah itu ibu rumah tangga biasa atau wanita karier yang sedang berada di posisi puncak. Status itu bisa terjadi akibat perceraian, pasangan meninggal dunia, atau suami menghilang tidak jelas keberadaannya. Sayap pun terkepak tinggal sebelah, sedangkan kehidupan terus berjalan. Bila seorang ibu tidak kuat dan kokoh maka anak-anaknya akan menderita dan terpuruk. Siap atau tidak siap, menjadi single mother harus dijalani untuk bisa melanjutkan kehidupan ini. Single parent adalah gambaran seorang perempuan tangguh. Segala hal berkenaan rumah tangga ditanggung sendiri. Mulai membereskan rumah, mencari nafkah keluarga, dilakoni sendiri. Dalam posisi ini, seorang wanita diharuskan untuk bisa berperan ganda, menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Tugas pun semakin besar mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak, juga ia harus menjadi tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Semua ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika dialami kaum perempuan yang manja, 34

kurang tangguh, dan sangat bergantung pada orang lain. Terlebih ketika sebelumnya ia sama sekali tidak terbiasa menjalani kehidupan berat, karena selama ini sudah terpenuhi suaminya ketika masih bersama. Pengertian single mother menurut Papalia, dkk (2002) adalah wanita yang ditinggal suami atau pasangannya karena suatu penyebab di antaranya berpisah karena meninggal dunia atau bercerai dan memutuskan tidak menikah karena fokus untuk membesarkan anaknya dengan seorang diri. Sedangkan menurut Anderson dkk (1998), mendefinisikan single mother secara singkat yaitu wanita dewasa yang memutuskan untuk hidup sendiri karena perpisahan. Sebab - sebab terjadinya single parent : 1. Pada keluarga Sah a. Perceraian. Adanya ketidak harmonisan dalam kelurga yang disebabkan adanya perbedaan persepsi atau perselisihan yang tidak mungkin ada jalan keluar, masalahekonomi / pekerjaan, salah satu pasangan selingkuh, kematangan emosional yangkurang, perbedaan agama, aktifitas suami istri yang tinggi di luar rumah sehingga kurang komunikasi, problem seksual dapat merupakan faktor timbulnya perceraian. b. Orang Tua Meninggal. Takdir hidup dan mati manusia di tangan Tuhan. Manusia hanya bisa berdoa dan berupaya. Adapun sebab kematian ada berbagai macam antara lain karena 35

kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, musibah bencana alam, kecelakaan kerja, keracunan, penyakit dan lain-lain. c. Orang Tua Masuk Penjara. Sebab masuk penjara antara lain karena melakukan tindak kriminal seperti perampokan, pembunuhan, pencurian, pengedar narkoba atau tindak perdata seperti hutang, jual beli, atau karena tindak pidana korupsi sehingga sekian lama tindak berkumpul dengan keluarga. d. Studi ke Pulau lain atau ke Negara Lain. Tuntutan profesi orang tua untuk melanjutkan studi sebagai peserta tugas belajar mengakibatkan harus berpisah dengan keluarga untuk sementara waktu, atau bisa terjadi seorang anak yang meneruskan pendidikan di pulau lain atau luar negeri dan hanya bersama ibu saja sehingga menyebabkan anak untuk sekian lama tidak didampingi oleh ayahnya yang harus tetap kerja di negara atau pulau atau kota kelahiran. e. Kerja di Luar Daerah atau Luar Negeri. Cita-cita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi menyebabkan salah satu orang tua meninggalkan daerah, terkadang ke luar negeri. 2. Pada Keluarga Tidak Sah Dapat terjadi pada kasus kehamilan di luar nikah, pria yang menghamili tidak bertanggung jawab. Rayuan manis saat pacaran menyebabkan perempuan 36

terbuai dan terpedaya pada sang pacar. Setelah hamil, tidak dikawini, dan ditinggal pergi sehingga perempuan membesarkan anaknya sendirian. Kasus yang lain pada perempuan korbanperkosaan yang akhirnya menerima kehamilannya ataupun perempuan WTS yang mempunyai anak menyebabkan anak tidak pernah mengenal dan mendapatkan kasih ayah. 2.3 Konsep Perceraian Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai peristiwa berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan karena tercapainya kata sepakat mengenai masalah hidup bersama. Emery (1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena tidak bisa menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul sejalan dengan umur kebersamaan suami istri, baik masalah yang datang dari dalam atau masalah dari luar keluarga. 2.3.1 Penyebab perceraian Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian, yaitu : a. Usia saat menikah Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20 tahun. b. Tingkat pendapatan 37

Angka perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah cenderung labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke atas. c. Perbedaan perkembangan sosio emosional diantara pasangan Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami seperti stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan status sosialnya. d. Sejarah keluarga berkaitan dengan perceraian Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya. 2.3.2 Dampak Perceraian a. Traumatik Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985). Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak 38

kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial. Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur, dari pada orang dewasa yang sudah menikah. b. Perubahan Peran dan Status Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami. c. Sulitnya Penyesuaian Diri Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan 39

oleh teman-teman lamanya. Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996). d. Perebutan Hak Asuh Anak Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian. Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut. 2.4 Konsep Hak Perwalian / Hak Asuh Anak Perkawinan adalah upaya menyatukan dua pribadi yang berbeda satu sama lain. Dalam kenyataannya tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan langgeng dan tentunya tidak ada seorang pun yang ingin perkawinannya berakhir dengan jalan perceraian. Namun apa daya, saat semua upaya dikerahkan untuk menyelamatkan suatu perkawinan ternyata pada akhirnya diputus cerai oleh pengadilan. Dengan putusnya suatu perkawinan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka akan ada 40

akibat akibat hukum yang mengikutinya, salah satunya adalah mengenai Hak Asuh atas anak anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Akibat hukum dari putusnya perkawinan karena perceraian. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( UU Perkawinan ) disebutkan bahwa akibat dari putusnya suatu perkawinan karena perceraian adalah: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa Ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan yang telah kami kutip di atas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan antara orang tua (suami dan isteri yang telah bercerai) dan anak anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi putus. Sebab dengan tegas diatur bahwa suami dan istri yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban sebagai orang tua yaitu untuk memelihara dan mendidik anak 41

anaknya, termasuk dalam hal pembiayaan yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan dari anak tersebut. Ketentuan di atas juga menegaskan bahwa Negara melalui UU Perkawinan tersebut telah memberikan perlindungan hukum bagi kepentingan anak anak yang perkawinan orang tuanya putus karena perceraian. Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh. Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a, UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya. Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut. Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), terdapat istilah Kuasa Asuh yaitu kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah Anak Asuh yaitu : Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. 42

Seluk Beluk Pemberian Hak Asuh Anak. Sesuai dengan apa yang di sampaikan di atas tentunya akan timbul suatu pertanyaan, siapakah diantara bapak atau ibu yang paling berhak untuk memperoleh hak asuh atas anak tersebut. Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan: Dalam hal terjadi perceraian : a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama). Sedangkan untuk orang orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain pertama, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan; kedua, bukti bukti yang diajukan oleh para pihak; serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak asuh anak tersebut dalam mengurus dan 43

melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut. 44