PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Menentukan Stasiun dan Titik Pengambilan Contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

KETERIKATAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI ESTUARI SUNGAI BRANTAS (PORONG), JAWA TIMUR DEWI WULANDARI` SKRIPSI

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA BERKENAAN DENGAN BEBAN MASUKAN DARI SUNGAI DAN LAUT DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

BAB III METODELOGI PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KOMPOSISI DAN KEANEKARAGAMAN FITOPLANKTON DI PERAIRAN PULAU PRAMUKA KEPULAUAN SERIBU JAKARTA. Sri Handayani dan Endang Wahjuningsih * Abstract

METODE PENELITIAN. Tabel 1. Waktu sampling dan pengukuran parameter in situ di perairan Pesisir Maros

Kelimpahan dan Sebaran Horizontal Fitoplankton di Perairan Pantai Timur Pulau Belitung

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

BAB III METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Tambak Cibalong (Sumber : Google Earth)

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

II ,53 0, ,53 0, ,02 m/dt ,53 0,

BAB III BAHAN DAN METODE

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

FITOPLANKTON DI PERAIRAN AREAL PERTAMBANGAN NIKEL BULI HALMAHERA TIMUR PHYTOPLANKTON IN NICKEL AREA GULF OF BULI EAST HALMAHERA

PARAMETER KUALITAS AIR

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODE

3. METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI KECAMATAN SAYUNG KABUPATEN DEMAK

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Teluk Ratai Kabupaten Pesawaran,

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

Distribusi Spasial Fitoplankton di Perairan Teluk Haria Saparua, Maluku Tengah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

Gambar 1. Diagram TS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

Konsentrasi Logam Cd dan Pb Di Sungai Plumbon dan Kaitannya dengan Struktur Komunitas Fitoplankton

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilakukan di perairan Pulau Penjaliran Timur, Kepulauan

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. Fitoplankton dalam pertumbuhan dan kehidupannya sangat dipengaruhi

3. METODE PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IMPLIKASI PERUBAHAN KETERSEDIAAN NUTRIEN TERHADAP PERKEMBANGAN PESAT (BLOOMING) FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YULIANA

3 METODE PENELITIAN. Pulau Barrang Lompo. Pulau Laelae. Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

3. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. berdampak buruk bagi lingkungan budidaya. Hal ini erat kaitannya dengan

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pencemaran Teluk Jakarta

KELIMPAHAN FITOPLANKTON PADA ZONA DENGAN KARAKTERISTIK MASSA AIR YANG BERBEDA DI PERAIRAN TELUK BANTEN

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

III. MATERI DAN METODE

MANAJEMEN KUALITAS AIR

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS PLANKTON DI PERAIRAN PULAU BANGKA KABUPATEN MINAHASA UTARA

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4. Lokasi penelitian di Perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN BANGKA-BELITUNG DAN LAUT CINA SELATAN, SUMATERA, MEI - JUNI 2002

BAB I PENDAHULUAN. memonitor kualitas perairan (Leitão, 2012), melalui pemahaman terhadap siklus

BAB 2 BAHAN DAN METODA

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian Bahan

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN ESTUARI MAYANGAN, JAWA BARAT

Transkripsi:

45 PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN Perairan Teluk Ambon terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam dan Teluk Ambon Luar yang dibatasi oleh ambang yang dangkal, sehingga membatasi sirkulasi air di Teluk Ambon Dalam (Anderson dan Sapulete 1981). Kondisi massa air di perairan Teluk Ambon pada Musim Timur (musim penghujan) dengan suhu udara yang rendah mempengaruhi lapisan permukaan Teluk Ambon. Musim Barat dengan suhu udara yang tinggi dan angin yang kencang menyebabkan suhu air permukaan tinggi (Wenno 1979). Teluk Ambon Dalam dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Polisi Air, pelabuhan kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, pelabuhan perikanan, jalur transportasi laut, pembuangan limbah air panas oleh Perusahan Listrik Negara, darmaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi, tempat pendidikan dan penelitian, tempat rekreasi dan olah raga serta pemukiman penduduk. Teluk Ambon Dalam juga mendapat masukkan nutrien dari darat melalui sungai-sungai dan Teluk Ambon Luar. Menurut Tuhumury et al. (2007), akibat pembangunan perumahan di lahan atas telah berdampak hingga ke laut, pada saat curah hujan yang tinggi maka warna air laut berubah menjadi kecoklatan. Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar terhadap eutrofikasi yang dapat dihubungkan dengan masalah blooming algae berbahaya dan memburuknya kualitas perairan (Domingues et al. 2010). Teluk Ambon Dalam, terjadi blooming alga berbahaya dari species Pyrodinium bahamense pada tahun 1993 yang menelan korban manusia (Wiadnyana 1996), Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001), Pyrodinum spp, dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012). Menurut Qiu et al. (2010), eutrofikasi adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan memburuknya lingkungan akuatik di estuari. Oleh karena itu peranan nutrien, terutama nitrogen dan fosfor sebagai faktor pembatas fitoplankton adalah aspek penting untuk mengurangi dan mengatur eutrofikasi (Paerl 2009). Menurut Pello dan Huliselan (2007) di Teluk Ambon Dalam fitoplankton terdiri atas 35 genera yang ditemukan, terdapat genus Trichodesmium (Cyanobacteria) dengan kepadatan sebesar 36.79% dari total sel yang ada. Menurut Mulholland et al. 1999b diacu dalam LaRoche and Breitbart (2005), Trichodesmium dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 28 o C, tetapi dapat toleransi bertumbuh pada temperatur antara 20 sampai 34 o C. Penelitian ini bertujuan menganalisis komposisi dan sebaran fitoplanton dalam kaitannya dengan karakteristik perairan di Perairan Teluk Ambon Dalam.

46 METODE PENELITIAN Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan secara vertikal pada zona eufotik dengan menggunakan net plankton tipe KITAHARA yang berdiameter mulut jaring 0.30 m, panjang 1 meter dan ukuran porositasnya 60 µm. Sampel plankton yang diperoleh diawetkan dengan menggunakan lugol 1%. Zona eufotik ditentukan berdasarkan persentase penetrasi intensitas cahaya matahari sampai kedalaman intensitas cahaya tinggal 1% dari cahaya permukaan air. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya intensitas cahaya di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut: I z = I o e -kz I z adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I o adalah intensitas cahaya permukaan, k adalah koefisien peredupan (attenuation coefficient). Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh Tillman et al. 2000 sebagai berikut : k = 0.191 + 1.242/S d Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur mempergunakan cakram sechi (secchi disc) berdiameter 30 cm. Suhu, salinitas, densitas, turbiditas dan biomassa fitoplankton (Chl-a) diukur menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Sampel air yang digunakan untuk mengukur ph, oksigen terlarut, nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika diambil dengan botol Nansen. ph diukur dengan ph meter, oksigen terlarut dihitung dengan cara titrasi Winkler, sedangkan nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika menggunakan metode standar (Parson et al. 1984). Identifikasi fitoplankton dilakukan menurut Yamaji (1984) dan Newell and Newell (1977) hanya pada tingkat genus. Formula untuk menghitung kelimpahan fitoplankton adalah : D = C * V / V *V (sel/m 3 ) Dimana : D = Jumlah sel per m 3 C = Jumlah sel yang dihitung V = Volume sampel yang terkonsentrasi V = Volume yang dihitung V = Volume air yang tersaring oleh plankton net (m 3 ) Volume air yang tersering oleh plankton net (V ) dihitung menggunakan rumus : V = a.s Dimana, A = Luas penampang jaring S = Jarak penarikan plankton net (s = v.t) V = Kecepatan penarikan (ms-1) t = Lama waktu penarikan jaring

47 Selanjutnya untuk mengetahui distribusi fitoplankton secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah (one-way ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Untuk mendeterminasi variasi karakteristik variabel lingkungan dengan komunitas fitoplankton digunakan perhitungan ordinasi Canonical Correspondence Analysis (CCA) dilakukan dengan menggunakan software MVSP versi 3.1. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis terhadap komposisi dan distribusi fitoplankton di 10 stasiun pengamatan ditemukan 4 kelas yakni Bacillariophyceae (Diatom), Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Chrysophyceae. Fitoplankton terdiri atas 38 genera Bacillariophyceae, 12 genera Dinophyceae, 1 genus Cyanophyceae, dan 2 genera Chrysophyceae. Tabel 20 memperlihatkan bahwa kelimpahan sel fitoplankton yang mendominasi perairan pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I adalah kelas Cyanophyceae dari genus Trichodesmium dengan persentase tertinggi. Pello dan Huliselan (2007) menemukan bahwa Trichodesmium yang dominan di perairan Teluk Ambon Dalam pada Musim Timur. Dwiono dan Rahayu (1984) mendapatkan genus Chaetoceros mendominasi perairan pada keempat musim. Tabel 20 Jenis-jenis fitoplankton yang dominan pada ke empat musim (%). Secara temporal (antar musim), kelimpahan fitoplankton di perairan menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), lagi pula musim sangat berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton pada Musim Peralihan II lebih tinggi sedangkan Musim Timur lebih rendah (Gambar 25). Tingginya kelimpahan fitoplankton pada musim ini, karena merupakan peralihan dari Musim Timur (musim hujan) ke Musim Barat (musim panas), lagi pula pada musim ini kondisi perairan tenang. Pada Musim Peralihan II dengan rata-rata intensitas cahaya 619.16 µmol foton/m 2 /det dengan kedalaman zona eufotik 10.8 m, sehingga memicu fitoplankton untuk bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Sementara distribusi kelimpahan fitoplankton secara spasial (antar stasiun) pada Musim peralihan II menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan Stasiun 1 kelimpahan fitoplankton lebih rendah sedangkan Stasiun 4, 5, 6, 8, dan 9 kelimpahan fitoplankton lebih tinggi.

48 Rendahnya kelimpahan fitoplankton pada Stasiun 1 disebabkan oleh kecerahan dan zona eufotik yang lebih dangkat masing-masing 5.17 m dan 9.13 m. Gambar 25 Kelimpahan fitoplankton (sel/m 3 ) pada Musim Timur (MT), Peralihan II (MPII), Barat (MB) dan Peralihan I (MP I). Pada Musim Timur (musim hujan), di Teluk Ambon Dalam kelimpahan Trichodesmium (Cyanophyceae) 2.5x10 8 sel/m 3 (67.86% dari total sel yang ada), kemudian diikuti oleh Bacillariophyceae 21.49% dan Dinophyceae 10.65 %, sedangkan Pello (2010) memperoleh kelimpahan Trichodesmium 1.4x10 4 sel/m 3 (46.96% dari total sel yang ada). Tingginya kelimpahan Trichodesmium sangat dipengaruhi oleh rata-rata intensitas cahaya yang rendah (253.81 µmol foton/m 2 /det) yang mempengaruhi suhu permukaan perairan. Menurut Rodier and Borgne (2010), diatom muncul dengan kelimpahan yang lebih besar setelah blooming Trichodesmium pada musim hujan. Trichodesmium sp mulai berkembang pada temperatur 24.2 sampai 28.6 o C (Rodier and Borgne 2008). Terjadinya blooming Trichodesmium pada Musim Timur di TAD disebabkan oleh suhu perairan yang rendah (26.08 sampai 27.57 o C) Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I terjadi suksesi dengan terjadi peningkatan Bacillariophyceae berturut-turut 47.11%, 48.19% dan 60,48% dengan kehadiran genus Chaetoceros berturut 22.63%, 31.21% dan 30.40%. Kelimpahan Chaetoceros yang tinggi pada Musim Peralihan II, Barat, dan Peralihan I disebabkan oleh rata-rata intensitas cahaya yang tinggi berturutturut 619.16 µmol foton/m 2 /det, 530.41 µmol foton/m 2 /det, dan 528.53 µmol foton/m 2 /det, yang meningkatkan rata-rata suhu perairan pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I berturut-turut (28.32 sampai 29.94 o C, 30.25 sampai 30.86 o C dan 29.78 sampai 30.36 o C), akan tetapi di Teluk Jakarta marga Chaetoceros mendominasi perairan pada musim hujan (Sidabutar 2008). Gambar 26 memperlihatkan bahwa Musim Timur terjadi pertumbuhan yang pesat (blooming) dari genus Trichodesmium pada Stasiun 8 (bagian tengah antara Lateri dan Waiheru) dengan kelimpahan 1.3 x 10 9 sel/m 3 (1.3x 10 6 sel/l) dengan kelimpahan Trichodesmium 1.1 x 10 6 sel/l (83%), peristiwa blooming terjadi diperairan jika kelimpahan mencapai 10 6 sel/l (Sidabutar 2006). Sedangkan di perairan Laut Banda pada Musim Peralihan II (November) kelimpahan Trichodesmium thiebautii antara 0 sampai 8.8 x 10 2 sel/m 3 pada permukaan perairan (Sediadi 2004). Tingginya kelimpahan Trichodesmium pada Stasiun 8, disebabkan karena pada stasiun ini terdapat kedalaman penetrasi cahaya

(kecerahan) dan zona eufotik yang lebih dalam, masing-masing 6 m dan 10 m dan ditunjang dengan konsentrasi PO 4 -P yang tinggi (2.81 µm), sehingga memicu Trichodesmium untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Effendi (2003) perairan yang miskin nitrogen tetapi tersedia fosfor maka beberapa jenis algae Cyanobacteria masih dapat tumbuh karena mampu mengikat nitrogen bebas, akan tetapi menurut Nontji (2007), Trichodesmium sering ditemukan di perairan Indonesia, kadang-kadang muncul dengan ledakan populasi yang amat besar dan tak lama kemudian menghilang lagi dengan cepat. Pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I di setiap stasiun pada umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi, selanjutnya terjadi penurunan kelimpahan Cyanophyceae dan Dinophyceae. 49 Gambar 26. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada Peralihan II, Barat dan Peralihan I Musim Timur, Gambar 27 memperlihatkan bahwa umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi kemudian diikuti Cyanophyceae dan Dinophyceae. Cyanophyceae (Trichodesmium) pada bulan Agustus, Oktober dan Maret masingmasing (7.3 x10 9 sel/m 3 ), (4.6 x 10 9 sel/m 3 ), dan (3.6 x 10 9 sel/m 3 ). Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan September dengan kehadiran genus Chaetoceros 35.34%(4.3 x 10 9 sel/m3) dan Bacteriastrum 9.76%, November kehadiran Bacteriastrum 26.93% dan Chaetoceros 21.13% (2.8x10 9 sel/m 3 ), Februari kehadiran Chaetoceros 40.99% (43x10 9 sel/m 3 ) dan Bacteriastrum 17.54%, Maret kehadiran Chaetoceros 42.75% (4.2x10 9 sel/m 3 ) dan Bacteriastrum 17.54% dan pada bulan Mei kehadiran genus Chaetoceros 22.40% (2.5x10 9 sel/m 3 ) dan Thalassiothrix 15.59%. Selanjutnya, Dinoflagellata meningkat pada bulan September dengan kehadiran Alexandrium (3.0x10 9 sel/m 3 ) 24.48%, November dengan kehadiran Ceratium 13.57% (1.8x10 9 sel/m 3 ) dan Januari dengan kehadiran Alexandrium 35.41% (2.2x10 9 sel/m 3 ). Pada umumnya Dinoflagellata berada pada konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan yang

50 lain. Menurut Madhu et al. (2007), komunitas dinoflagellata kurang melimpah di daerah estuari sepanjang tahun dibandingkan dengan diatom. Gambar 27. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton setiap bulan di Teluk Ambon Dalam Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimia Perairan Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisik-kimia perairan dijelaskan dengan menggunakan analisis korespondensi kanonikal (Canonical Correspondence Analysis) pada setiap musim dalam grafik triplot (Gambar 28). Pada tiga sumbu utama grafik triplot didapatkan nilai eigenvalue sebesar 0.111, 0.094 dan 0.053 dengan informasi persentasi kumulatif yang terjelaskan sebesar 61.54%. Pada grafik triplot secara umum memperlihatkan tiga kelompok fitoplankton berdasarkan musim. Kelompok I mewakili Musim Timur yang didominasi oleh Gonyaulax (Dinophyceae) dan Bellerochea (Bacillariophyceae) yang dipengaruhi oleh ph, fosfat, silika, amonia, turbiditas dan DIN:DIP. Kelimpahan genus Gonyaulax dan Bacillaria sangat ditentukan oleh fosfat dan Zhou et al. (2008) menyatakan pertumbuhan diatom dibatasi oleh rendahnya konsentrasi fosfat di laut, dengan fosfat yang terbatas dan peningkatan nitrogen akan terjadi blooming dinoflagellata. Kelompok II mewakili musim Peralihan I dan Musim Barat yang didominasi oleh Triceratium, Skeletonema, Bacillaria, Planktoniella, Ditylum, Diploneis dan Prorocentrum yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, nitrit dan DIN:DSi, kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan zona eufotik. Huang et al. (2004), Diatom (Skeletonema costatum) adalah spesies fitoplankton yang bersifat eurihalin dan euritermal, yang tumbuh dengan cepat pada kondisi eutrofik. Kelompok III mewakili Musim Peralihan II yang didominasi oleh Noctiluca, Streptotheca, dan Eucampia. Semakin panjang panah variabel yang mengarah pada genus dan stasiun pengamatan, maka kontribusi variabel tersebut pada genus maupun stasiun pengamatan semakin besar.

51 Gambar 28 Grafik triplot hasil ordinasi kelimpaham fitoplankton dengan parameter fisik-kimia di Teluk Ambon Dalam SIMPULAN Komposisi fitoplankton pada TAD terdiri dari 53 genera yang didominasi oleh Bacillariophyceae. Pertumbuhan yang pesat (blooming) Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae dijumpai pada Musim Timur. Hasil analisis hubungan antara karakteristik fisik-kimia dengan kelimpahan fitoplankton menunjukkan bahwa genus Gonyaulax (Dinophyceae) dan genus Bellerochea (Bacillariophyceae) sangat dipengaruhi oleh fosfat, silika, amonia, turbiditas, ph, dan DIN:DIP pada Musim Timur, sedangkan genus Triceratium, Skeletonema, Bacillaria, Planktoniella, Ditylum, Diploneis (Bacillariophyceae), dan Prorocentrum (Dinophyceae) sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, nitrit, DIN:DSi, secchi depth, dan zona eufotik pada Musim Peralihan I dan Musim Barat.