BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk melakukan perubahan terakumulasi dan menjadi suatu kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan pemerintahan orde baru yang dianggap telah menyimpang dari semangat konstitusi, tertutup, otoriter dan sentralistik. Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 hingga sekarang telah merubah sistem penyelenggaran pemerintahan dan ketatanegaraan secara fundamental. Hal tersebut terlihat dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali sejak reformasi. Fenomena reformasi juga terlihat dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 (telah diubah dengan UU Nomor 12 tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang membawa nuansa baru dalam sistem tata pemerintahan Indonesia. Undang-undang tersebut meruntuhkan sistem pemerintahan sentralistik dan tertutup menjadi sistem pemerintahan desentralisasi, transparan dan akuntabel.
Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayananan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing daerah. Kebijakan otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah pusat tanggal 1 Januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutuhkan regulasi dalam menajemen keuangan pemerintah yang profesional. Pada masa pemerintahan orde baru di awal tahun 1980 melalui suatu pilot project dikembangkan sistem pelaporan realisasi anggaran yang berbasis kas melalui program Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA). Selama sepuluh tahun, program ini disosialisasikan ke berbagai daerah di Indonesia dan sejak tahun 1991 program MAKUDA telah berhasil diimplementasikan di seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Dalam sistem MAKUDA, mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pencatatan dan pertanggungjawaban adalah manual yang relatif lebih mudah dan sederhana dengan sistem penganggaran line item budgeting (traditional) dan incremental budgeting yang cenderung bersifat konservatif. Hal ini berimplikasi pada pengendalian penyusunan anggaran daerah
menjadi lebih penting dibandingkan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran daerah tersebut. Kondisi ini menggambarkan bahwa pengelolaan anggaran masih menyimpan sejumlah kerawanan sehingga mendorong terjadinya kebocoran atau korupsi dalam pelaksanaannya. Sistem penganggaran model tradisional memiliki beberapa kelemahan (Mardiasmo, 2002), antara lain : 1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang. 2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah dievaluasi secara menyeluruh efektivitasnya. 3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan telah tercapai. 4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen. 5. Adanya fragmentasi antara anggaran rutin dan anggaraan modal/investasi. 6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack. 8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran. 9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 tahun 2004 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan Peraturan Pemerintah diantaranya PP Nomor 105 Tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan pendekatan kinerja. Sebagai petunjuk teknis dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, pemerintah menerbitkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang terakhir diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah untuk mengganti model line-item dan incremental system yang dilaksanakan melalui sistem MAKUDA.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005, dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006, pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar secara evolusioner. Perubahan tersebut sebagaimana digambarkan dalam tabel 1.1 Tabel 1.1. Perubahan Setelah PP Nomor 58 tahun 2005 PP 58/2005 Perubahan yang mendasar L a m a Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri : Line-item & Incrementalism Sistem Anggaran Berimbang Stuktur Anggaran : 1. Pendapatan dan 2. Belanja Belanja dibagi : 1. Belanja Rutin 2. Belanja Pembangunan Pinjaman sebagai komponen Pendapatan. Laporan Pertanggungjawaban : Nota Perhitungan APBD B a r u Sistem Anggaran Kinerja (Performance Budget) Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran : 1. Pendapatan, 2. Belanja dan 3. Pembiayaan Belanja Dikategorikan : 1. Belanja Langsung 2. Belanja Tidak Langsung Pinjaman sebagai komponen Pembiayaan Laporan Pertanggungjawaban : 1. Laporan Realisasi Anggaran 2. Neraca 3. Laporan Arus Kas 4. Catatan atas Laporan Keuangan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur
APBD. Selain itu, laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang sebelum diajukan kepada DPRD terlebih dahulu di audit oleh BPK-RI. Laporan Keuangan ini terdiri dari empat instrumen, yaitu laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran, sebagai berikut : 1. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah. 2. Penerapan panganggaran secara terpadu (unified budget). 3. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budget). Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Menurut Mardiasmo (2002) prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah adalah transparansi, akuntabilitas dan value for money (diterapkannya tiga prinsip dalam prinsip penganggaran yaitu ekonomi, efisien dan efektivitas) Pemerintah Kota Tebing Tinggi telah menyesuaikan struktur APBD secara bertahap sesuai dengan peraturan yang berlaku terutama pergeseran sistem anggaran tradisional ke sistem berbasis kinerja sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Pada tahun 2003 dan sebelumnya, penyusunan
APBD Kota Tebing Tinggi berdasarkan sistem Makuda (line item dan incremental) yang lebih sederhana sehingga APBD dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah (PERDA) pada bulan Juni 2003. Tahun 2004 dan 2005, penyusunan APBD Kota Tebing Tinggi menyesuaikan dengan sistem anggaran berbasis kinerja tetapi masih terbatas pada penyesuaian nomor kode dan nama rekening dalam APBD. Sementara perincian obyek setiap kegiatan belum diuraikan. Perda APBD tahun 2004 ditetapkan pada bulan Pebruari dan perda APBD tahun 2005 ditetapkan pada bulan Maret. APBD Kota Tebing Tinggi pada tahun 2006 telah menyesuaikan secara keseluruhan dengan anggaran berbasis kinerja, baik kode dan nama rekening maupun rincian setiap program, kegiatan dan obyek kegiatan. Kemampuan yang sangat terbatas dari setiap pimpinan dan pengelola keuangan satuan kerja dalam mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja berimplikasi pada terlambatnya pengesahan APBD menjadi peraturan daerah sehingga APBD Kota Tebing Tinggi tahun 2006 ditetapkan pada bulan Juli 2006. Keadaan ini berlanjut pada tahun anggaran 2007 yang penetapan APBD Pemko Tebing Tinggi baru dapat dilaksanakan pada bulan Juni 2007. Tetapi penyesuaian struktur APBD tersebut tidak menjadi jaminan terhadap pencapaian kinerja karena struktur tersebut hanya merupakan aturan main (rule of game) dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan yang diemban oleh pemerintah daerah. Pimpinan satuan kerja sebagai pengguna anggaran di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terfokus pada penyesuaian format dan struktur
penyusunan anggaran sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan penyusunan anggaran membutuhkan waktu yang cukup lama. APBD Kota Tebing Tinggi tahun anggaran 2007 ditetapkan menjadi peraturan daerah pada bulan Juli 2007 sehingga penyerapan dana APBD oleh satuan kerja belum maksimal yang berkonsekuensi adanya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA). Terdapat beberapa program dan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena waktu yang tidak mencukupi serta kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan kurang optimal, sehingga tolok ukur kinerja tidak mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini berimplikasi pada hilangnya fungsi anggaran sebagai motor penggerak (driving force) roda pembangunan serta menumpuknya dana daerah di bank karena sisa anggaran yang relatif besar. Berdasarkan data awal terlihat penurunan penyerapan dana anggaran oleh masing-masing satuan kerja. Kondisi ini menjadi kontradiktif dengan prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja yaitu value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas). Pada tahun 2007, terdapat sejumlah dana tidak dapat dimanfaatkan (idle fund) oleh perangkat satuan kerja. Dana tersebut merupakan dana terkecil yang tidak dapat dimanfaatkan selama empat tahun terakhir yang diduga disebabkan terlambatnya pengesahan perda APBD. Program dan kegiatan yang tercantum dalam APBD Kota Tebing Tinggi tahun 2007 dari masing-masing satuan kerja masih berpedoman pada program dan kegiatan tahun sebelumnya dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan aparatur dalam menjalankan kegiatannya.
Berdasarkan fenomena yang terjadi di Kota Tebing Tinggi bahwa terdapat pertentangan tujuan penyusunan anggaran berbasis kinerja yang semula diharapkan dapat memaksimalkan penggunaan anggaran yang telah ditetapkan serta digunakan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat dan mempercepat berputarnya roda pembangunan, sedangkan disisi lain justru implementasi penyusunan anggaran berbasis kinerja di lingkungan Pemko Tebing Tinggi tahun 2007 justru mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam penyerapan dana yang telah dianggarkan sehingga penggunaannya tidak maksimal oleh unit kerja serta tidak terintegrasinya penggunaan dana oleh satuan kerja untuk pencapaian visi dan misi. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu apakah Penerapan anggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap kinerja SKPD di Kota Tebing Tinggi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Sehubungan dengan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja berpengaruh terhadap Kinerja SKPD? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mendapatkan bukti empiris apakah penerapan anggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap Kinerja SKPD.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi dengan konsep ilmiah dan meningkatkan pemahaman mengenai anggaran berbasis kinerja pada pemerintahan daerah. 2. Memberikan masukan kepada para pejabat pengelola keuangan di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi bahwa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. 1.5. Originalitas Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian serupa ini belum banyak dilakukan. Karena penerapan anggaran berbasis kinerja yang diterapkan di pemerintah daerah baru mulai dilaksanakan tahun 2005. Penelitian ini merupakan penelitian replikasi yang dilakukan Yusriati tahun 2007. Penelitian ini memperbaiki kelemahan yang ada di peneliti sebelumnya. Perbedaan dari penelitian Yusriati adalah dalam hal pengukuran Kinerja SKPD. Kinerja SKPD pada penelitian Yusriati menggunakan data skunder yaitu data tahun 2005, sedangkan pengukuran variabel penerapan anggaran berbasis kinerja adalah pengukuran yang bersifat cross section yang merupakan persepsi responden atas penerapan anggaran berbasis kinerja pada tahun 2007. Jadi kurang tepat untuk melihat pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja pada tahun 2007 untuk melihat dampaknya pada tahun 2009.
Penelitian ini juga telah mengembangkan indikator penerapan berbasis kinerja, dengan menggunakan kuesioner Yusriati yang telah dikembangkan kembali dengan bantuan ahli di bidang penerapan anggaran berbasis kinerja. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder yaitu data kinerja SKPD yang dilihat dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) dan hasil evaluasi laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Tebing Tinggi tahun 2007 sebagai bahan tambahan dalam melakukan pembahasan hasil penelitian.