BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

Perkembangan Sistem Anggaran Publik Anggaran Tradisional dan Anggaran New Public Management

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

MAKALAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK JENIS JENIS ANGGARAN SEKTOR PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. 2004, manajemen keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Badung mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi politik di tanah air. Walaupun masih dalam batas-batas tertentu, perubahan ini

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan adanya ketimpangan pendapatan dan pengelolaan antara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

kapasitas riil keuangan daerah dapat dilihat pada tabel berikut:

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pemerintahan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32. berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undangundang

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH SUATU PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. komposisi dan besarnya anggaran yang secara langsung mencerminkan arah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan

BAB I PENDAHULUAN. diperkenalkannya pendekatan penganggaran berbasis kinerja (performance. based budgeting) dalam penyusunan anggaran pemerintah.

BAB 1 PENDAHULUAN. program ataupun kegiatan. Sebelum melaksanakan kegiatan, harus ada

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Paradigma baru tentang reformasi sektor publik telah mewarnai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia telah memasuki masa pemulihan akibat krisis ekonomi yang

BAB I PENDAHULUAN. satunya perbaikan terhadap pengelolaan keuangan pada instansi-instansi pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. efektifitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. tujuan negara yang sudah tercantum dalam UUD 1945 alenia ke-4 yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengedepankan akuntanbilitas dan transparansi Jufri (2012). Akan tetapi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Dengan seringnya pergantian penguasa di negara ini telah memicu

BAB I PENDAHULUAN. prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 5 TAHUN 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Purnomo (2015) melakukan penelitian tentang Penilaian Kinerja Berbasis

PROFIL KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Manajemen Keuangan Publik. Pengertian, Ruang Lingkup, Konsep dan Asas Keuangan Negara Pertemuan 2 Nurjati Widodo, S.AP, M.AP

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Artinya bahwa pemerintah pusat memberikan wewenang untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. program bukan pada unit organisasi semata dan memakai output measurement

BAB I PENDAHULUAN. serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Upaya pengembangan tersebut sejalan dengan Undang-undang Nomor 28

Manual Sistem dan Prosedur Akuntansi Pelaporan Keuangan Daerah BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 1 TAHUN 2015 SISTEM PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan kesatuan yang utuh (Mahmudi, 2011). Menurut Mardiasmo (2009), keilmuan jika memenuhi tiga karakteristik dasar, yaitu:

BAB III Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB I PENDAHULUAN. suatu fenomena di Indonesia. Tuntutan demokrasi ini menyebabkan aspek

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan pada ketersediaan anggaran. Kinerjalah yang diubah-ubah sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok. pemerintahan daerah, diubah menjadi Undang-Undang (UU) No.

2015 ANALISIS STRATEGI BIAYA PENGALOKASIAN BELANJA LANGSUNG PADA APBD PEMERINTAH DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2004:62) menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. berlebih sehingga untuk mengembangkan dan merencanankan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi sistem penganggaran telah berjalan sejak disahkan paket. undang-undang keuangan negara yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17

- 1 - PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARRU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan sejak adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada

BAB I PENDAHULUAN 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

TUGAS AKHIR. Oleh : AHMAD NURDIN L2D

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. yang diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

PERENCANAAN ANGGARAN BERDASARKAN ANGGARAN BERBASIS KINERJA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENCAPAIAN KINERJA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN

DEPARTEMEN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi telah memberikan peluang bagi perubahan cara-cara pandang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Bergesernya paradigma manajemen pemerintahan dalam dua dekade terakhir yaitu dari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk melakukan perubahan terakumulasi dan menjadi suatu kekuatan gerak yang tidak dapat dibendung akibat sistem penyelenggaraan pemerintahan orde baru yang dianggap telah menyimpang dari semangat konstitusi, tertutup, otoriter dan sentralistik. Reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 hingga sekarang telah merubah sistem penyelenggaran pemerintahan dan ketatanegaraan secara fundamental. Hal tersebut terlihat dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali sejak reformasi. Fenomena reformasi juga terlihat dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 (telah diubah dengan UU Nomor 12 tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang membawa nuansa baru dalam sistem tata pemerintahan Indonesia. Undang-undang tersebut meruntuhkan sistem pemerintahan sentralistik dan tertutup menjadi sistem pemerintahan desentralisasi, transparan dan akuntabel.

Desentralisasi melahirkan otonomi daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayananan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing daerah. Kebijakan otonomi daerah yang dicanangkan pemerintah pusat tanggal 1 Januari 2001 menciptakan terbentuknya pemerintah daerah otonom di Indonesia yang diharapkan mampu meningkatkan akselerasi pembangunan dalam usaha pencapaian tujuan negara yaitu masyarakat adil dan makmur. Setiap penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Untuk itu sangat dibutuhkan regulasi dalam menajemen keuangan pemerintah yang profesional. Pada masa pemerintahan orde baru di awal tahun 1980 melalui suatu pilot project dikembangkan sistem pelaporan realisasi anggaran yang berbasis kas melalui program Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA). Selama sepuluh tahun, program ini disosialisasikan ke berbagai daerah di Indonesia dan sejak tahun 1991 program MAKUDA telah berhasil diimplementasikan di seluruh pemerintah daerah di Indonesia. Dalam sistem MAKUDA, mekanisme pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pencatatan dan pertanggungjawaban adalah manual yang relatif lebih mudah dan sederhana dengan sistem penganggaran line item budgeting (traditional) dan incremental budgeting yang cenderung bersifat konservatif. Hal ini berimplikasi pada pengendalian penyusunan anggaran daerah

menjadi lebih penting dibandingkan dengan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran daerah tersebut. Kondisi ini menggambarkan bahwa pengelolaan anggaran masih menyimpan sejumlah kerawanan sehingga mendorong terjadinya kebocoran atau korupsi dalam pelaksanaannya. Sistem penganggaran model tradisional memiliki beberapa kelemahan (Mardiasmo, 2002), antara lain : 1. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang. 2. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah dievaluasi secara menyeluruh efektivitasnya. 3. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan telah tercapai. 4. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen. 5. Adanya fragmentasi antara anggaran rutin dan anggaraan modal/investasi. 6. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).

7. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack. 8. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran. 9. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 tahun 2004 nuansa akuntansi mulai diperkenalkan dalam sistem manajemen keuangan daerah. Secara beruntun, pemerintah dalam rangka reformasi manajemen keuangan daerah mengeluarkan Peraturan Pemerintah diantaranya PP Nomor 105 Tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus memberlakukan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan pendekatan kinerja. Sebagai petunjuk teknis dan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, pemerintah menerbitkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang terakhir diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah untuk mengganti model line-item dan incremental system yang dilaksanakan melalui sistem MAKUDA.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005, dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006, pemerintah melakukan perubahan-perubahan besar secara evolusioner. Perubahan tersebut sebagaimana digambarkan dalam tabel 1.1 Tabel 1.1. Perubahan Setelah PP Nomor 58 tahun 2005 PP 58/2005 Perubahan yang mendasar L a m a Sistem Anggaran Tradisional dengan ciri : Line-item & Incrementalism Sistem Anggaran Berimbang Stuktur Anggaran : 1. Pendapatan dan 2. Belanja Belanja dibagi : 1. Belanja Rutin 2. Belanja Pembangunan Pinjaman sebagai komponen Pendapatan. Laporan Pertanggungjawaban : Nota Perhitungan APBD B a r u Sistem Anggaran Kinerja (Performance Budget) Sistem Anggaran Defisit Struktur Anggaran : 1. Pendapatan, 2. Belanja dan 3. Pembiayaan Belanja Dikategorikan : 1. Belanja Langsung 2. Belanja Tidak Langsung Pinjaman sebagai komponen Pembiayaan Laporan Pertanggungjawaban : 1. Laporan Realisasi Anggaran 2. Neraca 3. Laporan Arus Kas 4. Catatan atas Laporan Keuangan Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 terutama dalam sistem penganggaran dari sistem tradisional menjadi sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang diikuti perubahan dalam bentuk dan struktur

APBD. Selain itu, laporan pertanggungjawaban kepala daerah yang dahulunya menggunakan instrumen tunggal yaitu nota perhitungan APBD diubah menjadi laporan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan keuangan daerah yang sebelum diajukan kepada DPRD terlebih dahulu di audit oleh BPK-RI. Laporan Keuangan ini terdiri dari empat instrumen, yaitu laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran, sebagai berikut : 1. Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah. 2. Penerapan panganggaran secara terpadu (unified budget). 3. Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budget). Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Menurut Mardiasmo (2002) prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah adalah transparansi, akuntabilitas dan value for money (diterapkannya tiga prinsip dalam prinsip penganggaran yaitu ekonomi, efisien dan efektivitas) Pemerintah Kota Tebing Tinggi telah menyesuaikan struktur APBD secara bertahap sesuai dengan peraturan yang berlaku terutama pergeseran sistem anggaran tradisional ke sistem berbasis kinerja sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah. Pada tahun 2003 dan sebelumnya, penyusunan

APBD Kota Tebing Tinggi berdasarkan sistem Makuda (line item dan incremental) yang lebih sederhana sehingga APBD dapat ditetapkan menjadi peraturan daerah (PERDA) pada bulan Juni 2003. Tahun 2004 dan 2005, penyusunan APBD Kota Tebing Tinggi menyesuaikan dengan sistem anggaran berbasis kinerja tetapi masih terbatas pada penyesuaian nomor kode dan nama rekening dalam APBD. Sementara perincian obyek setiap kegiatan belum diuraikan. Perda APBD tahun 2004 ditetapkan pada bulan Pebruari dan perda APBD tahun 2005 ditetapkan pada bulan Maret. APBD Kota Tebing Tinggi pada tahun 2006 telah menyesuaikan secara keseluruhan dengan anggaran berbasis kinerja, baik kode dan nama rekening maupun rincian setiap program, kegiatan dan obyek kegiatan. Kemampuan yang sangat terbatas dari setiap pimpinan dan pengelola keuangan satuan kerja dalam mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja berimplikasi pada terlambatnya pengesahan APBD menjadi peraturan daerah sehingga APBD Kota Tebing Tinggi tahun 2006 ditetapkan pada bulan Juli 2006. Keadaan ini berlanjut pada tahun anggaran 2007 yang penetapan APBD Pemko Tebing Tinggi baru dapat dilaksanakan pada bulan Juni 2007. Tetapi penyesuaian struktur APBD tersebut tidak menjadi jaminan terhadap pencapaian kinerja karena struktur tersebut hanya merupakan aturan main (rule of game) dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan yang diemban oleh pemerintah daerah. Pimpinan satuan kerja sebagai pengguna anggaran di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi terfokus pada penyesuaian format dan struktur

penyusunan anggaran sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan penyusunan anggaran membutuhkan waktu yang cukup lama. APBD Kota Tebing Tinggi tahun anggaran 2007 ditetapkan menjadi peraturan daerah pada bulan Juli 2007 sehingga penyerapan dana APBD oleh satuan kerja belum maksimal yang berkonsekuensi adanya sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA). Terdapat beberapa program dan kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan secara maksimal karena waktu yang tidak mencukupi serta kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan kurang optimal, sehingga tolok ukur kinerja tidak mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini berimplikasi pada hilangnya fungsi anggaran sebagai motor penggerak (driving force) roda pembangunan serta menumpuknya dana daerah di bank karena sisa anggaran yang relatif besar. Berdasarkan data awal terlihat penurunan penyerapan dana anggaran oleh masing-masing satuan kerja. Kondisi ini menjadi kontradiktif dengan prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja yaitu value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas). Pada tahun 2007, terdapat sejumlah dana tidak dapat dimanfaatkan (idle fund) oleh perangkat satuan kerja. Dana tersebut merupakan dana terkecil yang tidak dapat dimanfaatkan selama empat tahun terakhir yang diduga disebabkan terlambatnya pengesahan perda APBD. Program dan kegiatan yang tercantum dalam APBD Kota Tebing Tinggi tahun 2007 dari masing-masing satuan kerja masih berpedoman pada program dan kegiatan tahun sebelumnya dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan aparatur dalam menjalankan kegiatannya.

Berdasarkan fenomena yang terjadi di Kota Tebing Tinggi bahwa terdapat pertentangan tujuan penyusunan anggaran berbasis kinerja yang semula diharapkan dapat memaksimalkan penggunaan anggaran yang telah ditetapkan serta digunakan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat dan mempercepat berputarnya roda pembangunan, sedangkan disisi lain justru implementasi penyusunan anggaran berbasis kinerja di lingkungan Pemko Tebing Tinggi tahun 2007 justru mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam penyerapan dana yang telah dianggarkan sehingga penggunaannya tidak maksimal oleh unit kerja serta tidak terintegrasinya penggunaan dana oleh satuan kerja untuk pencapaian visi dan misi. Kondisi ini menarik bagi peneliti untuk mencari tahu apakah Penerapan anggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap kinerja SKPD di Kota Tebing Tinggi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Sehubungan dengan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja berpengaruh terhadap Kinerja SKPD? 1.3. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mendapatkan bukti empiris apakah penerapan anggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap Kinerja SKPD.

1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan wawasan berfikir yang dilandasi dengan konsep ilmiah dan meningkatkan pemahaman mengenai anggaran berbasis kinerja pada pemerintahan daerah. 2. Memberikan masukan kepada para pejabat pengelola keuangan di lingkungan Pemerintah Kota Tebing Tinggi bahwa dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. 1.5. Originalitas Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian serupa ini belum banyak dilakukan. Karena penerapan anggaran berbasis kinerja yang diterapkan di pemerintah daerah baru mulai dilaksanakan tahun 2005. Penelitian ini merupakan penelitian replikasi yang dilakukan Yusriati tahun 2007. Penelitian ini memperbaiki kelemahan yang ada di peneliti sebelumnya. Perbedaan dari penelitian Yusriati adalah dalam hal pengukuran Kinerja SKPD. Kinerja SKPD pada penelitian Yusriati menggunakan data skunder yaitu data tahun 2005, sedangkan pengukuran variabel penerapan anggaran berbasis kinerja adalah pengukuran yang bersifat cross section yang merupakan persepsi responden atas penerapan anggaran berbasis kinerja pada tahun 2007. Jadi kurang tepat untuk melihat pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja pada tahun 2007 untuk melihat dampaknya pada tahun 2009.

Penelitian ini juga telah mengembangkan indikator penerapan berbasis kinerja, dengan menggunakan kuesioner Yusriati yang telah dikembangkan kembali dengan bantuan ahli di bidang penerapan anggaran berbasis kinerja. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data sekunder yaitu data kinerja SKPD yang dilihat dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip) dan hasil evaluasi laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Tebing Tinggi tahun 2007 sebagai bahan tambahan dalam melakukan pembahasan hasil penelitian.