BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang diiringi dengan kesadaran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan gizi. Bahan pangan asal hewan merupakan bahan makanan pilihan yang mengandung asam amino yang tidak diproduksi tubuh dan tidak dapat digantikan oleh bahan pangan lain. Bahan pangan asal hewan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat berupa daging, susu, dan telur (Sugeng, 2007). Seiring dengan perkembangan tersebut, pengawasan akan keamanan pangan asal hewan juga harus ditingkatkan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 (Anonim, 2004), bahan pangan dan produk olahan asal hewan yang beredar di masyarakat harus memenuhi berbagai standar dan ketentuan untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan konsumen. Pemerintah menetapkan aturan bahan pangan dan produk olahan asal hewan yang beredar di masyarakat harus memenuhi persyaratan ASUH, yaitu aman, sehat, utuh, dan halal. Aman berarti bahan pangan dan produk olahan asal hewan tidak mengandung penyakit dan residu, serta unsur lain yang dapat menyebabkan penyakit dan mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti bahan pangan dan produk olahan asal hewan mengandung zat-zat yang berguna bagi kesehatan dan pertumbuhan tubuh. Utuh berarti bahan pangan dan produk 1
2 olahan asal hewan tidak dicampur dengan bagian lain dari hewan tersebut atau hewan lain. Halal berarti disembelih dan ditangani sesuai dengan syariat agama Islam. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, bahan pangan yang beredar di masyarakat harus sesuai hukum dan syariat Islam, hal ini berarti harus ada keterangan perbedaan antara makanan yang halal dikonsumsi dan makanan yang haram untuk dikonsumsi. Peningkatan permintaan konsumsi daging terutama daging sapi di masyarakat tidak mampu diimbangi dengan peningkatan produksi daging sapi. Hal ini memicu kenaikan harga daging sapi. Keadaan tersebut menyebabkan maraknya pemalsuan dan pencampuran daging sapi dengan daging lainnya terutama daging babi pada produk olahan. Pemalsuan ini sangat sering dilakukan karena harga daging babi yang relatif lebih murah dibanding daging sapi serta warna dan bentuk kedua daging yang serupa (Ali et al., 2012). Isu ini tentu saja melanggar persyaratan keamanan pangan ASUH, terutama pada aturan utuh dan halal. Pengolahan bahan pangan seperti itu melanggar aturan utuh karena terjadi kecurangan berupa pemalsuan dan pencampuran daging sapi dengan daging babi. Pelanggaran aturan halal juga terjadi karena daging babi merupakan daging yang haram dikonsumsi oleh umat muslim. Merebaknya isu pencampuran daging menyebabkan keresahan masyarakat beragama Islam di Indonesia. Berbagai cara dilakukan pemerintah dan pihak terkait dalam upaya memberantas kecurangan ini. Metode deteksi dan identifikasi jenis hewan yang digunakan sebagai bahan pangan menjadi sangat penting untuk mengetahui keaslian produk dan menjamin keamanan pangan yang beredar di
3 masyarakat. Metode deteksi yang akurat, prosedurnya sederhana, dan cepat diperlukan dalam menentukan kelayakan daging dan produk olahan asal daging. Multipleks Polymerase Chain Reaction (Mutlipleks PCR) merupakan metode deteksi berbasis Deoxyribonulceic Acid (DNA) dan modifikasi dari metode PCR, yaitu penggunaan beberapa primer secara bersamaan dalam mengamplifikasi beberapa daerah target dalam satu kali reaksi. Metode deteksi ini secara akurat, cepat, dan efisien mampu mendeteksi jenis hewan dari daging yang digunakan. Dibandingkan dengan metode deteksi lain yang berbasis protein atau lemak, metode Multipleks PCR memiliki kelebihan dapat mengidentifikasi jenis daging dengan sampel berupa daging mentah ataupun yang telah mengalami proses pengolahan seperti pemanasan dan dapat mendeteksi adanya cemaran daging hingga pada tingkat kandungan yang relatif rendah (Bai et al., 2009; Ballin, 2010). Metode deteksi berbasis protein dan lemak tidak mampu mendeteksi sampel yang sudah mengalami pemanasan karena protein dan lemak mudah rusak apabila terpapar suhu tinggi sehingga akan menimbulkan hasil negatif palsu (Lockley dan Bradsley, 2000). Deoxyribonulceic Acid (DNA) mitokondria digunakan sebagai dasar pendesainan primer dalam metode Multipleks PCR ini. Pemilihan DNA mitokondria sebagai dasar pendesainan primer dikarenakan DNA mitokondria memiliki kelebihan yaitu memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk teramplifikasi dibanding DNA nukleus karena jumlah DNA mitokondria berkalikali lipat lebih banyak dibanding DNA nukleus dalam satu sel yang sama (Galtier et al., 2009). Selain itu DNA mitokondria memiliki spesifisitas yang tinggi untuk
4 tiap spesies karena hanya diturunkan dari DNA induk betina, sementara DNA nukleus memiliki keanekaragaman yang tinggi untuk tiap individu dalam satu spesies karena diturunkan dari kedua induk sehingga dapat memberikan hasil yang tidak akurat (Butler, 2005). Fragmen DNA mitokondria yang sering digunakan sebagai penanda dalam identifikasi daging adalah gen ribosomal RNA, COX, Cyt B, dan D-loop (Pereira et al., 2010). Beberapa peneliti telah menggunakan gen ribosomal RNA yaitu mt-12s rrna sebagai dasar pendesainan primer dalam mengidentifikasi ada tidaknya cemaran daging babi dari berbagai daging. gen mt-12s rrna memiliki daerah yg sangat homolog tetapi juga memiliki daerah yang bervariasi untuk tiap spesies. Namun demikian, berbagai penelitian yang dipublikasikan mendesain primer berdasarkan gen mt-12s rrna dikombinasi dengan primer berdasarkan gen DNA mitokondria lain seperti gen 16s rrna dan trna Val dalam metode multipleks PCR (Dalmasso et al., 2004; Ioja-Boldura et al., 2011; Sakalar dan Abasiyanik, 2011). Hal ini membuka peluang dilakukannya penelitian untuk menentukan desain primer dalam metode multipleks PCR berdasarkan urutan dari gen mt-12s rrna spesifik tanpa dikombinasi dengan gen DNA mitokondria lain yang dapat mengidentifikasi cemaran daging babi pada produk olahan asal daging sapi.
5 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendesain dan mengaplikasikan primer spesifik berdasarkan urutan basa gen mt-12s rrna sapi dan babi yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya cemaran daging babi dalam produk olahan asal daging sapi menggunakan metode multipleks PCR. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu metode dalam melakukan pemeriksaan deteksi dan identifikasi cemaran daging babi pada daging maupun produk olahan asal daging sapi baik yang masih mentah ataupun sudah diolah dan dapat melindungi konsumen dari pemalsuan daging khususnya menggunakan daging babi.