BAB I PENDAHULUAN. Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Tahap anak-anak merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari kebutuhannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sedang mengalami krisis multidimensi yang berkepanjangan.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang akan selalu memerlukan bantuan

ABSTRAK. bantuan medis Avicenna Aesculapius di Universitas X Bandung. yang diajukan bersifat deskriptif yaitu penelitian yang tidak hanya meneliti

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang hidup dalam situasi lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

ABSTRAK Survey Motif Prososial pada Anggota Palang Merah Remaja (PMR) di tiga SLTPN Kecamatan Cicendo Bandung

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia pada hakikatnya adalah mahluk sosial yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan

BAB I PENDAHULUAN. lahir dalam keluarga, anak menjadi pusat perhatian dan kasih sayang dari keluarga baru

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu membutuhkan individu lain dalam hidupnya. Kondisi ini dimulai sejak

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

2015 PEMBELAJARAN TARI KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA KELAS VII A DI SMPN 14 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

BAB 1 PENDAHULUAN. berusia kurang lebih anam tahun (0-6) tahun, dimana biasanya anak tetap tinggal

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan.

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia jumlah pengguna narkotika dan obat terlarang dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. menjadi memetingkan diri sendiri daripada memperhatikan kepentingan orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB I PENAHULUAN. lingkungan sosial, khususnya supaya remaja diterima dilingkungan temanteman

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. ia tidak memiliki kemampuan untuk hidup tanpa orang lain karena setiap manusia

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan bagian dari penduduk dunia yang memberikan. sumbangan teramat besar bagi perkembangan masa depan dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga, lingkungan teman sebaya sampai lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekaligus menggiring manusia memasuki era globalisasi ini, agaknya memiliki

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar sebagaimana yang dijelaskan oleh

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seseorang yang terlahir ke dunia pada dasarnya dalam keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menolong merupakan salah satu tindakan yang diharapkan muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tindakan menolong ini berarti memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain guna mencapai tujuannya. Perilaku menolong banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghibur orang yang sedang berduka cita, membantu anak kecil atau orang tua menyeberang jalan, merawat orang sakit dan masih banyak lagi. Perilaku menolong diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain dapat membantu orang yang menderita, perilaku menolong juga membuat orang yang membantu dengan orang yang dibantu menjadi dapat berinteraksi, misalnya dengan berkomunikasi. Umumnya, perilaku menolong diajarkan oleh orang tua sejak anak masih kecil. Hal ini dimaksudkan supaya anak mudah menjalin relasi dengan siapa pun, karena dengan mengajarkan tingkah laku menolong kepada anak, orang tua membimbing sekaligus mewujudkan empati, yang merupakan kemampuan yang bisa mengikis sifat negatif anak, seperti serakah, mau menang sendiri, tidak jujur, ke dalam suatu perilaku yang kongkrit, yakni mudah tergerak menolong sesama. Ujung-ujungnya, empati membuat anak mudah menjalin relasi dengan siapapun.(www.sahabatnestle.co.id). Dewasa ini, orang menganggap perilaku menolong cenderung menimbulkan masalah bagi diri sendiri. Dalam hidup ini, kita seringkali puas

2 dengan menjadi orang-orang pasif, figuran-figuran yang tidak punya peran. Berlindung di balik prinsip bahwa orang lain punya urusan sendiri-sendiri, padahal sebenarnya manusialah yang tidak punya hati nurani dan keibaan terhadap sesamanya. (www.glorianet.org). Hal ini dapat dilatarbelakangi, salah satunya karena dengan menolong, seseorang harus rela mengeluarkan tenaga, baik fisik maupun psikis, untuk membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Belum lagi, kadang orang yang menolong akan menjadi susah karena harus kehilangan tenaga, waktu bahkan materi untuk dapat membantu orang tersebut. Kerepotan yang terjadi karena perilaku menolong yang ditampilkan seseorang terkadang membuat orang enggan menolong orang lain. Keengganan menolong orang lain juga dapat terlihat dari perilaku mahasiswa sebagai generasi muda. Hal ini terlihat dalam perilaku mahasiswa sehari-hari, khususnya dalam lingkungan pergaulannya, seperti menghindar pada saat temannya membutuhkan bantuan. Berdasarkan pengamatan peneliti, sewaktu seorang mahasiswa meminta bantuan kepada rekan mahasiswa lainnya untuk membantu mengisi kuesioner demi kepentingan skripsinya, kebanyakan mahasiswa meninggalkan ruangan sebelum mahasiswa yang meminta bantuan ini membagikan kuesionernya di dalam kelas dan hanya tertinggal empat mahasiswa yang bersedia mengisi kuesioner. Mahasiswa berkelit dengan berkata bahwa mereka sedang ada urusan lain untuk dapat menghindari mengisi kuesioner tersebut. Selain itu juga, dirasakan kurangnya kepedulian mahasiswa untuk menolong orang yang sedang mengalami kesulitan, misalnya pada saat seorang dosen terjatuh, mahasiswa yang melihat kejadian tersebut hanya melihat saja

3 tanpa ada kesediaan untuk membantu dosen tersebut sehingga dosen tersebut berupaya sendiri untuk dapat berdiri lagi. Bahkan terkadang ada mahasiswa yang langsung menolak membantu temannya dengan berkata bahwa dia sedang sibuk sehingga tidak bisa membantu teman yang misalnya meminta tolong kepadanya untuk diajarkan suatu materi yang tidak dimengerti. Menurut profesor psikologi sosial, menolong itu sulit, karena perilaku menolong adalah sesuatu yang kompleks, berkaitan dengan motif dari balik perilaku menolong itu, maupun akibat yang ditimbulkan dari perilaku menolong tersebut (blog.kenz.co.id). Hal ini dapat membuat mahasiswa berperilaku menolong bila ia berada dalam keadaan terdesak, misalnya pada saat seorang mahasiswa lalai mengemudi dan ia menabrak pejalan kaki yang sedang melintas, bila mahasiswa itu tidak menolong korban yang ditabraknya, kemungkinan besar dirinya akan dihakimi oleh massa. Akibatnya, mahasiswa itu harus bertanggung jawab untuk menolong korban tersebut. Perilaku menolong terkadang dirasakan sebagai penghambat kebutuhan mereka sendiri karena harus memperhatikan orang lain padahal mereka sendiri sibuk dengan segala rutinitas mereka ditambah lagi harus memperhatikan orang lain. Tindakan ini seperti sesuatu yang sia-sia, seperti tak lagi punya kepekaan untuk berempati pada orang-orang yang sedang berkesusahan, moralitas seakan terabrasi dan sensitivitas seakan luntur sehingga nurani menjadi tumpul, dikalahkan oleh nafsu memanjakan diri.(widi Yarmanto dalam www.gatra.com).

4 Pada dasarnya, perilaku menolong ditimbulkan dari suatu dorongan yang ada dalam diri. Dorongan untuk bertingkah laku sering dikenal dengan istilah motif. Motif ini yang akan mengarahkan individu untuk bertingkah laku. Begitu juga dengan perilaku menolong, ada suatu motif yang mendasarinya, yaitu motif prososial. Motif prososial merupakan sesuatu yang ada dalam diri yang menggerakkan dan mengarahkan tingkah laku demi kepentingan orang lain. Menurut Kornadt (1985) yang menjabarkan model motif prososial dari Hoffman (1975), perilaku individu dipengaruhi dari bagaimana ia mempersepsi kejadian yang ada di lingkungannya, kemudian setelah ia memaknakan situasi tersebut, ia akan memberikan penilaian terhadap situasi yang dihadapi, misalnya pada situasi dimana ada orang yang butuh bantuan. Individu akan menilai di dalam dirinya, apakah situasi tersebut memang butuh bantuannya atau tidak. Individu juga memerlukan pemahaman kognitif tentang kondisi orang yang perlu dibantu dan juga empati yang menurut Hoffman merupakan dasar dari motif untuk menolong orang lain. Hal ini akan memunculkan suatu perasaan, misalnya kasihan, dan perasaan ini akan menggerakkan individu untuk membantu orang yang sedang mengalami kesulitan. Berdasarkan teori Hoffman yang dijabarkan lebih lanjut oleh Kornadt (1985), pada saat seorang individu (dalam hal ini mahasiswa) mengetahui temannya sedang mengalami musibah yang membuatnya tidak bisa masuk kuliah, maka timbul ketergugahan di dalam diri mahasiswa untuk menolong temannya, hal ini menunjukkan di dalam diri mahasiswa tersebut terdapat persepsi tentang

5 situasi terhadap teman yang sedang butuh bantuan. Setelah mahasiswa tersebut mengetahui apa yang terjadi pada temannya dan mahasiswa itu menilai apakah temannya itu pantas untuk ditolong atau tidak, hal ini menunjukkan adanya nilai prososial dalam diri mahasiswa tersebut. Pada saat mahasiswa memberikan penilaian bahwa situasi yang dihadapi oleh temannya itu mengalami kesulitan, mahasiswa tersebut dengan pemikirannya dapat turut memahami situasi dari sudut pandang teman yang membutuhkan bantuan. Hal ini menunjukkan perspektif sosial. Dalam diri mahasiswa juga terdapat suatu respon yang berkaitan dengan perasaan yang seolah-olah dialami sendiri oleh mahasiswa tersebut terhadap apa yang dirasakan oleh temannya. Hal ini menunjukkan adanya empati dalam diri mahasiswa tersebut terhadap kejadian yang dialami oleh temannya. Kondisi perasaan ini yang mendorong mahasiswa untuk melakukan tindakan menolong. Setelah mahasiswa mampu menempatkan diri dari sudut pandang teman yang membutuhkan bantuan dan mampu berempati, maka akan muncul suatu perasaan dalam diri mahasiswa tersebut. Bentuk perasaan yang dapat muncul pada saat mahasiswa menghadapi teman yang sedang terkena musibah misalnya, terharu, iba, sedih dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan afek positif dalam diri mahasiswa tersebut. Munculnya perasaan ini akan menggerakkan mahasiswa untuk membantu temannya. Kesediaan ataupun ketidaksediaan seorang mahasiswa untuk menolong temannya yang berada dalam kesusahan dapat dipengaruhi oleh apa yang lebih dipentingkan oleh mahasiswa itu sendiri, apakah ia lebih mementingkan mengekspresikan dirinya, misalnya dengan memenuhi kebutuhannya terlebih

6 dulu, ataukah mahasiswa tersebut cenderung lebih memperhatikan relasinya dengan orang lain. Hal ini tergantung dari kecenderungan konstruk self yang ada dalam diri mahasiswa itu sendiri. Menurut Markus dan Kitayama (1991), self dirumuskan sebagai konstelasi dari pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan mengenai relasi diri dengan orang lain dan diri yang berbeda dari yang lain. Self mempunyai dua aspek yakni private self dan public self. Private self merujuk pada atribut internal yang dimiliki mahasiswa sedangkan public self merujuk pada relasi mahasiswa dengan orang lain di lingkungannya. Setiap mahasiswa memiliki kedua aspek self ini dalam kadar yang bervariasi dan variasi ini mewarnai konstruk self. Self dapat berpengaruh terhadap perilaku yang akan ditampilkan oleh mahasiswa. Misalnya, pada saat mahasiswa sedang beristirahat, tiba-tiba ia dimintai tolong oleh seorang temannya untuk menemani ke rumah sakit. Di dalam diri mahasiswa ini terdapat dua pilihan, yaitu apakah ia mau menolong temannya tersebut ataukah ia menolak permintaan temannya tersebut dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Mahasiswa yang lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu, secara kognisi ia akan memikirkannya terlebih dahulu bahwa dirinya lelah dan butuh istirahat. Dalam segi emosi, mahasiswa dapat mengatakan istirahat itu penting bagi dirinya sehingga ia termotivasi untuk memenuhi kebutuhannya yaitu istirahat, dan dengan kata lain, mahasiswa tersebut akan menolak permintaan temannya. Bila mahasiswa cenderung lebih sering memperhatikan apa yang diinginkan oleh dirinya sendiri daripada memperhatikan

7 relasi dengan orang lain, atau dengan kata lain private self-nya lebih dominan dari public self, maka mahasiswa ini mempunyai konstruk self yang independen. Lain halnya dengan mahasiswa yang memiliki kecenderungan untuk lebih memperhatikan bagaimana membina, mempertahankan relasi atau hubungan baik dengan orang lain. Secara kognisi, mahasiswa ini menyadari dan berusaha untuk memahami bahwa kesulitan teman yang sedang menderita. Dari segi emosi, mahasiswa ini akan melakukan apapun untuk menolong temannya ini karena ia akan merasa tidak enak bila ia menolak permintaan temannya tersebut. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan motif sosial yang sudah ada dalam diri dan membuat mahasiswa ini lebih terdorong untuk membantu temannya dengan mengesampingkan kegiatan yang sedang dilakukannya, yakni istirahat. Bila mahasiswa lebih sering memperhatikan relasi dengan orang lain daripada memperhatikan apa yang diinginkan oleh dirinya, atau dengan kata lain public self-nya lebih dominan dari private self, maka mahasiswa ini mempunyai konstruk self yang interdependen. Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh mahasiswa, 40% mahasiswa menyatakan bahwa mereka lebih mementingkan dapat memenuhi kebutuhan diri dulu daripada memelihara hubungan baik dengan orang lain. Ketika dihadapkan pada situasi dimana ada orang yang butuh bantuan, 50% dari mahasiswa ini menyatakan bahwa mereka merasa malas memberikan bantuan kepada orang lain, walaupun mereka sebenarnya tahu bahwa orang tersebut pantas untuk dibantu. Alasan malas memberikan bantuan ini, salah satunya membuat mereka kurang bisa memahami pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut dan kurang dapat

8 merasakan perasaan yang dialami oleh orang yang meminta bantuan kepada mereka, sehingga di dalam dirinya, mereka tidak merasakan perasaan seperti kasihan kepada orang yang butuh bantuan. Hal inilah yang menyebabkan mereka merasa malas untuk membantu orang yang butuh bantuan. Sedangkan 50% lagi menyatakan bahwa mereka merasa ingin membantu orang yang berada pada situasi yang butuh bantuan karena mereka merasa sadar bahwa situasi tersebut butuh bantuan. Mereka juga mampu memahami dari sudut pandang pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut dan bahkan merasa seolah-olah menghadapi situasi tersebut dan muncul perasaan kasihan kepada orang yang butuh pertolongan. Hal inilah yang menggugah dan mendorong mahasiswa bersedia membantu orang yang sedang mengalami kesulitan. Enam puluh persen dari sepuluh mahasiswa yang diwawancara menyatakan bahwa mereka lebih mementingkan membina hubungan baik dengan orang lain daripada memenuhi kebutuhan diri mereka dulu. Ketika mahasiswa dihadapkan pada situasi ada orang yang sedang berkesusahan, 66.7% menyatakan bahwa mereka merasa malas untuk memberikan bantuan kepada orang lain, walaupun mereka sebenarnya tahu bahwa orang tersebut pantas untuk dibantu. Tujuh puluh lima persen dari 66.7% mahasiswa yang merasa malas memberikan bantuan menyatakan bahwa mereka bisa memahami pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut, dapat turut merasakan perasaan yang dialami orang yang membutuhkan bantuan dan timbul perasaan seperti kasihan. Dua puluh lima persen dari 66.7% mahasiswa menyatakan bahwa mereka kurang bisa memahami pemikiran orang tersebut dan kurang dapat merasakan perasaan yang dialami oleh

9 orang yang butuh bantuan tersebut, sehingga tidak timbul perasaan seperti kasihan. Sedangkan 33.3% dari 60% mahasiswa yang menyatakan diri mereka lebih mementingkan membina hubungan baik dengan orang lain, menyatakan bahwa mereka merasa ingin membantu orang yang berada pada situasi yang butuh bantuan karena mereka merasa sadar bahwa situasi tersebut butuh bantuan. Mereka juga mampu memahami dari sudut pandang pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut dan merasa seolah-olah menghadapi situasi tersebut sehingga muncul perasaan kasihan kepada orang yang butuh pertolongan. Hal inilah yang menggugah mereka untuk bersedia menolong orang tersebut. Dari sepuluh mahasiswa yang diwawancara, 40% mahasiswa menyatakan bahwa di dalam dirinya mempunyai kecenderungan self yang independen. Lima puluh persen dari mahasiswa ini mempunyai motif prososial yang cenderung kuat dan sisanya mempunyai motif prososial yang cenderung lemah. Enam puluh persen mahasiswa yang diwawancara, menyatakan bahwa dirinya mempunyai kecenderungan self yang interdependen dan 66.7% dari mahasiswa ini mempunyai motif prososial cenderung lemah, sedangkan 33.3% mempunyai motif prososial yang cenderung kuat. Berdasarkan bervariasinya data yang diperoleh, peneliti ingin meneliti apakah terdapat hubungan antara self yang ada dalam diri dengan motif prososial pada mahasiswa Universitas X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini, ingin diketahui apakah terdapat hubungan antara self dan motif prososial pada mahasiswa Universitas X Bandung?

10 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah mengetahui apakah terdapat hubungan antara self dan motif prososial pada mahasiswa Universitas X bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran faktor-faktor penunjang yang dapat mempengaruhi motif prososial pada mahasiswa Universitas X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah a. Memberi informasi bagi bidang psikologi khususnya psikologi sosial mengenai motif prososial dan self pada mahasiswa. b. Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai motif prososial dan self pada mahasiswa. 1.4.2 Kegunaan Praktis a. Memberi informasi kepada mahasiswa mengenai hubungan antara self dan motif prososial supaya mahasiswa dapat menunjukkan perilaku prososial yang berkaitan dengan kecenderungan self yang ada pada dirinya.

11 b. Memberi informasi sebagai bahan pertimbangan kepada Universitas X Bandung dalam upaya meningkatkan motif prososial para mahasiswanya. 1.5 Kerangka Pemikiran Pada umumnya, mahasiswa berusia antara 18 sampai 22 tahun dan berada di tahap usia remaja akhir. Pada masa ini, mahasiswa diharapkan mampu mencapai identitas diri dan kemandirian, mampu berpikir kompleks dan abstrak, mencapai status dan bertanggung jawab sebagai orang dewasa yang sudah mengalami perubahan di dalam diri, dari tipikal yang dependency pada masa kanak-kanak berubah ke autonomy pada masa remaja (Steinberg, 2002). Menurut John Hill (dalam Steinberg, 2002), perubahan ini berpengaruh secara kognisi, biologis dan sosial, sehingga perkembangannya akan turut berpengaruh pada aspek kepribadian yang merupakan pusat persepsi, evaluasi dan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah self. Self dipandang sebagai subjek yang mengalami, berpikir dan membentuk pengetahuan, serta sebagai objek yang bisa tercermin melalui pikiran-pikirannya (William James, 1890). Secara lebih khusus, self dikonsepsikan sebagai konstelasi dari pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan mengenai relasi diri dengan orang lain dan diri yang berbeda dari yang lain (Markus & Kitayama, 1991). Self memiliki dua aspek yaitu private self dan public self. Private self merujuk pada atribut internal yang dimiliki mahasiswa, sedangkan public self merujuk pada relasi mahasiswa dengan orang lain dan

12 institusi sosial yang ada di lingkungannya. Setiap mahasiswa memiliki kedua aspek self ini dalam kadar yang bervariasi dan variasi ini mewarnai konstruk self. Bila private self cenderung dominan dibandingkan public self, maka konstruk selfnya independen. Sebaliknya, jika public self cenderung lebih dominan dibandingkan private self, maka mahasiswa memiliki konstruk self yang interdependen. Self independen merupakan self yang lebih mementingkan pengekspresian atribut internal dirinya sendiri daripada menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain, sedangkan self interdependen lebih mementingkan menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain daripada pengekspresian atribut internal dirinya sendiri. Salah satu konsekuensi umum dari perbedaan konstruk diri ini adalah saat terjadi proses psikologis seperti kognisi, emosi dan motivasi yang akan berbeda pula pada masing-masing self-nya. Konstruk self memainkan peran utama dalam meregulasi proses-proses psikologis. Mahasiswa yang di dalam dirinya memiliki kecenderungan self yang independen, cenderung akan terpisah dari konteks interpersonal. Mahasiswa ini memandang dirinya sebagai sesuatu yang stabil karena merasa dirinya mempunyai struktur kepribadian yang menyatu dan tidak terikat dalam situasi. Mahasiswa ini lebih memperhatikan atribut internalnya sendiri yang ada dalam diri seperti kemampuan, pikiran, dan perasaan. Mahasiswa dengan kecenderungan self independen juga mempunyai keinginan untuk menjadi unik, mengekspresikan dirinya sendiri, menyadari atribut internalnya, berusaha mencapai keinginan yang diharapkan oleh diri sendiri, dan secara langsung berusaha mengungkapkan apa yang sedang ada dalam pikiran mahasiswa ini sendiri. Mahasiswa ini peduli dan

13 responsif terhadap lingkungan sosialnya, hanya saja kepedulian ini digunakan untuk mengevaluasi dirinya dengan menilai peran orang lain yang dilihat sebagai perbandingan sosial. Mahasiswa ini juga menyatakan bahwa dasar dari self esteem-nya adalah kemampuan untuk mengekspresikan diri dan mensyahkan atribut internalnya (Markus & Kitayama, 1991). Berbeda dengan mahasiswa yang di dalam dirinya memiliki kecenderungan self yang interdependen. Mahasiswa ini lebih berkaitan dengan konteks sosial sehingga mempunyai struktur kepribadian yang lebih fleksibel dan dapat berubah, dalam artian berubah untuk dapat menyesuaikan diri sesuai situasi dalam relasinya bersama orang lain, sehingga dapat diterima oleh orang tersebut. Mahasiswa lebih menekankan pada hal yang eksternal, ciri-ciri publik seperti status, peran dan hubungan; rasa memiliki dan sesuai dengan orang lain; menempatkan diri pada tempat yang pantas dan bertindak secara tepat; mencapai tujuan orang lain dan dalam berkomunikasi tidak secara langsung serta dapat membaca apa yang dipikirkan orang lain. Mahasiswa ini dicirikan dengan bagaimana relasi sosialnya dengan orang lain sehingga hal ini yang akan menentukan self mahasiswa tersebut dan bukan melalui atributnya yang unik. Mahasiswa ini tidak terpisah dari konteks sosialnya, lebih banyak berkaitan dengan orang lain dan kurang terdiferensiasi dari orang lain. Mahasiswa dimotivasi untuk menemukan cara yang cocok atau sesuai dengan orang lain untuk memenuhi dan menciptakan kewajiban yang harus dipenuhinya. Orang lain menjadi bagian yang integral dari setting, situasi atau konteks dimana self berkaitan, sesuai dan berasimilasi. Mahasiswa juga menganggap bahwa dasar dari

14 self esteem-nya berasal dari kemampuan untuk menyesuaikan diri, mengendalikan diri, dan memelihara harmonisasi dengan konteks sosial, karena mahasiswa menganggap bahwa menjaga harmonisasi dengan orang lain merupakan hal yang utama sedangkan mengekspresikan atribut internal sendiri merupakan hal yang sekunder. (Markus & Kitayama, 1991) Pada dasarnya, self yang ada dalam diri mahasiswa ini akan mempengaruhi bagaimana relasinya terhadap orang lain. Menurut Markus & Kitayama, 1991, salah satu konsekuensi dari self adalah mempengaruhi motivasi mahasiswa tersebut. Ada berbagai macam motivasi yang ada dalam diri, salah satunya adalah motivasi untuk membantu orang lain atau yang dikenal dengan istilah motif prososial. Motif prososial merupakan motif yang mendasari mahasiwa untuk bertingkah laku prososial, yaitu tindakan yang bermaksud untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Motif prososial ini digugah oleh rangsang dari luar, yaitu bila individu dihadapkan pada situasi prososial. Situasi prososial merupakan suatu keadaan dimana orang lain membutuhkan bantuan. Menurut Hoffman (1975), interaksi antara aspek kognitif dan aspek afektif sangat penting dan berpengaruh terhadap motif prososial yang mendasari munculnya tingkah laku prososial (dalam Einsenberg, 1982; hal.281). Dalam penelitian Sri Untari Pidada (1988), kedua aspek ini dilihat dalam elemen-elemennya secara lebih khusus yang mendukung motif prososial (Kornadt, 1985; dalam Sri Untari,1988). Aspek kognitif terdiri atas tiga elemen yaitu persepsi terhadap

15 situasi, nilai prososial, dan perspektif sosial. Sedangkan pada aspek afektif terdiri dari dua elemen yaitu empati dan afek positif. Persepsi tentang situasi menjelaskan bahwa perilaku mahasiswa dipengaruhi oleh bagaimana ia mempersepsikan lingkungan. Persepsi terhadap situasi dalam konteks motif prososial diartikan sebagai usaha memaknakan situasi lingkungan sebagai situasi yang menggugah seseorang untuk mengulurkan bantuan. Nilai prososial merupakan nilai pribadi tentang perilaku menolong orang lain dimiliki atau dianut oleh mahasiswa. Nilai prososial merupakan hasil internalisasi nilai dan norma lingkungan akan tingkah laku sosial yang positif yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Nilai mempunyai fungsi seleksi, membuat nilai akan apa yang pantas atau tidak pantas untuk dilakukan (Kluckhohn, 1951, dalam Sri Untari Pidada, 1988). Perspektif sosial merupakan penggambaran mengenai pemahaman kognitif mahasiswa tentang kondisi orang yang perlu dibantu setelah mahasiswa memberikan penilaian bahwa ada situasi yang membutuhkan bantuan. Untuk itu mahasiswa memerlukan kemampuan ini untuk dapat menempatkan diri secara kognitif pada posisi orang yang mengalami kesulitan. Kemampuan empati itu sendiri adalah kemampuan seseorang untuk ikut merasakan kebutuhan orang lain yang memerlukan bantuan atau mengambil alih perasaan orang yang membutuhkan bantuan. Kemampuan empati menurut Hoffman (1975), merupakan dasar motif untuk menolong orang lain (dalam Eisenberg, 1982, hal 290).

16 Afek positif menggambarkan bentuk-bentuk perasaan yang muncul jika berhadapan dengan situasi orang lain yang mengalami kesulitan, misalnya, terharu, sedih, iba, kasih, trenyuh. Munculnya perasaan ini akan menggerakkan mahasiswa untuk membantu orang lain. Hidup perasaan mahasiswa akan tergerak jika ia dapat menempatkan diri dalam kondisi kesulitan orang lain secara kognitif maupun afektif. Munculnya perasaan-perasaan yang bermuatan positif menjadi determinan munculnya perilaku sosial yang positif pula. Selain elemen-elemen dari motif prososial, di dalam diri mahasiswa juga terdapat ciri kepribadian yang terungkap dalam masing-masing self seperti yang telah diungkapkan terdahulu. Hal ini akan mengakibatkan konsekuensi umum, yakni pada saat terjadi proses psikologis seperti kognisi, emosi dan motivasi. Mahasiswa yang di dalam dirinya memiliki kecenderungan self yang independen, akan lebih mementingkan pengekspresian diri dahulu dibanding memelihara hubungan baik dengan orang lain. Hal ini berpengaruh terhadap segi kognitifnya, yakni mahasiswa memiliki ingatan yang lebih rinci dan kaya tentang diri sendiri daripada pengetahuan tentang orang lain, sehingga membuat mahasiswa cenderung akan berfokus kepada apa yang dibutuhkan oleh dirinya. Pada saat mengetahui ada suatu situasi dimana orang sedang membutuhkan bantuan, mahasiswa ini cenderung akan mengesampingkan hal tersebut (persepsi tentang situasi), walaupun ia mengetahui bahwa orang tersebut memang butuh untuk dibantu (nilai prososial). Walaupun mahasiswa tersebut menyadari ada situasi yang butuh bantuan dan orang tersebut perlu dibantu, tapi secara kognitif karena di dalam diri mahasiswa lebih mengutamakan pengekspresian dirinya dulu,

17 hal ini dapat mempengaruhi mahasiswa tersebut, salah satunya mahasiswa menjadi kurang dapat memahami sudut pandang pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut (perspektif sosial). Dari segi emosi, emosi seperti marah, frustrasi, dan rasa bangga yang merupakan hasil dari atribut internal biasanya akan dioperasikan secara efektif, diekspresikan dan digunakan untuk memelihara dan mendukung konstruk dari self-nya. Hal ini membuat perhatian dari mahasiswa dengan self independen akan diarahkan pada inner self, yang meliputi inti internal dari pengalaman emosional mahasiswa itu sendiri. Pada saat mengetahui ada orang yang perlu dibantu, hal ini menjadikan mahasiswa menjadi kurang bisa untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang butuh bantuan (empati). Dari segi motivasi, mahasiswa ini akan berupaya untuk mengekspresikan kebutuhan internal, hak, kemampuan serta berupaya untuk menghindari tekanan sosial. Hal ini membuat dorongan dalam diri lebih dipentingkan untuk mengekspresikan keunikan dalam diri dulu daripada untuk membina relasi dengan orang lain, sehingga bila mahasiswa ini dihadapkan pada situasi ada orang yang butuh bantuan, di dalam dirinya kurang timbul perasaan seperti kasihan pada saat melihat orang yang butuh bantuan (afek positif). Hal ini membuat mahasiswa menjadi kurang tergugah dan cenderung mengesampingkan dorongan untuk membantu orang yang sedang berada dalam kesusahan. Berbeda dengan mahasiswa yang memiliki kecenderungan self di dalam dirinya adalah independen, mahasiswa yang di dalam dirinya memiliki kecenderungan self yang interdependen akan lebih memperhatikan relasinya dengan orang lain. Dari segi kognisi, mahasiswa ini akan memiliki pengetahuan

18 yang lebih lengkap dan kaya tentang orang lain dibandingkan dengan diri mereka. Hal ini akan berpengaruh pada diri mahasiswa saat mengetahui ada suatu situasi dimana ada orang sedang membutuhkan bantuan (persepsi tentang situasi), mahasiswa ini akan menyadari bahwa orang tersebut memang butuh untuk dibantu (nilai prososial), sehingga mahasiswa ini cenderung mampu untuk memahami sudut pandang pemikiran orang yang butuh bantuan tersebut (perspektif sosial). Dari segi emosi, mahasiswa yang memiliki kecenderungan self interdependen mempunyai emosi seperti simpati, perasaan yang berkaitan dengan relasi interpersonal yang akrab, malu, yang pengekspresiannya ditujukan untuk memelihara dan mendukung konstruk dari self, sehingga perhatian dari mahasiswa ini akan lebih diarahkan pada aspek pengalaman emosional yang berkaitan dengan orang lain. Pada saat mahasiswa mengetahui ada orang butuh untuk dibantu, mahasiswa ini lebih bisa turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang butuh bantuan (empati). Dari segi motivasi, mahasiswa berupaya untuk mendapat penerimaan dari orang lain, menyesuaikan kebutuhan dan tuntutannya dengan orang lain dan dalam mengekspresikan diri serta mengalami sesuatu, lebih didasarkan pada motif sosial, sehingga saat mahasiswa ini berhadapan pada situasi dimana ada orang butuh bantuan, di dalam diri mahasiswa ini akan timbul perasaan seperti kasihan (afek positif), yang akan menggugah dirinya untuk bersedia membantu orang tersebut. Selain self yang telah diungkapkan diatas, motif prososial juga dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal lainnya. Faktor internal lainnya

19 seperti usia, jenis kelamin, perkembangan kognitif. Faktor eksternal seperti keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekitar seperti lingkungan pendidikan. Dari penelitian para ahli mengenai pengaruh perbedaan jenis kelamin dengan motif prososial, diperoleh gambaran yang tidak selalu sama yang menggambarkan bahwa salah satu jenis kelamin memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan tingkah laku prososial (Eisenberg, 1982). Dari penelitian para ahli, juga diperoleh bahwa ada hubungan antara usia dengan beberapa indikator tingkah laku prososial, namun tidak dapat disimpulkan untuk tingkah laku prososial secara keseluruhan. Ada konsistensi hubungan antara usia dengan indikator kecenderungan berbagi. Menurut Piaget, pada usia 18-22 tahun mahasiswa seharusnya telah mencapai tahap formal operation dimana mahasiswa telah mampu berpikir berdasar hipotesis, abstrak sehingga mampu memahami suatu situasi dan latar belakangnya, mampu melihat perbedaan-perbedaan pada suatu persamaan, atau sebaliknya. Dengan kemampuan ini diharapkan mahasiswa mampu mengolah situasi orang yang membutuhkan bantuan dan melihat masalah dari beragam sudut pandang dan dapat mereka tindakan yang hendak ditampilkan jika menghadapi situasi tertentu. Faktor eksternal juga melatarbelakangi munculnya motif prososial di dalam diri mahasiswa. Lingkungan yang paling efektif adalah lingkungan keluarga dan orang tua sebagai model. Hoffman secara konsisten dalam 3 dekade (1963, 1975, 1982) mengemukakan bahwa motif prososial pada anak dipengaruhi oleh bagaimana orang tua membantu memunculkan motif tersebut. Orang tua berperan sebagai model tingkah laku prososial. Anak akan mengobservasi

20 perilaku orang tua dan anak akan menirunya. Orang tua memberikan reinforcement. Orang tua menunjukkan perilaku menolong sambil memberikan petunjuk secara verbal dalam membentuk tingkah laku menolong dan mengapa individu harus menolong. Hal ini merupakan upaya orang tua untuk menunjukkan perilaku menolong yang dikehendaki dan upaya menstimulasi penalaran moral tentang perilaku menolong itu sendiri. Selain faktor keluarga, faktor lain yang juga turut mempengaruhi perkembangan tingkah laku prososial adalah lingkungan teman sebaya dan pendidikan. Mulai memasuki usia sekolah, lingkungan pendidikan mempengaruhi secara signifikan pada tingkah laku anak (Bar-Tal, 1978; Dreeben, 1968). Sosialisasi dalam lingkungan pendidikan dan teman sebaya akan membantu perkembangan motif prososial di dalam diri.

21 Mahasiswa Universitas X Bandung Faktor Eksternal - keluarga - teman sebaya - lingkungan pendidikan Faktor Internal - usia - jenis kelamin -perkembangan kognitif Kuat Motif Prososial Self - Struktur - Ciri utama -Tugas -Peran orang lain - Dasar self esteem Konsekuensi pada : - kognisi - emosi - motivasi Aspek Kognitif - Persepsi tentang situasi - Nilai Prososial - Perspektif Sosial Aspek Afeksi - Empati - Afek positif Lemah Bagan 1.1 Kerangka Pikir

22 Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan asumsi yang mendasari penelitian ini, yakni : 1. Dalam diri mahasiswa terdapat pusat dari persepsi, evaluasi dan tingkah laku yang disebut dengan self, yang cenderung independen ataupun interdependen. 2. Self independen pada mahasiswa adalah self yang lebih mementingkan pengeskpresian atribut internal daripada menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain, sedangkan self interdependen pada mahasiswa merupakan self yang lebih mementingkan menjaga harmonisasi hubungan dengan orang lain daripada mengekspresikan atribut internalnya. 3. Self independen maupun self interdependen mempunyai konsekuensi terhadap kognisi, emosi dan motivasi dalam diri mahasiswa, salah satunya motif prososial. 4. Motif prososial terdiri atas aspek kognitif dan aspek afektif. 5. Motif Prososial dipengaruhi juga oleh faktor internal dan faktor eksternal. 1.6 Hipotesis Terdapat hubungan antara self dan motif prososial pada mahasiswa Universitas X Bandung.