TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN SUMPAH PEMUTUS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MEHDIANTARA / D

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D.

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014

BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERDATA

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis

Kata Kunci : Alat Bukti, Sumpah dan Pemeriksaan

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

PEMBEBANAN SUMPAH PEMUTUS (DECISSOIR) DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Perkara Perdata Putusan No. 100/PN.Dps/Pdt/1978.)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

ALAT BUKTI PENGAKUAN DAN NILAI PEMBUKTIANNYA DALAM PERSIDANGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

ASPEK YURIDIS TENTANG UPAYA HUKUM LUAR BIASA (PENINJAUAN KEMBALI) TERHADAP PUTUSAN YANG BERKEKUATAN TETAP SYARIFA NUR / D

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

PROSES PEMBUKTIAN DAN PENGGUNAAN ALAT-ALAT BUKTI PADA PERKARA PERDATA DI PENGADILAN. Oleh : Deasy Soeikromo 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

III. PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

P U T U S A N Nomor : 0016/Pdt.G/2014/PTA.Pdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

BAB I PENDAHULUAN. warga negara merupakan badan yang berdiri sendiri (independen) dan. ini dikarenakan seorang hakim mempunyai peran yang besar dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JAMINAN. Oleh : C

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

TINJAUAN PUSTAKA. hukum antara orang yang satu dan orang yang lain. Perikatan atau hubungan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. pihak lainnya atau memaksa pihak lain itu melaksanakan kewajibannya. dibentuklah norma-norma hukum tertentu yang bertujuan menjaga

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

PUTUSAN. Nomor : 1519/Pdt.G/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

KEKUATAN ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS LEGALISASI AKTA DI BAWAH TANGAN OLEH NOTARIS AYU RISKIANA DINARYANTI / D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

P U T U S A N Nomor :568/PDT/2016/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PRODEO (Selayang Pandang Implementasi SEMA No. 10 Tahun 2010 Oleh : Firdaus Muhammad Arwan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

EVITAWATI KUSUMANINGTYAS C

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

BAB IV LAPORAN DAN ANALISIS. melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN. Rosdalina Bukido. Abstrak

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

GANTI RUGI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM PENGEMUDI

P U T U S A N Nomor 489/PDT/2014/PT.Bdg.

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

S A L I N A N P U T U S A N

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN NOTARIS DALAM KASUS PERDATA DAN PIDANA Dr. AGUNG IRIANTORO, SH.,MH

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA OLEH PEJABAT TATA USAHA NEGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual

Makalah Rakernas

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengadilan Agama sebagaimana didalilkan oleh Pemohon berikut bukti-bukti surat yang diajukannya, namun Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dalam

BAB III PENUTUP. 62 Universitas Indonesia

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TANGGAL 18 JULI DALAM PERKARA NOMOR 3277 K/ Pdt/ 2000

BAB IV. ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NO.155/Pdt.G/2008/PTA Sby TENTANG PENGINGKARAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sehari-hari seringkali terjadi gesekan-gesekan yang timbul diantara. antara mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

P U T U S A N. NOMOR : 03/Pdt.G/2009/PTA.Bn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV KEKUATAN HUKUM ALAT BUKTI SURAT TERGUGAT SEHINGGA DIMENANGKAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA NO.12/PDT.G/2010/PN.LLG TENTANG SENGKETA TANAH.

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

Putusan Nomor : 276/Pdt.G/2011/PA.Pkc. hal. 1 dari 10 hal.

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN SUMPAH PEMUTUS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MEHDIANTARA / D 101 09 740 ABSTRAK Setiap orang yang mendalilkan, bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut, sebagaimana diatur dalam pasal 1865 KUHPerdata. Pembuktian sangat penting peranannya bahkan menentukan dikabulkan tidaknya tuntutan tersebut. Dalam Undang-undang ditetapkan sejumlah alat bukti yang mana salah satu diantaranya adalah alat bukti sumpah. Sumpah sebagai alat bukti dikenal tiga macam yakni, sumpah decissoir, sumpah suppletoir dan sumpah aestimatoir. Sumpah pemutus dapat diperintahkan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya dalam setiap tingkatan perkaranya. Timbul pertanyaan apakah sumpah ini masih dapat diperintahkan sampai pada tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan bagaimana halnya dengan pemeriksaan alat-alat bukti pada kewenangan judex factie yaitu pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Sidang pada tingkat Kasasi hanya berwenang memeriksa soal hukumnya. Kata Kunci : Penerapan sumpah sebagai alat bukti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuktian adalah sangat besar peranannya bahkan menentukan dikabulkan tidaknya tuntutan tersebut. Pihak yang mengajukan tuntutan disebut sebagai Penggugat maupun mengajukan alat-alat bukti yang sempurna dan mengikat, maka tuntutannya yang dikenal dengan istilah Gugatan akan dikabulkan oleh Pengadilan. Demikian pula jika penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya, maka gugatan tersebut akan ditolak. Begitu pula tergugat, tidak dapat menunjukkan alat-alat bukti sah dan sempurna yang mendukung bantahannya, maka bantahan tersebut akan dikesampingkan oleh Pengadilan, sehingga pada akhirnya tergugat akan berada pada pihak yang dinyatakan kalah dalam perkara itu. Dalam undang-undang telah ditetapkan sejumlah alat bukti tersebut, yang mana salah satu diantaranya adalah alat bukti sumpah. Sumpah sebagai alat bukti dikenal ada tiga macam yaitu sumpah decissoir, sumpah suppletoir, sumpah aestimatoir. Dalam undang-undang terdapat suatu ketentuan bahwa sumpah decissoir atau sumpah pemutus dapat diperintahkan oleh salah satu pihak kepada pihak Iawannya dalam setiap tingkatan perkaranya, bahkan juga apabila tiada upaya lain yang dapat digunakan untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang diperintahkan penyumpahannya itu. Ketentuan dimaksud di atas, menetapkan bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkaranya, maka timbul suatu pertanyaan apakah sumpah ini masih dapat diperintahkan sampai pada tingkat kasasi pada Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan terhadap bagaimana halnya dengan pemeriksaan mengenai alatalat bukti pada kewenangan judex factie, yaitu pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sedang pada tingkatan kasasi (Mahkamah Agung) hanya berwewenang memeriksa soal hukumnya. 1

Demikian pula undang-undang ditetapkan suatu ketentuan untuk penerapan sumpah decissoir, bahwa sumpah ini harus menyangkut perbuatan yang dialami sendiri oleh orang yang bersumpah, yang kepada sumpahnya digantungkan keputusan perkara itu dengan kata lain bahwa sumpah decissoir memiliki syarat tertentu. Dengan adanya syarat tersebut, timbul masalah yakni orang yang mengalami sendiri perbuatan tersebut telah berhalangan tetap atau telah meninggal lalu bagaimana pengucapan sumpah sedangkan pengucapan tidak dapat dilakukan orang lain. Demikian pula jika yang menjadi pihak dalam suatu perkara perdata adalah badan hukum. Oleh karena sumpah ini sangat menentukan putusan akhir suatu perkara perdata, maka menarik untuk dikaji, khususnya dalam pembebanan dan penerapan, serta daya bukti sumpah tersebut. Bilamana para pihak telah mengajukan alat bukti, akan tetapi belum memiliki kekuatan pembuktian sempurna atau bukti permulaan maka oleh undang-undang memberikan kewenangan kepada hakim. Untuk memerintahkan kepada salah satu pihak mengangkat suatu sumpah, guna melengkapi/menyempurnakan pembuktian yang telah diajukan. Rumusan di atas, maka timbul pertanyaan pihak yang manakah harus diperintahkan oleh hakim untuk melakukan sumpah pelengkap ini. Apakah penggugat atau tergugat? Hal ini tidak diatur secara tegas dalam undang-undang sehingga perlu dikaji sejauhmana penerapannya dalam praktek, serta kekuatan pembuktiannya. Begitu pula dalam praktek peradilan terdapat tuntutan ganti rugi yang harus dipenuhi oleh pihak tergugat. Bilamana ia tidak dapat mengajukan alat bukti yang dapat memberikan kepastian kepada hakim tentang berapa besarnya kerugian yang dialami oleh penggugat, maka undang-undang memberikan kewenangan kepada hakim untuk memerintahkan penggugat mengangkat sumpah, yang dimaksudkan agar dapat diperoleh suatu kepastian, berapa besar sebenarnya kerugian yang dialami oleh penggugat dan atas dasar sumpah tersebut Pengadilan akan menjatuhkan putusannya. Hal tersebut di atas apakah pembebanan sumpah ini dapat dikembalikan. A. Rumusan Masalah Apakah permasalahan hukum yang timbul dalam penerapan sumpah sebagai alat bukti moriontulon dalam penyelesaian perkara perdata II. PEMBAHASAN A. Penerapan Sumpah Pemutus dalam Pemeriksaan Perkara Perdata dan Kekuatan Hukumnya Ketentuan dalam undang-undang tidak ada satupun yang secara tegas menetapkan tentang bagaimana kekuatan pembuktian sumpah decissoir. Sungguhpun demikian, kekuatan pembuktiannya dapat disimpulkan dan rumusan pasal 183 ayat (3) RO.Bg / pasal 156 ayat. (3) HI.R Sebagaimana telah diungkapkan dimuka dalam pasal tersebut ditetapkan: Barang siapa disuruh bersumpah, tetapi tidak mau bersumpah sendiri atau menolak sumpah itu kepada Iawannya, atau pun barang siapa yang menyuruh bersumpah tetapi sumpah itu dipulangkan kepadanya dan tidak mau bersumpah maka Ia harus dikalahkan. 1 Bila ditelaah ketentuan diatas, maka secara inplisit mengandung makna bahwa sumpah decissoir memiliki kekuatan pembuktian sempurna karena kalau salah satu pihak diperintahkan mengangkat sumpah dan ternyata ia bersedia bersumpah, maka harus dipandang bahwa dalil atau bantahannya telah terbukti dengan sernpuma dan bagi pengadilan telah terikat untuk menjatuhkan putusannya. Dengan menyatakan bahwa pihak yang bersumpah itu yang menang. Sebaliknya, kalau pihak yang diperintahkan bersumpah tidak bersedia rnengangkat sumpah, maka pihak pemberi perintah yang dinyatakan menang. Uraian ini adalah sejalan dengan pandangan I Gusti Made, dimana beliau mengatakan: 1 R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980 hlm. 30 2

Bahwa Karena dalam ketentuari undangundang sudah secara tegas ditentukan rnenang kalahnya salah satu pihak, manakala diantara para pihak itu salah satunya ada yang mengangkat sumpah decissoir, maka sudah tidak dapat diragukan lagi bahwa sumpah decissoir adalah merupakan salah satu alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna, dan mengenai hal ini yuriprudensipun memandang demikian. 2 Bila dikaji secara mendalam ketentuan pasal 183 ayat (3) R.Bg I pasal 156 ayat (3) H.I.R, maka sungguh betapa besar nilai kekuatan pembuktian sumpah decissoir yang diberikan oleh undang-undang mengapa tidak? karena sebagaimana ditetapkan dalam pasal tersebut, kalau salah satu pihak telah mengangkat sumpah docissoir, maka pihak Iawannya dinyatakan kalau dalam perkara itu. Dengan adanya penyebutan secara tegas kata kalah dalam ketentuan ini, nenunjukkan bahwa jika salah satu pihak telah mengangkat sumpah decissoir, maka tidak ada kemungkinan lagi bagi pihak Iawannya untuk berupaya membuktikan sebaliknya (Tengen Bewijs) tentang kepalsuan sumpah tersebut. Dengan kata lain, tidak dimungkinkan lagi adanya pembuktian perlawanan, bahkan dapat dikatakan, sebelum Pengadilan menjatuhkan putusannya atas perkara itu, maka melalui ketentuan tersebut seolah-olah pembentuk undang-undang telah mendahului memvonis para pihak tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah, bila salah satu pihak sudah mengangkat sumpah deisoir Keputusan Pengadilan yang hendak dijatuhkan atas perkara itu, nampaknya tinggal merupakan formalitas belaka yang harus dipenuhi dalam proses acara, karena sebelum dijatuhkannya keputusan tersebut, para pihak telah mengetahul tentang menang kalahnya dalam perkara itu. Tentang tidak dapatnya diajukan pembuktian perlawanan (Tegen Bewijs) terhadap sumpah decissoir, akan semakin jelas jika ditilik rumusan asal 1936 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Apabila seseorang yang telah diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau seorang yang kepada sumpahnya telah dikembalikan pemutusannya perkara, sudah mengangkat sumpahnya, maka tak dapatlah pihak lawan diterima untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu. Menurut R. Supomo, meskipun HIR tidak mempunyai pasal sebagaimana pasal 1936 BW, akan tetapi isi peraturan BW itu tentunya berlaku juga bagi acara perdata di Pengadilan Negeri. Semakin nampak, betapa besar nilai kekuatan pembuktian sumpah decissoir, karena sekalipun ada keraguan dan salah satu pihak bahwa sumpah decissoir yang diangkat Iainnya adalah palsu Ia tidak dibenarkan untuk mernbuktikan kepalsuan sumpah tersebut. Kalaupun melaporkan kepada Pejabat yang berwenang untuk memproses atau memeriksa kepalsuan sumpah itu dalam suatu pericara pidana berdasarkan pasal 242 KUHP, yang kernudian keputusan Pengadilan menyatakan terbukti bahwa sumpah diecissoir tersebut adalah palsu namun keputusan ini tidak berpengaruh, dalam arti tidak akan dapat merobah akibat hukum sumpah diecissoir yang angkat dalam perkara tersebut. Apa yang diuangkapkan diatas adalah searah dengan pendapat Abdul kadir Muhammad, yang menyatakan: Akibat hukum sumpah pemutus ialah bahwa perbuatan yang dimintakan sumpah itu merupakan bukti yang menentukan. bahkan jika perbuatan yang dimintakan sumpah itu tidak benar, hal itu tidak akan menghilangkan akibat hukum sumpah pemutus tu. 3 Sangatlah tepat apa dikemukakan oleh Abdul kadir Muhammad, bahwa sumpah decissoir merupakan alat bukti yang menentukan, Artinya menentukan putusan akhir perkara itu dan sekaligus menentukan menang kalahnya salah satu pihak. Lebih dari itu, suatu keputusan Pengadilan yang 2001, hlm. 23 2 I Gusti Made, Yurisprudensi, Sumur, Bandung, 3 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 121 3

dijatuhkan berdasarkan pembebanan sumpah decissoir maka seolah-olah keputusan itu Iangsung memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dikatakan demikian, karena keputusan pengadilan tersebut sama sekali tidak bisa dibanding atau dikasasi, kecuali jika dalam pembebanan sumpah itu Pengadilan menyimpang dan ketentuan hukum yang sebenarnya, misalnya tidak bersifat litis decissoir, atau dilakukan oleh orang lain tanpa ada surat kuasa khusus untuk itu. Pandangan yang dikemukakan diatas adalah sejalan dengan pendapat Retnowulan Sutantio yang mengatakan: Oleh karena pembebanan sumpah adalah melepaskan suatu hak untuk menang, maka dalam daftar banding atau kasasi putusan tersebut tidak akan diubah Jika seandainya sumpah tersebut dikelak kemudian hari ternyata palsu, hal itu tidak dapat diajukan sebagai alasan Rekes Sipir. Kekuatan pembuktian sumpah decissoir hanya berlalu atau mengikat bagi para pihak, beserta ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dan mereka. Hal ini secara tegas ditetapkan dalam pasal 1937 KUH Perdata bahwa: Sumpah yang telah diangkat tidak memberikan bukti selainnya untuk keuntungan atau untuk keuntungan orang yang telah memerintahkannya atau mengembalikannya, beserta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dan mereka. Setelah diketahui kekuatan pembuktian sumpah decissoir, maka perlu dipertanyakan tentang apa sesungguhnya yang menjadi dasar pertimbangan pembentuk undang-undang memberikan kekuatan pembuktian yang cukup besar nhlainya terhadap sumpah tersebut? Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa: kekuatan yang oleh hukum di berikan kepada penyumpahan ini berdasar atas kepercayaan, bahwa seorang yang sudak disumpah, dan masih berani bohong, akan dapat hukuman dan Tuhan. kepercayaan ini menimbulkan anggapan, bahwa biasanya seorang yang harus meneguhkan perkataannya dengan sumpah, akan takut melakukannya, apabila ia bohong. 4 Sangatlah jelas kekuatan pembuktian yang diberikan oleh undang-undang kepada sumpah adalah didasarkan kepada adanya kepercayaan kepada Tuhan, bahwa barang siapa yang memberikan keterangan yang tidak benar diatas sumpah, maka akan menerima azab, laknat, siksa, kutuk dan Tuhan. Hal ini terbukti, karna setiap orang bersupah selalu diwajibkan berseru Kepada Tuhan. Jika orang yang hendak dibebani sumpah itu adalah orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan dengan dilandasi iman yang kuat maka apa yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro adalah cukup beralasan, Akan tetapi tak dapat diingkari suatu kenyataannya ada dewasa ini didalam masyarakat, dimana kita tak dapat menutup mata melihat banyaknya orang yang melalukan perbuatan amoral atau asusila. Salah satu contoh nyata, begitu banyaknya tempat-tempat / kompleks pelacuran yang kenyataan ini menunjukkan bahwa dewasa ini sudah banyak orang. yang kurang percaya terhadap Tuhan, sehingga Ia tidak akan merasa takut atas siksa dan laknat Tuhan yang hendak dikenakan kepadanya. Jika sekiranya orang-orang yang dimaksud diatas menjadi pihak dalam suatu perkara perdata, maka bukan suatu hal yang berat baginya untuk mengangkat sumpah palsu, manakala ia hendak diperintahkan bersumpah dalam perkara itu, Tepatlah apa yang dikemukakan oleh A, Pitlo, bahwa: Sumpah yang memutuskan adalah alat terakhir dan alat yang berbahaya, karena selalu ada orang yang bersedia untuk melakukan sumpah palsu apabila ia akan mendapatkan keuntungan materil dan padanya. 5 Berdasar pada uraian yang dipaparkan diatas yang pada pokoknya sejalan dengar pandangan A.Pitlo, maka menurut penulis pengakuan undang-undang terhadap sumpah 4 Wirjono Pradjonegoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, Sumur Bandung, 1980, hlm. 25 5 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluarsa, Intermesa, Jakarta, 1982, hlm. 20 4

decissoir sebagai salah satu alat bukti adalah sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dewasa ini, pola hidup masyarakat dewasa telah cenderung mengarah kepada sikap sekularisme dan materialistis dimana kurang memperhatikan hal sacral. Jika diamati bagaimana sikap masyarakat terhadap suatu sumpah, maka nampaknya nilai sakral sumpah itu semakin hari semakin cenderung pudar. Kita sering melihat dan mendengar, dikala orang-orang tertentu asyik dan serius berbicara, demikian mudahnya mengungkapkan suatu kalimat Demi Allah atau Demi Tuhan apa yang dikatakannya adalah benar yang meyakinkan lawan bicaranya guna mempertegas yang dikatakan itu adalah benar. Permasalahan yang cukup menarik dikaji berkenaan dengan alat bukti sumpah decissoir, dimana alat bukti ini dapat menimbulkan efek sampingan yang berupa suatu kekuatan pembuktian yang sungguh tidak dapat dipahami dan mana alasan pembenarnya yaitu adanya kemungkinan atau peluang yang diberikan oleh undang-undang kepada para pihak untuk menang dalam suatu perkara perdata, sekalipun para pihak sama sekali tidak mengajukan alat-alat bukti, termasuk diantara mereka tidak ada yang mengangkat sumpah. Untuk lebih jelasnya penulis akan mengungkapkan pandangan Sudikno Mertokusumo yang pada pokoknya berdasar dan pasal 183 ayat (3) R.Bg /156 ayat (3) H.I.R, dimana beliau mengemukakan: Menolak untuk mengucapkan sumpah decissoir akan mengakibatkan dikalahkannya delaaat. Sumpah yang dibebani sumpah decissoir tetapi menolak dan tidak juga mengembalikan sumpah kepada daferent ( dalan hal ini dikembalikan sumpah ini tersebut juga dalaat ), atau siapa yang memenintahkan pihak lawan untuk bersumpah tetapi di kembalikan oleh delaat kernudian daferent menolak untuk bersumpah haruslah dikalahkan). Dalam posisi kasus sebagai diungkapkan oleh Suctikno Mertokusumo diatas, ternyata diantara para pihak tidak ada yang angkat sumpah, namun tetap berakibat bahwa salah satu pihak dinyatakan kalah dalam perkara itu. Contoh kasus : seorang penggugat mengajukan gugatan dipengadilan terhadap seorang tergugat dengan dalil bahwa tergugat berutang sejumlah Rp. 3.000.000 (Tiga Juta Rupiah) kepada penggugat, dan utang mana sampai diajukannya gugatan tersebut tergugat belum rnembayarnya. Dimuka persidangan tergugat menyangkal gugatan penggugat, dimana ia membantah bahwa tidak benar tergugat berutang kepada penggugat sebagaimana termaktub dalam gugatan penggugat. Dalam perkara tersebut, baik pengugat maupun tergugat sama sekali tidak dapat mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan dalil atau bantuan masingmasing, untuk itu melalui hakim, penggugat memerintahkan kepada tergugat agar Ia mengangkat sumpah decissoir, tetapi ternyata tergugat tidak bersedia dan juga tidak mengembalikan perintah bersumpah itu kepada penggugat, sehigga akibatnya, berdasarkan ketentuan pasal 183 ayat (3)R.Bg I pasal 156 ayat (3) H.I.R penggugat dinyatakan menang dan tergugat dinyatakan kalah. Danti contoh kasus diatas, pengugat berhasil memenangkan perkara itu, sekalipun Ia sama sekali tidak mengajukan alat bukti dan juga Ia tidak mengangkat sumpah. Suatu dalil gugatan dipandang terbukti sekalipun tidak ada alat bukti yang membuktikan kebenaran dalil itu. 6 Penulis kurang sependapat jika dikatakan bahwa dalam contoh kasus itu yang dapat dpandang sebagai alat bukti adalah sumpah, karena didalam perkara tersebut penggugat tidak mengangkat sumpah, sebab bukankah yang dimaksud sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat dikemukakan oleh salah satu pihak dengan berseru kepada Tuhan? sedang dalam perkara itu penggugat tidak pernah mengemukakan suatu pernyataan yang khidmat dengan berseru kepada Tuhan, yang pada akhirnya juga tetap dimenangkan. 6 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 50 5

Anehnya lagi sebab setelah penggugat dinyataka menang dalam tersebut, bagi pihak sama sekali sudah tidak dapat dibenarkan untuk mengajukan alat-alat bukti yang dimaksudkan untuk melumpuhkan dalil gugatan penggugat. Karenanya penggugat memperoleh suatu kemenangan yang kekuatan hukumnya cukup menentukan, tanpa diketahui dan mana sumber dan dasarnya. Adakah kekuatan pembuktian dalam perkara tersebut? menurut hemat penulis, tidak ada karena kita baru dapat mengatakan ada suatu kekuatan pembuktian, manakalah ada alat bukti yang menjadi dasarnya. Ketentuan pasal 183 ayat (3) R.Bg/pasal 156 ayat (3) H.I.R membuka peluang yang cukup besar terhadap orang-orang tertentu yang beritikad buruk, berspakulasi mengajukan gugatan di pengadilan, sekalipun Ia mengetahui dengan pasti bahwa apa yang dituntutnya sesungguhnya Ia tidak berhak. III. PENUTUP A. Kesimpulan Sumpah sebagai salah satu alat bukti dalam perkara perdata di pandang bersifat religius, sumpah dalam undang-undang sebagai salah satu alit bukti yang sah, adalah didasarkan páda suatu anggapan bahwa bagi orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, ia akan takut memberikan keterangan yang tidak benar manakala keterangannya itu akan diteguhkan dengan sumpah, karena apabila Ia bohong maka Tuhan akan menghukumnya dengan menurunkan siksa, laknat dan azab baginya. Hal ini di dasari pada pemikiran bahwa undang-undang yang mengatur tentang sumpah itu diciptakan ratusan tahun silam yang ketika itu pola hidup masyarakat masih sangat sederhana dan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa masih cukup tinggi. Penerapan alat bukti sumpah dalam praktek peradilan, ternyata kadang-kadang menyimpang dan ketentuan yang mengaturnya. Hal ini tercermin dari banyaknya keputusan pengadilan (yudex pactic) yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Terhadap tempat pelaksanaan sumpah pada dasarnya harus dilakukan dipangadilan namun dalam hal-hal tersebut diluar pengadilan. dapat mengizinkan dilakukan di tempat-tempat lain diluar pengadilan. Demikian pula pengangkatan sumpah pada azasnya harus dilakukan sendiri oleh orang yang menjadi pihak dalam perkara perdata yang bersangkutan, namun dalam hal tertentu yaitu jika ada sebab yang penting maka pengadilan dapat mengizinkan dilakukan oleh orang lain asal saja berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu. B. Saran Sumpah sebagai suatu alat bukti dalam perkembangan dewasa ini nampaknya sudah tidak sesuai lagi diakui sebagai alat bukti dalam hukum perdata, maka disarankan agar hendaknya pengaturan sumpah selagi salah satu alat bukti dalam hukum perdata dapat ditinjau kembali, setidak-tidaknya menyangkut kekuatan pembuktiannya. 6

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Abdulkadir Muhammad, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia. Alumni, Bandung. A. Pitlo, 1978. Pembuktian dan Daluwarsa. Intermasa, Jakarta. R. Soepomo, 1980. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Pradnya Paramitha, Jakarta. Sudikno Mertokusumo, 191. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta. Wirjono Projodikoro, 1980. Hukum Acara Perdata Indonesia. Sumur Bandung, 1980. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuatan Kehakiman. 7

BIODATA MEHDIANTARA, Lahir di...,... Alamat Rumah Jalan..., Nomor Telepon +62..., Alamat Email... 8