ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pada 8 februari 2010 pukul Data dari diakses

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

PENDAHULUAN. serius karena perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang tidak. Latar belakang. rnenghubungkannya dengan Samudera Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

KAJIAN MATA PENCAHARIAN ALTERNATIF MASYARAKAT NELAYAN KECAMATAN KAMPUNG LAUT KABUPATEN CILACAP TUGAS AKHIR

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Anonimus Data Administratif Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR SULAWESI BARAT

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

Transkripsi:

Bimafika, 2010, 2, 114-121 ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Tahir Tuasikal*) Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon Diterima 15-04-10; Terbit 30-05-2010 ABSTRAK Usaha penangkapan kepiting bakau di Seram Bagian Barat dari tahun ke tahunnya semakin meningkat, sebagai respon terhadap semakin tingginya permintaan pasar. Sementara usaha kepiting bakau ini masih bersifat tradisional dan terfokus pada aktivitas penangkapan di alam, yang masih sangat tergantung kepada stok yang tersedia di alam. Untuk menghindari pemanfaatan kepiting bakau secara berlebihan yang berujung pada gejala over eksploitasi maka perlu adanya penelitian tentang potensi Permasalahannya, apakah potensi hutan Mangrove di daerah ini dapat menjamin kelimpahan populasi kepiting bakau? Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor : Kerapatan dan jenis-jenis vegetasi Mangrove dan Potensi kepiting bakau. Untuk menganalsisis data dilakukan dengan metode : Analisis jenis dan kerapatan Mangrove dengan cara menghitung jumlah individu per satuan unit blok sampel x jumlah blok dalam 1 hektar x total luas hutan Mangrove. Analisis potensi kepiting bakau menggunakan rumus Ss = D x A MSY (Maxsimum Sustainibel Yield) = 50 % X potensi kepiting bakau JTB (Jatah Tangkap yang dibolehkan = 80 % X MSY. Berdasarkan hasil pengamatan di sepanjang hamparan hutan mangrove Teluk Kotania (Kawasan Hutan Mangrove : Pelita Jaya, Kotania, dan Wael, termasuk Masika Jaya), dan kawasan Teluk Piru (Eti), tingkat kepadatan komunitas hutan mangrove sangat tinggi. Hal ini karena secara ekologis, perairan di kawasan ini sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan vegetasi hutan mangrove. Berdasarkan hasil penelitian, dalam kawasan (wilayah) ekologi didominasi oleh komunitas yang terdiri dari jenis vegetasi Famili Rhyzophoraceae (Spesies : Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza), Sonneratioceae (Spesies Sonneratio alba), dan Verbenaceae (Spesies Avisennia alba). Di antara spesies-spesies tersebut, Rhizophora apiculata banyak di jumpai di wilayah ekologi Kotania dan Wael ; Rhizophora stylosa di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) ; Rhizophora mucronata di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, dan Piru (Eti) ; Bruguiera gymnorhiza di wilayah ekologi Pelita Jaya, Wael, dan Piru (Eti) ; Sonneratio alba di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) ; dan Avisennia alba Pelita Jaya, Kotania, dan Piru (Eti). Tabel berikut menyajikan jenis-jenis vegetasi mangrove dalam kawasan ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti). Potensi kepiting bakau sangat berkaitan erat dengan besar kecilnya potensi vegetasi hutan Mangrove yang merupakan habitatnya. Sebagian besar kepiting bakau berada pada daerah estuaria, dan dalam kawasan hutan Mangrove. Habitat kepiting bakau di wilayah ekologi Pelita jaya, Kotania, Wael dan Piru (Eti) diperkirakan ± 14,5 Ha (dihitung berdasarkan prakiraan batasan luas areal penangkapan yang sering dilakukan oleh nelayan setempat). Pada Kawasan (areal penangkapan) Kecamatan Seram Barat, potensi kepiting bakau diperkirakan sebesar 99,82 ton (menggunakan asumsi luas areal penangkapan 14,5 ha), di mana MSY 49,91 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 40,468 ton/tahun kepiting bakau guna memperkirakan stok yang ada di alam sehingga dapat menjadi acuan dalam mengatur penangkapannya untuk menjamin usaha penangkapan kepiting bakau secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Kata Kunci : kepiting bakau, hutan Mangrove, jenis-jenis vegetasi Mangrove, daerah Estuaria PENDAHULUAN Latar Belakang Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah kepulauan di bagian Timur Indonesia dengan luas wilayah sebesar 712.479.69 km 2 yang terdiri dari wilayah laut seluas 658.249.69 km 2 (92.3 %). Sebagai suatu wilayah kepulauan, jika ditinjau dari sisi potensi sumberdaya alam, maka potensi sumberdaya yang paling potensial sesungguhnya berupa sumberdaya laut dan peisisir. Sumberdaya tersebut tersebar pada sebagian besar wilayah kepulauan Maluku. Sebagai wilayah kepulauan provinsi Maluku memiliki garis pantai yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada garis pantai ini sebagian ditumbuhi vegetasi hutan Mangrove yang luasnya Corresponding author: 60

mencapai 100 ribu hektar (Darsidi, 1982). Hamparan hutan Mangrove ini tersebar pada berbagai kabupaten dan kota di provinsi Maluku. Dalam kawasan hutan Mangrove ini, terdapat salah satu komoditas perikanan/pesisir yang belum dikelola secara optimal dengan baik yaitu Kepiting Bakau (Scylla spp). Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Provinsi Maluku (2006), luas kawasan hutan Mangrove mencapai 114.800,50 ha, dan 15,38 persen (17.652,36 ha) tersebar di kawasan pesisir pantai Pulau Seram dan sekitarnya. Dari jumlah tersebut, sebagian besarnya berada di sepanjang pesisir pantai Seram Bagian Barat. Menurut Pramudji, dkk (1994), hamparan hutan Mangrove yang paling luas di pulau Seram sekaligus merupakan habitat tumbuh yang paling baik bagi kepiting bakau, terdapat di kawasan teluk Kotania kabupaten SBB dengan luas kawasan hutan Mangrove mencapai 1.200 ha. Lebih jauh disebutkan bahwa, daerah ini memiliki kerapatan Mangrove yang tinggi dan didominasi jenis-jenis vegetasi Rhyzopora sp dan Bruguiera sp. Jika dilihat dari karakteristik hutan Mangrove di wilayah ini, diperkirakan memiliki kelimpahan kepiting bakau yang tinggi. Usaha penangkapan kepiting bakau di Seram Bagian Barat dari tahun ke tahunnya semakin meningkat, sebagai respon terhadap semakin tingginya permintaan pasar. Sementara usaha kepiting bakau ini masih bersifat tradisional dan terfokus pada aktivitas penangkapan di alam, yang masih sangat tergantung kepada stok yang tersedia di alam. Untuk menghindari pemanfaatan kepiting bakau secara berlebihan yang berujung pada gejala over eksploitasi maka perlu adanya penelitian tentang potensi lestari kepiting bakau guna memperkirakan stok yang ada di alam sehingga dapat menjadi acuan dalam mengatur penangkapannya untuk menjamin usaha penangkapan kepiting bakau secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Permasalahannya, apakah potensi hutan Mangrove di daerah ini dapat menjamin kelimpahan populasi kepiting bakau? Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor sebagai berikut : Kerapatan dan jenis-jenis vegetasi Mangrove dan Potensi kepiting bakau. METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan pada beberapa titik sepanjang kawasan hutan Mangrove di Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) Seram Bagian Barat (SBB). Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 september sampai dengan tanggal 14 Oktober 2008. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi : 1. Jenis-jenis vegetasi Mangrove dan tingkat kerapatannya 2. Potensi populasi kepiting bakau dan sebarannya Data sekunder yang dikumpulkan nantinya berupa : 1. Data luas hutan mangrove 2. Data potensi kipiting bakau Data-data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut : (1) Data jenis dan kerapatan vegetasi hutan Mangrove menggunakan metode diagonal sampling. (2) Data potensi kepiting bakau dikumpulkan menggunakan motode Diagonal Sampling, dimana hamparan hutan Mangrove dikelompokkan atas beberapa blok secara proporsional, kemudian pada tiap blok ditempatkan 5 alat penangkapan (bubu) secara diagonal. Metode Analisis Data Untuk menganalsisis data dilakukan dengan metode sebagai berikut : (1) Analisis jenis dan kerapatan Mangrove dengan cara menghitung jumlah individu per satuan unit blok sampel x jumlah blok dalam 1 hektar x total luas hutan Mangrove. (2) Analisis potensi kepiting bakau menggunakan rumus Ss = D x A (3) MSY (Maxsimum Sustainibel Yield) = 50 % X potensi kepiting bakau (4) JTB (Jatah Tangkap yang dibolehkan = 80 % X MSY HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Vegetasi Mangrove dan Kerapatan Komunitas vegetasi hutan mangrove umumnya menyenangi perairan pantai yang landai dan terlindung, terutama pada daerah 115

teluk dan muara muara sungai. Mangrove tumbuh lebat jika ditopang oleh suplay air tawar yang masuk ke parairan laut melalui sungai, dan sangat toleran terhadap perubahan kadar garam. Pada kondisi perairan yang terbuka dengan arus pasang surut yang kuat dan berombak, mangrove tidak akan tumbuh baik dan berkembang, karena salah satu syaratnya adalah di perairan yang tenang. Berdasarkan hasil pengamatan di sepanjang hamparan hutan mangrove Teluk Kotania (Kawasan Hutan Mangrove : Pelita Jaya, Kotania, dan Wael, termasuk Masika Jaya), dan kawasan Teluk Piru (Eti), tingkat kepadatan komunitas hutan mangrove sangat tinggi. Hal ini karena secara ekologis, perairan di kawasan ini sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan vegetasi hutan mangrove. Dalam kawasan ini, dominasi hutan bakau wilayah ekologi disepanjang garis pantai mulai dari Pelita Jaya Masika Jaya, daerah sempadan aliran sungai, dan bahkan membentuk pulau. Di antara kawasan-kawasan tersebut, kepiting bakau lebih banyak dijumpai pada kawasan yang ditumbuhi komunitas hutan mangrove adalah di sepanjang daerah aliran sungai (Kawasan ekologi : Pelita Jaya, Kotania, dan Eti), dan Wael. Sedangkan disepanjang garis pantai, kurang dijumpai kepiting bakau. Hal ini diduga karena lebih dekat dengan kawasan pemukiman dan pengaruh aktivitas masyarakat yang menyebabkan tingkat pencemaran dan terganggunya ekosistem yang merupakan habitat kepiting bakau. Gambar 1 dan 2 : contoh jenis vegetasi yang tumbuh di wilayah ekologi Wael dan Kotania (Foto : Muhammad Nasir, 2008). Berdasarkan hasil penelitian, dalam kawasan (wilayah) ekologi didominasi oleh komunitas yang terdiri dari jenis vegetasi Famili Rhyzophoraceae (Spesies : Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorhiza), Sonneratioceae (Spesies Sonneratio alba), dan Verbenaceae (Spesies Avisennia alba). Di antara spesies-spesies tersebut, Rhizophora apiculata banyak di jumpai di wilayah ekologi Kotania dan Wael ; Rhizophora stylosa di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) ; Rhizophora mucronata di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, dan Piru (Eti) ; Bruguiera gymnorhiza di wilayah ekologi Pelita Jaya, Wael, dan Piru (Eti) ; Sonneratio alba di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) ; dan Avisennia alba Pelita Jaya, Kotania, dan Piru (Eti). Tabel 1 menyajikan jenis-jenis vegetasi mangrove dalam kawasan ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti). Tabel 1. Jenis Jenis Mangrove yang dijumpai pada wilayah Ekologi Kecamatan Seram Barat Wilayah Ekologi Famili Spesies Pelita Jaya Kotania Wael Eti Rhyzophoraceae Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorhiza Sonneratioceae Sonneratio alba Verbenaceae Avisennia alba - - - - Gambar 1.a. Vegetasi Rhizophora stylosa dalam Kawasan Ekologi Wael Gambar 1.b. Vegetasi Rhizophora stylosa dalam Kawasan Ekologi Teluk Kotania

Secara umum pertumbuhan mangrove pada kawasan ini terlihat sangat baik, terutama pada kawasan yang memiliki potensi kepiting bakau. Menurut data Dinas Perikanan Kabupaten Seram Bagian Barat (2008), tercatat 2.382,2 Ha. Hal ini ditandai dengan penyebaran pohon, anakan dan sapihan yang cukup seimbang. Hasil penelitian terhadap jenis vegetasi mangrove (nilai kerapatan) dalam wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) disajikan pada tabel 2 (lihat Lampiran). Berdasarkan data pada tabel 2 secara umum menunjukkan bahwa, nilai kerapatan tertinggi adalah spesies Sonneratio alba dan terendah adalah Rhizophora apiculata. Berdasarkan sebarannya spesies Sonneratio alba terdapat di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti). Spesies Rhizophora mucronata hanya di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti), Spesies Rhizophora stylosa terdapat di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti), Spesies Rhizophora apiculata terdapat di wilayah ekologi Kotania, dan Piru (Eti), Spesies Bruguiera gymnorhiza di wilayah ekologi Pelita Jaya, dan Wael, dan Spesies Avisenia alba di wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, dan Wael. Data ini membuktikan bahwa, vegetasi mangrove pada kawasan ini masih sangat tinggi, dan dengan nilai kerapatan anakan 0,95 2,7 individu per m 2 untuk semua jenis spesies, merupakan indikator bahwa tingkat kelestarian komunitas mangrove pada kawasan ini cenderung makin tinggi. Kecenderungan ini memberikan gambaran bahwa, populasi kepiting bakau akan cenderung meningkat pula. Di antara spesies-spesies tersebut, Spesies Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Sonneratio alba merupakan jenis yang mempunyai peluang untuk berkembang lebih baik karena memiliki jumlah katagori sapihan Bimafika, 2010, 2, 114-121 dan anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis lainnya. Substrat pada wilayah ekologi ini bervariasi mulai dari substrat berpasir, pasir berlumpur, dan Lumpur berpasir hingga Lumpur. Spesies spesies dari famili Rhizophoraceae sangat menyukai substrat Lumpur berpasir hingga berlumpur, sedangkan famili Sonneratioceae lebih menyukai substrat pasir berlumpur. Potensi dan Penyebaran Kepiting Bakau Potensi kepiting bakau sangat berkaitan erat dengan besar kecilnya potensi vegetasi hutan Mangrove yang merupakan habitatnya. Sebagian besar kepiting bakau berada pada daerah estuaria, dan dalam kawasan hutan Mangrove. Habitat kepiting bakau di wilayah ekologi Pelita jaya, Kotania, Wael dan Piru (Eti) diperkirakan ± 14,5 Ha (dihitung berdasarkan prakiraan batasan luas areal penangkapan yang sering dilakukan oleh nelayan setempat). Berdasarkan hasil penelitian di beberapa titik (stasiun) pengamatan pada kawasan hutan mangrove Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti), disajikan pada tabel 3. Dari tabel 3 memperlihatkan bahwa, jumlah individu tertinggi adalah di kawasan Kotania, dan terendah adalah di kawasan Pelita Jaya. Hasil tangkapan seperti terlihat pada gambar 2. (Foto : T Tuasikal, 2008). Sesuai dengan luas areal penangkapan (14,5 ha), sehingga berdasarkan data tingkat kerapatan vegetasi mangrove (Tabel 8), diperkirakan terdapat ± 7.500 individu/hektar atau setara dengan 4,65 ton/hektar, di mana tingkat kepadatan tertinggi terdapat di areal penangkapan Kotania. Sedangkan di Piru (Eti). Secara rinci, perhitungan perkiraan potensi kepiting bakau, di areal penangkapan wilayah ekologi Pelita Jaya, Kotania, dan Wael, disajikan pada tabel 4. Tabel 3. Rataan Hasil Tangkapan Kepiting bakau (Scylla spp) Per Hari Kawasan Jumlah Berat Kepadatan (D) (Wilayah Ekologi) Individu (kg) Individu/m 2 Kg/m 2 Wael 3,6 1,76 0,72 0,352 Pelita Jaya 2,8 1,66 0,56 0,332 Kotania 4,8 3,56 0,96 0,712 Piru (Eti) 3,8 2,61 0,85 0,52 Total 15 9.59 3.09 1.916 Rataan 3.75 2.40 0.773 0.479 117

Gambar 2.a Scyylla spp Gambar 2.b Scylla spp (jantan) Gambar 2.c Scylla spp (betina) Pada Kawasan (areal penangkapan) Kecamatan Seram Barat, potensi kepiting bakau diperkirakan sebesar 99,82 ton (menggunakan asumsi luas areal penangkapan 14,5 ha), di mana MSY 49,91 ton/tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 40,468 ton/tahun. Lebih rinci lagi, Jatah Tangkap yang Diperbolehkan (JTB) dalam satuan hari, bulan, dan tahun disajikan pada table 5. Selain itu, berdasarkan fekunditasnya diperkirakan setiap kepiting betina menghasilkan 2 8 juta telur (rata 2 5 juta telur). Dari jumlah tersebut, dalam satu kali memijah diperkirakan menghasilkan seper tiga (1,67 juta) anakan. Berdasarkan data Balai Budidaya Air Payau Takalar (BBAP-Takalar), rata-rata tingkat kelangsungan hidup 10,44 persen. Dengan demikian, jika menggunakan asumsi 1,67 juta, berarti kepiting-kepiting muda yang bertahan hidup rata-rata mencapai 174.348 ekor. Gambaran ini menunjukkan potensi kepiting bakau pada kawasan ini cukup melimpah (catatan : jika kepiting betina tidak dieksploitasi). Tabel 4. Perkiraan Potensi Kepiting bakau (Scylla spp) No Kawasan (Areal Penangkapan) Potensi (ton) MSY (ton/tahun) JTB (ton/tahun) 1. Wael 21,12 10,56 8,448 2. Pelita Jaya 24,9 12,45 9,96 3. Kotania 35,6 17,8 14,24 4. Piru 18,20 9,1 7,28 Total 99.82 49.91 40.468 Keterangan : MSY = Maxsimum Sustainibel Yield JTB = Jatah Tangkap yang Diperbolehkan Tabel 5. JTB Per Satuan Waktu (per hektar) No Kawasan (Areal Penangkapan) JTB (ton/tahun) JTB (kg/bulan) JTB (kg/hari) 1 Wael 1,4 117.333 7,822 2 Pelita Jaya 1,3 110.667 7,378 3 Kotania 2,8 237.333 15,822 4 Piru (Eti) 2,1 173.333 11.556 Total 7,7 638,694 42,580 Rataan 1,9 159,674 10,645

Bimafika, 2010, 2, 114-121 KESIMPULAN Dari Uraian di atas disimpulkan bahwa potensi kepiting bakau di wilayah ekologi hutan mangrove Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti) cukup melimpah dan relatif dapat dikembangkan dalam jangka waktu panjang. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Kelimpahan vegetasi hutan mangrove yang didominasi jenis famili Rhyzophoraceae dalam kawasan ini merupakan habitat alami kehidupan dan perkembangan kepiting bakau (Scylla spp). 2. Potensi kepiting bakau (Scylla spp) di wilayah ekologi hutan mangrove Seram Bagian Barat adalah sebesar 99.82 ton, MSY (Maxsimum Sustainibel Yield) adalah 49.91 ton/thn, dan JTB (Jatah Tangkap yang Diperbolehkan) adalah sebesar 40.468 ton/thn. SARAN Berdasarkan kesimpulan di atas, untuk mengembangkan kepiting bakau lebih lanjut, disarankan : 1. Mempertahankan, memelihara, dan melestarikan kawasan hutan mangrove, meliputi : jenis vegetasinya, dan kualitas fisik dan kimia perairan hutan mangrove, dengan cara tidak merusak vegetasinya dan mencemari lingkungan perairan. 2. Untuk memelihara dan melestarikan potensi kepiting bakau (Scylla spp), sebaiknya tidak menangkap kepiting bakau betina, dan untuk jangka panjang, pengusahaan kepiting bakau diarahkan pada sistim budidaya. DAFTAR PUSTAKA [1]. Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Yanisius. Yogyakarta. [2]. Dahuri, R., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha. Jakarta. [3]. Iskandar, D.A., 1996. Keterkaitan Antara Kerapatan Vegetasi Hutan Mangrove dengan Kelimpahan dan Kondisi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Serta Kualitas Fisika Kimia Perairan. Skripisi Fakultas Perikanan IPB.64p. [4]. Khow,A.S, 2008. Metode dan Analisa Kuantitatif Dalam Bioekologi Laut [5]. La Sara, 1994. Hubungan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla serrata) dengan Kualitas Habitat di Perairan Segara Anakan, Cilacap. Thesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 75p. [6]. Moosa, 1981. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Forsk, 1975) dan Perairan Indonesia. LON LIPI, Jakarta. [7]. Motoh, H., 1977. Biological Synopsis of Amilago, Genus Scylla SEAFDEC Aquaculture Departement. Pp 136-153. [8]. Murdiyanto, B., 2004. Pengelolaan sumberdaya Perikanan Pantai. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya perikanan. Jakarta. [9]. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Marine Biology ; An Ecological Approach. Eidman, M. Dkk. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 459 Hal. [10]. Retnowati, T., 1991. Menentukan Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata) Forskal, secara Morfologis dan Kaitannya dengan Perkembangan Gamet. Skripsi Fakultas Perikanan, IPB. [11]. Soim. A.,1999. Pembesaran Kepiting. Penebar Swadaya, Jakarta. [12]. Sudiarta, I.K., 1998. STUDI Kelimpahan dan Penyebaran Burayak Kepiting Bakau (Scylla spp) [13]. Tuhumena. Y.M, 2001. Studi kelimpahan kepiting bakau (Scylla spp) pada perairan hutan mangrove teluk Pelita Jaya, Seram Barat. Skripsi Fakultas Perikanan Univesitas Pattimura ambon. [14]. Rawana, 1999. Analisis Vegetasi Pohon Penyusun Hutan Mangrove di Pantai Kendol Doyong Pemalang Jawa Tengah. Buletin Ilmiah. Instiper. Yogyakarta. Volume 6. N0. 2., 10-20 [15]. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tripik. Jakarta. [16]. Tuasikal, T. 2007., Analisis penekanan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Pantai Papela Desa Pelauw Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Fakultas Perikanan Universitas Pattimura 119

[17]. Queensland Departement of Primary Industries. l989a. Life Cycle of Mud Crab (Scylla serrata). QDPI Leaflet. QL. 84002. Brisbane. lp. [18]. Queensland Departement of Primary Industries. 1989b. Life Cycle of Mud Crab (Scylla serrala). QDPI Leaflet. QL. 84002. Brisbane. lp. LAMPIRAN No Tabel 2. Nilai Kerapatan Vegetasi Mangrove Pada Wilayah Ekologi Pelita Jaya, Kotania, Wael, dan Piru (Eti). Kawasan (Wilayah Ekologi) Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa SPESIES Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorhiza Sonneratio alba Avisenia alba A. PELITA JAYA - Pohon (m 2 ) 36 11-7 35 15 - Sapihan (cm) 29 7-2 26 9 - Anakan (m 2 ) 23 1 - - 15 8 1. Kepadatan: - Pohon (ind/m 2 ) 0,72 0,22-0,14 0,7 0,3 - Sapihan (cm) 1,16 0,28-0,08 1,04 0,36 - Anakan (ind/m 2 ) 4,6 0,2 - - 3 1,6 B. KOTANIA - Pohon (m 2 ) 14 9 14-16 13 - Sapihan (cm) 17 9 18-17 10 - Anakan (m 2 ) 16 7 20-12 7 2. Kepadatan : - Pohon (ind/m 2 ) 0,28 0,18 0,28-0,32 0,26 - Sapihan (cm) 0,68 0,36 0,72-0,68 0,4 - Anakan (ind/m 2 ) 1,4 3,2 4-2,4 1,4 C. WAEL - Pohon (m 2 ) - 20-19 34 32 - Sapihan (cm) - 19-25 34 25 - Anakan (m 2 ) - 13-19 25 16 2. Kepadatan : - Pohon (ind/m 2 ) - 0,4-0,38 0,68 0,64 - Sapihan (cm) - 0,76-1 1,36 1 - Anakan (ind/m 2 ) - 2,6-3,8 5 3,2 D. PIRU (ETI) - Pohon (m 2 ) 6 11 4-2 - - Sapihan (cm) 9 15 5-3 - - Anakan (m 2 ) 7 9 5-2 - 2. Kepadatan : - - Pohon (ind/m 2 ) 0,12 0,22 0,08-0,04 - - Sapihan (cm) 0,36 0,2 0,2-0,12 - - Anakan (ind/m 2 ) 1,4 1,8 1-0,4 - E. TOTAL - Pohon (m 2 ) 56 51 18 26 87 60 120

- Sapihan (cm) 55 50 23 27 80 44 - Anakan (m 2 ) 46 30 25 19 54 31 2. Kepadatan : - - Pohon (ind/m 2 ) 1,12 1,02 0,36 0,52 1,74 1,2 - Sapihan (cm) 2,2 1,6 0,92 1,08 3,2 1,76 - Anakan (ind/m 2 ) 7,4 7,8 5 3,8 10,8 6,2 F. RATAAN - Pohon (m 2 ) 14 12.75 4.5 6.5 21.75 15 - Sapihan (cm) 13,75 12,5 5,75 6,75 20 11 - Anakan (m 2 ) 11,5 7,5 6,25 4,75 13,5 7,75 2. Kepadatan : - Pohon (ind/m 2 ) 0,28 0,255 0,09 0,13 0,435 0,3 - Sapihan (cm) 0,55 0,4 0,23 0,45 0,8 0,44 - Anakan (ind/m 2 ) 1,85 1,95 1,25 0,95 2,7 1,55 121