BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

TINJAUAN MATA KULIAH...

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,

Implementasi Pendidikan Segregasi

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

Landasan Yuridis SI, SKL dan KTSP menurut UU No 20/2003 tentang Sisdiknas

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

A. Perspektif Historis

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Nurhayati, 2013

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa anak berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Meirani Silviani Dewi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Deskripsi Definisi Judul

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak dengan gangguan pendengaran, anak autis dan lain sebagainya untuk dapat belajar bersama-sama di kelas reguler tanpa memandang perbedaan yang ada pada mereka. Keragaman siswa di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat menjadi sumber bagi siswa reguler maupun siswa yang berkebutuhan khusus untuk belajar saling mengenal, memahami, dan bersosialisasi. Sekolah dapat dijadikan sebagai model keragaman hidup layaknya realita kehidupan. Pendidikan untuk semua (Education for All) sebagai salah satu tujuan pendidikan inklusif akan tercapai bila didukung oleh sekolah yang mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif secara efektif dan efisien, dalam arti dapat melayani kebutuhan pendidikan siswa sesuai dengan kebutuhannya. Sekolah hendaknya berupaya untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan inklusif di sekolah secara optimal. Siswa sebagai fokus pembelajaran dalam layanan pendidikan inklusif dapat mengembangkan dimensi kemanusiaannya (keindividuannya, kesosialannya, kesusilaanya dan keberagamannya) menjadi manusia seutuhnya. Keberagaman siswa dapat juga menjadi

2 sumber dukungan dalam keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif, hal ini dapat terlihat dari dinamika hubungan personal siswa, baik itu antar siswa reguler, antar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) atau antara ABK dan siswa reguler. Bagaimana penerimaan dan pemahamaan siswa reguler terhadap ABK yang ada di sekolahnya, Bagaimana kenyamanan ABK bersekolah? Apakah sering terjadi konflik di antara mereka? Sikap siswa, baik siswa yang reguler maupun sikap ABK di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif harus menjadi perhatian khusus bagi guru, karena merupakan salah satu faktor pendukung atau penghambat keberhasilan pendidikan inklusif. Tarsidi (2008) menyebutkan beberapa faktor pendukung keberhasilan pendidikan inklusif, yaitu: (1) sikap positif dan keyakinan dari semua pihak akan keberhasilan pendidikan inklusif; 2) tersedianya program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa; 3) tersedianya peralatan khusus dan teknologi asistif untuk mengakses program umum; 4) lingkungan fisik yang diadaptasikan sehingga lebih aksesibel bagi siswa penyandang cacat; 5) tersedianya dukungan sistem, seperti jumlah personel yang cukup, pengembangan staff, kebijakan asesmen, dan evaluasi; 6) kolaborasi guru umum, guru pembimbing khusus, dan spesialis lain; 7) metode pengajaran yang adaptif, kolaboratif, dan koperatif; 8) adanya dukungan masyarakat, termasuk dukungan penyandang cacat. Beberapa simpulan hasil penelitian Herlina (2010:147) Sikap Guru Sekolah Dasar Terhadap Penyelenggaraan Sekolah Inklusif,antara lain: (1) Guru-guru SD di Kab. Kuninggan Jabar memiliki sikap yang cukup positif terhadap penyelenggaraan sekolah inklusif, baik dalam sikap secara umum, dalam komponen kognitif, afektif maupun konatif (2) jenis

3 sekolah, pelatihan pendidikan inklusif dan jumlah siswa di kelas berpengaruh secara signifikan, tetapi latar belakang pendidikan guru dan pengalaman menangani ABK tidak berpengaruh secara signnifikan terhadap sikap guru SD di kabupaten Kuningan Jabar tentang penyelenggaraan sekolah inklusif (3) secara umum SLB dipilih oleh sebagian besar guru SD di Kab, Kuningan Jabar sebagai tempat mendidik ABK, secara khusus SLB lebih dipilih sebagai tempat mendidik ABK yang tergolong tingkat sedang sampai berat atau kebutuhan khusus yang tidak secara langsung berkaitan dengan masalah akademik, sedangkan SD umum lebih dipilih sebagai tempat mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus yang tergolong ringan, yang berkaitan langsung dengan masalah akademik, atau memiliki bakat intelektuan dan bakat khusus lainnya. Hutagalung (2010:165), dalam penelitiannya: Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar terhadap Tunanetra Yang mengikuti pendidikan Inklusif, menunjukkan sikap negatif masyarakat pendidikan dasar tentang pendidikn inklusif. Sikap negatif ini terjadi karena belum adanya pemahaman. Hasil seminar Agra disimpulkan bahwa sikap merupakan satu hal yang dapat menghambat implementasi pendidikan inklusif, seperti disebutkan berikut: Pendidikan inklusif tidak terhambat oleh banyaknya jumlah siswa dalam satu kelas. Pendidikan inklusif tidak perlu terhambat oleh kurangnya sumber daya materi. Hambatan sikap jauh lebih besar daripada hambatan ekonomi terhadap implementasi pendidikan inklusif. (Stubbs, 2002:31)

4 Penelitian pada jenjang pendidikan dasar telah dilakukan dimana guru dan kepala sekolah menjadi sumber data penelitian yang berkaitan dengan pendidikan inklusif. Belum dilaksanakannya penelitian terhadap siswa secara khusus tentang sikapnya terhadap pendidikan inklusif. Pemahaman siswa dan sikap positifnya dapat memberikan kontribusi besar dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sehingga pendidikan untuk semua benar-benar dapat terwujud karena siswa sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan telah memahami dan mampu bersikap terhadap implementasi pendidikan inklusif. Sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, tetapi diungkapakan bahwa sikap dipandang sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus terhadap lingkungannya ( Mar at, 1982:20). Untuk itu dalam kaitannya dengan sikap siswa SMA terhadap pendidikan inklusif perlu menjadi perhatian, bagaimana memberikan pengalaman kepada siswa agar sikapnya yang positif terhadap pendidikan inklusif terbentuk. Pengalaman mengenal siswa lain yang berkebutuhan khusus akan menyadarkanya tentang keberagaman, memahami kelemahan dan kelebihan orang lain, mengasah rasa empati. Selain itu dapat memahami kelebihan dan kelemahan diri sendiri, lebih bersyukur karena mungkin lebih beruntung dibandingkan teman lainnya (siswa yang berkebutuhan khusus). Sikap menerima keberagaman dimungkinkan akan menekan tingkat konflik antar siswa, mengurangi perkelahian antar pelajar atau tawuran antar sekolah. Untuk itu perlu terus dikenalkan kepada siswa pendidikan inklusif. Perlu diketahui kondisi real sikap siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Siswa SMA sebagai generasi menjelang dewasa

5 perlu memahami sikap yang lebih menerima akan keberagaman. sikap yang positif siswa terhadap pendidikan inklusif dapat menjadi kontribusi mencapai sekolah/pendidikan yang inklusif bahkan masyarakat yang inklusif. Berdasarkan pemikiran di atas yang menjadi latar belakang peneliti untuk meneliti lebih mendalam mengenai Sikap dan latar belakang siswa SMA bersikap terhadap Pendidikan Inklusif. B. IDENTIFIKASI DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Identifikasi Masalah Fokus pembelajaran adalah siswa, untuk itu perlu dipahami siswa beserta latar belakangnya dalam menilai dan memandang pendidikan inklusif dalam hal ini sekolah penyelenggara pendidiakn inklusif. Sikap dan pendapat siswa tentang pendidikan inklusif dapat menjadi masukan bagi sekolah untuk lebih menjadikan sekolah lebih bermutu, karena siswa lebih memahami keinginan dan kebutuhannya dalan pendidikan. 2. Rumusan Masalah Rumusan Masalah penelitian ini disusun dalam pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimanakah sikap siswa SMA reguler/non-abk terhadap pendidikan inklusif? b. Bagaimanakah sikap siswa SMA yang berkebutuhan khusus terhadap pendidikan inklusif? c. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi siswa SMA bersikap positif terhadap pendidikan inklusif?

6 d. Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi siswa SMA bersikap negatif terhadap pendidikan inklusif? e. Apakah Intervensi pemutaran film pendek dapat merubah sikap negatif siswa SMA terhadap pendidikan inklusif? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap siswa SMA terhadap pendidikan inklusif di Propinsi Jawa Barat. 2. Tujuan Khusus Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang: a. Sikap siswa SMA Non- ABK terhadap pendidikan inklusif. b. Sikap siswa SMA yang Berkebutuhan Khusus terhadap pendidikan inklusif. c. Latar belakang siswa SMA bersikap positif terhadap pendidikan inklusif d. Latar belakang siswa SMA bersikap negatif terhadap pendidikan inklusif. e. Intervensi pemutaran film pendek dapat mengubah sikap negatif siswa SMA terhadap pendidikan inklusif D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini, secara umum diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan serta bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan sikap siswa terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Adapun secara khusus manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

7 1. Sebagai bahan masukan bagi peneliti bagaimana gambaran sikap siswa SMA terhadap pendidikan inklusif. 2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti untuk memperoleh gambaran sikap siswa SMA terhadap pendidikan inklusif.ditinjau dari latar belakang siswa. 3. Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah dan guru untuk dapat memperoleh gambaran sebenarnya tentang sikap siswa SMA terhadap pendidikan inklusif. 4. Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah dan guru untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih baik kepada siswa. E. DEFINISI KONSEP Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap siswa terhadap pendidikan inklusif. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diperjelas batasan konsep unsur-unsur yang diteliti. Ada beberapa definisi yang dapat disampaikan, yaitu: 1. Sikap Sikap adalah suatu keadaan dan kesiapan seseorang yang masih tertutup untuk bereaksi atau merespon terhadap suatu stimulus atau objek (Mar at, 1982:10). Yang dimaksud dengan sikap dalam penelitian ini adalah sikap positif (mendukung) dan sikap negatif (tidak mendukung) dari siswa SMA terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.

8 2. Siswa SMA Siswa SMA adalah peserta didik pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk SeSisakolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan atau bentuk lain sederajat yang menyelenggarakan pendidiakn inklusif. Siswa di sekolah tersebut terdiri dari Siswa reguler/tidak berkebutuhan Khusus dan Siswa yang berkebutuhan khusus. Siswa yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh masing- masing anak.(abk: Anak Berkebutuhan Khusus). ABK yang dimaksud didalam penelitian ini adalah peserta didik yang berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, yang terdiri dari Anak Tunarungu, Anak Autis, Anak Tunanetra, Anak Tunadaksa dan lainlain. Sedangkan Siswa reguler adalah siswa yang tidak termasuk kedalam kategori siswa yang berkebutuhan Khusus. 3. Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu

9 lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pasal satu). Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaan fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa atau kondisi lain, termasuk penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis budaya, bahasa, minoritas, dan kelompok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan one school for all (UNESCO, 1994 - dalam Alimin, 2008:7).