BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

dokumen-dokumen yang mirip
EFIKASI DIRI PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN ORANG TUA NASKAH PUBLIKASI

EFIKASI DIRI MAHASISWA YANG BEKERJA PADA SAAT PENYUSUNAN SKRIPSI SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal merupakan sarana

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merawat dan memelihara anak-anak yatim atau yatim piatu. Pengertian yatim

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu yang berkeluarga mendambakan kehidupan yang harmonis

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

PENTINGNYA PERAN ORANGTUA DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa seorang individu mengalami peralihan dari

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. dan seluruh keluarga. Karena tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. hal

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

Contoh Format Gugatan / Permohonan. Diketik rangkap 7. {tab=cerai Gugat} Muntok, Hal : Cerai Gugat. Kepada. Yth. Ketua Pengadilan Agama Mentok

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Makna hidup (the meaning of life) adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan

BAB l PENDAHULUAN. berikut : pernikahan adalah ikatan lahir batin antara suami istri denga tujuan

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEDOMAN OBSERVASI FENOMENA KORBAN PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DALAM DUNIA PENDIIDKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan emosi, perubahan kognitif, tanggapan terhadap diri sendiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. Masa remaja secara psikologi merupakan masa peralihan dari masa anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus gangguan perilaku eksternal sudah menjadi topik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang pendidikan, maka berbicara pula tentang perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Dunia ini tidak pernah lepas dari kehidupan. Ketika lahir, sudah disambut

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. para pekerja seks mendapatkan cap buruk (stigma) sebagai orang yang kotor,

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sebuah hubungan rumah tangga tentunya tidak selamanya berjalan baik sesuai dengan apa yang telah kita inginkan, namun ternyata ada beberapa faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan hubungan keluarga tersebut. Salah satu akibat yang di timbulkan dengan adanya konflik tersebut ialah adanya perceraian, dimana perceraian bukan lagi hal yang asing di Indonesia namun perceraian bisa dikatakan sebagai hal yang lumrah dan memasyarakat. Pengadilan Agama kota Surakarta mencatat hingga bulan Agustus 2011 terdapat 190 kasus perceraian yang disebabkan suami melantarkan anak dan istrinya, angka tersebut merupakan angka tertinggi dari keseluruhan penyebab perceraian (Indrawati, 2011). Di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, tingkat perceraian tergolong cukup tinggi. Sepanjang 2009 lalu misalnya, terdapat sekitar 1.084 permohonan perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Sragen. Tahun 2009 terdapat sekitar 954 gugatan cerai yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat, hanya sedikit yang bisa berdamai lagi. Dari berbagai berkas gugatan di pengadilan agama Sragen, alasan perceraian sepanjang tahun 2009 lalu antara lain: salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan tanggung jawabnya, alasan ini menempati rangking pertama dengan jumlah 441 kasus. Sedangkan alasan sering berselisih dan tidak bisa didamaikan lagi 319 kasus dan alasan moral 1

2 seperti hadirnya orang ketiga 165 kasus (Rosyid, 2009). Hal senada juga terjadi di kabupaten Sleman Yogyakarta, tingginya angka perceraian selama Januari 2009 terjadi 117 kasus dengan alasan tidak harmonis menuruti urutan pertama (Radar Jogja, 2009). Perceraian bukan saja akan merugikan beberapa pihak namun perceraian juga sudah jelas dilarang oleh agama (agama islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi perceraian dari tahun ketahun terus meningkat terutama contoh yang kongkrit yaitu terjadi dikalangan para artis, dimana mereka dengan mudah kawin cerai dengan tidak memperhitungkan akibat psikis yang ditimbulkan dari perceraian. Akibat dari perceraian salah satunya adalah terhadap sibuah hati dimana pada saat orang tuanya terjadi perceraian si anak akan merasa terganggu dan merasa kurangnya perhatian bahkan kasih sayang dari orang tua. Perceraian orang tua membawa dampak yang kurang baik terhadap anak. Ini sepenggal wawancara peneliti dengan salah satu korban perceraian mengenai dampak perceraian kedua orang tuanya, mama papaku bercerai kurang lebih setaun yang lalu, setelah mereka bercerai aku ikut mama tapi papa masih membiayai sekolah dan ngasih uang jajan. Perceraian membuatku stress dan hidupku jadi tidak jelas, aku pernah mencoba merokok, sering bolos sekolah, nilai rapert jelek karena tidak pernah belajar, menjadi orang yang tertutup, pendiam dan egois. Mamaku kerja berangkat pagi pulang malam, aku merasa kurang perhatian. Mama tidak pernah tanya keadaanku hari ini, mamaku cuek yang penting kasih uang dan aq tidak kekurangan uang itu cukup. Pernah aku dibaya kerumah sakit karena minum obat nyamuk rencanane mau bunuh diri. Dari perceraian kedua orang tua aq merasa iri terhadap teman-teman karena mereka memiliki kasih sayang orang tua utuh, mereka diperhatikan dimanja dan disayang. Aq merasa sedih karena aq tidak bisa seperti mereka. Aq jadi males untuk maen, aq lebih senang menyendiri. Tetapi dengan nasehat dan dukungan

3 dari keluargaku aq mulai bisa bersosialisasi dengan teman-teman dan aq mulai menumbuh keyakinan diri bahwa aq bisa seperti mereka. (DM, 19 tahun) Pada awal masa remaja, banyak anak dari keluarga yang retak mengalami kemerosotan nilai-nilai, tingkah laku seksual terlampaui dini, penggunaan obatobat terlarang dan tindakan kejahatan. Anak-anak dari keluarga dengan tingkat konflik dan perceraian yang tinggi mengalami lebih banyak depresi, kecemasan dan menarik diri (Komara, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gager (2010) menyatakan bahwa anakanak yang orangtuanya sering bertengkar namun akhirnya bercerai justru memiliki hubungan lebih baik di usia dewasanya nanti dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki orangtua yang sering bertengkar tetapi tidak memutuskan untuk bercerai. Penelitian ini telah memperhitungkan banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak saat mereka dewasa, misalnya apakah anak-anak cenderung memiliki kesulitan bergaul dengan orang lain atau tidak. Menurut Gager, perceraian tidak akan mempengaruhi anak-anak dalam jangka pendek. Anak-anak akan mengalami krisis selama satu atau dua tahun ketika orangtua bercerai, tetapi mereka akan bangkit lagi dari perceraian itu (VIVAnews, 2010). Dampak negatif perceraian pada anak berbeda-beda tergantung pada banyak faktor seperti usia, jenis kelamin, kematangan kepribadian, kesehatan psikologis, serta ada tidaknya dukungan dari orang dewasa lainnya. Seorang anak perempuan dari orang tua yang bercerai cenderung menarik diri dan gelisah. Sedangkan seorang anak laki-laki dari orang tua yang bercerai cenderung menjadi anak yang agresif (Papalia,dkk, 2008).

4 Perceraian pada umumnya menimbulkan akibat yang negatif, akibat yang ditimbulkan dari terjadinya perceraian pada anak misalnya, anak tidak mau lagi sekolah, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, terjerumus dalam pergaulan bebas yang semua itu dapat mengakibatkan kegagalan menuju masa depan yang cerah. Namun perceraian orang tua juga dapat membawa akibat positif pada anak, di mana anak menjadi lebih optimis dalam menghadapi masa depannya. Dalam hal ini anak memiliki prestasi yang bagus dalam bidang akademiknya, anak memiliki kemampuan dalam berorganisasi di mana semua itu merupakan bukti bahwa perceraian tidak selalu berakibat negatif, namun dapat pula berakibat positif (Baskoro, 2008). Perceraian orangtua memang berdampak negatif bagi anak, namun perceraian juga mempunyai dampak yang positif. Menurut Yudiarso (2011), dampak positif dari perceraian antara lain anak terhindar dari konflik orangtua yang berkepanjangan, anak memperoleh pelajaran konflik dan pemecahannya, dan anak lebih disayang oleh kedua orangtuanya. Kurangnya perhatian orang tua (tunggal) tentu akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Merasa kasih sayang orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak akan mencari perhatian dari orang lain atau bahkan ada yang merasa minder dan tertekan. Anak-anak tersebut umumnya mencari pelarian dan tidak jarang terjerat dalam pergaulan bebas (Komara, 2012). Untuk keluar dari masalah pasca perceraian, anak korban perceraian tersebut memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk dapat meningkatkan keyakinan diri. Keyakinan seseorang bahwa ia mempunyai kemampuan untuk

5 melakukan sesuatu dalam dunia psikologi dikenal dengan efikasi diri. Efikasi diri ditumbuhkan supaya anak korban perceraian mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan meskipun dengan keluarga yang tidak lengkap dapat memperoleh hasil yang maksimal. Menurut Bandura (Wangmuba, 2009), efikasi diri menentukan bagaimana orang merasakan, berpikir, memotifasi diri dan berperilaku. Perbedaan yang nyata, seseorang yang ragu akan kemampuan dirinya, cenderung akan menjauh dari tugas-tugas yag sulit yang mana hal itu dipandang sebagai ancaman pribadi bagi dirinya. Mereka memiliki aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang mereka pilih untuk dikejar. Faktor kepribadian merupakan karakteristik yang dimiliki individu yang tercermin dalam perilakunya sehari-hari termasuk kemampuan individu dalam menghadapi masalah-masalah yang dimilikinya. Dengan dimilikinya keyakinan dan kepercayaan terhadap kemampuan untuk dapat menyelesaikan masalah maka individu akan mengatasi segala situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang disebut oleh Parvin (Smet, 1994) sebagai efikasi diri yaitu kemampuan yang diyakini oleh seseorang sehingga membentuk perilaku yang relevan dengan situasi tertentu. Situasi yang dimaksud di dalam efikasi diri oleh Parvin (Smet, 1994) termasuk situasi saat remaja korban perceraian menghadapi masalah-masalah pada dirinya maupun lingkungan sekitar mereka. Efikasi diri diartikan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam melakukan suatu tugas. Seseorang yang bijaksana akan terus berusaha mengubah kegagalan menjadi keberhasilan dengan melakukan hal-hal yang positif.

6 Keberadaan efikasi diri pada anak korban perceraian diharapkan anak mampu berusaha mengubah kegagalan menjadi keberhasilan dengan meningkatkan efikasi diri sehingga anak memiliki sikap optimis, suasana hati yang positif dapat memperbaiki kemampuan untuk memproses informasi secara lebih effisien, memiliki pemikiran bahwa kegagalan bukanlah sesuatu yang merugikan namun justru memotivasi diri untuk melakukan yang lebih baik serta selalu berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil kerja yang maksimal (Bandura, 1997). Hasil penelitian Nathalia (Juniarty, 1997) menyimpulkan beberapa ciri orang yang memiliki efikasi diri tinggi antara lain suka memikul tanggung jawab secara pribadi dan menginginkan hasil yang diperoleh dari kemampuan optimalnya. Individu juga suka pada tantangan dan tidak suka melakukan tugas yang mudah atau sedang. Selain itu individu sangat menghargai waktu sehingga individu tergerak untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan hari ini. Memiliki daya kreativitas dan inovatif yang tinggi dalam mencari cara mengatasi masalah. Individu juga menyukai segala sesuatu yang mengandung resiko karena individu percaya diri dan yakin bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu meskipun sulit. Efikasi diri yang mempengaruhi proses berfikir, level motivasi dan kondisi perasaan yang semuanya berperan terhadap jenis performasi yang dilakukan. Individu dengan efikasi diri rendah dalam mengerjakan tugas tertentu akan cenderung menghindari tugas tertentu. Individu akan merasa sulit untuk memotivasi diri akan mengurangi usahanya atau menyerah pada permulaan rintangan. Individu juga mempunyai aspirasi dan komitmen lemah untuk tujuan

7 hidup yang akan dipilih. Dalam memandang situasi individu cenderung lebih memperhatikan kekurangannya, tugas yang berat dan akibat yang tidak baik atau kegagalan (Bandura, 1997). Efikasi diri juga mempengaruhi besar usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memandang tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk dihadapi daripada sebagai ancaman untuk dihindari. Subyek mempunyai komitmen tinggi untuk mencapai tujuan-tujuannya, subyek juga akan menginvestasikan tingkat usaha yang tinggi dan berfikir strategis untuk menghadapi kegagalan. Individu memandang kegagalan sebagai kurangnya usaha untuk mencapai keberhasilan. Selain itu individu secara cepat memulihkan perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997). Dampak yang muncul akibat perceraian orang tua menyebabkan anak perlu meningkatkan efikasi diri mereka. Anak perlu menumbuhkan kepercayaan diri ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan efikasi diri yang dimiliki pada anak korban perceraian, anak dapat meningkatkan keyakinan diri mereka dalam menghadapi masa depan dan lingkungan sekitarnya. Untuk itu ditekankan bahwa perceraian akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan seluruh anggota keluarga baik secara fisik maupun psikologi. Fenomena ini menimbulkan trauma yang sangat mendalam pada remaja dibandingkan kanak-kanak. Anak-anak yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan menunjukkan antusiasme dan kepercayaan diri yang kuat (Baron dan Byrne, 1991). Anak korban perceraian dengan efikasi diri yang baik cenderung menyingkapi perceraian dengan positif, anak lebih mandiri, memiliki prinsip yang kuat, bekerja

8 keras dan anak memiliki pelajaran konflik serta memecahannya. Sedangkan anak dengan efikasi diri yang rendah memandang perceraian sesuatu yang negatif yang bersifat traumatis. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan penulis juga ingin mengetahui bagaimana efikasi diri pada remaja korban perceraian orang tua. Oleh karena itu penulis tertarik mengadakan penelitian denga judul Efikasi Diri pada Remaja Korban Perceraian Orang Tua. B. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi diri pada remaja korban perceraian orang tua. C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui efikasi diri pada remaja korban perceraian orang tua dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat: 1. Untuk informan, dapat dijadikan pertimbangan dalam meningkatkan keyakinan diri untuk menghadapi masa depan dan lingkungnya pada remaja korban perceraian. 2. Untuk orang tua, dapat dijadikan pertimbangan orang tua dalam proses pengasuhan pasca perceraian sehinggan anak tidak mengalami gangguan dalam menghadapi masa depan dan lingkungan mereka.

9 3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi sosial yang berkaitan dengan proses efikasi diri pada anak korban perceraian.