ANALISIS (TEORITIS DAN EMPIRIS) PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP KETERSEDIAAN LAHAN DAN TERHADAP MIGRASI PENDUDUK I. PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN Pertambahan penduduk kota di Indonesia mendorong meningkatnya kegiatan kehidupan sosial dan ekonomi di kota yang selanjutnya menyebabkankenaikankebutuhan akan lahan. Kebutuhan lahan wilayah perkotaanterutama berhubungan Dengan perluasan ruang kota untuk digunakan bagi prasarana kota seperti perumahan, jaringan air minum, jaringan sanitasi, taman-taman kota danlapangan olah raga. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan kebutuhan tersebut cenderung mengakibatkan kenaikan harga lahan yang selanjutnya mendorong meluasnya spekulasi tanah sehingga menyebabkan pola penggunaan lahan yang kurang efisien di perkotaan, selain itu perkembangan kota yang pesat akan cenderung menurunkan kualitas lingkungan kota, seperti dikendalikan secara baik.jumlah penduduk yang selalu mengalami A. KEGUNAAN TATA GUNA LAHAN Antar guna lahan yang berdekatan agar tidak saling menganggu (misal: industri dekat permukiman; tempat pembuangan sampah akhir dekat permukiman). Guna lahan berdekatan dapat saling menunjang; dan guna lahan tertentu berlokasi lebih tepat (misal: perdagangan di pusat kota, sedangkan permukiman di sekitarnya agar belanja sama dekatnya dari semua asal perjalanan) Pengaturan sebaran guna lahan sedemikian rupa sehingga mempunyai pengaruh (beban) terbaik bagi transportasi B. SISTEM-SISTEM YANG MEMPENGARUHI TATA GUNA LAHAN
Sistem Kegiatan (guna lahan mencerminkan macam kegiatan yang berlangsung di atas lahan tsb.). Macam guna lahan: permukiman, perdagangan, perkantoran, pendidikan, rekreasi, industri, dsb Sistem Pengembangan lahan (ada lahan yang belum dikembangkan untuk fungsi perkotaan, dan ada yang sudah). Macam guna lahan: pertanian, hutan, dan area terbangunsistem Lingkungan (lokasi sumberdaya yang perelu dilindungi dan lokasi pemakai sumberdaya). Macam guna lahan: kawasan lindung, kawasan budidaya C. TEORI EMPIRIS TATA GUNA LAHAN Konsep Zona Konsentrik (Burgess 1923, model ini diangkat dari kasus kota Chicago sbg. kota radial, berlapis-lapis) Konsep Sektor/Busur daerah (Hoyt 1939, memperbaiki konsep Konsentrik, bahwa ada area kota yang berkembang secara busur/sektor karena factor kebutuhan kedekatan antar guna lahan yang sama) Konsep Pusat Ganda (McKenzie 1933 dan Harris & Ullman 1945, berpendapat kota tdk selalu berkembang dari satu pusat kota tapi sering punya banyak pusat kota; makin besar kotanya, makin banyak pusatnya). D. TEORI EKSPLANATORIS TATA GUNA LAHAN Teori Klasik guna lahan (Alonso 1960): bersumber pada teori ekonomi yaitu interaksi nilai lahan dan penggunaan lahan (antara permintaan dan penyediaan). Teori guna lahan yang berorientasi ke Transportasi (Wingo 1961) berbasis teori ekonomi yaitu keseimbangan antara kemampuan membayar transportasi dengan nilai lahan (akibat fungsi jarak ke pusat kota). Yang jauh, nilai lahan murah tapi biaya angkutan mahal. Teori nilai sosial (Walter Firey 1947) bahwa lahan tdk hanya dilihat secara ekonomis tapi juga nilai sosial, rasa (taste) dan simbol. Meskipun jauh dari kota bisa mahal karena sudah jadi simbol perumahan orang kaya. ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BATANG KABUPATEN BATANG PADA TAHUN 2001-2006 Wilayah dominan terjadinya perubahan penggunaan lahan secara langsung akan berdampak terhadap spekulasi harga tanah dimana lahan di sepanjang jalan utama merupakan lahan dengan harga tertinggi karena kemudahan aksebilitasnya. Menurut Hadi Sabari Yunus (2005), kepadatan penduduk adalah rasio antara jumlah penduduk yang tinggal di dalam suatu wilayah dengan luas wilayah. Kepadatan penduduk merupakan perwujudan geografis akumulasi
penduduk yang dipengaruhi oleh faktor- faktor geografi seperti topografi, iklim, air, aksebilitas, dan ketersediaan fasilitas hidup. Keadaan selengkapnya tentang kepadatan penduduk di kecamatan batang yang diperinci pertahun dari tahun 2001-2006 dapat dilihat pada tabel 1.1 sebagai berikut. Tabel 1.1 Kepadatan Penduduk di Kecamatan Batang Tahun 2001-2006 No Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/Kilometer) 1 2001 106.089 3,074 2 2002 107.473 3,114 3 2003 108.552 3,145 4 2004 108.739 3,150 5 2005 109.271 3,166 6 2006 109.462 3,172 Sumber : Kecamatan Batang Dalam Angka, Tahun 2001-2006. Jumlah penduduk Kecamatan Batang sebesar 109.462 jiwa pada tahun 2006. Di lihat dari segi kepadatan penduduk maka dengan luas wilayah kecamatan batang 34.509 Km², kawasan tersebut mempunyai kepadatan penduduk 3.172 jiwa/ Km². Perkembangan kepadatan penduduk selama kurun waktu empat tahun dari tahun 2001-2006 dapat dilihat dengan cara membandingkan kepadatan penduduk tahun 2001 dengan kepadatan penduduk tahun 2006. Pada tahun 2001 jumlah penduduk di daerah penelitian sebesar 106.089 jiwa, dengan demikian setelah dilakukan perhitungan maka pada tahun tersebut kepadata penduduknya mencapai 3.074 jiwa/ Km². Peningkatan jumlah penduduk ini secara langsung akan membawa dampak terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan karena pertumbuhan penduduk berarti memerlukan tambahan tempat untuk permukiman maupun fasilitas pendukungnya. Gambaran ini memberikan pengertian bahwa selama kurun waktu empat tahun terjadi perkembangan jumlah penduduk. Hal ini merupakan suatu masalah yang dihadapi Kecamatan Batang untuk dapat menyeimbangkan antara kebutuhan penduduk yang semakin bertambah dan kondisi lahan yang masih tersedia. Tabel.1.2. Penggunan Lahan Kecamatan Batang Tahun 2001-2006 No Penggunan Lahan
2001 (ha) 2006 (ha) Perubahan Penggunaan Lahan (ha) 1 Permukiman 1.204,296 1.335,946 +131,65 2 Sawah 1.549,170 1.428,900-120,27 3 Tegalan 512,578 340,21-172,368 4 Tambak 11,00 12,200 +1,2 5 Lain- lain 173,952 333,74 +159,788 Jumlah 3.450,996 3.450,996 Sumber: Kecamatan Dalam Angka 2003-2006. Tabel 1.2 di atas menggambarkan bertambahnya penggunaan lahan untuk permukiman meningkat sebesar 131,65 ha, dari 1.204,296 ha menjadi 1.335,946 ha. dan berkurangnya lahan persawahan sebesar 120,27 ha dari 1.549,170 ha menjadi 1.428,900 ha. Hal ini menunjukan bahwa semakin berkurangnya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di wilayah Kecamatan Batang. Selain itu juga di lihat dengan berkurangnya lahan untuk tegalan sebesar 172,368 ha dari 512, ha menjadi 340,21 ha. II. KETERSEDIAAN LAHAN BUDI DAYA Pertambahan penduduk kota di Indonesia mendorong meningkatnya kegiatan kehidupan sosial dan ekonomi di kota yang selanjutnya menyebabkan kenaikan kebutuhan akan lahan. Kebutuhan lahan wilayah perkotaan terutama berhubungan dengan perluasan ruang kota untuk digunakan bagi prasarana kota seperti perumahan, jaringan air minum, jaringan sanitasi, taman-taman kota dan lapangan olah raga. Penyediaan lahan yang sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhankebutuhan tersebut cenderung mengakibatkan kenaikan harga lahan yang selanjutnya mendorong meluasnya spekulasi tanah sehingga menyebabkan pola penggunaan lahan yang kurang efisien di perkotaan, selain itu perkembangan kota yang pesat akan cenderung menurunkan kualitas lingkungan kota, seperti menurunnya kapasitas dan kualitas air, terutama air tanah apabila tidak dikendalikan secara baik. Jumlah penduduk yang selalu mengalami perubahan, mengakibatkan kebutuhan ruang sebagai wadah kegiatan perkotaan juga berubah terus menerus. Ruang dalam hal ini adalah lahan, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan kehidupan manusia, karena lahan merupakan wadah tempat berlangsungnya berbagai aktivitas untuk menjamin kelangsungan hidup manusia.
Oleh karena itu, dinamika kehidupan sejumlah pcnduduk di suatu daerah akan tercermin hubungan interaksi aktivitas penduduk dengan lingkungannya. Bertambahnya penghuni kota baik yang berasal dari penghuni kota maupun dari arus penduduk yang masuk dari luar kota mengakibatkan bertambahnya perumahan perumahan yang berarti berkurangnya daerah-daerah kosong di dalam kota (Bintarto, 1977). Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat pemekaran kota adalah masalah perumahan, masalah sampah, masalah bidang lalu-lintas, masalah kekurangan gedung seko1ah, masalah terdesaknya daerah persawahan di perbatasan luar kota dan masalah administratif pemerintahan (Bintarto, 1980). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diperlukan ruangruang kosong di dalam kota, sehingga mengakibatkan bentuk penggunaan lahan tidak hanya mengalami perubahan dari lahan kosong saja tetapi juga dari lahan yang sudah terbangun. Sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, proses perubahan bentuk penggunaan lahan ini akan berlangsung terus-menerus secara berkesinambungan. Berbagai bentuk pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada saat ini, terutama pembangunan yang bersifat fisik tidak luput dan kebutuhan akan lahan. Pemenuhan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan aktivitas manusia merupakan salah satu sebab terjadinya dinamika penggunaan lahan di atas disebabkan oleh faktor-faktor saling berpengaruh antara lain pertumbuhan penduduk, pemekaran atau perkembangan daerah terutama daerah perkotaan ke daerah pedesaan dan kebijaksanaan pembangunan pusat maupun daerah (Hauser, 1985 dalam Bintarto 1986). A. Klasifikasi bentuk penggunaan lahan perkotaan Perumahan: termasuk lapangan rekreasi dan kuburan Lahan perusahaan terdiri dari, kantor-kantor non instansi pemerintahan, gudang. Lahan industri: Pabrik, percetakan dll Lahan untuk jasa: Rumah sakit, instansi pemerintahan, terminal, pasar, bank dll Lahan kosong Ditinjau dari ruang dan waktu maka penggunaan lahan oleh manusia atas wilayah yang sedemikian luas dan terbesar seperti Indonesia adalah sangat komplit, sehingga untuk mengadakan inventarisasi dan yang lebih penting untuk memantaunya merupakan suatu tugas yang sangat besar bahkan ada periode dimana pembangunan dan kerusakan lahan sedang berjalan dengan kecepatan
besar, maka kebutuhan akan data penggunaan lahan yang mutakhir pada saat ini dirasakan sangat penting (Malingreau, 1978 dalam Sugiharto Budi S, 1999). Perubahan penggunaan lahan pada dasarnya adalah peralihan fungsi lahan yang tadinya untuk peruntukan tertentu berubah menjadi peruntukan tertentu pula (yang lain). Dengan perubahan penggunaan lahan tersebut daerah tersebut mengalami perkembangan, terutama adalah perkembangan jumlah sarana dan prasarana fisik baik berupa perekonomian, jalan maupun prasarana yang lain. Dalam perkembangannya perubahan lahan tersebut akan terdistribusi pada tempattempat tertentu yang mempunyai potensi yang baik. Selain distribusi perubahan penggunaan lahan akan mempunyai pola-pola perubahan penggunaan lahan menurut Bintarto (1977) pada distribusi perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dikelompokkan menjadi : Pola memanjang mengikuti jalan Pola memanjang mengikuti sungai Pola radial Pola tersebar Pola memanjang mengikuti garis pantai Pola memanjang mengikuti garis pantai dan rel kereta api T. B Wadji Kamal (1987) menjelaskan pengertian perubahan penggunaan lahan yaitu : Perubahan penggunaan lahan yang dimaksud adalah perubahan penggunaan lahan dari fungsi tertentu, misalnya dari sawah berubah menjadi pemukiman atau tempat usaha, dari sawah kering berubah menjadi sawah irigasi atau yang lainnya. Faktor utama yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah jumlah penduduk yang semakin meningkat sehingga mendorong mereka untuk merubah lahan. Tingginya angka kelahiran dan perpindahan penduduk memberikan pengaruh yang besar pada perubahan penggunaan lahan. Perubahan lahan juga bisa disebabkan adanya kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di suatu wilayah. Selain itu, pembangunan fasilitas sosial dan ekonomi seperti pembangunan pabrik juga membutuhkan lahan yang besar walaupun tidak diiringi dengan adanya pertumbuhan penduduk disuatu wilayah. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi perubahan penggunaan lahan tersebut pada dasarnya adalah topografi dan potensi yang ada di masing-masing daerah dan migrasi penduduk. III. MIGRASI PENDUDUK
Ada tiga dimensi penting dalam pembahasan tentang migrasi, yaitu : dimensi spasial, sektoral atau lapangan kerja (occupational), dan temporal. Migrasi dilihat dari dimensi spasial adalah menerangkan perpindahan penduduk atau mobilitas penduduk yang melintasi batas teritorial (administratif) atau geografi (Sudarmo, 1993). Salah satu bentuk migrasi secara spasial yang banyak terjadi adalah mobilitas penduduk desa-kota. Terjadinya gerak penduduk atau mobilitas tenaga kerja dari desa ke kota menunjukkan adanya ketidak seimbangan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja antara desa dan kota. Migrasi dari dimensi sektoral melahirkan konsep mobilitas penduduk berdasarkan jenis pekerjaan (okupasi) baik yang sifatnya permanen atau musiman (Sumaryanto dan Pasaribu, 1996). Selain dimensi spasial dan sektoral, dimensi penting lainnya adalah dimensi temporal. Dimensi waktu ini melahirkan konsep migrasi komutasi, sirkulasi, dan permanen. Dalam kenyataannya, sangatlah sulit membahas masalah migrasi dengan konsep dimensi secara terpisah, karena antar dimensi tersebut saling terkait. A. KONSEP DAN DEFENISI MIGRASI Migrasi salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi. Migrasi bersama dengan dua komponen lainnya, kelahiran dan kematian, mempengaruhi dinamika kependudukan di suatu wilayah Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administratif (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain. Ada dua dimensi penting dalam penalaahan migrasi, yaitu dimensi ruang/daerah (spasial) dan dimensi waktu. Pendekatan kontekstual dalam analisis migrasi menekankan pentingnya factor kesempatan kerja, tingkat upah, serta aksessibilitas terhadap fasilitas sosial maupun ekonomi. Sementara itu, pendekatan expektasi dalam analisis migrasi menekankan pentingnya nilai dalam mempengaruhi niat bermigrasi seperti kemandirian, affiliasi, dan moralitas. B. JENIS JENIS MIGRASI migrasi internasional,yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain migrasi internal perpindahan yang terjadi dalam satu negara, misalnya antarpropinsi, antar kota/kabupaten, migrasi perdesaan ke perkotaan atau satuan administratif lainnya yang lebih rendah daripada tingkat kabupaten, seperti kecamatan, kelurahan dan seterusnya. Jenis migrasi yang terjadi antar unit administratif selama masih dalam satu Negara
Perhitungan angka migrasi biasanya didasarkan pada tiga kriteria; Pertama, life time migration(migrasi seumur hidup) yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempa tinggal waktu lahir Kedua, recent migration yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila tempat tinggal waktu survei berbeda dengan tempat tinggal lima tahun sebelum survei. Ketiga, total migration(migrasi total), yang menyatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai migran bila dia pernah bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat tinggal waktu survei C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI 1. Faktor Pendorong Makin berkurangnya sumber sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barangt ertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu atau bahan dari pertanian. Menyempitnya lapangan pekerjaan ditempatasal (misalnya tanah untuk pertanian diperdesaan yang makin menyempit). Adanya tekanan-tekanan politik, agama, suku sehingga mengganggu hak azasi penduduk di daerah asal. Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit. 2. Faktor Penarik Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaikan taraf hidup. Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya
Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar tersebut D. CONTOH EMPIRIS (Pulau Jawa : Jawa Barat, Banten, Bodetabek, Banten, Jateng, DIY, Jatim) LATAR BELAKANG Tantangan dan permasalahan kependudukan (besaran, sebaran, struktur) Fenomena migrasi di Indonesia (ketimpangan, motif ekonomi) push & pull factors (Skeldon, 1990) : keterkaitan migrasi dengan pembangunan Polamigrasi: pulau Jawa JawaBarat+ Banten-Bodetabek Trend migrasirisen ke Jawa Baratter konsentrasi di Bodetabek 37% (2000) naik menjadi 49% (2005). Trend Migrasi Masuk Trend Pengangguran
Gambaran Umum Wilayah BODETABEK Distribusi Migrasi Masuk ke BODETABEK Berdasarkan Daerah Asal Distribusi Migran Riset Tenaga Kerja Menurut Daerah Asal Tahun 2005 Berdasarkan Kelompok Umur
Alasan Pindah Migran Asal Internal BODETABEK Alasan Pindah Migran Asal Internal Jakarta Alasan Pindah Migran Asal Internal DIY, Jateng, Jatim