BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Deteksi Dini Pola Gangguan Artikulasi Pada Anak Tunagrahita Di Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
2015 KAJIAN FONETIK TERHADAP TUTURAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi seseorang telah menjadi kebutuhan pokok dan hak-hak dasar baginya

BAB I PENDAHULUAN. Kompetensi berbahasa secara fonologis hampir dimiliki setiap manusia

KONSEP DAN KOMPONEN. Oleh: Pujaningsih

BAB I PENDAHULUAN. berupa simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa dihasilkan dari alat ucap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Debby Yuwanita Anggraeni, 2013

BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian. Sudah berabad-abad yang lalu manusia menggunakan bahasa, baik bahasa tubuh, tulisan,

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan hakikatnya, bahasa dimiliki oleh manusia saja. Tuhan memberi

Bahasa dan Ketunagrahitaan. Oleh Didi Tarsidi

: Metode-metode Pembelajaran Bahasa Lisan pada Anak Tunagrahita Ringan di Sekolah Luar Biasa

BAB I PENDAHULUAN. sensitif dan akan menentukan perkembangan otak untuk kehidupan dimasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pemerolehan bahasa adalah pemerolehan bahasa, seperti fonologi,

Konsep Dasar Artikulasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. fisik yang berbeda-beda, sifat yang berbeda-beda dan tingkah laku yang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pribadi yang dialami peneliti, ketika peneliti

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di muka bumi.

PRODUKSI FONOLOGIS ANAK DOWN SYNDROME USIA TAHUN BERDASARKAN TINGKAT KECERDASAN DAN MASA TERAPI

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjang dalam kehidupan manusia. Peranan suatu bahasa juga sangat

BAB I PENDAHULUAN. sistem penulisan tidak dapat menggambarkan bunyi yang diucapkan oleh manusia

IDENTITAS MATA KULIAH 16/03/2008 HERMAN 1

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan oleh pembicara melalui alat-alat artikulasi dan diterima melalui alat

BAB I PENDAHULUAN. sisi lain. Orang mempunyai kecacatan fisik belum tentu lemah dalam hal

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari untuk menyampaikan pesan, pendapat, maksud, tujuan dan sebagainya.

BAB I PENDAHULUAN. pikiran dan perasaan kepada orang lain. 1. lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi-bunyi bahasa yang

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH LUAR BIASA TUNARUNGU (SLB/B) MELALUI ALAT PERAGA UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN. huruf, kata dan bahasa. Bunyi bahasa yang dihasilkan penderita khususnya

Pengantar. Aspek Fisiologis Bahasa. Aspek Fisik Bahasa 13/10/2014. Pengantar Linguistik Umum 01 Oktober Aspek Fisiologis Bahasa

DRS. DUDI GUNAWAN,M.Pd

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Dwi Lestari,2013

BAB I PENDAHULUAN. mahluk individu maupun mahluk sosial. Salah satu keterampilan yang harus

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan baik. Bagi mereka yang mempunyai kelainan fungsi otak tentu mengalami gangguan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LAPORAN BACA. OLEH: Asep Saepulloh ( ) Hikmat Hamzah Syahwali ( ) Suherlan ( )

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. celah di antara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir. Kadang kala malah lebih luas,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ana Roviana Purnamasari, 2015 Kajian Linguistik klinis pada penderita Bells s Palsy

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kita bisa melihat bahwa kemampuan berbicara. Ada anak yang perkembangan berbicaranya lebih cepat dan ada juga yang

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Bahasa sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda. Bahasa adalah alat verbal

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. melakukan interaksi sosial dan hubungan timbalbalik di sekolah khususnya

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA ANAK MENURUT TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK. Suci Rani Fatmawati 1. Abstract

TUTURAN PADA ANAK PENYANDANG TUNAGRAHITA TARAF RINGAN, SEDANG, DAN BERAT (KAJIAN FONOLOGI)

Rafika Rahmawati

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Gejala kelainan..., Dian Novrina, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pusti Mustika, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkembang semenjak bayi, kemampuan berbicara erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang harus dialami oleh setiap manusia, mulai dari Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ika Kustika, 2015

PEMEROLEHAN RAGAM BAHASA JAWA PADA ANAK USIA 2 TAHUN (Studi kasus) ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN ! <!!!!!

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. manusia tentunya membutuhkan alat komunikasi yang berupa bahasa guna

MODUL II : SPEECH AND AUDIO PROCESSING

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang beralamat di Jl. Rajekwesi 59-A Perak Bojonegoro. Di SLB-B Putra

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

ANIS SILVIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ingatan adalah salah satu bagian dalam kognisi. Kata ingatan merupakan

PEMEROLEHAN BAHASA INDONESIA ANAK TUNARUNGU USIA 7-10 TAHUN ( STUDI KASUS PADA TINA DAN VIKI )

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan salah satu prestasi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. sebagai parameter dalam menentukan perkembangan anak. Bicara

BAB I PENDAHULUAN. Bicara sebagai suatu symbol linguistic merupakan ekspresi verbal dari

BAB II LANDASAN TEORI. pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau penyimpangan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kemampuan berbahasa ibu merupakan kemampuan yang dimiliki hampir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Mereka

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB III METODE PENELITIAN

KAIDAH FONOTAKTIK GUGUS KONSONAN KATA-KATA BAHASA INDONESIA YANG BERSUKU DUA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari membaca mempunyai makna yang. penting. Membaca bukan saja sekedar memandangi lambang-lambang tertulis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan pembicara dan pendengar (Finn, 2003). Cameron dan Widmer (2008)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan perkembangan bahasa pada anak. Salah satu hal yang dapat dijelaskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota

BAB I PENDAHULUAN. karena manusia dapat berkembang dengan lingkungannya karena ada manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perkembangan anak (Permeneg PP&PA Nomor 10 Tahun 2011).

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A.

SUBTITUSI KONSONAN PADA PENDERITA DISARTRIA. Retno Handayani Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdiknas

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Penelitian ini membuat instrumentasi untuk mendeteksi gangguan artikulasi dan pedoman terapi berbicara. Setelah menemukan instrumen yang tepat, penelitian ini juga menyajikan pola gangguan artikulasi pada anak Tunagrahita menggunakan tinjauan linguistik klinis. Pada bab pendahuluan ini dipaparkan secara berurutan: (1.1) latar belakang masalah, (1.2) pertanyaan-pertanyaan penelitian, (1.3) tujuan penelitian, (1.4) manfaat penelitian, (1.5) definisi operasional, dan (1.6) penutup. 1.1 Latar Belakang Penelitian Ide untuk penelitian ini tumbuh dari hasil diskusi di sebuah tempat terapi berbicara (speech therapy) di Bandung yang menangani anak-anak gangguan berbicara dan berbahasa. Selama melakukan terapi berbicara, para terapis menyadari kekurangan materi linguistik terkini, sistematis, dan berdasarkan penelitian mengenai bidang terapi berbicara khususnya penelitian fonetik dan fonologi Bahasa Indonesia (BI) pada anak-anak yang mengalami gangguan artikulasi atau gangguan berbicara. Melihat data laporan hasil pemeriksaan psikologi dari beberapa lembaga yang mengadakan terapi berbicara (lihat lampiran penelitian), menggugah gairah peneliti untuk melakukan kajian mendeteksi gangguan artikulasi dan melihat pola gangguannya. Laporan tersebut hanya menyebutkan subjek masih kurang jelas ketika menyebutkan suatu kata yang mengandung huruf K, L, N dan sebagainya. Mengingat, dalam ujaran bunyi-bunyi bahasa tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling pengaruh-mempengaruhi antara bunyi yang satu dengan bunyi yang lainnya (Dardjowidjojo, 2012: 49). Besar harapan, penelitian ini mampu membuatkan sebuah intrumentasi untuk mendeteksi secara dini gangguan artikulasi yang sesuai dengan kaidah linguistik bahasa Indonesia yang dapat

2 diaplikasikan oleh lembaga-lembaga terapi berbicara dan memudahkan para orangtua/wali anak-anak yang menggalami gangguan berbicara dalam mengakses informasi pola gangguan artikulasi serta cara menterapinya. Banyaknya jumlah anak-anak yang mengalami gangguan (disabilitas) disertai dengan gangguan berbicara dan berbahasa memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak untuk turut berpartisipasi dalam upaya penangananya. Berdasarkan data yang dilansir Kemendiknas (2010), menurut data Sekolah Luar Biasa (SLB) pada tahun 2006/2007, jumlah penyandang cacat yang mampu mengakses pendidikan baru mencapai 27,35% atau 87.807 anak. Dari jumlah peserta didik berkebutuhan khusus tersebut, populasi anak tunagrahita (TG) menempati porsi paling besar, yaitu 66.610 anak, dibandingkan jumlah anak dengan jenis kecacatan lainnya. Oleh karena itu, cukup jelas bahwa masalah keterbelakangan mental merupakan masalah yang cukup signifikan di Indonesia. Anak TG adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Sularyo dan Kadim, 2000). Anak TG diklasifikasikan berdasarkan uji intelegensi Stanford Binet menjadi empat kelompok, yaitu: (1) TG ringan (Mild Retardation) dengan IQ 50-69 (anak TGR); (2) TG sedang (Moderate Retardation) dengan IQ 35-49 (anak TGS); (3) TG Berat (Severe Retardation) dengan IQ 20-34 (anak TGB); dan (4) TG sangat Berat (Profound Retardation) dengan IQ dibawah 20 (anak TGSB) (Sularyo dan Kadim 2000, lihat juga WHO 1998; Prasadio T 1976; Lumbantobing SM 1997; Glascoe FP 1996). Membahas perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Anak TG mengalami hambatan dalam perkembangan kognisi, sehingga mengalami hambatan dalam perkembangan berbahasa yang dimulai adanya gangguan berbicara (Sularyo dan Kadim 2000). Langkah pertama dalam pemecahan masalah kesulitan artikuasi atau berbicara adalah menentukan kesulitan-kesulitan anak TG dalam

3 mengujarkan fonem-fonem berdasarkan instrumen yang tepat (Shriberg, et al, 2003: 65). Studi kebahasaan yang menjadikan anak-anak berkebutuhan khusus sebagai informannya antara lain dari Ebbels (2000) yang mengkaji profiling psikolinguistik pada anak-anak Tunarungu. Beberapa landasan linguistik klinis yang penting dikemukakan di dalam studi Ebbels ini. Kemudian, kajian dari Tobolowsky (2004) memperjelas bagaimana perlakuan yang ideal bagi anak-anak TG. Sementara itu, kajian Timor dan Weiss (2007) memberikan perspektif tentang anak berkebutuhan khusus dari sudut pandang sosiolinguistik. Moere (2012) yang mengkaji pendekatan psikolinguistik terhadap kemampuan anak dalam pemerolehan kemampuan berbicara dengan menjadikan kemampuan membaca sebagai instrumennya. Richad L (1977: 47-49) menyatakan perkembangan kosakata anak TG lebih lambat dari anak normal. Anak TG menggunakan katakata positif, bersifat umum, miskin variasi kata-kata dan hampir tidak pernah memepergunakan kata ganti serta lebih sering menggunakan kata tunggal. Bahkan, penelitian terbaru Rochyadi E (2011) membuktikan dengan peningkatan persepsi visual menggunakan model pembelajaran berbasis kesadaran linguistik dapat meningkatkan kemampuan membaca pada anak TG. Mengacu kepada beberapa kajian sebelumnya yang terkait perkembangan kemampuan berbahasa Anak TG, penelitian ini mencoba mengambil posisi membuat instrumentasi untuk mendeteksi gangguan artikulasi secara dini serta mengungkap pola gangguan artikulasi konsonan BI yang dilafalkan anak TGR dan TGS. Berdasarkan intrumentasi yang telah dibuat secara lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pola gangguan artikulasi konsonan BI pada posisi kata, misalnya pada posisi di awal, di tengah, dan di akhir, berdasarkan gugus serta deret konsonan BI. Setelah mengetahui pola gangguan artikulasi pada anak TGR dan TGS yang dikaji secara linguistik klinis. Tujuan utamanya untuk mengetahui fonem-fonem konsonan BI apa saja yang tidak dapat dilafalkan oleh anak TGR dan TGS. Hasil penelitian ini diharapkan mampu

4 memberikan referensi untuk memudahkan terapi berbicara pada anak tersebut. Selama ini, belum banyak peminat yang meneliti dan memberikan panduan pada terapis bicara untuk menggunakan instrumen yang mampu merepresentasikan pola gangguan artikulasi sesuai dengan kaidah fonologi BI. Dengan demikian, diharapkan intrumentasi dalam penelitian ini dapat menjadi pedoman dalam terapi berbicara. Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik klinis untuk mengakomodasi adanya keterkaitan antara gangguan klinis dan gangguan berbicara. Proses berbahasa merupakan proses encode semantik, encode gramatika, dan enkode fonologi. Enkode semantik dan enkode gramatika berlangsung dalam otak, sedangkan enkode fonologi dimulai dari otak lalu dilanjutkan pelaksanaannya oleh alat-alat bicara (speech organs) yang melibatkan sistem syaraf otak (neuromiskuler) bicara dari otot tenggorokan, otot lidah, otot bibir, mulut, langit-langit, rongga hidung, pita suara, dan paru-paru (Chaer, 2009: 148). Cummings (2008:4) menjelaskan ruang lingkup linguistik klinis secara rinci sebagai bidang kajian yang meliputi (1) gangguan akibat pra dan pascakelahiran; (2) gangguan perkembangan kognitif; (3) gangguan perkembangan pemerolehan bahasa; (4) gangguan akibat kecacatan alat ujar; (5) gangguan kecakapan berbicara; dan (6) gangguan komunikasi lainnya yang disebabkan kekurangan pada organ fisik manusia. Oleh karena itu, kajian linguistik klinis sangat aplikatif untuk mengungkap fenomena-fenomena gangguan berbicara pada informan anak TG yang notabene mengalami gangguan perkembangan kognitif. Untuk memfokuskan penelitian ini, beriku adalah rumusan pertanyaan penelitian yang akan dipaparkan pada subbab 1.2.

5 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Secara lebih spesifik, masalah penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaanpertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana pola gangguan artikulasi konsonan BI yang diujarkan anak TGR dan TGS? 2. Bagaimana pola gangguan artikulasi konsonan BI berdasarkan posisi pada kata yang diujarkan anak TGR dan TGS? 3. Bagaimana pola gangguan artikulasi gugus konsonan BI yang diujarkan anak TGR dan TGS? 4. Bagaimana pola gangguan artikulasi deret konsonan BI yang diujarkan anak TGR dan TGS? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Secara khusus, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan pola gangguan artikulasi konsonan BI yang diujarkan Anak TGR dan TGS. 2. Mendeskripsikan pola gangguan artikulasi konsonan BI berdasarkan posisi pada kata yang diujarkan Anak TGR dan TGS. 3. Mendeskripsikan pola gangguan artikulasi gugus konsonan BI yang diujarkan Anak TGR dan TGS. 4. Mendeskripsikan pola gangguan artikulasi deret konsonan BI yang diujarkan Anak TGR dan TGS. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang signifikan, baik untuk Program Studi Linguistik SPs UPI khususnya, maupun masyarakat luas pada

6 umumnya. Beberapa manfaat yang diharapkan akan muncul melalui penelitian ini ialah sebagai berikut. 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pedoman instrumentasi kepada terapis bicara mengenai gangguan artikulasi konsonan BI pada anak-anak yang mengalami gangguan berbicara atau artikulasi. 2. Penelitian ini diharapkan mampu menemukan pola gangguan artikulasi konsonan BI yang diujarkan Anak TGR dan TGS. 3. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah dan diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan linguistik klinis, khususnya dalam penelitian pola gangguan artikulasi konsonan BI pada Anak TGR dan TGS. 4. Penelitian ini diharapkan mampu menambah sumber bacaan, memperkarya ilmu pengetahuan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya yang ingin menganalisis bidang linguistik klinis, khususnya yang berhubungan dengan anak TGR dan TGS. 1.5 Definisi Operasional Anak TG adalah anak yang memiliki karakteristik keterbelakangan mental (Somantri, 2006: 103). Dalam penelitian ini, difokuskan kepada anak TGR dan TGS yang merujuk pada klasifikasi berdasarkan uji intelegensi Stanford Binet, yaitu anak TGR (Mild Retardation) dengan IQ 50-69 dan TGS (Moderate Retardation) dengan IQ 35-49 (Sularyo dan Kadim 2000, lihat juga WHO 1998; Prasadio T 1976; Lumbantobing SM 1997; Glascoe FP 1996). Artikulasi adalah lafal atau pengucapan kata. Sedangkan lafal adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat bahasa mengucapkan bunyi bahasa (KBBI, 2008). Shriberg, et al. (2003) menyatakan bahwa artikulasi adalah menciptakan bunyi ujaran. Yang dimaksud dengan gangguan artikulasi dalam penelitian ini sama halnya dengan gangguan berbicara, adalah gangguan

7 mengartikulasikan fonem-fonem saat berbicara, khususnya fonem konsonan BI, sehingga menyebabkan pebentukan fonem tidak sempurna atau tidak jelas. Gangguan artikulasi umumnya terjadi pada anak-anak yang sedang belajar bahasa. Namun, dalam penelitian ini gangguan artikulasi yang disebabkan faktor klinis. Pola gangguan artikulasi dalam penelitian ini merujuk pada Bauman- Waengler (2004: 23) yang mengategorikan kesalahan bunyi ujaran ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) Pola Adisi (Addition) adalah jenis kesalahan artikulasi yang bunyi ujarannya lebih mirip dengan bunyi yang dimaksud tapi terasa salah, bunyi yang dibuat tidak akurat, tetapi masih terdengar seperti bunyi yang diinginkan; (2) Pola Substitusi (Substitution) merupakan jenis kesalahan artikulasi satu atau lebih bunyi digantikan bunyi yang lain; dan (3) Pola Omisi (Omission) adalah kesalahan artikulasi yang terjadi ketika fonem tertentu dalam posisi tertentu dihapus atau tidak dilafalkan. 1.6 Penutup Latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional telah dipaparkan mengisi bagian pendahuluan dari penelitian ini. Bab selanjutnya berisi pembahasan mengenai tori-teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini.