I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman cabai sebagai komoditas pertanian yang utama di Indonesia khususnya cabai merah (Capsicum annuum L.) banyak dipilih petani dikarenakan sifatnya yang mudah dibudidayakan, tidak tergantung musim dan banyak diminati pasar baik dalam negeri dan luar negeri (Nurfalach, 2010). Hal ini dikarenakan cabai mempunyai banyak kegunaan baik sebagai bumbu masakan maupun sayuran. Cabai mengandung protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin dan senyawa capsaicin yang berpotensi sebagai antibakteri, antikanker dan antiinflamatori (Sunil, 2012; Perucka dan Materska, 2007). Salah satu kendala dalam budidaya C.annuum yaitu hama dan penyakit. Salah satunya penyakit antraknosa atau buah busuk telah banyak dilaporkan sebagai salah satu penyakit yang sering menyerang pertanian C.annuum. Penyakit antraknosa menyebabkan kerusakan pada buah C.annuum dan mengakibatkan penurunan produksi 20-90% (Wiratma et.al. 1983; Semangun, 2004). Penanganan penyakit jamur pada pertanian C. annuum umumnya menggunakan fungisida. Namun fungisida mengakibatkan peningkatan biaya produksi, akumulasi bahan kimia beracun pada lingkungan, kontaminasi pangan dan membangun resistensi patogen (Zivkovic et al., 2010a). Oleh sebab itu, diperlukan alternatif biokontrol yang lebih bersifat ramah lingkungan serta menjaga keamanan pangan. Salah satu kandidat biokontrol dari serangan penyakit jamur pada tanaman yaitu menggunakan fungi endofit (Wilia, 2010; Istikorini, 1
2 2008; Asniah, 2009; Mehetre dan Deshmukh, 2011; Purwantisari et al., 2009; Sudantha et al., 2011; Rajput, 2011). Fungi endofit lebih banyak memberikan keuntungan dibandingkan fungisida lainnya baik dalam hal ekologi, keseimbangan ekosistem dan sifat mutualismenya sendiri dengan tumbuhan inang. Keberadaan fungi endofit pada jaringan tanaman memberikan respon pertahanan yang lebih baik terhadap serangan penyakit (Rodriguez et al., 2009; Faeth dan Fagan, 2002) dibandingkan yang tidak bersimbiosis dengan fungi endofit (Istikorini, 2008). Hal ini dikarenakan fungi endofit mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Rodriguez et al., 2009). Banyak penelitian melakukan isolasi fungi endofit dari tanaman obat untuk mengetahui apakah potensi endofit tersebut sama dengan tanaman obat yang menjadi inangnya (Xiao et al., 2013; Elfina et al., 2014; Noverita et al., 2009). Hal ini berhubungan dengan bahan bioaktif yang dikandung pada tanaman inang (Strobel dan Daisy, 2003). Produksi senyawa aktif yang dihasilkan oleh tanaman inang diduga ada hubunganya dengan keberadaan fungi endofit dalam jaringan tanaman tersebut. Keberadaan endofit mempunyai peranan penting dalam meningkatkan respon pertahanan tanaman dari serangan penyakit karena endofit terlibat dalam peningkatan produksi bahan aktif pada sistem kekebalan tanaman (Bhardwaj dan Agrawal, 2014). Penyakit antraknosa disebabkan oleh fungi Colletotrichum spp. Colletotrichum spp. penyebab serangan antraknosa pada C.annuum yang telah dilaporkan yaitu C. gloesporioides (Thind dan Jhooty, 1990), C. acutatum (Istikorini, 2008; Wilia, 2010) dan C. capsici (Rajput, 2011, Kaur et al., 2006,
3 Sultana et al., 2012). Penelitian uji antagonisme fungi endofit terhadap patogen Colletotrichum spp. secara in vitro telah banyak dilakukan. Fungi endofit Acremonium sp., Fusarium oxysporum dan F.solani mampu menekan kejadian penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum (33,33-43,33%) pada C.annuum kultivar Tit Super (Istikorini, 2008). Endofit Coniothyrium sp. mampu menekan penyakit antraknosa sebesar 29,18% (Wilia, 2010); endofit Trichoderma harzianum dan Chaetomium globasum mampu menekan pertumbuhan C. capsici lebih dari 50% (Sultana et al., 2012). Penelitian lain oleh Kaur et al. (2006) Trichoderma dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan C. capsisi penyebab fruit rot pada tanaman C.annuum dengan nilai penghambatan 71,5%. Zivkovic et al. (2010a) juga melaporkan Trichoderma harzianum dan Gliocladium roseum mampu menghambat pertumbuhan patogen antraknosa C. acutatum dan C. gloeosporioides sebesar 38%-43%. Penelitian ini menggunakan fungi endofit hasil isolasi dari daun Majapahit (Crescentia cujete L.). Tanaman obat Majapahit dilaporkan mempunyai potensi sebagai antibakteri dan antifungal karena kandungan fitokimia yang dimilikinya yaitu polifenol, saponin dan flavonoid (Lien, 2002). Daun Majapahit mempunyai potensi yang tinggi dalam menekan pertumbuhan bakteri gram negatif (Sari, 2010), gram positif dan jamur (Lien, 2002). Penelitian ini meliputi uji antagonisme fungi endofit asal daun Majapahit dengan fungi patogen penyebab antraknosa pada C.annuum secara in vitro dan evaluasi peranan fungi endofit tersebut dalam ketahanan penyakit antraknosa secara in vivo sehingga dari penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai
4 potensi fungi endofit dari daun Majapahit sebagai agen biokontrol yang efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa pada C. annuum. B. Permasalahan 1. Jenis Colletotrichum spp. apakah penyebab antraknosa pada Capsicum annuum L. dari Ladang pertanian Kricaan, Mesir, Magelang, Jawa Tengah? 2. Jenis fungi endofit apakah yang berhasil diisolasi dari daun tanaman Majapahit (Crescentia cujete L.) koleksi Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya? 3. Bagaimanakah hasil uji antagonisme antara fungi patogen penyebab antraknosa dengan fungi endofit asal daun Majapahit (Crescentia cujete L.) secara in vitro? 4. Bagaimanakah hasil evaluasi penggunaan fungi endofit asal daun Majapahit (Crescentia cujete L.) dalam meningkatkan ketahanan C. annuum terhadap serangan fungi patogen penyebab antraknosa secara in vivo? C. Tujuan 1. Mengidentifikasi jenis Colletotrichum spp. penyebab antraknosa pada Capsicum annuum L. dari Ladang pertanian Kricaan, Mesir, Magelang, Jawa Tengah. 2. Mengidentifikasi jenis fungi endofit yang berhasil diisolasi dari daun tanaman Majapahit (Crescentia cujete L.) koleksi Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
5 3. Menguji daya antagonisme antara fungi patogen penyebab antraknosa dengan fungi endofit asal daun Majapahit (Crescentia cujete L.) secara in vitro. 4. Mengevaluasi penggunaan isolat fungi endofit asal daun Majapahit (Crescentia cujete L.) dalam meningkatkan ketahanan C. annuum terhadap serangan fungi patogen penyebab antraknosa secara in vivo? D. Manfaat 1. Sebagai bahan informasi pemanfaatan fungi endofit sebagai agen biokontrol pada C. annuum dalam ketahanannya terhadap penyakit antraknosa guna meningkatkan produktivitas pertanian C. annuum. 2. Sebagai bahan informasi mengenai data biodiversitas fungi endofit pada tanaman Majapahit (Crescentia cujete L.). 3. Sebagai bahan informasi mengenai peran penting tanaman Majapahit (Crescentia cujete L.) sebagai inang dari fungi endofit yang mempunyai potensi antijamur dan meningkatkan nilai penting peranan tanaman Majapahit baik dari segi ekologi maupun etnobotani. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji isolasi dan identifikasi fungi patogen penyebab antraknosa pada Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dan fungi endofit dari daun tanaman Majapahit (Crescentia cujete L.), uji antagonisme fungi endofit terhadap fungi patogen dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji antagonisme secara in vitro dilakukan dengan mengukur daya hambat oleh fungi endofit terhadap fungi patogen pada media PDA sedangkan secara in vivo untuk menguji ketahanan
6 tanaman C. annuum dari serangan fungi patogen. Uji ketahanan dilakukan dengan menginduksi kandidat fungi endofit dari hasil uji antagonisme secara in vitro sebelumnya. Pengukuran daya ketahanan in vivo dilakukan dengan mengukur persen kejadian penyakit dan intensitas serangan, mengukur parameter pertumbuhan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah/kering serta perhitungan total panjang total dan persentase infeksi akar.