HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu. Pengumpulan Data

TINJAUAN PUSTAKA. Neraca Air

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

Tabel 4.31 Kebutuhan Air Tanaman Padi

KAT (mm) KL (mm) ETA (mm) Jan APWL. Jan Jan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI. dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Daerah Irigasi Banjaran merupakan Daerah Irigasi terluas ketiga di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3 Sebaran curah hujan rata-rata tahunan Provinsi Jawa Barat.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERENCANAAN KEBUTUHAN AIR PADA AREAL IRIGASI BENDUNG WALAHAR. Universitas Gunadarma, Jakarta

BAB II DASAR TEORI 2.1 Perhitungan Hidrologi Curah hujan rata-rata DAS

A. Metode Pengambilan Data

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

DAFTAR ISI. Halaman JUDUL PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR

ESTIMASI NERACA AIR DENGAN MENGGUNAKAN METODE THORNTHWAITE MATTER. RAHARDYAN NUGROHO ADI BPTKPDAS

NERACA AIR METEOROLOGIS DI KAWASAN HUTAN TANAMAN JATI DI CEPU. Oleh: Agung B. Supangat & Pamungkas B. Putra

PRAKTIKUM VIII PERENCANAAN IRIGASI

Optimasi Pola Tanam Menggunakan Program Linier (Waduk Batu Tegi, Das Way Sekampung, Lampung)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORITIS

ANALISIS KEBUTUHAN AIR IRIGASI PADA DAERAH IRIGASI BANGBAYANG UPTD SDAP LELES DINAS SUMBER DAYA AIR DAN PERTAMBANGAN KABUPATEN GARUT

DEFINISI IRIGASI TUJUAN IRIGASI 10/21/2013

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

3. METODOLOGI PENELITIAN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR SAWAH TADAH HUJAN DI DESA MULIA SARI KECAMATAN MUARA TELANG KABUPATEN BANYUASIN

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

Gambar 8. Pola Hubungan Curah Hujan Rata-rata Harian RegCM3(Sebelum dan Sesudah Koreksi) dengan Observasi

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

Bab IV Analisis Data

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013 di

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. jagung adalah kedelai. Kedelai juga merupakan tanaman palawija yang memiliki

HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS SPASIAL INDEKS KEKERINGAN DAERAH PANTAI UTARA (PANTURA) JAWA BARAT

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

7. PERUBAHAN PRODUKSI

Tabel Lampiran 1. Hasil Perhitungan Analisis Neraca Air dengan Kecamatan Anjatan Kabupaten Indramayu Tahun Normal. Tabel Lampiran 2. Hasil Perhitungan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Banjaran merupakan anak sungai Logawa yang mengalir dari arah

Lampiran 1.1 Data Curah Hujan 10 Tahun Terakhir Stasiun Patumbak

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Tujuan: Peserta mengetahui metode estimasi Koefisien Aliran (Tahunan) dalam monev kinerja DAS

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

BAB VI. POLA KECENDERUNGAN DAN WATAK DEBIT SUNGAI

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

DAFTAR ISI. 1.2 RUMUSAN MASALAH Error Bookmark not defined. 2.1 UMUM Error Bookmark not defined.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

Studi Optimasi Pola Tanam pada Daerah Irigasi Warujayeng Kertosono dengan Program Linier

HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMASI FAKTOR PENYEDIAAN AIR RELATIF SEBAGAI SOLUSI KRISIS AIR PADA BENDUNG PESUCEN

TEKNOLOGI HUJAN BUATAN DALAM SISTEM PENGELOLAAN WADUK IR. JUANDA, DAS CITARUM. JAWA BARAT

Arti Penting Kalender Tanam (Katam) Padi

Dr. Ir. Robert J. Kodoatie, M. Eng 2012 BAB 3 PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR DAN KETERSEDIAAN AIR

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMASI PEMANFAATAN AIR BAKU DENGAN MENGGUNAKAN LINEAR PROGRAMMING (LP) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIDANAU, BANTEN. OLEH : MIADAH F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

Irigasi Dan Bangunan Air. By: Cut Suciatina Silvia

ANALISIS KETERSEDIAAN AIR PADA DAERAH IRIGASI BLANG KARAM KECAMATAN DARUSSALAM KEBUPATEN ACEH BESAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI SALURAN SEKUNDER DAERAH IRIGASI BEGASING

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN. di Jawa dengan wilayah tangkapan seluas ribu kilometer persegi. Curah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram Alir pola perhitungan dimensi hidrolis spillway serbaguna

Optimalisasi Pemanfaatan Sungai Polimaan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Irigasi

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

STUDI SIMULASI POLA OPERASI WADUK UNTUK AIR BAKU DAN AIR IRIGASI PADA WADUK DARMA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT (221A)

Analisis Ketersediaan Air Embung Tambakboyo Sleman DIY

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

BAB 4 ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

ABSTRAK. Kata Kunci : DAS Tukad Petanu, Neraca air, AWLR, Daerah Irigasi, Surplus

BAB III METODE PENELITIAN. PDAM kota Subang terletak di jalan Dharmodiharjo No. 2. Kecamatan

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

ANALISIS PENENTUAN WAKTU TANAM PADA TANAMAN KACANG TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Air Tanaman Jagung

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Misal dgn andalan 90% diperoleh debit andalan 100 m 3 /det. Berarti akan dihadapi adanya debit-debit yg sama atau lebih besar dari 100 m 3 /det

EVALUASI SISTEM JARINGAN IRIGASI TERSIER SUMBER TALON DESA BATUAMPAR KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP.

PRAKTIKUM RSDAL II PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI POTENSIAL (ETo) DAN KEBUTUHAN AIR TANAMAN (ETCrop)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BMKG PRESS RELEASE BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

ANALISA NERACA AIR LAHAN WILAYAH SENTRA PADI DI KABUPATEN PARIGI MOUTONG PROVINSI SULAWESI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ANALISIS KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DI WILAYAH KABUPATEN GARUT SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR Jl. Madukoro Blok.AA-BB Telp. (024) , , , S E M A R A N

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Curah Hujan Daerah Penelitian Kondisi curah hujan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura dalam kurun waktu 20 tahun terakhir (1990-2009) dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Gambar 6 menyajikan time series curah hujan bulanan di kedua daerah penelitian, sementara Gambar 7 menyajikan jumlah akumulasi curah hujan tahunannya. Gambar 6. Curah Hujan Bulanan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 Dari Gambar 6 dan 7 tidak terlihat adanya indikasi penurunan curah hujan baik di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura. Pada Gambar 6 bahkan terlihat indikasi bahwa dari hasil analisis data curah hujan secara time series, kondisi curah hujan dalam 10 tahun terakhir (2000-2009) cenderung lebih tinggi dibandingkan dalam kurun waktu 10 tahun pertama (1990-1999). Gambar 7. Curah Hujan Tahunan Daerah Penelitian Tahun 1990-2009 Hal ini menunjukkan bahwa jika dilihat dari jumlah curah hujan tahunannya, maka curah hujan di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura tidak terpengaruh oleh dampak pemanasan global. Sepanjang dua dekade terakhir intensitas curah hujan terendah 28

di wilayah Pantura terjadi pada tahun 1997 (754 mm/tahun), sedangkan yang tertinggi terjadi pada tahun 2002 (1.703 mm/tahun). Untuk DAS Citarum Hulu, intensitas curah hujan terendah terjadi pada tahun 1991 (1.287 mm/tahun), sementara yang tertinggi terjadi pada tahun 1998 (2.457mm/tahun). Tabel 6. Tahun-tahun Kejadian El Nino, La Nina, IOD Positif dan IOD Negatif IOD negatif IOD Normal IOD positif 1930 1877 1888 1899 1911 1914 1918 1925 1940 1896 1902 1905 1923 El Nino 1941 1965 1986 1987 1957 1963 1972 1982 Normal 1880 1958 1968 1974 1980 1985 1989 1992 1906 1909 1910 1916 1917 1928 La Nina 1933 1942 1950 1975 1981 Sumber: Meyers et al (2007) 1881 1882 1883 1884 1895 1898 1901 1904 1907 1908 1912 1915 1920 1921 1927 1929 1931 1932 1934 1936 1937 1939 1943 1947 1948 1951 1952 1953 1956 1959 1960 1962 1966 1969 1976 1979 1990 1993 1995 1878 1879 1886 1889 1890 1892 1893 1897 1903 1922 1924 1938 1949 1954 1955 1964 1970 1971 1973 1978 1984 1988 1996 1998 1991 1997 1885 1887 1891 1894 1900 19 1919 1926 1935 1944 1945 1946 1961 1967 1977 1983 1994 Berdasarkan catatan tahun-tahun kejadian El Nino dan La Nina dalam Tabel 6 (Meyers et al, 2007), tahun 1991 dan 1997 merupakan tahun El Nino sementara tahun 1998 merupakan tahun La Nina (tahun 2002 belum tercatat). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa curah hujan di DAS Citarum dan daerah Pantura dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Gambar 8. Pola Curah Hujan di Daerah Penelitian Pola curah hujan daerah penelitian berdasarkan analisis data curah hujan historis tahun 2000-2009 (10 tahun) tersaji pada Gambar 8, sedangkan data lengkapnya disampaikan pada Lampiran 5. Dari Gambar 8 terlihat bahwa curah hujan di DAS Citarum Hulu maupun di daerah Pantura mempunyai pola monsoonal. Puncak curah hujan di DAS Citarum Hulu terjadi pada bulan Desember (243 mm) dan Maret (242 mm), sementara curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (41 mm). Untuk daerah Pantura, curah 29

hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari (315 mm) dan terendah pada bulan Agustus (15 mm). Kecuali di bulan Januari dan Februari, secara keseluruhan curah hujan di DAS Citarum Hulu lebih tinggi dibandingkan di daerah Pantura. Rerata total curah hujan tahunan di DAS Citarum Hulu sebesar 1.856 mm/tahun, sedangkan di daerah Pantura sebesar 1.408 mm/tahun. Berdasarkan pola curah hujan pada Gambar 8 dapat dinyatakan bahwa perbandingan lama musim hujan dan kemarau di DAS Citarum Hulu berlangsung secara seimbang. Musim hujan terjadi selama periode bulan November hingga April (6 bulan) sedangkan musim kemarau terjadi selama periode bulan Mei hingga Oktober (6 bulan). Untuk daerah Pantura, periode musim kemarau lebih panjang dibandingkan musim hujan. Periode musim hujan berlangsung selama bulan Desember hingga Maret (4 bulan), sementara dari bulan April hingga November (8 bulan) adalah musim kemarau. Gambar 9. Peta Isohyet Historis Tahunan di Daerah Penelitian Gambar 9 memperlihatkan distribusi spasial curah hujan historis tahunan di daerah penelitian. Dari Gambar 9 terlihat bahwa curah hujan di daerah Pantura mempunyai intensitas kurang dari 2.000 mm/tahun, sementara di DAS Citarum Hulu, khususnya di DTA Waduk Jatiluhur curah hujannya berkisar antara 2.000 3.000 mm/tahun. Daerah Sindanglaya yang berlokasi di dekat Waduk Jatiluhur merupakan lokasi dengan curah 30

hujan tahunan tertinggi di wilayah DAS Citarum Hulu (3.061 mm/tahun), sementara yang terendah berada di di daerah Cicalengka yang berlokasi di sisi paling barat wilayah DAS Citarum Hulu (1.257 mm/tahun). Untuk wilayah Pantura, curah hujan tahunan tertinggi berlokasi di Bendung Cikarang (1.708 mm/tahun) dan terendah di Pamanukan (1.098mm/tahun). Data curah hujan historis tahunan selengkapnya di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura disampaikan pada Lampiran 5, sedangkan peta distribusi spasial curah hujan historis setiap bulan tersaji pada Lampiran 6. Dari hasil analisis kondisi curah hujan di daerah penelitian dapat diketahui bahwa dampak pemanasan global tidak menyebabkan berkurangnya intensitas curah hujan di daerah penelitian, namun lebih berdampak pada distribusi curah hujan yang kurang merata baik secara spasial maupun secara temporal. Neraca Air Lahan Daerah Penelitian Kondisi neraca air lahan daerah penelitian dianalisis dari selisih nilai curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (PE). Besarnya PE ditentukan oleh kondisi suhu udara (t). Nilai t untuk seluruh lokasi stasiun cuaca di daerah penelitian diperoleh dengan interpolasi data suhu udara dari Stasiun Jatisari, Kalijati dan Geofisika Bandung dengan mempertimbangkan faktor ketinggian tempat (elevasi). Data elevasi dan suhu udara di setiap stasiun cuaca di daerah penelitian tersaji dalam Lampiran 7. Nilai rerata masing-masing parameter neraca air untuk Metode Thornthwaite- Mather (dengan menggunakan program Visual Delphi) untuk DAS Citarum Hulu tersaji pada Tabel 7, sedangkan untuk daerah Pantura pada Tabel 8. Tabel 7. Neraca Air DAS Citarum Hulu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Total P 229 222 242 223 128 67 44 41 52 142 223 243 1.856 TEMP 22.0 21.9 22.2 22.3 22.6 22.3 21.5 21.9 22.1 22.5 23.3 22.3 PE 91 81 91 88 93 90 83 88 85 95 103 97 1.085 P - PE 8 141 151 5 35-23 -39-47 -33 47 120 146 771 APWL 0 0 0 0 0-23 -62-109 -142 0 0 0 ST 187 187 187 187 187 165 4 104 88 187 187 187 ST 0 0 0 0 0-22 -31-30 -17 99 0 0 AE 91 81 91 88 93 89 75 71 69 95 103 97 1.043 D 0 0 0 0 0 1 8 17 16 0 0 0 S 8 141 151 5 35 0 0 0 0-52 120 146 Ia 0 0 0 0 0 2 10 20 19 0 0 0 31

Tabel 8. Neraca Air Daerah Pantura Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des Total P 250 299 157 128 82 44 29 14 30 77 146 153 1.409 TEMP 26.0 25.9 26.5 27.5 27.5 27.1 26.6 27.0 27.9 27.8 27.6 27.5 PE 2 117 8 153 156 147 9 149 160 168 162 169 1.790 P - PE 118 182 19-25 -74-103 -110-5 -0-91 -16-16 -381 APWL 0 0 0-25 -99-202 -312-447 -577-667 -683-699 ST 87 87 87 65 28 8 2 1 0 0 0 0 ST 0 0 0-22 -37-19 -6-2 0 0 0 0 AE 2 117 8 150 119 63 35 16 30 77 146 153 1.176 D 0 0 0 3 37 84 104 3 129 90 16 16 S 118 182 19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Ia 0 0 0 2 23 57 75 89 81 54 10 9 Kapasitas tanah dalam menyimpan air atau water holding capacity (WHC) adalah jumlah air maksimum yang dapat disimpan di dalam lapisan tanah yang besarnya ditentukan oleh porositas tanah dan kedalaman akar. Rerata nilai WHC di DAS Citarum Hulu berdasarkan kombinasi jenis tanah dan kedalaman perakaran sebesar 187 mm pada kedalaman antara 0,4 2,5 m, sementara di daerah Pantura hanya 87 mm pada kedalaman antara 0,5 1 m. Nilai WHC selengkapnya di daerah penelitian dapat dilihat dalam Lampiran 8. Suhu udara DAS Citarum Hulu lebih rendah sekitar 4 C dibandingkan daerah Pantura. Nilai rerata suhu udara bulanan untuk wilayah DAS Citarum Hulu berkisar antara 21,9 23,3 C. Suhu udara terendah terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi pada bulan November dan Desember. Stasiun cuaca Sukawana yang mempunyai elevasi 1.487 m dpal merupakan daerah dengan suhu terendah, sementara stasiun cuaca Cirata dengan elevasi 267 m dpal adalah daerah dengan suhu udara tertinggi. Untuk wilayah Pantura, nilai rerata suhu udara bulanannya berkisar antara 25,9 27,9 C. Suhu udara terendah terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi pada bulan September. Stasiun cuaca Leuweungsemut yang mempunyai elevasi 40 m dpl merupakan daerah dengan suhu terendah, sementara stasiun cuaca Pedes dengan elevasi 2 m dpl adalah daerah dengan suhu udara tertinggi. Suhu udara daerah Pantura lebih tinggi dibandingkan DAS Citarum Hulu sehingga proses penguapannya juga lebih intensif. Dengan demikian nilai evapotranspirasi potensial (PE) di daerah Pantura juga lebih tinggi dibandingkan DAS Citarum Hulu. Berdasarkan analisis P dan PE pada Tabel 7, secara umum DAS Citarum Hulu masih mengalami surplus air untuk skala tahunan. Kondisi ini berbeda untuk daerah Pantura seperti terlihat pada Tabel 8. Secara umum dapat dikatakan daerah Pantura mengalami defisit air dalam skala tahunan. Analisis nilai P-PE selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. 32

Distribusi spasial kondisi neraca air lahan di daerah penelitian ditunjukkan dalam Gambar 10, sedangkan untuk pola distribusi spasial setiap bulan disajikan pada Lampiran 10. Pada Gambar 10 jelas terlihat bahwa seluruh lokasi di daerah Pantura mengalami defisit air untuk skala temporal tahunan, sedangkan di DAS Citarum Hulu justru mengalami surplus air dengan besaran yang bervariasi. Walahar di daerah Pantura merupakan lokasi yang mengalami defisit air paling tinggi dalam setahun (-699 mm), sedangkan di DAS Citarum Hulu lokasi yang mengalami surplus air paling besar adalah Gunung Cempaka (1.867 mm) yang berada di sebelah barat daya DAS Citarum Hulu. Wilayah sebelah timur laut DAS Citarum Hulu (Sindanglaya, Darangdan dan Cikole) juga mengalami surplus air lebih dari 1.000 mm, sementara wilayah tengah DAS Citarum Hulu mengalami surplus air dengan kisaran 200 900 mm/tahun. Gambar 10. Peta Selisih Curah Hujan (P) dan Potensial Evapotranspirasi (PE) Historis Tahunan di Daerah Penelitian Nilai akumulasi potensi kehilangan air tanah atau accumulated potential water loss (APWL) adalah nilai akumulatif bulanan dari selisih P-PE. Perhitungannya dilakukan secara suksesif untuk setiap bulan dimulai dari bulan pertama ketika jumlah curah hujan lebih kecil daripada evapotranspirasi potensial (P<PE). Untuk DAS Citarum Hulu nilai P<PE dari bulan Juni hingga bulan September sedangkan dari Oktober hingga Mei P>PE. Total APWL di DAS Citarum Hulu selama periode bulan Juni hingga September sebesar 33

142 mm. Untuk daerah Pantura, nilai P<PE terjadi dari bulan April hingga bulan Desember sedangkan dari Januari hingga Maret nilai P>PE. Total APWL di daerah Pantura selama periode bulan April hingga Desember sebesar 699 mm. Kelebihan air hujan atas evapotranspirasi (surplus) akan diserap tanah dalam bentuk kelengasan tanah atau storage (S t ) yang nilainya antara nol hingga nilai kapasitas maksimum tanah menyimpan air (WHC). Apabila S t telah melampaui kapasitas tanah untuk menyimpan air (WHC) maka semua kelebihan air hujan akan mengalir sebagai limpasan permukaan (run off) dan akan mengalir menuju sungai. Sebagian aliran permukaan terjadi pada saat hujan, sesaat setelah WHC terpenuhi, sedangkan sebagian lainnya dilepaskan secara berangsur-angsur dalam bentuk mata air, setelah sebelumnya mengalir sebagai aliran bawah permukaan (sub surface run off). Pada perhitungan neraca air ini, air limpasan dan aliran bawah permukaan dihitung sebagai satu kesatuan. Dari total curah hujan sepanjang tahun sebanyak 1.856 mm yang terjadi di DAS Citarum Hulu, sebanyak 1.043 mm atau sekitar 56,2% menguap melalui evapotranspirasi. Ini berarti kelebihan lengas tanah yang berjumlah 8 mm atau sekitar 43,8% dapat diperhitungkan sebagai air limpasan, baik limpasan permukaan ataupun sebagai aliran bawah permukaan. Untuk daerah Pantura, dari total curah hujan sepanjang tahun yang berjumlah 1.409 mm, sebanyak 1.176 mm atau sekitar 83,5% menguap melalui evapotranspirasi. Ini berarti sejumlah 233 mm atau sekitar 16,5% dapat diperhitungkan sebagai aliran permukaan. Gambar 11 memperlihatkan selisih curah hujan (P) dan evapotranspirasi potensial (PE) yang merepresentasikan kondisi neraca air di daerah penelitian. Kondisi defisit air di DAS Citarum Hulu hanya terjadi selama 4 bulan (dari Juni sampai dengan September), sementara untuk bulan-bulan selain itu mengalami surplus air. Rerata total surplus air sepanjang tahun di DAS Citarum Hulu sebesar 723 mm. Dengan luas area 464.702,66 ha maka total surplus air di DAS Citarum Hulu adalah sebesar 3.360 juta m 3 /tahun. Untuk daerah Pantura, dari bulan Januari sampai dengan Maret terjadi surplus, tetapi pada bulanbulan lainnya daerah ini mengalami defisit air. Rerata total defisit air sepanjang tahun di daerah Pantura sebesar -381 mm. Dengan luas area 372.460,23 ha maka total defisit air di daerah Pantura adalah sebesar 1.419 juta m 3 /tahun. 34

Gambar 11. Neraca Air Historis di Daerah Penelitian Kondisi surplus air di DAS Citarum Hulu akan bermanfaat secara optimal sebagai potensi pasokan air bagi daerah Pantura apabila pada saat yang bersamaan di daerah Pantura justru mengalami kondisi defisit air. Pada kondisi demikian, kelebihan air hujan dari DAS Citarum Hulu yang mengalir sebagai aliran permukaan (run off) melalui aliran Sungai Citarum dapat dimanfaatkan oleh daerah Pantura yang secara klimatologis mengalami defisit dan membutuhkan pasokan air dari daerah hulu. Dari Gambar 11 terlihat bahwa kondisi ini terjadi pada bulan April-Mei dan Oktober-Desember. Indeks Kekeringan Seperti halnya kondisi curah hujan dan neraca air di daerah penelitian, indeks kekeringan yang terjadi di kedua daerah yang menjadi fokus penelitian juga sangat berbeda. Perbandingan indeks kekeringan di DAS Citarum Hulu dan daerah Pantura disajikan pada Gambar 12 dan Tabel 9. Data indeks kekeringan pada setiap lokasi stasiun cuaca di daerah penelitian dapat dilihat dalam Lampiran 11. Gambar 12. Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian 35

Tabel 9. Indeks Kekeringan di Daerah Penelitian J F M A M J J A S O N D Rata2 DAS Citarum Hulu Rerata 0,0 0,0 0,0 0,0 0,3 6,2 17,5 29,7 31,5 4,1 0,0 0,0 7,4 Max 0,0 0,0 0,0 0,0 4,0 30,0 53,0 71,0 87,0 34,0 0,0 0,0 23,3 Min 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Jumlah stasiun mengalami kekeringan 0 0 0 0 2/ 21 17/ 21 19/ 21 20/ 21 17/ 21 7/ 21 0 0 7/ 21 Daerah Pantura Rerata 0,6 0,0 0,7 8,3 26,9 58,3 74,2 88,0 79,6 58,8 20,4 11,2 35,6 Max 8,0 0,0 5,0 39,0 49,0 75,0 92,0 97,0 93,0 76,0 65,0 36,0 46,3 Min 0,0 0,0 0,0 0,0 9,0 36,0 54,0 81,0 72,0 23,0 0,0 0,0 24,3 Jumlah stasiun mengalami kekeringan 1/ 0 2/ 8/ / / Rerata wilayah untuk nilai indeks kekeringan historis tahunan di DAS Citarum Hulu terhitung sebesar 7,4% dan tergolong dalam kekeringan ringan. Secara rata-rata tahunan, kondisi kekeringan di DAS Citarum Hulu terjadi selama 6 bulan, dengan intensitas ringan (< 16,7%) pada bulan Mei, Juni dan Oktober serta intensitas sedang (16,7 33,3%) pada bulan Juli, Agustus dan September. Puncak kekeringan di DAS Citarum Hulu terjadi pada bulan September (31,5%). Selama periode bulan November sampai dengan April tidak ada satu pun lokasi di dalam DAS Citarum Hulu yang teridentifikasi mengalami kekeringan. Potensi kekeringan tertinggi di DAS Citarum Hulu berada di daerah Cicalengka (23,3%), sementara daerah Cikole sama sekali tidak pernah mengalami kondisi kekeringan sepanjang tahun. Kekeringan di daerah Pantura terdeteksi selama 11 bulan dengan intensitas yang bervariasi pada setiap lokasi. Satu-satunya bulan dimana tidak satupun lokasi di daerah Pantura teridentifikasi kekeringan adalah pada bulan Februari. Kekeringan dengan intensitas ringan terjadi pada bulan Januari, Maret, April dan Desember sementara kekeringan dengan intensitas sedang terjadi pada bulan Mei dan November. Selama periode bulan Juni sampai dengan Oktober di daerah Pantura mengalami kekeringan dengan intensitas berat (>33,3%). Puncak kekeringan terjadi di bulan Agustus dengan nilai indeks mencapai 88,0%. Lokasi-lokasi yang berada di pesisir pantai utara (Pedes, Pamanukan, Batujaya dan Ciasem) merupakan daerah yang mengalami kekeringan paling berat, dengan indeks kekeringan yang mencapai nilai 40%. Semakin ke arah selatan menjauhi pantai, semakin berkurang intensitas kekeringannya. Rerata wilayah untuk nilai indeks kekeringan historis tahunan di daerah Pantura secara aritmatika terhitung sebesar 35,6% sehingga termasuk dalam kondisi mengalami kekeringan berat. Secara spasial dalam Gambar terlihat bahwa daerah Pantura dalam skala tahunan mengalami kondisi kekeringan dengan kategori kekeringan berat, kecuali beberapa / / / / 10/ 8/ 10/ 36

lokasi yang berada di sisi selatan daerah tersebut (Bendung Bekasi, Bendung Cikarang dan Jatisari) dan sisi sebelah timur (Salamdarma, Leuweungsemut, Gantar dan Kroya) yang masuk dalam kategori kekeringan sedang. Untuk DAS Citarum Hulu, sebagian besar daerah tidak mengalami kekeringan sepanjang tahun, kecuali Cicalengka yang berada di sisi timur yang termasuk daerah yang mengalami kekeringan sedang. Peta yang menggambarkan distribusi spasial indeks kekeringan setiap bulan dapat dilihat pada Lampiran 12. Gambar. Peta Indeks Kekeringan Historis Tahunan di Daerah Penelitian Neraca Air Waduk Jatiluhur Neraca air Waduk Jatiluhur diperhitungkan untuk mengetahui potensi aktual simpanan air di Waduk Jatiluhur yang berfungsi sebagai reservoir. Kondisi neraca air Waduk Jatiluhur dianalisis berdasarkan data total debit air yang masuk (inflow) dan total debit air yang keluar (outflow) dari Waduk Jatiluhur selama periode tahun 2000 2008. Data diperoleh dari Perum Jasa Tirta II dan disajikan dalam Tabel 10. Inflow total Waduk Jatiluhur ini merupakan akumulasi dari aliran di Sungai Citarum yang dikeluarkan sebagai outflow Waduk Cirata ditambah dengan inflow lokal yang berasal dari curah hujan yang jatuh di DTA maupun langsung ke badan air Waduk Jatihur. Data inflow tahunan Waduk 37

Jatiluhur dapat dilihat dalam Lampiran, sementara data outflow tahunan Waduk Jatiluhur dalam Lampiran 14. Tabel 10. Neraca Air Historis Waduk Jatiluhur (dalam juta m 3 ) Bulan Inflow Outflow Storage Jan 405,3 379,4 25,9 Feb 466,9 315,0 151,9 Mar 483,7 299,2 184,5 Apr 592,1 415,1 177,1 Mei 447,0 416,3 30,7 Jun 334,1 448,0-1,9 Jul 326,3 456,8-0,5 Ags 304,9 461,6-156,7 Sep 288,3 421,2-2,8 Okt 331,2 437,5-106,3 Nov 469,6 439,2 30,4 Des 604,5 455,0 149,6 Total 5.054,0 4.944,2 109,8 Max 604,5 461,6 184,5 Min 288,3 299,2-156,7 Secara historis, neraca air Waduk Jatiluhur memiliki pola yang hampir mirip dengan neraca air di DAS Citarum Hulu. Defisit air di Waduk Jatiluhur terjadi selama periode bulan Juni sampai dengan Oktober (5 bulan). Inflow tertinggi terjadi pada bulan April dan Desember (sekitar 600 juta m 3 ), sedangkan terendah terjadi di bulan Agustus September (sekitar 300 juta m 3 ). Secara total tahunan, neraca air Waduk Jatiluhur masih menyisakan simpanan air (storage) dengan rerata sekitar 110 juta m 3 /tahun. Jika mengamati nilai outflow Waduk Jatiluhur pada Tabel 10, terlihat bahwa mulai bulan April hingga Desember, besarnya outflow yang dikeluarkan oleh Waduk Jatiluhur berada di atas 400 Juta m 3 /bulan. Ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya mengenai kondisi defisit yang dialami oleh daerah Pantura selama periode yang sama (grafik Neraca Air pada Gambar 11). Ini menandakan bahwa kondisi defisit air secara klimatologis yang terjadi di daerah Pantura sudah direspon dengan tepat oleh Waduk Jatiluhur dengan cara menambah jumlah pasokan airnya untuk berbagai kebutuhan di daerah hilir. Gambar 14. Korelasi Curah Hujan dan Neraca Air di DAS Citarum Hulu dengan Simpanan Air di Waduk Jatiluhur 38

Gambar 14 memperlihatkan kemiripan pola antara curah hujan dan neraca air DAS Citarum Hulu yang dihitung berdasarkan selisih P - PE dengan storage di Waduk Jatiluhur yang dihitung berdasarkan besarnya selisih inflow dan outflow waduk tersebut. Pada Gambar 14 terlihat bahwa simpanan air di Waduk Jatiluhur sangat terpengaruh oleh kondisi curah hujan dan neraca air di DAS Citarum Hulu. Neraca Air Sungai Citarum Berdasarkan data Neraca Air Sungai Citarum dari PJT-II dalam Tabel 11, rerata historis tahunan inflow Sungai Citarum yang tertampung di Waduk Jatiluhur sebanyak 5.054,0 juta m 3. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.944,2 juta m 3 dikeluarkan sebagai outflow dan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, terutama untuk irigasi, domestik dan industri. Rata-rata kebutuhan air untuk irigasi setiap tahunnya mencapai 5.519,6 juta m 3. Ini berarti jika hanya mengandalkan sumber air dari aliran Sungai Citarum maka kebutuhan air irigasi tersebut jelas tidak akan tercukupi. Belum lagi untuk kebutuhan yang lainnya. Oleh karena itu pasokan air untuk memenuhi kebutuhan di daerah hilir harus ditambah dengan inflow dari beberapa sungai lain yang mengalir masuk ke Saluran Tarum (S.Cipunagara, S.Ciasem dan S.Ciherang di Saluran Tarum Timur; serta S.Cibeet, S.Cikarang dan S.Bekasi di Saluran Tarum Barat). Rerata historis tahunan inflow sumber lokal tersebut sekitar 4.894,5 juta m 3. Tabel 11. Neraca Air Sungai Citarum Sumber : PJT II Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Hasil perhitungan kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur yang dirinci untuk setiap Musim Tanam (MT) dan masing-masing blok tersaji dalam Tabel 12, sedangkan untuk hasil perhitungan secara lebih detil dapat dilihat dalam Lampiran 15. Kebutuhan air tanaman (ETc) dan curah hujan efektif (RE) dihitung dengan bantuan program CropWat for Windows versi 8.0, sementara besarnya perkolasi (P) dan kebutuhan air selama 39

pengolahan tanah (Pd) dihitung berdasarkan tetapan nilai P dan Pd di daerah irigasi Jatiluhur yang tercantum di dalam SK Direksi PJT-II Nomor:1/420/KPTSA/ 2010 (Tabel 4 dan 5 pada halaman 24). Tabel 12. Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Selama periode MT Rendeng yang memakan waktu 5 hari, tanaman padi membutuhkan konsumsi air sebanyak 1.861,2 juta m 3, sementara selama periode MT Gadu yang memakan waktu lebih singkat 15 hari daripada MT Rendeng, jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman padi sebanyak 1.697,5 juta m 3. Pada periode MT Palawija yang hanya memakan waktu 60 hari, jumlah air yang dibutuhkan oleh ketiga jenis komoditi palawija yang ditanam yaitu jagung, kacang-kacangan dan cabai sebanyak 108,7 juta m 3. Secara total, volume jumlah kebutuhan air tanaman selama satu tahun di daerah irigasi Jatiluhur sebanyak 3.667,3 juta m 3. Selain karena umur tanaman pada MT Rendeng yang lebih panjang, kebutuhan air tanaman (ETc) pada MT Rendeng yang lebih tinggi dibandingkan MT Gadu juga disebabkan karena nilai ETc hariannya yang lebih tinggi. Sebagai contoh (dalam Lampiran 15), nilai ETc harian pada lokasi golongan (blok) I saat MT Rendeng adalah sekitar 5,77 mm/hari saat fase awal tanam (initial stage), 5,84 mm/hari saat fase pertumbuhan (development stage), 5,81 mm/hari saat fase pembungaan (mid-season stage) dan 4,52 mm/hari saat fase pematangan (late season stage). Pada MT Gadu untuk lokasi golongan (blok) yang sama dan dengan urutan fase yang sama, berturut-turut nilai ETc hariannya adalah 4,38 mm/hari, 4,52 mm/hari, 5,47 mm/hari dan 5,95 mm/hari. Nilai ETc merupakan hasil perkalian antara nilai koefisien tanaman (Kc) dengan nilai evapotranspirasi potensial yang dijadikan sebagai acuan (ET 0 ). Besarnya nilai koefisien tanaman (Kc) yang digunakan dalam perhitungan adalah sama untuk MT 40

Rendeng maupun MT Gadu (mengacu dari Tabel 4 pada halaman 24). Dengan demikian, perbedaan nilai ETc ditentukan oleh perbedaan besarnya nilai ET 0 pada periode MT Rendeng maupun MT Gadu. Nilai ET 0 bulanan di daerah Pantura yang dihitung berdasarkan metode Penman-Monteith dengan program CropWat for Windows versi 8.0. disajikan dalam Tabel. Nilai ET 0 harian pada Tabel selama periode MT Rendeng (Oktober April) lebih tinggi dibandingkan pada MT Gadu (Maret Agustus) sehingga nilai ETc selama MT Rendeng juga lebih tinggi dibandingkan MT Gadu. Tabel. Nilai Evapotranspirasi Potensial (ET o ) Bulanan di Daerah Pantura Suhu Suhu Kelembaban Kecepatan Udara Udara Bulan Udara Angin Min. Max. (%) (m/detik) ( C) ( C) Lama Penyinaran Matahari (jam) Radiasi (MJ/m²/hari) ET o (mm/hari) Januari 23,2 28,8 78 1,6 3,5 15,1 3,54 Februari 23,1 29,6 80 1,5 5,9 19 4,08 Maret 23,2 31,6 73 1,6 6 18,9 4,4 April 23,8 32 69 1,6 5,6 17,2 4,23 Mei 24,9 32,3 67 1,7 9,1 20,7 4,82 Juni 24,1 31,7 72 1,6 8,8 19,4 4,34 Juli 22,7 31,4 73 1,6 8,6 19,5 4,25 Agustus 23,3 32,5 68 1,7 9,6 22,4 5,02 September 24 33,4 67 1,7 9,9 24,4 5,63 Oktober 22,1 32,1 63 1,7 9,4 24,3 5,57 November 24,6 31,6 69 1,6 5,8 18,6 4,55 Desember 23,9 30,5 73 1,6 6,7 19,9 4,56 Rata-rata 23,6 31,5 71 1,6 7,4 19,9 4,58 Jumlah air yang hilang akibat proses perkolasi di daerah irigasi Jatiluhur adalah sebanyak 1.791,6 juta m 3 /tahun, yang terdistribusi sebanyak 896,3 juta m 3 hilang saat MT padi rendeng, kemudian sebanyak 809,2 juta m 3 hilang saat MT padi gadu dan 86,1 juta m 3 saat MT palawija. Jumlah air yang dibutuhkan untuk pengolahan tanah terhitung sebanyak 721,9 juta m 3 /tahun, dengan perincian sebanyak 336,1 juta m 3 digunakan saat MT padi rendeng, kemudian sebanyak 325,6 juta m 3 dibutuhkan saat MT padi gadu dan 60,1 juta m 3 terpakai saat MT palawija. Jumlah curah hujan efektif di daerah irigasi Jatiluhur selama satu tahun sebesar 2.629,8 juta m 3, yaitu sebanyak 1.963,4 juta m 3 selama MT padi rendeng, sebanyak 653,6 juta m 3 selama MT padi gadu dan 12,8 juta m 3 selama MT palawija. Sejalan dengan kondisi tersebut, jumlah air irigasi yang dibutuhkan untuk lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur saat MT padi rendeng hanya sebesar 1.376,9 juta m 3, kemudian meningkat menjadi 2.178,7 juta m 3 selama MT padi gadu dan sebanyak 242,0 juta m 3 selama MT palawija. Total jumlah air irigasi yang dibutuhkan untuk mengairi seluruh lahan pertanian di daerah irigasi Jatiluhur adalah sebanyak 3.797,7 juta m 3 /tahun. 41

Siklus kebutuhan air di daerah irigasi Jatiluhur secara temporal dalam setahun dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Kebutuhan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur Pada Gambar 15 terlihat bahwa tanaman padi banyak membutuhkan air, terutama saat memasuki fase mid-season. Fase ini terjadi pada dekade ketiga bulan Desember saat MT padi rendeng dan pada dekade ketiga bulan Mei saat MT padi gadu. Tanaman jagung, kacang-kacangan dan cabai yang ditanam saat MT palawija pada bulan Juli dan Agustus tidak membutuhkan terlalu banyak air. Selain karena luas areal tanamnya yang relatif kecil, jenis tanaman palawija juga memiliki nilai koefisien tanaman (Kc) yang lebih rendah dibandingkan tanaman padi. Dari Gambar 15 juga diketahui bahwa memasuki periode dekade kedua bulan Maret hingga dekade pertama bulan Agustus, kebutuhan air irigasi (IR) di daerah irigasi Jatiluhur mencapai nilai >100 juta m 3 /dekade guna mengimbangi menurunnya jumlah curah hujan efektif (RE) di daerah Pantura pada periode ini. Pada bulan Januari dan Februari lahan irigasi Jatiluhur tidak membutuhkan pasokan air irigasi karena masih tercukupi dengan tingginya curah hujan di daerah Pantura, sedangkan pada bulan September air irigasi juga tidak diperlukan karena PJT-II menetapkan bahwa selama bulan September merupakan masa pengeringan jaringan irigasi sehingga tidak ada lahan yang ditanami dan diberikan pasokan air irigasi pada bulan tersebut. Penetapan bulan September sebagai masa pengeringan jaringan irigasi juga dinilai sudah sangat tepat jika ditinjau dari tujuan penghematan dan efisiensi pemberian air irigasi, karena berdasarkan nilai ET 0 pada Tabel juga menunjukkan bahwa bulan September 42

merupakan bulan yang paling tinggi nilai ET 0 -nya. Jika pada bulan September dijadwalkan untuk memberikan pasokan air irigasi, dengan asumsi luasan dan periode MT yang sama maka besarnya kebutuhan irigasi pada bulan September merupakan yang tertinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Penentuan Daerah Prioritas Pemberian Air Irigasi Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa identifikasi daerah yang dinilai perlu mendapat prioritas untuk diberi pasokan air irigasi dianalisis berdasarkan kondisi hidroklimatologinya semata, dengan mempertimbangkan faktor curah hujan dan potensi kekeringan yang terjadi di daerah tersebut. Identifikasi potensi hidro-klimatologi pada lahan irigasi Jatiluhur di wilayah Pantura diperoleh dari hasil analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) melalui proses tumpangsusun antara peta isohyet (Gambar 9), peta selisih curah hujan dan potensial evapotranspirasi (Gambar 10) dan peta indeks kekeringan (Gambar ). Hasil analisis spasial dengan bantuan program ArcView versi 3.3 ini memberikan keluaran berupa Peta Prioritas Pemberian Air Irigasi Pada Blok Sawah di Daerah Irigasi Jatiluhur, seperti tergambar dalam Gambar 16. Penyusunan prioritas dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berkebalikan. Daerah yang secara hidro-klimatologis dapat dikatakan kering, bisa berstatus prioritas pertama untuk diberi pasokan air irigasi jika ketersediaan pasokan air dari Waduk Jatiluhur tercukupi atau minimal kondisi iklimnya normal hingga cenderung basah. Sebaliknya pada saat kondisi iklim ekstrim kering sehingga ketersediaan pasokan air dari Waduk Jatiluhur terbatas atau justru mengalami kekurangan air, daerah yang secara hidro-klimatologis kering tersebut dapat menjadi prioritas terakhir dengan mempertimbangkan untuk dikondisikan bera (tidak diari dan tidak digarap). Pada prakteknya, PJT-II tidak pernah mengkondisikan suatu lahan sawah di daerah irigasi Jatiluhur dalam kondisi bera dengan alasan seperti di atas, bagaimanapun terbatasnya pasokan air irigasi yang ada. Adapun lahan sawah yang tidak diari biasanya karena dari awal diketahui sudah berubah fungsi tidak menjadi lahan sawah lagi pada saat perencanaan musim tanam yang akan dilakukan. Dengan alasan ini, maka prioritas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah makna prioritas dalam skenario pertama, yaitu mengutamakan prioritas pemberian pasokan air irigasi bagi lahan sawah pada daerah yang secara hidro-klimatologis tergolong kering. 43

Gambar 16. Peta Prioritas Pemberian Air Irigasi Pada Blok Sawah di DI Jatiluhur Lahan sawah di sekitar Pamanukan dan Bendung Walahar merupakan daerah yang perlu mendapat prioritas pertama (prioritas I) untuk memperoleh pasokan air irigasi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Rendahnya curah hujan di kedua daerah tersebut dibandingkan daerah lainnya merupakan faktor penyebabnya. Prioritas selanjutnya (prioritas II) adalah hampir seluruh lahan sawah yang berada di Kabupaten Karawang (kecuali di bagian tenggara, sekitar daerah Jatisari) dan lahan sawah yang berada pada bagian tengah Kabupaten Subang dan sebelah barat laut Kabupaten Indramayu. Lahan sawah di Kabupaten Bekasi terbilang relatif lebih sedikit membutuhkan pasokan air irigasi dibandingkan lahan sawah di kabupaten lainnya (prioritas III V). Sementara lahan-lahan sawah yang berada di dekat Saluran Tarum Timur dan Barat justru merupakan daerah prioritas terakhir (prioritas V) untuk diberikan pasokan air irigasi. Jika dibandingkan dengan realitas jadwal pemberian air irigasi yang selama ini sudah dipraktekkan oleh PJT II, hasil analisis ini sangat bertolak belakang. Pola pemberian air irigasi yang dipraktekkan oleh PJT II selama ini adalah mendahulukan pemberian air irigasi pada blok-blok sawah di sekitar Saluran Tarum (lihat kembali Peta Daerah Irigasi Jatiluhur pada Gambar 2). Pada peta dalam Gambar 2 tersebut, semakin jauh jaraknya dari Saluran Tarum (semakin ke arah utara), jadwal irigasinya diberikan yang paling belakangan. Berkebalikan dengan pola tersebut, hasil analisis justru menilai bahwa daerah 44

yang berada di sebelah utara cenderung perlu didahulukan, sesuai dengan pola klimatologis di wilayah Pantura yang semakin berkurang curah hujannya ke arah pesisir. Evaluasi Pengelolaan Air Irigasi dan Pola Tanam Nilai efisiensi pengaliran di daerah irigasi Jatiluhur dapat diperkirakan dengan diketahuinya rerata jumlah volume air dari Waduk Jatiluhur ditambah dengan sumber lokal yang dialokasikan oleh PJT-II untuk memenuhi pasokan air irigasi, dengan besarnya kebutuhan air irigasi pada seluruh lahan sawah di daerah irigasi Jatiluhur (insitu) dari hasil perhitungan. Dengan mengasumsikan total volume air yang dimanfaatkan untuk irigasi dari Neraca Air Sungai Citarum pada Tabel 11 yang besarnya 5.519,6 Juta m 3 /tahun sebagai parameter jumlah air yang tersedia (Wr) dan hasil perhitungan kebutuhan air irigasi pada lahan pertanian irigasi Jatiluhur dari Tabel 12 yang terhitung sebesar 3.797,7 Juta m 3 /tahun dianggap sebagai parameter jumlah air yang sampai di areal pertanian (Wf), maka besarnya nilai efisiensi pengaliran di daerah irigasi Jatiluhur adalah sekitar : Ec = (Wf / Wr) x 100% = (3.797,7 Juta m 3 / 5.519,6 Juta m 3 ) x 100% = 68,8%. Hasil perhitungan efisiensi penyaluran irigasi Jatiluhur yang memberikan nilai efisiensi sebesar 68,8% tergolong dalam kategori kondisi saluran irigasi yang baik menurut kriteria Brouwer et al (1990, dalam Soehadi, 2005). Dengan nilai efisiensi penyaluran irigasi sebesar 68,8% tersebut, berarti ada volume air yang hilang selama perjalanan dari Waduk Jatiluhur menuju area irigasi sekitar 31,2%, suatu angka yang masih dalam batas kewajaran. Kehilangan air selama penyaluran dapat disebabkan karena kebocoran yang disebabkan karena kerusakan fisik saluran irigasi itu sendiri, ataupun karena terjadinya pencurian air oleh masyarakat yang berada di luar daerah irigasi Jatiluhur yang ingin turut memanfaatkan air irigasi bagi lahan pertaniannya. Praktek pola tanam berupa Padi Padi Palawija yang diterapkan pada lahan pertanian irigasi Waduk Jatiluhur di wilayah Pantura dinilai sudah sesuai dengan kondisi klimatologis daerah tersebut. Jika memperhatikan kondisi curah hujan pada Gambar 8 dan kondisi neraca air lahan pada Gambar 11, kondisi defisit air di daerah Pantura yang terjadi pada periode bulan Juni hingga September telah diantisipasi oleh para petani dengan hanya menanam palawija yang secara kebutuhan air pun tidak terlalu membutuhkan air sebanyak tanaman padi. Penanaman palawija dilakukan pada area yang tidak terlalu luas dan sifatnya insidental, sambil menunggu musim hujan tiba. Dengan demikian, pada saat puncak musim 45

kemarau di daerah Pantura, kebutuhan pasokan air irigasi juga tidak terlalu besar jumlahnya. Pemilihan waktu dimulainya MT yang saat ini diterapkan di daerah pertanian irigasi Waduk Jatiluhur juga dinilai sudah sangat tepat. Penulis telah mencoba membuat simulasi sebagai perbandingan dengan menggeser waktu dimulainya MT menjadi sebulan lebih awal dan sebulan lebih lambat daripada jadwal MT yang sudah ada. Dari hasil kedua simulasi tersebut, nilai kebutuhan air tanaman maupun kebutuhan air irigasinya ternyata lebih besar dibandingkan kebutuhan air berdasarkan jadwal MT yang sudah biasa diterapkan saat ini. Dalam simulasi dengan skenario seluruh jadwal MT dimajukan 1 bulan lebih awal, jadwal dimulainya MT Padi Rendeng berubah menjadi tanggal 1 September, MT Padi Gadu menjadi tanggal 1 Februari dan MT Palawija menjadi tanggal 1 Juni. Dengan skenario seperti ini sebetulnya diharapkan pada saat puncak kekeringan di wilayah Pantura yang terjadi di bulan Agustus, seluruh jadwal tanam di lahan irigasi Jatiluhur sudah selesai. Pemberian air irigasi dapat dihentikan dan selama satu bulan penuh di bulan Agustus ditetapkan sebagai periode pengeringan jaringan irigasi. Dari hasil simulasi, kebutuhan air irigasi selama MT Padi Gadu dan Palawija memang dapat ditekan jumlahnya, namun kebutuhan air selama MT Padi Rendeng justru bertambah. Fase awal musim tanam banyak membutuhkan air, sementara bulan September masih merupakan periode musim kemarau di daerah Pantura, sehingga curah hujan efektifnya tidak mampu menutupi kebutuhan air bagi lahan pertanian di daerah tersebut. Tabel 14. Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur Dengan Skenario Jadwal MT Maju 1 Bulan Hasil perhitungan kebutuhan air menurut skenario ini tersaji dalam Tabel 14. Total jumlah kebutuhan air irigasi di lahan irigasi Jatiluhur dalam setahun adalah sebanyak 46

3.889,6 juta m 3 /tahun atau lebih banyak 91,9 Juta m 3 /tahun dibandingkan jumlah kebutuhan air irigasi dengan jadwal yang saat ini dilakukan. Skenario kedua yaitu memundurkan seluruh jadwal MT menjadi 1 bulan lebih lambat, yang berarti jadwal dimulainya MT Padi Rendeng berubah menjadi tanggal 1 November, MT Padi Gadu menjadi tanggal 1 April dan MT Palawija menjadi tanggal 1 Agustus. Dengan skenario seperti ini total jumlah air irigasi yang dibutuhkan selama satu tahun jauh lebih besar lagi, yaitu sebanyak 3.972,9 juta m 3 /tahun atau lebih banyak 175,2 juta m 3 /tahun dibandingkan jumlah kebutuhan air irigasi dengan jadwal yang saat ini dilakukan. Hasil perhitungan kebutuhan air dengan simulasi menggunakan skenario kedua tersaji dalam Tabel 15. Tabel 15. Hasil Simulasi Kebutuhan Air di DI Jatiluhur Dengan Skenario Jadwal MT Mundur 1 Bulan 47