PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

1 UNIVERSITAS INDONESIA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

I. PENDAHULUAN. pemerintahan termasuk kewenangan daerah. Salah satu bukti adalah Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah (pemerintah daerah), di samping pos pendapatan pemerintah daerah. Semakin besar belanja daerah diharapkan akan makin meningkatkan kegiatan perekonomian daerah (terjadi ekspansi perekonomian). Di sisi lain, semakin besar pendapatan yang dihasilkan dari pajak-pajak dan retribusi atau penerimaan penerimaan yang bersumber dari masyarakat, maka akan mengakibatkan menurunnya kegiatan perekonomian (terjadi kontraksi perekonomian). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 menegaskan, belanja daerah merupakan semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah (propinsi ataupun kabupaten/kota) yang meliputi urusan wajib dan urusan pilihan.

2 GRAFIK 1.1 RASIO PERBANDINGAN BELANJA NEGARA DALAM APBN DAN APBN-P Meningkatnya volume pembangunan dari tahun ke tahun dan ditambah dengan naiknya populasi penduduk dan kebutuhan hidup merupakan masalah dan beban pembangunan yang patut dicermati, upaya pemecahan masalah dan beban pembangunan tersebut menuntut peran pemerintah secara berkesinambungan. Meningkatnya peran pemerintah dalam pemecahan masalah tersebut berdampak pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan (Gomies dan Pattiasina, 2011). Pelaksanaan pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan pendayagunaan potensi-potensi yang dimiliki secara optimal. Dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan daerah tersebut memerlukan biaya yang cukup besar, agar pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka diperlukan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Namun mengingat tidak semua sumber-sumber pembiayaan dapat diberikan kepada daerah,

3 maka pemerintah daerah diwajibkan untuk menggali segala sumbersumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejak pelaksanaan otonomi daerah dimulai tanggal 1 Januari 2001, menghendaki pemerintah daerah untuk mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Berbagai alternatif sumber penerimaan yang mungkin dipungut oleh daerah. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menetapkan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masingmasing daerah (Gomies dan Pattiasina, 2011). Otonomi daerah merupakan pelimpahan tanggungjawab dari pemerintah pusat kepada masing-masing daerah baik tingkat I maupun tingkat II untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangaundangan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum di UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah menggantikan UU No. 22 Tahun 1999. Pergeseran paradigma terhadap pemerintahan saat ini, mendorong kita mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance). Perwujudan ini memerlukan perubahan paradigma pemerintahan baru yang menuntut suatu sistem yang mampu memberdayakan daerah agar mampu

4 berkompetisi secara regional, nasional maupun internasional yang bukan hanya menjadi pemerintah daerah yang terus menerus bergantung pada pemerintah pusat. Dalam mewujudkan suatu sistem tata kepemerintahan yang baik, perlu adanya perubahan di bidang akuntansi pemerintahan karena melalui proses akuntansi pemerintahan karena melalu proses akuntansi dihasilkan informasi keuangan untuk berbagai pihak. Dengan diterbitkannya PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP yang akan digunakan untuk menghasilkan suatu laporan keuangan yang andal dan dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan dan yang diharapkan dapat menjadi acuan, patokan serta standar untuk diterapkan dalam lingkup pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah dan satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah yang wajib untuk menyajikan laporan keuangan agar lebih terciptanya akuntabilitas dan transparasi dari pengelolaan keuangan daerah. Peraturan ini menjadi pedoman yang harus ditaati oleh setiap Daerah Otonom Kabupaten/Kota maupun Propinsi dalam menyajikan laporan keuangan berbasis akrual pada pemerintah daerahnya. Menurut Brojonegoro dan Vazquez (dalam Iskandar,2012) sejak tahun anggaran 2001, pemerintah telah menerapkan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang undang tersebut membawa Indonesia memasuki era baru dalam desentralisasi di bidang fiskal (fiscal decentralization atau fiscal federalism). Dampaknya terjadi perubahan struktural, di mana pada era

5 sebelumnya pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara sentralistik kemudian berubah menjadi desentralisasi. Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik lokal yang semakin efektif dan efisien, dengan tetap menjaga stabilitas makro ekonomi. Hal ini akan berwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada daerah. Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Menurut undang-undang tersebut, sumber-sumber pendanaan kegiatan pemerintahan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pendapatan asli daerah terdiri dari komponen pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Secara umum Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) digolongkan ke dalam bentuk unconditional grants atau biasa disebut dengan

6 bantuan tak bersyarat, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) digolongkan ke dalam bentuk conditional grants atau biasa disebut dengan bantuan bersyarat. Kemampuan fiskal merupakan isu penting dan strategis, karena di masa mendatang pemerintahan daerah diharapkan dapat mengurangi ketergantungannya secara finansial kepada pemerintahan pusat. Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal, sehingga dari tahun ke tahun pemerintahan daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara maksimal. Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintahan daerah kabupaten dan kota di Indonesia. Terdapat suatu teori yang menjelaskan tentang perkembangan belanja pemerintahan, di antaranya adalah teori Peacock dan Wiseman. Sumber: APBD 2013 (diolah) GRAFIK 1.2 RASIO KETERGANTUNGAN AGREGAT PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA

7 Grafik di atas memberikan potret rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana transfer (DAU, DBH, DAK) terhadap total pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan per provinsi. Perhitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio dana transfer. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata -rata rasio PAD terhadap total pendapatan hanya sebesar 17% dan rata -rata rasio dana transfer terhadap total pendapatan mencapai hingga 82%, sedangkan sekitar 1% lainnya merupakan rasio Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah terhadap total pendapatan. Kenyataan ini tidak sejalan dengan tujuan otonomi, yaitu memandirikan daerah dengan segala potensi yang dimilikinya. Saat pemerintahan daerah merespon (belanja) lebih banyak menggunakan dana transfer daripada menggunakan kemampuan (pendapatan) sendiri, maka itu disebut flypaper effect. Flypaper effect merupakan fenomena utama dalam penelitian ini (Kuncoro, 2007: 2). Terdapat suatu teori yang menjelaskan tentang perkembangan belanja pemerintahan, di antaranya adalah teori Peacock dan Wiseman. Peacock dan Wiseman mengemukakan teori mengenai perkembangan belanja pemerintahan. Teori Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa meningkatnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif

8 pajak tidak berubah (tetap), dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintahan juga semakin meningkat. Karenanya, dalam keadaan normal, meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan penerimaan pemerintahan semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintahan yang menjadi semakin besar pula. Pengeluaran tersebut digunakan untuk administrasi pembangunan dan kegiatan belanja pembangunan di berbagai jenis infrastruktur yang penting. Anggaran-anggaran tersebut tentu akan meningkatkan pengeluaran agregat dan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi (Purnomo, 2011:6). Berdasarkan teori tersebut, idealnya, peningkatan belanja pemerintahan daerah harusnya berkorelasi dengan peningkatan pendapatan dari optimalisasi pajak. Namun, pada kenyataannya banyak daerah yang masih tergantung pada dana transfer dari pusat karena minimalnya PAD. Data APBD 2013 menunjukkan rata-rata secara agregat komposisi dana transfer (DAU, DBH, dan DAK) dalam pendapatan daerah mencapai 66,3 %. Sumber: APBD 2013 (diolah) GRAFIK 1.3 KOMPOSISI PENDAPATAN DAERAH

9 Grafik menunjukkan besaran jumlah uang dan persentase dari ketiga sumber pendapatan daerah. Terlihat bahwa dana perimbangan masih mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu sebesar sebesar 66,3% atau Rp 432,697 triliun, sedangkan PAD hanya sebesar 21,5% atau sebesar Rp140,302 triliun dan Lain - lain Pendapatan Daerah yang sah sebesar 12,2% atau sebesar Rp79,866 triliun (Ditjen Perimbangan Keuangan, 2013). Hal tersebut di atas menggambarkan porsi bantuan dari pemerintahan pusat masih sangat mendominasi pendapatan (penerimaan) daerah. Artinya, angka belanja daerah sudah tidak sinkron dengan angka PAD. Fenomena ini perlu dikaji karena jika dilihat berdasarkan data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan PAD masih cukup besar, namun potensi tersebut belum dapat digali dengan baik. Salah satu contohnya semakin besar pajak dan retribusi daerah yang diterima otomatis Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin meningkat. Kemandirian Pemkab/Pemko dapat dilihat dari besarnya PAD yang diperoleh Pemkab/Pemko. Semakin besar pajak dan retribusi yang diperoleh kabupaten dan kota tersebut dalam membiayai pengeluaran untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya kepada masyarakat seperti membantu dan memfasilitasi sarana dan prasarna

10 masyarakat misalnya, dalam sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, dan lain-lain. Pajak dan retribusi daerah merupakan suatu sistem perpajakan di Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan sistem perpajakan nasional, pembinaan pajak daerah dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan ini dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek, tarif pajak dan retribusi, sehingga antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi. Retribusi daerah merupakan pembayaran wajib dari penduduk kepada negara dikarenakan ada jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah kepada individu secara perorangan. Pungutan dari masyarakat ini akan menjadi sumber pendapatan bagi daerah tersebut, dan bisa dijadikan sumber utama pendapatan daerah selain pajak daerah, bagian laba usaha daerah maupun nilai-nilai PAD yan sah. Sebagaimana diketahui bahwa retribusi daerah sebagai sumber penerimaan dalam negeri mempunyai potensi untuk dijadikan sumber pendapatan nasional, mengingat semakin banyak ornag peribadi maupun pihak swasta yang menggunakan jasa yang disediakan pemerintah sekarang ini. Pemerintah perlu memperhatikan bagaimana cara mengoptimalkan pemungutan retribusi daerah sehinga memberikan hasil yang maskimal.

11 Tercapainya kemandirian daerah otonom merupakan harapan yang besar dari pemerintahan daerah untuk membangun daerah berdasarkan kemampuan dan inisiasi daerah sendiri. Penelitian Andri Devita (2014) menunjukan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah Provinsi Jambi. Lebih lanjut Yuriko Ferida (2013) dengan analsis regresi berganda metode Ordinary Least Square (OLS) menjelaskan bahwa PAD dan Dana Perimbangan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Belanja Daerah di Provinsi Jawa Timur. Melihat pentingnya dana perimbangan dan pendapatan asli daerah terhadap belanja daerah seperti penelitian sebelumya di daerah Provinsi Jambi dan Provinsi Jawa Timur, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian kembali untuk melihat seberapa besar perbandingan dana perimbangan, pendapatan asli daerah, domsetik regional bruto (PDRB), dan belanja daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang merupakan ibu kota negara Republik Indonesia, maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul : Analisis Perkembangan Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah, Dan Produk Domestik Regional Bruto, dan Belanja Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pada Tahun 2011 2015.

12 B. Rumusan Masalah Penelitian Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka masalah penelitian yang akan dikaji dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan Dana Perimbangan di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta? 2. Bagaimana perkembangan Pendaptan Asli Daerah di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta? 3. Bagaimana perkembangan Produk Domestik Regional Bruto di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta? 4. Bagaimana perkembangan Belanja Daerah di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta?

13 C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis perkembangan Dana Perimbangan di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 2. Untuk menganalisis perkembangan Pendapatan Asli Daerah di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 3. Untuk menganalisis perkembangan Produk Domestik Regional Bruto di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; dan 4. Untuk menganalisis perkembangan Belanja Daerah di Pemerintahan Kabupaten/kota di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

14 2. Kontribusi Penelitian a. Kontribusi Praktisi Sebagai tambahan informasi mengenai perkembangan dana perimbangan, pendapatan asli daerah, pendapatan domsetik regional bruto (PDRB), dan belanja daerah di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 1. Bagi Instansi Dengan penelitian ini dapat memberikan pandangan bagi instansi mengenai perkembangan dana perimbangan, pendapatan asli daerah, pendapatan domsetik regional bruto (PDRB), dan belanja daerah di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta 2011-2015. 2. Bagi Pemerintah Kontribusi kebijakan, memberi masukan bagi pemerintahan daerah sebagai pertimbangan atau evaluasi dalam menentukan kebijakan penggunaan anggaran dari transfer pemerintahan pusat, sehingga pemerintahan daerah diharapkan dapat mengambil langkah-langkah untuk memaksimalkan semua potensi pendapatan yang ada. b. Kontribusi Akademisi 1. Bagi Pengembangan Ilmu Penelitian ini diharapkan akan melengkapi temuan temuan empiris yang telah ada di bidang Perpajakan dan

15 Akuntansi Pemerintahan untuk kemajuan dan pengembangan karya ilmiah di masa yang akan datang. 2. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan secara praktis yang dihubungkan dengan teori yang diperoleh. 3. Bagi Peneliti Lain Kontribusi teori bagi calon peneliti selanjutnya, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan informasi atau sumber referensi terpercaya dalam upaya pengembangan penelitian yang lebih komprehensif.