BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. akhir dan dewasa awal. Menurut Monks (dalam Desmita, 2012) remaja akhir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan analisis pada data-data numerikal (angka) yang diolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective wellbeing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Subjektif. Kesejahteraan subjektif menurut Diener, dkk., (2006) yaitu mengacu pada

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya, menurut beberapa tokoh psikologi Subjective Well Being

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ulet, meskipun mengalami berbagai rintangan dan hambatan dalam

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesejahteraan subjektif merupakan suatu hal yang penting dan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia dalam konteks kehidupannya memiliki dua peran yang berbeda yaitu sebagai makhluk sosial dan makhluk pribadi.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN OPTIMISME MAHASISWA PSIKOLOGI UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG DALAM MENYELESAIKAN SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Subjective well-being merupakan bagian dari happiness, istilah happines dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Panti asuhan merupakan lembaga yang bergerak dibidang sosial untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdi pada Keraton, pengabdian abdi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkawinan oleh Fowers & Olson (1989) dan Subjective Well-being oleh. sesuai dengan fenomena penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi menyenangkan, fulfilment,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

Subjective Well-Being Pada Istri yang Memiliki Pasangan Tunanetra

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan terdiri atas beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik,

BAB I PENDAHULUAN. Sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2005,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebijakan publik tentang masalah anak dan rencana anak, isu utama kebijakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PT. Permata Finance Indonesia (PT. PFI) dan PT. Nusa Surya Ciptadana

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Kebahagiaan. Kebahagiaan menurut Snyder dan Lopez (2007) merupakan emosi positif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Efikasi Pengambilan Keputusan Karir. dalam berbagai keadaan (Bandura,1997).

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh kedua orang tuanya untuk mengikuti pembelajaran yang diselenggarakan di

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan asset yang kelak akan menjadi penerus keluarga, menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. usahanya tersebut. Profesi buruh gendong banyak dikerjakan oleh kaum

Subjective Well-Being Pada Guru Sekolah Menengah. Dinda Arum Natasya Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB II LANDASAN TEORI

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING ANTARA GURU BERSERTIFIKASI DAN NON SERTIFIKASI

2016 HUBUNGAN ANTARA WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN KEPUASAN HIDUP PADA PERAWAT PEREMPUAN BAGIAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) A KOTA CIMAHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROCEEDING SEMINAR NASIONAL Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik. Sedangkan Diener, dkk (2003) menerjemahkan subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Lieben und arbeiten, untuk mencinta dan untuk bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sebutan untuk menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era globalisasi saat ini semakin mendorong wanita untuk memiliki

KONTRIBUSI KONTROL DIRI TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA MASYARAKAT MISKIN DI BANTARAN SUNGAI BENGAWAN SOLO JEBRES SURAKARTA.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keras untuk meraih kebahagiaaan (Elfida, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB 1 PENDAHULUAN. kodrati memiliki harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Definisi Subjective Well Being Menurut Diener (2009) definisi dari subjective well being (SWB) dan kebahagiaan dapat dibuat menjadi tiga kategori. Pertama, SWB bukanlah sebuah pernyataan subjektif tetapi merupakan beberapa keinginan berkualitas yang ingin dimiliki setiap orang. Kedua, SWB merupakan sebuah penilaian secara menyeluruh dari kehidupan seseorang yang merujuk pada berbagai macam kriteria. Arti ketiga dari SWB jika digunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu dimana perasaan positif lebih besar daripada perasaan negatif. Kim-Prieto (dalam Wills, 2007) mengungkapkan k onsep dari SWB menjelaskan evaluasi individu, baik positif maupun negatif, tentang bagaimana individu menjalani kehidupannya. Penilaian subjektif ini meliputi dimensi kognitif dan afektif. Individu mengukur SWB yang dirasakan dengan beberapa cara yang berbeda-beda. Diener (2000) menyatakan bahwa SWB mengacu kepada evaluasi individu terhadap hidupnya, evaluasi ini baik dari sisi afektif maupun kognitif. Individu merasakan SWB yang tinggi atau baik ketika individu tersebut merasakan lebih banyak emosi yang menyenangkan dibanding emosi yang tidak menyenangkan, ketika merasa senang dan hanya sedikit rasa sakit, dan ketika merasa puas dengan kehidupan yang dijalani. 13

14 Subjective well being meliputi evaluasi dari setiap individu yang ada di dunia. Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006) mengungkapkan SWB merupakan konstruk multi dimensional yang meliputi komponen kognitif dan afektif. Secara lebih spesifik, Diener mendefinisikan SWB sebagai kombinasi dari afek positif yang tinggi, afek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup secara umum. Ketiga kompenen ini saling berhubungan tetapi merupakan konstruk yang terpisah. Istilah SWB juga sering digunakan sebagai sinonim dari happiness (kebahagiaan) di berbagai literatur psikologi. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa SWB adalah evaluasi seseorang terhadap pengalaman hidupnya, yang terdiri dari dimensi kognitif dan dimensi afektif, yang direpresentasikan dalam kesejahteraan subjektif individu. Sederhananya, individu merasakan SWB yang tinggi atau baik ketika individu merasakan lebih banyak emosi yang menyenangkan, merasa senang, dan merasa puas dengan kehidupan yang dijalani. 2. Dimensi Subjective Well Being Diener ( dalam Snyder & Lopez, 2006) menyatakan bahwa SWB memiliki tiga bagian penting, pertama merupakan penilaian subjektif berdasarkan pengalaman-pengalaman individu, kedua mencakup penilaian ketidakhadiran faktor-faktor negatif, dan ketiga penilaian kepuasan global. Diener (1994) menyatakan adanya dua komponen umum dalam SWB, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif diidentifikasikan sebagai kepuasan hidup dan dimensi afektif terdiri dari afek menyenangkan

15 dan afek tidak menyenangkan yang dikenal dengan afek positif dan afek negatif. a. Dimensi Kognitif Diener (2000) menyatakan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang terpisah, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif direpresentasikan dalam bentuk kepuasan hidup secara global/umum (lebih dikenal dengan kepuasan hidup saja) dan kepuasan terhadap hal yang lebih spesifik seperti pekerjaan (work satisfaction), keluarga, dsb. Dalam hal ini peneliti hanya menjelaskan tentang kepuasan hidup secara global/umum. Kepuasan hidup ( life satisfaction) merupakan bagian dari dimensi kognitif dari SWB. Life satisfaction (Diener, 1994) merupakan penilaian kognitif seseorang mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai, dan puas dari kesenjangan antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan. Campbell, Converse, dan Rodgers (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa kompoen kognitif ini merupakan kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak. Dimensi kognitif SWB ini juga mencakup area kepuasan/domain satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya, seperti bidang yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan, keuangan, pekerjaan, dan waktu luang, artinya dimensi ini memiliki gambaran yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada

16 budaya dan bagaimana kehidupan seseorang itu terbentuk (Diener, 1984). Andrews dan Withey (dalam Diener, 1984) juga menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling mempengaruhi SWB individu tersebut. Dimensi ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang. b. Dimensi Afektif Subjective well being merupakan kategori besar yang mencakup respon emosional individu, area kepuasan, dan kepuasan hidup. Setiap konstruk harus dipahami dengan cara yang sesuai (Stones & Kozma dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Dimensi afektif merupakan perubahan neuropsikologikal yang sering dialami sebagai perasaan, mood, atau emosi dan dapat diorganisasikan ke dalam bentuk paling tidak menjadi dua dimensi yaitu valensi dan arousal (Tsai, 2007). Mood dan emosi yang biasa dikenal dengan afek, merepresentasikan evaluasi individu terhadap setiap peristiwa yang ada di dalam hidupnya (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Bradburn dan Caplovitz (dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999) mengungkapkan tentang afek menyenangkan dan afek tidak menyenangkan membentuk dua faktor yang independen dan harus diukur secara terpisah. Watson dan Tellegen (dalam Watson, Clark, & Tellegen, 1988) menyatakan sebuah landasan, model dua faktor yang biasa disebut dengan afek positif dan afek negatif.

17 1) Afek Positif Afek positif merupakan refleksi dari perasaan antusias, aktif, dan siaga. Afek positif yang tinggi berupa energi yang tinggi, konsentrasi penuh, dan pengalaman yang menyenangkan, sebaliknya afek positif yang rendah bercirikan kesedihan dan lesu (Watson, Clark, & Tellegen, 1998). Snyder dan Lopez (2006) juga mengungkapkan afek positif meliputi antara lain simptom-simptom antusiasme, keceriaan, dan kebahagiaan hidup. 2) Afek Negatif Afek negatif merupakan dimensi umum dari keadaan yang menyedihkan dan tidak menyenangkan yang memunculkan berbagai macam mood yang tidak disukai seperti marah, merasa bersalah, takut, dan tegang, afek negatif yang rendah akan memunculkan rasa ketenangan dan ketentraman (Watson, Clark, & Tellegen, 1998). Afek negatif merupakan kehadiran simptom yang menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan (Snyder & Lopez, 2006). Dimensi afektif menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya. Keseimbangan tingkat afek merujuk kepada banyaknya perasaan positif yang dialami dibandingkan dengan perasaan negatif (Diener, 1984). Kepuasan hidup dan banyaknya afek positif dan negatif dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian seseorang terhadap

18 kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah, dan kejadian-kejadian dalam hidupnya. Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduannya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan negatif terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami (Diener, 1994). Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa SWB terdiri dari dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif diidentifikasikan sebagai kepuasan hidup individu. Dimensi afektif terdiri dari afek positif dan afek negatif. Keseimbangan SWB merujuk kepada banyaknya afek positif daripada afek negatif. Kepuasan hidup dan afek saling berkaitan walaupun keduanya merupakan dimensi yang berbeda. 3. Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being Berbagai penelitian menunjukkan ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi SWB. Salah satu di antaranya adalah kepribadian. Kepribadian merupakan salah satu prediktor yang paling kuat dan konsisten dari SWB (Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Karakter yang paling berhubungan secara konsisten dengan SWB adalah ekstraversi dan neurotik. Fujita menemukan ekstraversi erat hubungannya dengan afek menyenangkan (afek positif) dan neurotik erat hubungannya dengan afek tidak menyenangkan (afek negatif) (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Penelitian dari beberapa negara menunjukkan individu yang ekstorvert cenderung mengalami afek positif yang lebih banyak dibandingkan dengan individu yang introvert (Diener & Ryan, 2009).

19 Faktor lainnya yang mempengaruhi SWB adalah standar relatif. Standar relatif teori menyatakan bahwa SWB merupakan hasil dari perbandingan antara standar individu dengan orang lain terkait dengan masa lalu, tujuan, ataupun kondisi yang ideal. Menurut teori perbandingan sosial, individu menggunakan standar hidup orang lain yang artinya individu tersebut akan merasakan pengalaman SWB yang tinggi ketika kehidupannya lebih baik dari orang lain yang menjadi patokan standar hidupnya (Diener & Ryan, 2009). Hubungan sosial merupakan salah satu faktor yang paling konsisten berhubungan dengan SWB. Inidividu yang memiliki jumlah teman dan jumlah keluarga yang lebih banyak cenderung memiliki SWB yang tinggi. Hal ini diawali dengan kecenderungan untuk memiliki hubungan yang lebih dekat dan dukungan sosial yang lebih (Diener & Biswas dalam Diener & Ryan, 2009). Beberapa penelitian menujukkan bagian terbaik dari individu adalah ketika mereka berada dalam interaksi sosial, individu lebih merasa mudah bahagia ketika bersama orang lain (Diener & Ryan, 2009). Menurut Arygle (dalam Heady, Veenhoven, & Wearing, 1991) dukungan sosial merupakan variabel mayor yang menentukan SWB. Individu yang menerima dukungan sosial berkemungkinan besar mampu menguatkan dan meningkatkan pandangannya terhadap SWB yang dirasakan (Sagiv & Schwartz, 2000). Faktor demografi merupakan faktor yang cukup menentukan dalam menilai tingkatan SWB inidividu. Hubungan antara demografi dan SWB sudah banyak diteliti dan menghasilkan beberapa variabel yang berhubungan

20 dengan SWB (Kim-Prieto, Diener, Tamir, Scollon, & Diener, 2005). Variabel demografi tersebut adalah jenis kelamin, pendidikan, usia, agama, pernikahan, pengangguran, dan pendapatan (Diener dan Ryan, 2009; Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). a. Jenis kelamin Secara umum perbedaan jenis kelamin tidak mampu menentukan SWB secara pasti, karena hubungan antara jenis kelamin dan SWB tidak terlalu signifikan. Lucas dan Gohm (dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999) menemukan bahwa perempuan lebih cenderung mengalami afek negatif dibandingkan laki-laki berdasarkan studi di beberapa negara, hal ini terkait dengan peran tradisional perempuan dimana mereka harus melaksanakan tanggung jawab penuh untuk keluarga dan pelaksanaan peran sosial. Perempuan menjadi lebih mudah untuk mengekspresikan emosi yang dialaminya. b. Pendidikan Campbell menemukan hubungan yang signifikan antara pendidikan dan SWB walaupun kecil. Bagian yang menghubungkan pendidikan dan SWB berkaitan dengan tingkatakan pendidikan terkait pendapatan dan status pekerjaan. Pendidikan akan lebih berhubungan dengan SWB bagi individu dengan pendapatan yang rendah berada di negara miskin. c. Usia

21 Secara keseluruhan usia tidak berhubungan secara konsisten dengan SWB, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa masa muda merupakan prediktor yang konsisten dari SWB. Penelitian lain menyebutkan kepuasan hidup berkisar antara usia 40-65 tahun. Diusia tua afek positif cenderung menurun dan begitu juga dengan afek negatif. d. Agama Hubungan antara agama dan SWB terkadang berkebalikan. Secara umum individu yang agamis memang dinyatakan memiliki SWB yang tinggi. Ditinjau dari kenegaraan, penduduk negara yang agamis memiliki tingkat kepuasan hidup yang cukup tinggi dan angka bunuh diri yang rendah. Pada penelitian-penelitian yang masih dilakukan, ditemukan bahwa beberapa negara dengan SWB yang tinggi penduduknya tidak religius dan sebaliknya negara yang memiliki penduduk yang religius dilaporkan memiliki SWB yang rendah. e. Pernikahan Survei dalam jumlah yang besar membuktikan bahwa individu yang menikah lebih bahagia dibandingkan mereka yang bercerai, terpisah, ataupun ditinggal mati. Pernikahan dan SWB tetap berhubungan secara signifikan walaupun pendapatan dan usia dikontrol. f. Pengangguran Pengangguran memiliki dampak yang konsisten dan jelas terhadap SWB. Laki-laki khususnya, sulit untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi

22 sebagai pengangguran dan selama itu pula mereka tidak pernah membentuk kembali dasar-dasar kepuasannya. Perlu ditekankan bahwa walaupun menjadi pengangguran dalam jangka waktu yang pendek, hal ini tetap akan menyebabkan perubahan yang permanen terhadap titik kebahagiaan seseorang dalam jangka waktu yang lama. g. Pendapatan Secara keseluruhan penelitian menunjukkan relasi antara pendapatan dan SWB positif selama pendapatan ada peningkatan. Peningkatan pendapatan secara signifikan akan mempengaruhi SWB pada individu yang berada pada kemiskinan atau di dalam negara di bawah negara berkembang. 1. Pengertian Dukungan Sosial B. Dukungan Sosial Sarafino (1994) menggambarkan dukungan sosial sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Menurut Sarafino, fungsi dukungan sosial adalah bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan individu. Dalam pengertian lain Sarafino (dalam Smet, 1994) menyebutkan definisi operasional yang mengikuti orientasi dukungan sosial mengacu pada kesenangan yang dirasakan, penghargaan atau kepedulian, atau membantu orang menerima orang-orang atau kelompok-kelompok lain. Menurut Cohen dan Hoberman

23 (dalam Isnawati & Suhariadi, 2013) dukungan sosial mengacu pada berbagai sumber daya yang disediakan oleh hubungan atarpribadi seseorang. Gottlieb (dalam Smet, 1994) mengungkapkan dukunga n sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Gottlieb lebih lanjut mengungkapkan ada dua macam hubungan dukungan sosial yaitu hubungan profesional yang bersumber dari orang-orang yang ahli di bidangnya seperti konselor, psikiater, psikolog, dokter, ataupun pengacara, serta hubungan nonprofesional (significant others) yang bersumber dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, maupun relasi. Hubungan nonprofesional menempati bagian terbesar dalam kehidupan individu dan paling potensial, hal ini karena mudah didapat serta mengandung nilai dan norma. Rook dan Ritter (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial sebagai satu di antara fungsi pertalian (ikatan) sosial. Segi -segi fungsional mencakup dukungan emosional, mendorong adanya ungkapan perasaan, pemberian nasehat atau informasi, dan pemberian bantuan material. Dukungan sosial merujuk pada hubungan interpersonal yang melindungi orang-orang terhadap konsekuensi negatif dari kondisi stres. Cobb (dalam Nurullah, 2012) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang mengarahkan individu untuk percaya bahwa dia dirawat dan dicintai, dihargai, dan bagian dari suatu kelompok sosial. Thoits (dalam

24 Nurullah, 2012) mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan penuh perasaan, informasi, atau bantuan langsung dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, ataupun rekan kerja. Dukungan ini dapat diterima dari orang lain atau sederhananya dapat dirasakan saat dibutuhkan. Dari beberapa pendapat tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat melalui interaksi individu dengan orang lain sehingga individu tersebut merasa dicintai, diperhatikan, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok sosial. Dukungan sosial dapat bersumber dari hubungan profesional maupun nonprofesional. Hubungan profesional bersumber dari orang yang ahli di bidangnya seperti psikiater, psikolog, dsb. Hubungan nonprofesional ( significant others) berasal dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, maupun relasi. 2. Bentuk-bentuk Dukungan Sosial House, dkk (dalam Sarafino, 1994) mengemukakan beberapa bentuk dukungan sosial, antara lain: a. Dukungan Emosional (Emotional Support) Dinyatakan dalam bentuk bantuan yang memberikan dorongan untuk memberikan kehangatan dan kasih sayang, memberikan perhatian, percaya terhadap individu serta pengungkapan simpati. b. Dukungan Penghargaan (Esteem Support) Dukungan penghargaan dapat diberikan melalui penghargaan atau penilaian yang positif kepada individu, dorongan maju dan semangat atau

25 persetujuan mengenai ide atau pendapat individu, serta melakukan perbandingan secara positif terhadap orang lain. c. Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support) Mencakup bantuan langsung, seperti memberikan pinjaman uang atau menolong dengan melakukan suatu pekerjaan guna menyelesaikan tugastugas individu. d. Dukungan Informasi (Informational Support) Memberikan informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang membutuhkan. e. Dukungan Jaringan Sosial (Network Support) Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas sosial. Dukungan jaringan sosial juga disebut sebagai dukungan persahabatan ( companioship support) yang merupakan suatu interaksi sosial yang positif dengan orang lain, yang memungkinkan individu dapat menghabiskan waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan ada beberapa bentukbentuk dukungan sosial. Bentuk-bentuk dukungan sosial berupa dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial. Kelima bentuk dukungan sosial ini

26 digunakan sebagai acuan dalam penyusunan alat ukur yang berupa skala dukungan sosial. C. Kerangka Berpikir Menurut aliran hedonic kesejahteraan diri dapat dicapai melalui kesejahteraan subjektif atau SWB. Diener (dalam Ariati, 2010) menyatakan SWB merupakan evaluasi orang tehadap kehidupannya sendiri baik secara afektif maupun kognitif. Individu merasakan SWB yang melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat dalam kegiatan yang menarik dan ketika mereka merasakan banyak kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka. Lebih jauh Diener (dalam Snyder & Lopez, 2006) menjelaskan SWB merupakan konstruk multi dimensional yang meliputi komponen kognitif dan afektif. Secara lebih spesifik, Diener mendefinisikan SWB sebagai kombinasi dari afek positif yang tinggi, afek negatif yang rendah, dan kepuasan hidup secara umum. Ada banyak faktor yang mempengaruhi SWB menurut Diener dan Ryan (2009), beberapa di antaranya adalah kepribadian, hubungan sosial, standar relatif, dan faktor demografi. Faktor demografi terdiri dari status pernikahan, pendapatan, usia, jenis kelamin, agama, pengangguran, dan pendidikan. Faktor hubungan sosial mencakup secara luas, salah satu bagian dari hubungan yang mempengaruhi SWB adalah dukungan sosial. Ada atau tidaknya, sedikit atau banyaknya

27 dukungan sosial yang diterima individu akan mempengaruhi SWB. Dukungan sosial yang diterima dapat berupa dukungan sosial yang nyata ataupun dukungan yang dipersepsikan. Sesuai dengan ungkapan Thoits bahwa dukungan sosial dapat diterima dari orang lain atau sederhananya dapat dirasakan saat dibutuhkan. Dukungan sosial digambarkan oleh Sarafino (1994) sebagai suatu kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain maupun kelompok. Gottlieb (dalam Smet, 1994) mengungkapkan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan/atau non verbal, bantuan nyata, atau tidakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. Gottlieb lebih jauh menjelaskan ada dua macam hubungan dukungan sosial sosial, yaitu hubungan yang profesional dan hubungan nonprofesional. Hubungan nonprofesional merupakan hubungan yang berarti dalam kehidupan individu dan paling potensial. Hubungan nonprofesional berasal dari orang-orang terdekat ( significant others) seperti keluarga, teman, dan relasi. Pernyataan Gottlieb ini didukung oleh Thoits (dalam Nurullah, 2012) yang mengungkapkan dukungan sosial sebagai dukungan penuh perasaan, informasi, atau bantuan langsung dari orang-orang terdekat seperti keluarga, teman, ataupun rekan kerja. Dukungan ini dapat diterima dari orang lain atau sederhananya dapat dirasakan saat dibutuhkan. Dukungan sosial yang diterima individu akan memberikan pengaruh ternhadap kesehatan fisik maupun psikologis. Sarafino (1994) mengungkapkan

28 bahwa dukungan sosial bermanfaat untuk kesehatan dan kesejahteraan individu. Sarafino lebih jauh menjelaskan bahwa dukungan emosional yang diberikan seseorang dapat membuat individu merasa lebih nyaman, merasa lebih tentram, dan merasa lebih dicintai sekalipun dalam kondisi stres. Dukungan penghargaan dan dukungan instrumental juga berkontribusi dalam mengurangi kondisi stres yang dialami individu. Dukungan penghargaan dapat diberikan melalui motivasi yang kuat dan dukungan instrumental dapat diberikan melalui bantuan fisik. Dukungan-dukungan ini secara tidak langsung berkontribusi untuk menurunkan afek negatif yang dirasakan mahasiswa bekerja terkait kondisi SWB mahasiswa bekerja. Gurung, Taylor, dan Seeman (2003) juga mengatakan bahwa dukungan sosial memberikan efek yang positif bagi kesehatan dan kesejahteraan individu. Mahasiswa yang bekerja melakoni peran sebagai akademisi dan sebagai seorang pekerja, artinya mahasiswa yang bekerja memiliki tanggung jawab atas akademik dan pekerjaan yang dijalaninya. Kondisi ini berkemungkinan akan memunculkan role overload atau kelebihan beban peran. Yustrianthe (2008) mengungkapkan role overload akan terjadi jika seseorang mempunyai terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di bawah tekanan waktu dan jadwal yang sangat ketat, serta tidak sesuai dengan kemampuan. Selain kelebihan beban peran tanpa disadari mahasiswa bekerja akan merasakan dampak negatif selain dampak positif yang dirasakan. Dampak negatif yang harus diantisipasi oleh mahasiswa bekerja seperti yang diungkapkan oleh Watanabe (2005) adalah kesulitan membagi waktu dan konsentrasi saat kuliah dan bekerja, kelelahan, penurunan prestasi akademik,

29 mengalami keterlambatan kelulusan, dan akibat yang paling parah adalah dikeluarkan dari universitas karena lebih mementingkan pekerjaan dari pada kuliah. Dampak negatif yang dirasakan serta kelebihan beban peran akan menimbulkan efek buruk pada kesehatan fisik dan memunculkan stres. Stres yang muncul tentunya akan mempengaruhi psikologis individu, lebih jauh lagi akan mempengaruhi kesejahteraan diri (subjective well being) (Yustrianthe, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Ammar, Nauffal, dan Sbeity (2013) tentang dukungan sosial yang diterima sebagai prediktor SWB pada mahasiswa di Lebanese memperoleh hasil bahwa dukungan sosial merupakan prediktor yang penting dalam memprediksi SWB pada remaja. Secara umum remaja merasa puas terhadap kehidupan yang dirasakan saat ini. Hasil penelitian juga menujukkan berdasarkan skor skala afek negatif, afek negatif yang dirasakan oleh subjek perempuan lebih banyak dibandingkan afek negatif yang dirasakan oleh subjek laki-laki. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chou (1999) pada remaja Cina di Hong Kong, secara umum dukungan sosial memiliki pengaruh terhadap SWB remaja. Namun ketika dukungan sosial yang diterima dibagi menjadi dua tipe yaitu dukungan sosial yang berasal dari teman dan dukungan sosial yang berasal dari keluarga, maka dukungan sosial yang berasal dari teman memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan dukungan sosial yang berasal dari keluarga dalam mempengaruhi SWB remaja tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniana (2013) tentang bagaimana SWB pada remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan memperoleh hasil

30 bahwa dukungan sosial merupakan faktor penting yang mempengaruhi kondisi SWB subjek. Subjek peneltian merasakan afek negatif karena kurangnya dukungan sosial dari keluarga namun masih dukungan sosial masih didapatkan dari orang-orang di panti asuhan, sahabat-sahabat subjek, dan masyarakat. Akibat kurangnya dukungan sosial yang dirasakan membuat remaja menjadi merasa kurang berarti atau berharga. Dari penjelasan di atas terungkap bahwa dampak negatif yang dirasakan mahasiswa bekerja akan memunculkan afek negatif. Afek negatif dapat terwujud misalnya dalam bentuk stres. Afek negatif yang dirasakan oleh mahasiswa bekerja sedapat mungkin harus dikurangi karena afek negatif berperan penting dalam menentukan kondisi SWB individu. Dalam hal ini dukungan sosial dibutuhkan mahasiwa bekerja dengan harapan dapat mengurangi afek negatif yang dirasakan mahasiswa sehingga kondisi SWB mahasiswa bekerja bisa terjaga kestabilannya. Dukungan sosial dibutuhkan karena merupakan faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi SWB individu. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa dukungan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi SWB. Dukungan sosial penting untuk diperhatikan pada mahasiswa yang bekerja. Kelebihan peran dan dampak negatif yang akan dirasakan pada mahasiswa bekerja berkemungkinan akan mempengaruhi SWB mahasiswa bekerja tersebut. Dalam kondisi ini mahasiswa bekerja berkemungkinan membutuhkan dukungan sosial. Dengan adanya dukungan sosial, individu tersebut setidaknya akan merasa lebih dicintai, dirawat,

31 sehingga mahasiswa bekerja tetap mampu menjaga kestabilan SWB dalam menjalani perannya dengan baik, seimbang, dan maksimal. D. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara dukungan sosial dengan SWB pada mahasiswa yang bekerja. Semakin kuat dukungan sosial yang diterima oleh mahasiswa bekerja maka semakin tinggi pula SWB yang dirasakan. Semakin lemah dukungan sosial yang diterima oleh mahasiswa bekerja maka semakin rendah pula SWB yang dirasakan.