Siapa di Belakang Ide Praperadilankan KPK? OPINI 07 February 2015 11:08 http://politik.kompasiana.com/2015/02/07/siapa-di-belakang-ide-praperadilkan-kpk-700386.html (Harian Kompas, Sabtu, 7 Februari 2015) Kenapa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana menyuruh orang lain memberi kesaksian palsu oleh polisi? Kenapa Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dijadikan target berikutnya, tetapi kenapa juga meskipin surat perintah penyidikan (sprindik) sudah diterbitkan, keduanya belum ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi? Meskipun menurut penjelasan Kabareskrim Komisaris Jenderal Budi Waseso, sprindik di kepolisian tidak otomatis yang bersangkutan harus dijadikan tersangka. Sampai hari ini status Abraham dan Pandu masih sebagai terlapor. Apa pula kaitannya dengan upaya hukum praperadilan yang dilakukan oleh Budi Gunawan, padahal jelas-jelas status tersangka menurut hukum adalah kewenangan penyidik yang bukan termasuk obyek praperadilan sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 77 KUHAP? Sangat sulit untuk percaya bahw semua hal yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada kaitannya dengan ditetapkannya calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Serangan balik dan balas dendam oleh polisi kepada KPK? Sudah pasti. Tetapi apakah hanya itu kaitannya? Jawabannya bisa lebih dari itu. Semua yang disebutkan di atas merupakan bagian dari skenario yang lebih luas daripada sekadar balas dendam Polri kepada KPK. Skenario inilah yang melatarbelakangi pihak yang bersikeras supaya Budi Gunawan tetap dilantik oleh 1
Presiden Jokowi. Pihak itu adalah tokoh-tokoh politik besar yang membekingi Budi Gunawan, dan berhasil mendesak Presiden Jokowi untuk menjadikannya sebagai calon tunggal Kapolri. Mereka menguras pikiran dan akal, bagaimana caranya agar Budi Gunawan yang sudah terlanjur dijadikan tersangka oleh KPK, bisa dibebaskan dari status tersebut, sehingga tiada kendala untuk dilantik sebagai Kapolri. Win-win Solution Kendala terbesar dari terlanjurnya Budi Gunawan dijadikan tersangka oleh KPK adalah di KPK tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana di kepolisian dan kejaksaan. Sekali seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, maka tiada jalan lain selain harus berlanjut ke pengadilan, dan tentu saja targetnya harus menang. Itulah sebabnya KPK sangat hati-hati dan ketat dalam proses menentukan apakah seseorang layak ditetapkan sebagai tersangka ataukah tidak. Di KPK, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka akan selalu diikuti dengan penahanan terhadap yang bersangkutan, setelah itu berlanjut ke proses peradilan, statusnya berubah menjadi terdakwa. Ia akan disidang sebagai terdakwa oleh Pengadilan Tindak PIdana Korupsi (Tipikor). Selama ini, reputasi KPK adalah selalu menang di Pengadilan Tipikor, tak pernah ada terdakwa koruptor KPK yang dibebaskan hakim karena tak terbukti korupsi. Lalu, bagaimana caranya untuk melepaskan status tersangka Budi Gunawan dari KPK ini? Tokoh-tokoh pembeking Budi Gunawan tetap harus menjadi Kapolri, dan Budi Gunawan sendiri, pun memeras otak dan akal untuk mengakali hukum demi maksud tersebut. Hasilnya adalah ide mempraperadilankan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK itu. Ide yang segera dilaksanakan, sebagaimana kita saksikan sekarang ini. Inilah satu-satunya cara untuk melepaskan status tersangka Budi Gunawan itu. Jadi, mereka pasti akan habis-habisan untuk memenangkannya, meskipun secara hukum lemah, karena penetapan seseorang tersangka itu sesungguhnya bukan obyek dari praperadilan itu. Jadi, apakah akan ada rekayasa hukum di babak praperadilan ini? Bagaimana dengan rekam jejak buruk hakim tunggal yang akan mengadili gugatan praperadilan ini, yaitu Sarpin Rizaldi? Adakah kaitannya dengan ditunjuknya Sarpin sebagai hakim di sidang praperadilan ini? Sidang praperadilan itu sudah dibuka pada Senin, 2 Februari lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi karena ketidakhadiran pihak tergugat (KPK), maka Hakim Sarpin Rizaldi yang memimpin sidang tersebut menunda sidangnya sampai Senin depan, 9 Februari 2015. Pada hari itulah, nasib Budi Gunawan ditentukan, karena berdasarkan apa 2
yang diputuskan hakim sidang praperadilan itu, merupakan harapan terakhir kubu Budi Gunawan yang masih mengharapkan jabatan Kapolri tersebut. Jika putusan hakim adalah mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan, maka berarti Budi Gunawan menjadi bersih dari status tersangka KPK, sehingga terbuka kembali peluang Presiden Jokowi melantiknya sebagai Kapolri. Setidaknya itulah harapan terakhir yang diharapkan oleh para tokoh pembeking Budi Gunawan dalam menyusun skenario praperadilan itu. Tetapi, apakah memang secara hukum bisa demikian? Bisa atau tidak demikian, hanya cara mempraperadilkan KPK itulah satu-satunya cara yang bisa ditempuh kubu Budi Gunawan, untuk membebaskan Budi dari status tersangkanya itu. Hasil dari sidang praperadilan ini jugalah yang bisa jadi akan menentukan pula nasib dari Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan Adnan Pandu Praja, juga Zulkarnain. Jika lewat praperadilan kubu Budi Gunawan berhasil membebaskan Budi dari status tersangkanya (menang gugatan), maka polisi akan menerbitkan SP3 buat ketiga pimpinan KPK itu. Terhadap Bambang akan terbit SP3 dengan alasan bukti-buktinya kurang kuat, sedangkan terhadap Abraham dan Pandu, alasannya tidak ditemukan alasan hukum yang cukup untuk bisa melanjutkan penyidikan laporan masyarakat terhadap mereka. Itulah skenario win-win solution yang sebenarnya dikehendaki oleh tokoh-tokoh pembeking Budi Gunawan. Jadi, di sini yang ditawarkan para pembeking Budi Gunawan adalah semacam barter antara polisi dengan KPK, dengan anggapan bahwa antara kasus Budi Gunawan dengan kasus Bambang Widjojanto, demikian pula dengan para pimpinan KPK lainnya adalah setara. Mereka beranggapan jika Bambang Widjojanto dianggap dikriminalisasikan oleh polisi, maka demikian pula sesungguhnya Budi Gunawan dikriminalisasi oleh KPK, karena status tersangka itu diumumkan KPK hanya sehari setelah Jokowi mengumumkan Budi sebagai calon tunggal Kapolri. Jokowi Melawan Jika skenario win-win solution itu bisa berjalan baik, maka Bambang Widjojanto dan para koleganya sesama pimpinan KPK boleh kembali dengan bebas ke KPK, dan Budi Gunawan bisa dilantik sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi. Itulah sebabnya alasan sebenarnya Jokowi menyatakan baru akan mengambil keputusan tentang Budi Gunawan setelah ada putusan praperadilan terhadap kasus Budi Gunawan. Ketika sidang praperadilan itu ditunda sampai Senin depan (9/2), Jokowi pun mengikutinya, menunda 3
keputusannya terhadap Budi Gunawan. Padahal, seharusnya hal ini sepenuhnya menjadi hak prerogatif Presiden, tidak tergantung dan tidak perlu menunggu hasil sidang praperadilan itu. Sikap Jokowi menunggu hasil sidang praperadilan Budi Gunawan sebelum mengambil keputusan terhadapnya itu, menunjukkan bahwa betapa kuatnya pengaruh para tokoh politik besar di balik kekuasaan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia ini. Tetapi, apakah Jokowi akan menuruti sepenuhnya sampai pada akhir kisah ini? Sebetulnya Jokowi sudah mengirim sinyal perlawanannya! Dia memang menuruti saja apa maunya para tokoh politik besar pembeking Budi Gunawan itu sampai pada menunda keputusan terhadap Budi Gunawan, menunggu hasil sidang praperadilan tersebut. Tetapi, pada akhirnya juga Jokowi akan memutuskan apa yang menurutnya adalah yang paling tepat dan benar, yaitu membatalkan pencalonan dan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, apa pun hasil sidang praperadilan tersebut. Syukur alhamdulilah jika putusan hakim adalah menolak gugatan praperadilan itu, sehingga memperkuat dasar pembatalan pencalonan dan pelantikan Budi Gunawan itu. Rabu, 4 Februari sore yang lalu, para pimpinan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) termasuk Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Negara. Mereka inilah yang saya maksudkan ketika beberapa kali menyebutkan tokoh-tokoh politik besar pembeking Budi Gunawan. Seusai pertemuan itu, Jokowi menelepon Ketua Tim Sembilan, Buya Syafii Maarif, mengutarakan apa yang akan diputuskan terhadap Budi Gunawan, yaitu membatalkan pencalonan dan pelantikannya sebagai Kapolri. Alasan utama dari keputusan itu, kata Jokowi, sebagaimana diutarakan oleh Syafii adalah menyangkut moralitas publik. Syafii mengaku dihubungi Jokowi via telepon pada pukul 19:15. Saat itu Syafii mengira telah ada komunikasi yang membaik antara Jokowi dengan Megawati. Saya kira cair setelah adik dan kakak itu ketemu, Mega kalau panggil Presiden kan adik Jokowi, kata dia. Makanya, saat itu Syafii bertanya ke Jokowi, Pak Presiden, gimana sudah mencair? Di luar dugaan Jokowi menjawab, Cair apanya, ini malah kacau. Tapi saya tidak akan melantik BG (Budi Gunawan)! (Tempo.co). Hari Kamis, 6 Februari kemarin, di Metro TV sore, Ketua Kompolnas, Adrianus Meliala juga mengutarakan hal yang sama. Dia bilang, sebenarnya, beberapa hari sebelumnya, 4
Jokowi sudah mengutarakan kepada Komplonas bahwa dia tak akan melantik Budi Gunawan. Saat itu Komplonas memilih diam tak mempublikasikan pernyataan Jokowi itu, tetapi karena Syafii sudah mengumumkannya, maka dia mengaku juga bahwa hal yang sama sudah disampaikan Jokowi kepada Kompolnas. Tampaknya hal inilah yang menjadi perdebatan hebat dalam pertemuan antara Jokowi dengan para tokoh KIH, termasuk Megawati pada Rabu, 4 Februari 2015, yang digambarkan Jokowi kepada Syafii dengan kata-kata: Ini tambah kacau itu. Para tokoh pembeking Budi Gunawan itu terus mendesak Jokowi untuk melantik Budi Gunawan, apalagi jika hasil sidang praperadilan itu memenangkan Budi Gunawan. Tetapi, rupanya Jokowi tetap bersikeras untuk tak melantik, apa pun putusan sidang praperadilan itu. Alasannya utamanya adalah menyangkut moralitas publik. Jokowi mulai menunjukkan perlawanannya, sekaligus membuktikan dia bukan petugas partai, tetapi petugas rakyat. Ketika Majalah Tempo bertanya kepada Jokowi, apakah benar ada partai politik yang memaksa kehendaknya kepadanya, dengan diplomatis Jokowi menjawab: Lho, saya justru ngomong, Jangan memaksakan. Mudah-mudahan dia tetap berani dan konsisten dengan sikapnya ini. Otak Skenario Siapa sebetulnya otak dari skenario upaya membersihkan Budi Gunawan dari status tersangka sebagaimana diulas di atas itu? Salah satunya kemungkinan besar adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ketika Budi Gunawan hendak menggugat praperadilkan KPK atas status tersangkanya, Jusuf Kalla adalah salah satu tokoh yang paling awal menyerukan dukungannya. Dia juga yang paling gencar menyatakan bahwa Presiden akan menggunakan hasil sidang praperadilan itu sebagai bahan pertimbangannya memutuskan nasib Budi Gunawan, apakah tetap dilantik atau tidak, sebagai Kapolri. Ketika diwawancara Majalah Tempo, Jusuf Kalla pulalah yang menyatakan ide tentang solusi win-win solution sebagaimana saya sebutkan di atas. Menurut Jusuf Kalla, sebagaimana ditulis Tempo, Bambang Widjojanto disebut dikriminalisasi polisi, demikian juga Budi Gunawan dikriminalisasi KPK. Maka itu solusinya adalah solusi win-win solution lewat mekanisme praperadilan. Bambang akan dihentikan penyidikannya, demikian juga Budi Gunawan. Sama-sama enaknya. Bambang kembali menjadi manusia bebas, kembali ke KPK, dan Budi Gunawan kembali bersih sehingga bisa dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai Kapolri (Majalah Tempo, 2-8 Februari 2015). 5
Logika apa yang dipakai oleh Jusuf Kalla ini? Bagaimana bisa menyetarakan kasus Budi Gunawan dengan Bambang Widjojanto dan para pimpinan KPK lainnya? Ia pula yang menjadi orang pertama dari pemerintah yang membela sikap Budi Gunawan yang mankir dari panggilan KPK, dengan alasan proses praperadilan masih berlangsung. Oleh karena itu, katanya, wajar Budi Gunawan menunggu dulu keputusan hakim praperadilan, baru memutuskan memenuhi panggilan KPK ataukah tidak. Suatu pernyataan yang bertentangan dengan perintah Presiden Jokowi yang menyerukan baik polisi, maupun KPk harus menghormati proses hukum yang sedang berlangsung, termasuk memenuhi panggilan penyidik KPK atau polisi. Desakan dan pembelaan yang begitu terang-benderang dari para tokoh pembeking Budi Gunawan seperti ini tentu juga dibicarakan dipertemuan mereka dengan Jokowi, pada 4 Februari lalu itu, oleh karena itulah Jokowi curhat kepada Syafii Maarif, dengan mengatakan pertemuan itu malah membuat (tambah) kacau. Tampaknya, kasus Budi Gunawan ini telah membuat hubungan antara Jokowi dengan para pembeking Budi Gunawan ini memburuk. Indikasinya, pernyataan Jokowi bahwa dia tak akan melantik Budi Gunawan, tidak disampaikan kepada mereka, melainkan kepada Syaii Maarif sebagai Ketua Tim Sembilan, dan kepada Kompolnas. Ketika Presiden Jokowi berangkat ke Malaysia untuk kunjungankenegaraan, pada Jumat, 6 Februari kemarin pun, tidak tampak Jusuf Kalla mengantarnya di Bandara Halim Perdana Kusuma. Ketika Tempo mengkonfrimasikan informasi yang menyatakan Jusuf Kalla mendesaknya untuk melantik Budi Gunawan karena sudah disetujui DPR, Jokowi menjawab: Berpendapat kan boleh, tetapi keputusan kan di saya. Semoga Jokowi segera kembali ke karakter aslinya, berani dan tegas dalam bersikap, sekalipun harus berhadapan dengan para tokoh yang berjasa membawanya ke kursi Presiden, dan selama ini mendukungnya (yang ternyata dengan pamrik politik yang jahat). Sebesar apa pun jasa partai kepadanya, jika didesak untuk membalas budi dengan melakukan suatu perbuatan tercela, harus mutlak ditolak. Bagaimana pun Jokowi harus ingat: Yang memilihnya sehingga bisa menjadi Presiden itu adalah rakyat! Dan, Konstitusi Negara menegaskan seseorang dipilih menjadi Presiden adalah demi pengabdiannya kepada bangsa dan negaranya, bukan mengabdi kepada partai politik, sebesar apapun jasa mereka kepadanya, apalagi mau menanggapnya masih sebagai petugas partai. 6
Semua kezaliman itu harus dilawan! *** 7