II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Karbondioksida (CO2)

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

Pupuk Organik Powder 135 (POP 135 Super TUGAMA)

STUDI KECENDERUNGAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DAN NERACA KARBON PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI. Oleh : ISMININGSIH F

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi)

BUDIDAYA TANAMAN PADI menggunakan S R I (System of Rice Intensification)

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK METODE SRI (System of Rice Intensification)

TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI RAMAH IKLIM Climate Smart Agriculture. Mendukung Transformasi Menuju Ekonomi Hijau

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Budidaya Padi. L.) merupakan tanaman pangan golongan Cerealia

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

I. PENDAHULUAN. Upaya pemenuhan kebutuhan beras bagi 230 juta penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

Cara Penggunaan Pupuk Organik Powder 135 untuk tanaman padi

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanasan Global

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi CO 2. lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dari umbi. Ubi kayu atau ketela pohon merupakan tanaman perdu. Ubi kayu

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #10 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

I. PENDAHULUAN. tidak berkelanjutan. Pertanian dengan olah tanah intensif di lahan kering merusak

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

III. METODE PENELITIAN

bahasa Perancis dinamakan Le Syst me de Riziculture Intensive disingkat RSI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification

TINJAUAN PUSTAKA. Padi IP 400. Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANASAN GLOBAL. Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

TINJAUAN PUSTAKA. Produksi dan Emisi Metan Dari Lahan Sawah. dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI LAHAN RAWA LEBAK

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

BAB I PENDAHULUAN. isu utama dalam perubahan lingkungan global. Untuk mengurangi pengaruh emisi

I. PENDAHULUAN. bermata pencarian sebagai petani (padi, jagung, ubi dan sayur-sayuran ). Sektor

Teknologi BioFOB-HES (High Energy Soil)

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomasa yang terdapat

RINGKASAN. I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

Iklim Perubahan iklim

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pangan penghasil

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

Geografi. Kelas X ATMOSFER VII KTSP & K Iklim Junghuhn

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari Lahan Sawah

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. substitusinya sebagaimana bahan bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

Lampiran 1. Deskripsi padi varietas Ciherang (Supriatno et al., 2007)

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

TEHNIK PENGAMBILAN SAMPEL EMISI GAS N2ODI LAPANGAN

BUDIDAYA PADI RATUN. Marhaenis Budi Santoso

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Gas rumah kaca adalah gas-gas yang dapat membentuk suatu lapisan perangkap panas di atmosfer bumi yang dapat memantulkan kembali panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Penumpukan gas-gas ini akan menyebabkan sinar infra merah yang dipantulkan kembali ke bumi semakin besar dan berakibat pada peningkatan suhu bumi (Cicerone, 1987). Gas yang dikategorikan sebagai GRK akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap efek rumah kaca yang akan menyebabkan perubahan iklim (Rachman, 2007). Beberapa GRK yang utama akan dijelaskan pada bagian berikut. 2.1.1 Karbondioksida (CO 2 ) Karbondioksida merupakan GRK yang menjadi sasaran untuk diturunkan konsentrasinya di atmosfer. Secara alami, gas CO 2 dihasilkan melalui dekomposisi bahan oganik secara aerobik (Wiharjaka dan Setyanto, 2007). Menurut Wood (1990) peningkatan konsentrasi CO 2 mampu memicu pemanasan global. Keadaan ini akan meningkatkan potensi perubahan iklim yang akhirnya akan menghasilkan suhu dan pengurangan produktivitas lahan pertanian. Konsentrasi CO 2 terus meningkat, saat ini konsentrasinya mencapai 365-375 ppm (Dalal et al., 2003; Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Peningkatan konsentrasi CO 2 tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara besarnya sumber emisi (source) dengan dayarosotnya (sink). Tanah dapat berperan sebagai sink utama C yang dapat digunakan sebagai upaya mitigasi peningkatan CO 2 di atmosfer. Jumlah fluks CO 2 dalam tanah akan bergantung pada cara pengelolaan atau cara pengaturan lahan pertanian. Pengaturan sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mengurangi emisi karbon karena sistem perakaran tanaman dapat digunakan untuk mendistribusikan kembali karbon pada profil tanah permukaan dimana karbon untuk pembentukan 3

CO 2 dapat dikurangi. Pengolahan tanah yang tepat dibutuhkan untuk mengembangkan dan mengoptimalisasi CO 2 dalam tanah untuk proses fotosintesis sehingga produktivitas tanaman juga mengalami peningkatan. Pada dasarnya secara alami CO 2 merupakan bagian penting dari fotosintesis tanaman. Tetapi akibat industri yang pesat, tingginya pemakaian bahan bakar fosil dan laju deforestasi hutan-hutan alam yang semakin cepat menyebabkan daya pelepasan CO 2 dari sumber-sumber emisi lebih tinggi dari sumber tambatnya (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). 2.1.2 Metana (CH 4 ) Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang memiliki kontribusi dalam global warming dengan jumlah diperkirakan 10-30 % dari lahan pertanian dan 3-10 % dari lahan kering (Gilbert dan Frenzel, 1998; Furukawa dan Inubushi, 2002; Ramanathan et al., 1985 dalam Setyanto et al., 2000; Agus dan Irawan, 2004). Konsentrasi CH 4 saat ini mencapai 1852 ppbv dengan nilai potensi pemanasan globalnya (global warming potential) adalah 23-32 kali lebih besar dari CO 2 (Wihardjaka dan Setyanto, 2007; Blake dan Rowland, 1988 dalam Neue dan Roger, 1994; Wihardjaka et al., 1999). Total emisi global dari gas CH 4 diperkirakan 320-590 teragrams per tahun (Tg/tahun) dengan sumbangan dari lahan padi sebanyak 25-100 Tg/tahun (Neue dan Roger, 1994; Setyanto et al., 2000; Wihardjaka et al., 1999). Dekomposisi anaerobik organik merupakan sumber penghasil CH 4. Hal inilah yang menyebabkan lahan sawah sangat ideal untuk kondisi ini (Tsuruta et al., 1997, Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Lahan sawah dalam keadaan tergenang bersifat reduktif dan anaerobik. Kondisi ini memberi lingkungan yang baik untuk perkembangan bakteri pembentuk metana (methanogenic bacteria). Lebih dari 90 % metana terlepas dari tanah sawah ke atmosfer lewat tanaman padi, karena tanaman padi mempunyai ruang aerenkhima dan intersel sebagai media pengangkutan CH 4 dari tanah tereduksi ke atmosfer (Suharsih et al., 1999; Susilokarti, 2007). 4

Diperkirakan 80 % metana yang dihasilkan tersebut dioksidasi di sekitar perakaran tanaman padi (rhizosfer). Neue et al. (2000) menyatakan bahwa emisi gas metana sangat dipengaruhi interaksi dari tiga proses yaitu (1) pembentukan CH 4, (2) oksidasi CH 4, dan (3) pelepasan keatas (Gambar 1). Berbeda dengan CO 2, rosot CH 4 yang selama ini dikenal hanyalah melalui dua proses yaitu dikonsumsi oleh bakteri metanotrof dan reaksi dengan ion radikal di atmosfer bumi (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Rejim air, sifat tanah dan tanaman padi yang ditanam merupakan faktor utama pada produksi CH 4 di lahan sawah (Neue dan Roger, 1994). Beberapa faktor lain yang mempengaruhi pola dan besarnya emisi CH 4, antara lain : (1) pengelolaan air irigasi, (2) kondisi tanah (ph dan Eh), (3) Suhu tanah dan udara, (3) varietas padi, (4) aplikasi pupuk, (5) musim tanam (Nugroho et al., 1997; Singh et al., 1998; Neue dan Roger, 1994; Suharsih et al., 1999; Wihardjaka et al., 1999; Wihardjaka dan Setyanto; 2007; Setyanto et al., 2000; Neue et al., 2000). Sumber : (Sharkey et al., 1991) Gambar 1. Proses pelepasan CH 4 ke atmosfer Kondisi tanah dengan penggenangan berlanjut (countinously flooded) relatif mengemisi CH 4 lebih tinggi dibandingkan dengan pengairan berselang (intermittent). Pengeringan membuat kondisi aerob pada tanah dan mengaktifkan bakteri metanotrof yang berperan mengoksidasi CH 4 5

menjadi CO 2 sehingga lebih banyak CH 4 teroksidasi sebelum di lepas ke atmofer. Wihardjaka dan Setyanto (2007) mengemukakan bahwa dari seluruh CH 4 yang diproduksi dalam tanah hanya 16.6 % yang diemisikan dan sisanya dioksidasi. Perlakuan intermittent memang ditujukan untuk mengatur konsidi lahan menjadi kering-tergenang secara bergantian. Intermittent dapat memberikan kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam. Pengairan berselang memberikan manfaat pada lahan pertanian, antara lain dapat berkembang lebih dalam. Pengairan berselang memberikan manfaat timbulnya keracunan besi, mencegah penimbunan bahan organik dan gas H 2 S yang dapat menghambat perkembangan akar, mengaktifkan mikroba yang bermanfaat, mengurangi kerebahan, mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif, menyeragamkan pemasakan gabah, mempercepat waktu panen, dan memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Kemampuan tanaman padi melepaskan gas CH 4 berbeda-beda, tergantung karakteristik padi. Setiap varietas memiliki sifat dan aktivitas akar yang berbeda, seperti besar eksudat akar dan kecepatan pertukaran gas yang erat kaitannya dengan volume gas CH 4. Eksudat atau hasil autoksis akar padi merupakan sumber karbon bagi bakteri methanogenik penghasil CH 4. Penggenangan dan pelumpuran pada tanah sawah akan merusak agregat dan koloid tanah, meningkatkan permukaan aktif, mengubah Eh dan ph. Bakteri pembentuk CH 4 dapat berkembang baik pada kondisi tergenang, dimana Eh < -150 dan ph 6-8 dengan suhu tanah 25-35 o C (Neue dan Roger 1994; Suharsih 1999; Tsuruta et al., 1997; Yang dan Cang, 1997; Neue dan Scharpenseel, 1990 dalam Wiharjaka et al., 1999). 2.1.3 Nitrous Oksida (N 2 O) Gas N 2 O merupakan gas di atmosfer yang memiliki peranan penting dalam pemanasan global yaitu dalam penurunan lapisan ozon stratosfer yang diketahui berfungsi melindungi biosfer dari efek radiasi ultraviolet 6

langsung. Jika dibandingkan dengan metana dan karbondioksida jumlahnya memang lebih rendah. Namun, potensialnya dalam pemanasan rumah kaca 250 kali lebih kuat dari pada CO 2 dan telah berlangsung di atmosfer selama 100-175 tahun (Erickson dan Keller dalam Hutabarat, 2001; Wihardjaka dan setyanto, 2007; Beuchamp, 1997). Konsentrasi N 2 O di atmosfir telah meningkat 16 % sejak 1750. Konsentrasi tersebut diperkirakan sebesar 310-314 ppb dengan laju peningkatan 0.2-0.3 % setiap tahun (Dalal et al., 2003; Rennenberg et al., 1992 dalam Wihardjaka dan Setyanto, 2007; Partohardjono, 1999; Erickson dan Keller dalam Hutabarat, 2001; Teepe et al., 2004; Beuchamp, 1997 ). Pada kenyataannya, 60-80 % dari total emisi N 2 O di atmosfir adalah berasal dari tanah sawah ( IPCC, 2001 dalam Dalal et al., 2003; Yan et al., 2000). Nitrous oksida terbentuk pada tanah oleh aktivitas mikroorganisme selama nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi dalam dua langkah (Dalal et al., 2003; Haynes, 1986; Prayitno et al., 1999; Tsuruta, 1997; Beuchamp, 1997). - Langkah pertama adalah oksidasi NH 4 menjadi NO - 2, reaksinya adalah sebagai berikut : 2NH - 4 + 3O 2 2NO - 2 + 4H + + 2H 2 O + energi Bakteri yang berperan dalam reaksi tersebut adalah bakteri Nitrosomonas. Langkah kedua adalah oksidasi NO - 2 menjadi NO - 3 dengan reaksi : 2NO - 2 + O 2 2NO - 3 + energi Bakteri yang berperan adalah bakteri Nitrobacter. Kemudian hasil dari nitrifikasi berupa NO - 3 akan diubah menjadi N 2 O. Denitrifikasi adalah langkah terakhir dalam siklus N dan terjadi pada kondisi anaerob. N 2 O direduksi menjadi N 2 oleh enzim nitrous oxide yang tereduksi (Stouthamer, 1988). Pada proses denitrifikasi sebagian mikroba dapat menggunakan NO - 3 sebagai aseptor elektron utama untuk memperoleh energi dari senyawa organik ketika ketersediaan O 2 rendah yang menghambat metabolismenya pada denitrifikasi heterotrofik. Proses denitrifikasi heterotrofik adalah proses yang sangat penting sebagai sumber pembentukan nitro oksida dengan tahapan sebagai berikut : 7

NO 3 - NO 2 - NO N 2 O N 2 Reaksi pembentukan NO - 3 menjadi N 2 O dan N 2 menunjukkan bahwa emisi N 2 O dapat terjadi pada tanaman padi di lahan sawah tadah hujan yang keadaan airnya berselang antara basah (tergenang) dan kering, tergantung fluktuasi curah hujan (Wihardjaka dan Setyanto, 2007; Suyono et al., 2006; Kuikman et al., 2000). Menurut Suyono et al. (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi pola nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah adalah : (1) pasokan ion ammonium, (2) populasi organisme penitrifikasi, (3) aerasi tanah, (4) kelembaban tanah, (5) temperatur, (6) ph tanah, dan (7) level serta bentuk nitrogen anorganik. Derajat keasaman tanah yang mempengaruhi proses nitrifikasi berada dalam kisaran 5-10, tetapi berlangsung paling cepat terjadi pada saat ph mendekati 7 dan berkurang pada ph < 5.5. Walaupun batas terendah bervariasi dengan tektur tanah dan organisme asli (Alexander, 1977 dalam Mulyadi et al., 1999). Untuk denitrifikasi, kemasaman tanah sangat mempengaruhi komposisi produk-poduk gas N 2 O dan N 2. Diatas ph 6, N 2 dominan dengan pelepasan sejumlah N 2 O pada tahap awal denitrifikasi. Dengan turunnya ph < 6, proporsi N 2 O meningkat dan menjadi dominan pada saat ph tanah < 5 (Dalal et al., 2003). 2.2. Serapan Karbon Organik Gas CO 2 diserap oleh tanaman melalui proses fotosintesis untuk diubah menjadi karbohidrat kemudian disebarkan keseluruh bagian tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tanaman berupa daun, batang, bunga, dan buah. Proses penimbunan cadangan makanan dalam bentuk carbon (C) dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada dan jenis tanah serta cara pengelolaannya. Karbon organik terdapat dalam bagian bahan organik tanah yang terdiri dari sisa-sisa sel makhluk hidup (mikroorganisme, hewan dan tumbuhan) dan terbentuk dalam proses dekomposisi. Karbon organik adalah 8

bagian utama dari bahan organik tanah karena komposisinya mencapai 48 50 % dari berat total. Karbon C merupakan elemen penting dari semua dasar kehidupan. Karbon dalam tanah akan memberi warna gelap pada tanah dan secara biologi maupun kimia, karbon dalam tanah dapat meningkatkan produktivitas tanah (Nelson & Sommers, 1982 dalam Riza, 2008). Pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen utama yaitu (1) Biomasa ; masa dari vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk tanaman, tanaman bawah (gulma), (2) Nekromasa ; masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau unggul tanaman), atau yang telah tergeletak di permukaan tanah yang belum lapuk. (3) Bahan organik tanah ; sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian ataupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah (Hairiah dan Rahayu, 2007). 2.3. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Pengelolaan Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management) atau lebih dikenal PTT pada padi sawah, merupakan salah satu model atau pendekatan pengelolaan usahatani padi dengan mengimplementasikan berbagai komponen teknologi budidaya yang memberikan efek sinergis. PTT mengabungkan semua komponen usahatani terpilih yang serasi dan saling komplementer, untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno et al., 2000). Pengelolaan tanaman terpadu sangat identik dengan sistem pertanian modern dimana aspek kelestarian dan keberlanjutan produktifitas lahan pertanian merupakan faktor yang harus diutamakan. Sistem ini merupakan penyempurnaan dari SRI (System of Rice Intensification), yang dianggap mempunyai banyak kendala dalam teknis pelaksanaan di lapangan maupun dalam hal memenuhi kebutuhan pangan nasional yang tinggi. Untuk itu sistem PTT sangat mengedepankan peningkatan produksi padi dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan pertanian. Pengelolaan tanaman terpadu berlandaskan pada hubungan sinergis antara dua sistem atau lebih dari teknologi produksi yang sinergis, maka diharapkan sistem pelaksanaannya mampu selaras dengan kondisi 9

lapangan yang ada di Indonesia dan secara nyata mampu meningkatkan produktivitas tanaman padi (Sumarno et al., 2000). Menurut Sumarno dan Suyamto (1998), bahwa tindakan PTT merupakan good agronomic practices yang antara lain meliputi; (a) penentuan pilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat dan musim tanam, (b) varietas unggul adaptif dan benih bermutu tinggi, (c) pengelolaan tanah, air, hara, dan tanaman secara optimal, (d) pengendalian hama-penyakit secara terpadu, dan (e) penanganan panen dan pasca panen yang tepat. Model PTT terdiri dari beberapa komponen teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat diterapkan sesuai kondisi agroekosistem, antara lain adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas; (c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam lebih rapat; (d) sistem pengairan; (e) penggunaan bahan organik; (f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat meningkatkan hasil padi dari sekitar 5.6 menjadi 7.3 9.6 t/ha (Stoop et al., 2000 dalam Pramono et al., 2005). Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada budidaya padi sawah merupak salah satu teknologi intensifikasi dengan komponen teknologi utama PTT meliputi penggunaan benih bermutu, varietas unggul sesuai lokasi, tanam bibit muda (umur < 15 hss) tunggal per lubang, tanam cara legowo, pemberian bahan organik, pengelolaan hara spesifik lokasi, irigasi intermittent (berselang), pengendalian gulma secara manual, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bagi pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan penanganan panen dan pasca panen yang baik (Zaini et al., 2004). 2.4. System of Rice Intensification (SRI) System of Rice Intensification (SRI) adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya peningkatan produktifitas padi sebesar 50 %, bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100 % (Mutakin, 2007). Kalsim (2008) 10

menambahkan SRI adalah pengembangan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran. Berdasarkan hasil Seminar Sehari "The System of Rice Intensification yang diadakan di IPB pada 16 Januari 2008, SRI mampu meningkatkan produktivitas tanaman dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air, dan unsur hara. Pada mulanya SRI diterapkan di daerah Madagaskar oleh Henri de Lauline tahun 1980 dengan metode yang berbeda dari kebiasaan petani tradisional (Kalsim, 2008). Menurut Mutakin (2007), prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI yaitu 1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih berdaun 2 helai. 2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang. 3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal. 4. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah (irigasi berselang/terputus). 5. Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari. 6. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau). Teknik budidaya padi organik metode SRI terdiri dari 4 kegiatan yaitu persiapan benih, pengolahan tanah, perlakuan pemupukan dan pemeliharaan. 1. Persiapan benih Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media 11

tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap ditanam. 2. Pengolahan tanah Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air. 3. Perlakuan pemupukan Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah. 4. Pemeliharaan Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan 12

setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik. 13